“Tidurlah di kamar Lilia nanti malam, biar bagaimanapun dia adalah istrimu juga. Sama sepertiku, dia juga berhak mendapatkan nafkah batin darimu, William.”
Suara manis yang terdengar menembus pintu kamar membuat Lilia menghentikan langkahnya. Ia berdiri di luar dengan kedua tangan yang mencengkeram erat keranjang berisi pakaian yang harusnya ia bawa masuk, sebelum ia menyadari bahwa tuan dan nonanya tengah berada di dalam sana. “Tidak mau, Sayang,” jawab suara bariton seorang pria menyambut permintaan itu. “Aku tidak bisa melakukan itu dengan wanita lain selain kamu.” “Kamu tidak boleh begitu, William. Karena nanti setelah aku mati, kamu akan hidup dengan Lilia.” “Tapi kamu tidak akan meninggalkan aku secepat itu, Ivana.” Lilia termangu dengan tubuh yang terasa kebas. Tuan dan nonanya itu sedang membicarakan dirinya, babysitter anak mereka, yang sekaligus telah menjadi istri kedua William. Hal itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan Ivana yang kondisinya memburuk akibat leukimia. Demi memastikan bahwa anak lelakinya dirawat oleh orang yang tepat, Ivana memilih madu dan istri untuk suaminya sendiri, dirinya, Lilia Zamora—babysitter yang telah merawat anak mereka sejak lahir. Kini, pernikahan itu sudah berjalan selama dua bulan. Lilia sebenarnya juga tak ingin melakukan itu. Tapi mempertimbangkan Ivana akan memberinya bantuan untuk pengobatan ibunya yang tengah sakit, akhirnya ia terpaksa menerima. Meski Ivana tidak keberatan seandainya hubungan mereka diketahui oleh keluarga, tapi William tak bersedia. Pria itu memilih untuk merahasiakannya. Sebagai suami—yang di mata Lilia—sangat mencintai istrinya, Lilia tahu pria itu merasa bertanggung jawab agar keluarganya tidak akan memandang rendah Ivana. William juga tidak ingin memperumit keadaan apalagi jika sampai hal ini terendus pihak luar. Sehingga hanya mereka bertiga saja yang tahu tentang pernikahan itu. “Ahh—” Suara lenguhan Ivana membuat Lilia terjaga dari lamunannya. “Ahh ... jangan menggodaku di sini, Liam. Kita masih di kamar Keano.” “Sebentar saja, Ivana.” Tak ingin mendengar lebih jauh akan sesuatu yang mungkin berlanjut di balik pintu kamar itu, Lilia memutuskan untuk pergi dari sana. Urung membawa pakaian Keano—anak lelaki William dan Ivana—ke dalam kamar. Baru saja berbalik, ia dibuat terkejut saat melihat kemunculan Keano yang tiba-tiba dan berlari menghampirinya. “Sus Lili, Keano sudah selesai main legonya,” ucapnya. “Sekarang mau masuk.” Jari telunjuknya mengarah pada pintu kamarnya yang tertutup. “Jangan!” cegah Lilia dengan cepat, mengantisipasi agar Keano tidak masuk dan melihat apa yang ayah dan ibunya lakukan di dalam sana. Tapi karena melakukan hal itu, tak sengaja keranjang pakaian yang dibawanya jatuh sewaktu ia berlutut dan meraih kedua bahu kecil Keano. “Kenapa tidak boleh?” tanya Keano, kedua pipinya menggembung kesal. “Nanti saja masuknya. Bagaimana kalau kita main dulu di luar?” ajaknya. “Mungkin … main tangkap bola?” “Hm … padahal mau tidur di dalam dan dengar Sus Lili nyanyi untuk Keano.” Sebelum sempat Lilia berhasil membujuknya, pintu kamar mendadak terbuka. Lilia menoleh, menjumpai William berdiri di ambang pintu dengan beberapa kancing kemeja teratas yang terbuka sehingga dada bidangnya tampak. Menyadari alis berkerut William yang tak suka saat keluar dari kamar membuat Lilia dengan cepat menunduk. Menghindari tajam iris kelam pria itu yang melihat kekacauan di lantai. “Masuk sini, Keano!” ucap pria itu pada anak lelakinya. “Mama ada di dalam.” “Okay, Papa.” Setelah Keano menghilang