Hana tiba-tiba dipulangkan oleh suaminya tanpa sebab yang jelas. Ia tidak tahu menahu apa alasan sang suami menceraikannya. Hana berusaha bangkit dari luka, ia merantau ke kota dan melamar pekerjaan menjadi pengasuh anak orang kaya. Di sana, ia dipertemukan dengan seorang majikan duda yang tampan dan di saat yang bersamaan, dia juga dipertemukan lagi dengan mantan suaminya dengan kondisi berbeda. Bagaimana cerita selanjutnya?
Lihat lebih banyakPart 1
"Udah siap, Dek?" tanya Mas Bambang seraya memperhatikan penampilanku.Aku mengangguk lalu tersenyum manis ke arahnya. Tumben sekali hari ini Mas Bambang mengajakku pergi berlibur bahkan menginap selama beberapa hari ke depan. Biasanya dia akan sibuk dengan pekerjaannya."Baju-bajumu udah siap?""Udah, Mas, itu di koper."Mas Bambang mengangguk lagi. Entah kenapa sedari tadi dia kehilangan senyum. Wajahnya tampak tegang, bahkan pikirannya tak fokus."Mas, emangnya kita mau liburan kemana sih? Kok bawa baju banyak banget?""Kejutan, Dek, nanti juga kamu tahu," ujarnya lagi.Tiap ditanya pasti jawabannya begitu saja, ya sudah, aku takkan bertanya lagi. Aku percaya pada suamiku yang paling tampan dan juga baik hati, dia pasti memilihkan tempat terbaik untuk kami liburan.Mobil mulai melaju meninggalkan rumah yang sudah tiga tahun aku huni bersama Mas Bambang. Rumah minimalis bergaya eropa, tampak mewah dan elegan. Rumah yang menjadi saksi bisu, kulewati malam-malam manis bersamanya.Tiga tahun bagiku terasa begitu singkat, apalagi sikap Mas Bambang yang lembut dan juga baik akhirnya mengalahkan keraguanku. Pernikahan kami tanpa restu orang tua Mas Bambang, hanya paman dan bibinya saja yang datang dan menjadi saksi pernikahan kami dari pihak keluarganya. Tapi tak apa, asalkan bersama suami, kami saling menguatkan satu sama lain.Selama tiga tahun ini juga, kami belum diberi amanah untuk mendapatkan keturunan. Padahal semuanya normal, baik aku juga Mas Bambang. Ya memang belum dikasih aja.Tanpa terasa aku tertidur di mobil, entah berapa lama. Aku terkesiap kaget mendapat usapan lembut di pipi."Kita udah sampai, Dek!" ujar Mas Bambang.Aku mengedarkan pandangan, seketika memicingkan mata melihat samping kiri jalan adalah rumah orang tuaku."Mas, jadi liburan kita ke rumah orang tuaku? Kok kamu gak ngomong dari awal?" tanyaku.Mas Bambang tak menanggapi ucapanku."Ayo turun, Dek!" ajaknya. Ia langsung keluar dari mobilnya lalu membuka bagasi dan mengambil koperku.Dengan hati dan pikiran yang bertanya-tanya, akupun turun dari mobil. Sekali lagi memandang wajah rupawan Mas Bambang dengan tatapan menyelidik."Mas, ada apa sih sebenarnya?""Nanti juga kamu tahu, Dek," sahutnya singkat."Eh, anak dan menantu ibu rupanya dateng!" sambut suara dari dalam rumah.Aku menoleh, melihat ibuku datang tergopoh-gopoh."Ibu?" Aku langsung memeluknya dan menciumi punggung tangannya dengan takdzim. Mas Bambang pun segera menyalami tangan ibu."Dari sana jam berapa, Nak?" tanya ibu."Jam delapan, Bu," sahut Mas Bambang.Perjalanan dari rumah ke rumah orang tuaku menghabiskan waktu dua jam perjalanan.Aku menatap bangunan rumah sangat sederhana di hadapanku. Dinding tembok sepotong dan ke atasnya terbuat dari anyaman bambu. Ya, memang semiskin itu hidup oranh tuaku di desa, bapakku hanyalah seorang petani kecil dan ibu hanya ibu rumah tangga, mengasuh adik-adik yang masih kecil."Ayo masuk, Nak. Ayo Nak Bambang!" ajak ibu lagi.Kami masuk ke dalam rumah dan duduj di kursi kayu di ruang tamu. Alhamdulillahnya sekarang, lantai sudah berganti ubin, bukan lantai tanah lagi."Bapak mana, Bu?" tanya Mas Bambang."Bapak ada di sawah, Nak. Nanti ya, ibu panggilkan dulu," ujar ibu. Raut wajahnya tampak begitu antusias melihat kedatangan kami.Ibu masuk ke dalam, aku mengikutinya."Neng, kamu kok gak bilang-bilang mau kesini? Jadi ibu gak ada persiapan apa-apa ini. Belum masak belum apa, ini suamimu mau dimasakin apa? Ibu sekalian mau belanja lagi ke warung, kali masih ada lauk pauk."Aku tersenyum mendengar ucapan ibu. "Tidak usah repot-repot, Bu. Seadanya aja. Kami