di balik pintu kamar, William menghampiri Lilia yang memilih untuk memasukkan kembali pakaian itu ke dalam keranjang. “Kenapa pakaian bersih itu bisa berantakan?” tanyanya dingin. “M-maaf, Tuan,” jawab Lilia tak berani mengangkat wajahnya. “S-saya tidak sengaja menjatuhkannya.” “Kamu menguping apa yang aku dan Ivana lakukan?” “Ti-tidak,” tepis Lilia, memilih berbohong untuk melindungi diri. William terdengar mendengus, Lilia sempat mencuri pandang padanya yang membuang wajah sebelum pergi dari hadapannya yang masih berlutut di lantai. Lilia tak ingin ambil pusing dan memilih untuk merapikan semua pakaian yang berantakan itu, terpaksa harus mencucinya sekali lagi. Sembari menunggu laundry selesai, ia menyempatkan diri menyiapkan bahan makanan untuk tuan kecilnya besok. Sudah cukup larut saat akhirnya Lilia mengeluarkan pakaian-pakaian milik Keano dari mesin pengering dan menempatkannya ke dalam keranjang lain. ‘Akan aku lanjutkan besok lagi,’ putusnya. Lilia masuk ke dalam kamarnya yang ada di sisi belakang rumah itu. Merebahkan dirinya ke atas tempat tidur yang ukurannya tak begitu besar, angannya seakan tak bisa diam. Terombang-ambing ke sana ke mari memikirkan keadaan ibunya yang koma di atas ranjang pesakitan, atau sekilas terisi wajah benci William yang belum lama ini ia lihat. Semua itu seperti sedang menyiksa benaknya hingga lelah dan tanpa sadar ia jatuh dalam lelap. Saat nihil suara harusnya mengisi tidurnya, ia dibuat terjaga sewaktu mendengar suara pintu yang diketuk. Lilia duduk menegakkan punggungnya. Napasnya terengah saat melihat pintu kamarnya terbuka dari luar. ‘William?!’ batin Lilia terkejut. Pria yang berdiri di ambang pintu itu adalah William Quist. Ia bergegas bangun dan menundukkan kepalanya pada William, “Maaf, saya ketiduran,” katanya. “Saya akan melihat keadaan Keano, Tuan.” “Aku datang ke sini bukan untuk memintamu melihat Keano,” jawab pria itu. “M-maksud Anda?” tanya Lilia gugup. Tubuhnya gemetar di bawah tatapan tajam William. “Bukankah kamu tahu apa yang harusnya dilakukan oleh dua orang yang sudah menikah?”Lilia melihat pria itu sedikit berbalik untuk menutup pintu sehingga ruangan ini seolah menjebak mereka hanya berdua saja.Ia merasa tubuhnya nyeri mendengar yang baru saja dikatakan oleh William. ‘Yang dilakukan oleh dua orang yang sudah menikah’ itu, Lilia tahu betul apa artinya.Hubungan suami istri, seperti yang tadi diminta oleh Ivana, bukan?Lilia ketakutan, pandangan William tajam mengintimidasinya. Sesuatu yang gelap tersembunyi di balik iris dan wajahnya yang rupawan.Dadanya bertalu ribut sehingga Lilia membawa langkahnya mundur untuk menghindarinya. Membawa dirinya sejauh mungkin dari William jika perlu.“Apa sekarang kamu sedang menolakku?” tanya pria itu. Tak mendapati jawaban, William menekan saat mengucap, “Jangan salah, aku datang ke sini karena istriku yang meminta,” katanya. “Bukan karena keinginanku sendiri. Jadi lakukan ini sebagai cara kita memenuhi apa yang diinginkan oleh Ivana.”Kalimatnya telah menegaskan dengan kuat bahwa tak ada wanita lain yang dicintai ole
Lilia tertegun cukup lama mendengar William.‘Nona Ivana ... meninggal?’ batinnya, merasakan sensasi perih yang tiba-tiba menusuk ulu hatinya. Ia bangun dan mengangkat Keano ke gendongannya untuk mendekat ke arah kamar.Saat hampir melewati William yang baru saja mengakhiri panggilannya—entah dengan siapa itu—Lilia terkejut karena pria itu justru membentaknya.“Apa kamu bodoh?!” hardiknya. “Kenapa kamu malah membawa Keano untuk masuk?”“S-saya—” Lilia mendekap Keano semakin erat saat anak itu sepertinya lebih terkejut mendengar suara ayahnya yang meninggi. “Saya hanya ingin Keano melihat saat-saat terakhir Nona Ivana, Tuan,” jawab Lilia akhirnya.Tapi William tak menerima alasan itu. Ia meraih lengan Lilia dan menariknya pergi menjauh dari pintu.“Jangan sampai Keano melihat ini!” peringatnya sungguh-sungguh. “Bawa dia pergi sampai aku memintamu membawanya pulang!”“Kenapa Papa berteriak?!” tanya Keano—yang barangkali menganggap seruan William ditujukan untuknya.Ia nyaris jatuh dari
Tudingannya menggebu-gebu.Lilia menatap ibu Ivana dengan mata yang basah, bibirnya berusaha mengeluarkan kata untuk menepis tuduhan itu, tapi suara lain lebih dulu menyahut, “Apa yang terjadi?”Wanita lain yang datang itu merupakan ibunya William, bimbang memandang Lilia dan besannya itu bergantian.“Perempuan ini yang baru saja membawa Keano, ‘kan?” tanggapnya. “Aku baru saja melihat Keano di kamar dan dia mengatakan dia baru saja pergi dengan ‘Mama Lilia.’”“Apa?!” Ibunya William terkejut, sepasang bola matanya melebar mendengar hal itu. “B-bagaimana bisa seorang babysitter dipanggil ‘Mama’ oleh cucuku?!”Ia beralih pandang dari sang besan pada Lilia yang juga sama terkejutnya.Kalimat-kalimat pembelaan diri yang sempat tersusun di bibirnya seolah tertelan kembali ke tenggorokan.“Apa itu benar, Lilia?” tanya beliau. “Apa kamu meminta Keano untuk memanggilmu ‘Mama’ setelah kamu menyingkirkan Ivana?”“Itu tidak benar, Nyonya!” tepis Lilia dengan suara yang gemetar. “Saya tidak membu
“T-terima kasih,” ucap Lilia sungkan. Ia menunduk menghindari tatapan itu, berpikir bahwa barangkali Nicholas tak nyaman melihatnya memiliki luka yang mencolok seperti ini.Pria itu mengangguk tak keberatan sebelum kembali memacu mobilnya menuju rumah sakit. Hampir tak ada percakapan yang terjadi.Lilia juga tak berani membuka suara mengingat dirinya yang memang tak setara dengan pria di balik kemudi itu.Status sosial mereka berbeda. Hanya kebetulan yang membuat mereka bertemu dan pria itu tak keberatan mengantarnya.Tak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah sakit, meninggalkan mobil di parkiran, langkah mereka berhenti di depan ruang ICU.Jendela besar itu menunjukkan keberadaan ibunya yang belum bangun pasca operasi.“Apa yang terjadi, Lilia?” tanya Nicholas yang berdiri di samping kanannya.“Ibu saya jatuh di kamar mandi, Tuan,” jawabnya. “Ada pendarahan di kepalanya. Setelah operasi itu berhasil, ternyata dokter menemukan sakit lain di tubuh Ibu yang membuat beliau masih belu
Lilia tahu William sedikit mabuk. Ia bisa menghidu bau alkohol yang menguar dari bibirnya saat mereka berdiri dalam jarak sedekat ini.Pria itu menunduk mensejajari pandangannya saat tawa lirihnya baru saja terdengar.“Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan apakah kamu bisa pergi dari rumah ini atau bertahan, Lilia Zamora,” ucapnya tegas.Lilia tak sempat menjawab apa yang dikatakan oleh pria itu sebab William lebih dulu menariknya dan membuatnya terhempas di atas ranjang.“Apa kamu mau pergi dari sini karena ingin hidup dengan Nicholas?” tanyanya. “Apa yang kamu lakukan dengannya tadi? Kalian bersenang-senang di luar saat aku tidak di rumah?”Pertanyaan datang bertubi-tubi seiring William yang naik ke atas tempat tidur. Pria itu menunduk di atas Lilia yang wajahnya seketika pias. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi itu sia-sia sebab William telah membuatnya terkunci tak bisa bergerak.“T-tidak,” jawab Lilia dalam ketidakberdayaan. “Saya benar-benar hanya pergi ke rumah sakit untuk m