kesini juga tanpa persiapan apapun."Ibu tersenyum lagi, tangannya sibuk membuatkan teh manis untuk kami. "Tapi ibu senang banget dengan kedatangan kalian, terakhir kan enam bulan yang lalu. Gimana Neng, udah isi?" tanya ibuAku tersenyum miris, bahkan orang tuaku pun merindukan seorang cucu. "Belum, Bu. Doain aja ya.""Iya, Neng, pasti. Ya sudah nih tehnya antar ke suami kamu, biar ibu ke sawah nyusulin bapak, lalu langsung mampir ke warung Yu Darmi.""Iya, Bu."Aku membawa dua gelas berisi teh manis itu ke depan."Mas, minum dulu tehnya.""Iya makasih, Dek.""Atau mau istirahat dulu di kamar, Mas? Sebentar aku beresin dulu."Diam, tak ada jawaban apapun dari Mas Bambang.Aku beranjak seraya membawa koper menuju deretan kamar paling belakang, kamar yang aku tempati selagi gadis. Pintunya tak dikunci, kondisinya pun masih sama seperti dulu. Rapi dan bersih sudah otomatis ibu membersihkannya tiap hari. Mungkin ibu juga melarang adik-adik main di kamarku.Aku tersenyum sejenak membayangkan masa-masa sebelum menikah dulu. Seru. Semua terlintas bagaikan potongan film."Assalamu'alaikum ..." Terdengar suara berat dari luar. Suara yang teramat kurindukan."Bapak!" Aku langsung berjalan keluar dan menghampirinya. Bapak yang paling kuhormati.Aku menyalami tangan bapak yang hitam dan keriput karena kebanyakan kerja di sawah. Panas terik mentari tak ia hiraukan demi anak-anaknya tak kelaparan.Tak lama, ibupun kembali pulang menjinjing kantung kresek berisi belanjaan.Bapak berlalu ke dalam untuk bebersih diri, begitu juga dengan ibu.Aku masih menemani Mas Bambang yang kini tampak sibuk dengan ponselnya."Mas, kita nginep berapa hari di sini?" tanyaku."Sesukamu.""Hah? Maksudnya? Emang kamu libur berapa hari?" Keningku mengernyit mendengar jawabannya. Sesukaku? Apa maksudnya coba?"Dua hari.""Jadi kita di sini cuma dua hari? Kenapa pake bawa baju-baju banyak banget?" tanyaku lagi.Ehem! Terdengar suara bapak berdehem, ia sudah kembali dan duduk di hadapan Mas Bambang."Gimana kabar kalian, Nak?" tanya bapak."Alhamdulillah baik, Pak.""Kerjaanmu lancar, Nak?""Alhamdulillah semua lancar, Pak."Mereka mengobrol ngalor ngidul sedangkan aku berlalu ke dapur membantu ibu agar cepat selesai.Sayur bening, tempe plus tahu goreng, ikan asin, sambal terasi dan lalapan menemani makan siang kami hari ini. Menu yang sangat sederhana jauh dari kata mewah."Ayo, ayo, kita makan dulu Nak Bambang."Ibu dan bapak benar-benar menyambut suamiku dengan hangat. Kami makan siang bersama kebetulan adik-adik juga sudah pulang dari sekolahnya.***"Maaf Pak, Bu, kedatangan saya kesinu karena ingin memulangkan Hana pada kalian," ujar Mas Bambang dengab nada bergetar."Tunggu, tunggu, apa maksudnya, Mas?" tanyaku bingung. Jantung mulai berpacu dengan cepat menerka apa yang terjadi. Ibu dan bapak pun ikut terkejut."Ada apa ini, Nak?""Pak, Bu, dulu saya menikahi Hana dengan baik-baik, jadi sekarang saya juga ingin memulangkan Hana secara baik-baik. Kami akan bercerai, Pak."Bagaikan disambar petir di siang bolong mendengar ucapan Mas Bambang."Selagi bapak dan ibu ada di sini, akan menjadi saksi ucapanku. Sebelumnya mohon maafkan saya ya, Pak, Bu, saya harus mengambil keputusan ini.""Bismillah, Hana Aisyah binti Rusman, mulai hari ini juga, detik ini, saya ceraikan kamu. Kamu bukan istriku lagi. Dengan ini saya lepas tanggung jawab terhadapmu, kupulangkan lagi kamu ke orang tuamu, Hana."Kata-kata yang terucap dari mulut lelaki tercintaku sudah layaknya sembilu yang menyayat hati. Sakit dan perih sekali. Tanpa terasa butiran bening menitik dari sudut mata, tak tertahankan lagi."Mas, apa salahku? Kenapa bisa? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja?" Aku bertanya dengan nada bergetar."Maafkan aku, Hana. Kamu tidak bersalah, tapi kita harus berpisah. Ini uang sepuluh juta untuk bekalmu. Aku pamit pulang ya, jaga dirimu baik-baik."Mas Bambang bangkit, lalu mengecup keningku dengan lembut. Lelaki itu pergi tanpa menoleh lagi.Sakit sekali rasanya. Sakiiiiit.Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen