Part 4
'Mas Bambang?'Tampak keterkejutan dalam tatapannya. Hampir aja aku keceplosan ingin memanggil namanya dan membicarakan masalah kami.Dia yang pergi tiba-tiba, jadi inikah alasan yang sebenarnya?"Hei Mbak, tolong barang-barang kami dibawa masuk ya!" sergah seorang wanita di samping Mas Bambang.Apakah dia yang bernama Mariana? Seorang wanita muda yang tampak begitu cantik dan menawan. Dengan bibir merah merona dan rambut bergelombang berwarna pirang. Sungguh teramat cantik, bahkan aku yang seorang wanita pun turut mengagumi kecantikannya."Tunggu, tunggu, kamu pembantu baru di sini ya? Aku kok baru lihat kamu?""Eh i-iya, Nyonya, saya baru bekerja hari ini," sahutku, kali ini aku mengalihkan pandangan.Wanita itu manggut-manggut tapi pandangannya mengulitiku."Lain kali jangan lihatin suamiku seperti itu. Aku tahu suamiku ini tampan. Tapi jangan lancang ya!" serunya lagi.Deg! Ah, rasanya sungguh tak karuan ..."Maaf, Nyonya." Aku menunduk dengan debar jantung yang tak menentu.Bohong rasanya kalau aku bilang baik-baik saja, aku belum bisa melupakan sosok lelaki yang sudah menemaniku selama tiga tahun terakhir.Ingin bangkit dan melupakan semua tapi tak semudah membalikkan telapak tangan."Sudah itu, tolong dibawa masuk semuanya ya! Jangan sampai ada yang ketinggalan, soalnya itu oleh-oleh dari luar negeri. Barang-barang mahal, kamu tidak akan bisa menggantinya kalau rusak."Tiba-tiba seseorang menyenggol lenganku, rupanya ada Isna yang datang menyusulku. Isna ini sama sepertiku, seorang pembantu yang mengabdi, bedanya dia sudah lebih dari dua tahun tinggal di sini.Setelah mengatakan hal itu, Mariana dan Mas Bambang masuk dan bergabung dengan yang lain."Ayo buruan, Hana, nanti bu majikan malah marah-marah! Kamu lelet banget sih! Tadi Nyonya Mariana ngomong apa sama kamu? Kelihatannya dia tidak suka?" tegur Isna.Aku mengangguk. Keluar mengikuti Isna, mengambil koper-koper yang sudah berjejer di teras depan. Bukan hanya koper, banyak pula tas belanja di sana, yang isinya barang-barang mahal dan branded.“Tolong ya, itu dibawa naik ke atas semua, di ruang keluarga!” tukas Mariana sambil menunjukku saat aku melewati ruang makan.Aku menoleh sejenak, tanpa sengaja tatapanku kembali terfokus pada lelaki itu. Mas Bambang sudah bergabung di sana untuk makan bersama, ia tampat tertawa kecil saat ditanyai oleh Tuan Bama.Apa Mas Bambang pura-pura tak mengenalku di sini?“Hana, jangan bengong terus! Ayo, nanti kamu kena komplen lagi loh!” tegur Isna lagi.Isna mendahuluiku naik ke atas tangga. Akupun mengangguk. Sebagai orang baru aku hanya bisa mengikuti tanpa bisa menolak. Bolak-balik ke atas dan ke bawah rasanya begitu melelahkan, tapi perjuangan belum berakhir. Ini baru permulaan. Kupikir aku bekerja jauh di sini bisa melupakan bayang-bayang Mas Bambang, tapi nyatanya justru aku dipertemukan dengan dia lagi?Aku menata barang belanjaan itu di ruang keluarga.“Mbak Isna, tadi itu siapa? Apa dia juga nyonya di rumah ini?” tanyaku ingin tahu.Isna memandangku. “Kau belum tahu ya?”Aku menggeleng pelan.“Dia itu cucu pertama Tuan Besar, alias putrinya Tuan Bama. Hati-hati jangan sampai buat kesalahan di depannya.”“Kenapa?”“Ya … Nanti kau juga akan merasakan sendiri sikap Nyonya Mariana seperti apa. Banyak para pembantu yang keluar gara-gara salah sama dia meski pun hal sepele.”Aku terdiam tak berani bertanya lagi.“Dia juga baru menikah bulan kemarin, pestanya mewah sekali. Yang tadi pulang bersamanya itu Tuan Wijaya, suaminya. Dan mereka baru pulang dari luar negeri, habis bulan madu, bikin bocil,” bisiknya lagi sambil tertawa kecil.Mendengarnya begitu seketika membayangkan Mas Bambang, ah, nyeri sekali hati ini.“Enak sekali ya jadi orang kaya, sekalinya bulan madu sewa hotel yang mewah dan jalan-jalan ke luar negeri, bawa oleh-oleh seabreg, ah rasanya jadi ingin dipersunting lelaki kaya.”“Hei, kalian kok malah ngerumpi di sini? Kerja sana! Kalian ada di sini itu bukan untuk bersantai tapi untuk kerja!” seru Bik Rasni yang tiba-tiba muncul, matanya mendelik ke arah kami. Padahal dia tahu sendiri kami tak menganggur, karena banyak sekali barang bawaan yang perlu dirapikan.“Iya, Mbak.” Kami memanggilnya Mbak pada Bik Rasni karena dia sendiri yang memintanya.Seketika, aku dan Isna turun dari lantai dua rumah mewah ini. Kembali menuju ruang meja makan, rupanya para majikan masih memakan hidangan itu dengan lahap. Belum lagi si cantik Mariana yang berceloteh riang menceritakan pengalamannya yang paling berkesan, hingga tercipta tawa di antara mereka.“Siap-siap nih, papa bakal punya cicit,” seru Ny. Bama pada ayah mertuanya, disambut tawa renyah yang lain, tapi tidak dengan Tuan Putra, dia hanya diam tak menanggapi.Selesai makan malam, para majikan langsung ke pergi ke ruang keluarga, mereka asyik berbincang di sana dengan tawa yang begitu riang gembira. Tapi tidak dengan Tuan Putra yang lebih memilih pergi ke kamarnya sendiri.Sementara para permbantu masih sibuk dengan pekerjaan rumah tangga. Dan baru makan setelah semua pekerjaan selesai.“Hei, kamu pembantu baru! Tolong bereskan kamar saya! Saya mau istirahat!” pungkasnya menghentikan langkahku yang tengah mengelap piring.Aku menatap kedatangan Mariana ke dapur, tangannya sudah disilangkan depan dada.“Buruan! Jangan bengong aja! Kamu tahu kamarku kan? Ada di atas dan di ujung kanan!” ketusnya lagi.Aku mengangguk, lalu mengikuti perempuan yang sudah berganti pakaian lebih seksi. Mendadak kami berpapasan dengan Mas Bambang yang tengah membawa gelas kosong.Mariana langsung merangkul pria itu. Untuk sejenak, tatapan kami bertemu.“Sayang, mau ngapain?” tanya Mariana. Ia langsung mengecup bibir Mas Bambang tanpa rasa malu.Aku tertunduk. Haruskah aku menyaksikan adegan mesra mereka? Sungguh Mas Bambang tak punya hati!Ah, lebih baik aku memang tak mengenal Mas Bambang dari pada harus mebelan sakit seperti ini.“Hana …” Tiba-tiba suara tegas seorang lelaki memenuhi pendengaranku. Panggilan itu cukup mengagetkan hingga Mariana pun melepaskan ciuman mesranya.“Kau ikut dengan saya!” titahnya. Aku menoleh ke arah pria yang berdiri tak jauh dariku. Tuan Putra memandang dengan tatapan datar tanpa eksrpresi.“Om? Kenapa sih mengganggu aja!” seru Mariana.“Pembantu ini sudah aku tugaskan untuk membersihkan kamarku malam ini! Jadi jangan seenaknya sendiri dong, Om! Kalau Om butuh bantuan minta saja sama Bik Rasni!” tambahnya lagi dengan nada kesal, raut wajah Mariana tampak terganggu.“Dia pengasuh Alvaro, jadi aku yang lebih berhak menggunakan jasa tenaganya, bukan kamu. Ayo, kau ikut aku, Hana!”Part 5“Dia pengasuh Alvaro, jadi aku yang lebih berhak menggunakan jasa tenaganya, bukan kamu. Ayo, kau ikut aku, Hana!”Aku terdiam untuk beberapa saat.“Kenapa masih diam? Ayo ikut saya, ada yang ingin saya bicarakan mengenai Alvaro!” tegasnya lagi. “Ba-baik, Tuan,” jawabku gugup. Duh rasanya tidak nyaman sekali apalagi saat kulirik dari ekor mataku, Mariana tampak menghentakkan kakinya kesal.Sampai di ruangan kerja Tuan Putra, aku masih berdiri menunggunya berbicara. Tapi lelaki itu justru asyik membaca buku.Sepuluh menit berlalu hingga lima belas menit berlalu, tak ada yang dia ucapkan, padahal kakiku mulai kesemutan.“Maaf Tuan, kalau saya lancang, ada tugas apa tuan memanggil saya? Den Alvaro sudah tidur dan--"Lelaki itu justru melayangkan tangannya, agar aku berhenti bicara. Aku menelan ludah, lalu menunduk. Sebenarnya orang yang seperti apa sih majikanku ini?Hingga waktu berlalu, detik berganti menit dan sampai lima belas menit tanpa suara.“Alvaro sepertinya cocok den
Part 6“Mommy!” teriak Alvaro. Dia langsung menghambur ke arahku. Entah kenapa bocah kecil imut ini memanggilku Mommy. Ia baru saja bangun tidur, tapi matanya sungguh indah. Rambutnya agak panjang untuk anak kecil seukuran dia, karena katanya dia susah untuk dibujuk.Aku tersenyum lantas menggendongnya. “Sayang, ayo kita mandi dulu. Air hangat sudah disiapkan loh,” sahutku sambil tersenyum. Aku senang sekali, di sini ada Alvaro, anak yang sangat lucu dan menggemaskan, jadi aku tak terlalu jenuh mengerjakan pekerjaan rumah yang melelahkan untuk ukuran rumah sebesar dan semewah ini. Ada pelipur lara hati saat melihat tingkahnya yang polos.Tapi, entah kenapa rasanya para keluarga mengucilkan anak ini, hanya ayahnya saja yang sangat protektif. Katanya sih, dia nakal banget hingga susah diatur. Barang apa saja yang dipegangnya akan dirusaknya, membuat para anggota keluarga gemas. Bocah kecil itupun sering kabur keluar rumah membuat para pengasuhnya kewalahan karena sikapnya yang sang
Part 7"Mama kenal?" tanya Mariana lagi. Ia melangkah mendekat, membuat Bu Samira tampak tergagap lantas tersenyum."Emhh ya, Mama kenal dia," jawab Bu Samira. "Dia pembantu di rumah Mama dulu," sambungnya lagi sambil tertawa kecil.Aku menoleh ke arahnya, hatiku seakan tercubit dengan perkataannya itu. Jadi dia hanya menganggapku sebagai pembantu.“Kamu harus hati-hati, Sayang. Dia pembantu tapi tidak jujur. Maka dari itu dulu mama memecatnya. Makanya mama sangat terkejut, saat dia ada di sini. Awas saja, barang-barang kalian, takutnya ada yang hilang. Terlebih kamu, kamu harus lebih hati-hati.”“Oh ya? Jadi dia pencuri?” Mata Mariana membulat lalu menatapku tajam. “Kau pencuri?” tanyanya lagi penuh selidik.“Tidak, Nyonya. Saya berani bersumpah, saya bukan pencuri. Bu Samira berbohong, saya itu is—““Sekalinya pencuri tetaplah pencuri, pasti dia tidak akan mau ngaku ‘kan? Kamu pasti lebih percaya Mama kan dari pada si pembantu ini?” sela Bu Samira. Ah, dia tega sekali memfitnahku de
Part 8“Hana, kuperingatkan kau, jangan cari muka di sini apalagi berusaha menggoda majikanmu sendiri atau—“"Atau apa, Mas? Lebih baik kamu tidak usah pedulikan aku lagi. Anggap saja kita tidak saling mengenal satu sama lain di sini. Apa kau tidak takut sikapmu ini ketahuan istri barumu?" Kukibaskan cekalan tangannya dengan kasar.Dia terhenyak dan menatapku beberapa jeda. Sorot matanya sangat berbeda, tak nampak kehangatan seperti dulu lagi. Dia bukanlah Bambang Wijaya yang pernah kukenal dulu.Aku tersenyum masam, lantas melirik ke arah kamar Tuan Putra. Rupanya pria itu tengah memperhatikan kami dengan tatapan bertanya-tanya.Gegas aku pergi dari sana, tak ingin terjadi salah paham apapun lagi. Terlalu sakit hati ini bila terus mendapatkan penghinaan oleh orang-orang kaya.Aku kembali melewati mereka semua. Tatapan Bu Samira padaku begitu tajam hingga membuatku bergidik.***Rutinitasku sehari-hari seperti biasanya, mengasuh Alvaro, dari mulai memandikan, menyuapinya makan, lalu
Part 9"Hah?""Kenapa bengong?""Eh, i-iya, Tuan. Saya akan buatkan kopi.""Kopi hitam ya, jangan terlalu manis.""Baik, Tuan."Aku segera beranjak keluar dari ruang kerja majikanku. Aneh sekali, katanya mau dihukum, ternyata cuma disuruh bikin kopi?Gegas aku menuju ke dapur, menyiapkan cangkir dan tatakannya. Dua sendok kopi, dan satu sendok gula pasir lalu kutuangkan air panas dari termos. Tidak terlalu manis sesuai permintaannya."Hana, kamu buat kopi buat siapa?" tanya Isna."Tuan Putra.""Tumben Tuan Putra minta dibikinin kopi."Aku hanya mengendikkan bahu. "Tapi kata Mbak Rasni, Tuan Putra gak boleh kebanyakan minum kopi, karena punya sakit lambung."Aku mengangguk. "Isna, kamu tahu gak kenapa semua anak-anak Tuan Mahesa pada kumpul di sini? Padahal sudah pada berkeluarga. Kenapa gak misah gitu?" tanyaku penasaran. Ya memang sih, rumah ini sangat besar jadi muat menampung mereka."Kenapa nanya gitu?""Ya cuma pengin tau aja, Isna. Biasanya kan orang udah berkeluarga pada misah
Part 10Aku mengangguk dan masuk ke ruang kerja Tuan Putra. Sebelumnya kudengar Mariana melangkah pergi dengan menghentakkan kakinya seraya menggerutu.“Ya, Tuan?”“Saya ingin memasukkan Alvaro ke PAUD tahun ini, apa kau bersedia mengantar dan menungguinya selama jam pelajaran berlangsung?”“I-iya, Tuan.”“Bagus. Kalau begitu kau list semua kebutuhannya untuk sekolah nanti, lalu berikan pada saya.”“Baik, Tuan.”“Jangan sampai seperti tahun kemarin, saya tidak ingin kegagalan terulang lagi.”“Maaf, maksudnya gimana, Tuan?”“Alvaro gagal bersekolah tahun lalu.” “Baik, Tuan, saya akan berusaha dengan sebaik mungkin untuk menjaga Den Alvaro.”“Ya, sudah, kau boleh pergi.”Aku mengangguk.“Maaf Tuan ...”“Ya, ada apa, Hana?”“Soal guci yang pecah itu apa nantinya akan dipotong dari gaji?”“Oh, kamu masih memikirkan hal itu?”“I-iya, Tuan. Saya merasa bersalah."“Tidak. Kau jangan khawatir, gajimu tetap utuh.”"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Tuan."Senyumku mengembang mendengar jawab
Part 11“Aku akan laporkan hal ini ke kakek. Beliau pasti shock, ada wanita yang dekat dengan anaknya tapi cuma seorang pembantu!”Setelah mengatakan hal itu, Mariana langsung pergi. Aku segera bangkit. “Tuan maafkan saya, gara-gara saya, Tuan jadi kena masalah.”Aku langsung mengejar Mariana. “Nyonya, tolong jangan laporkan hal ini pada Tuan Besar. Saya yang salah.”“Ya, memang kamu yang salah, harusnya kamu tahu diri!” tandas Mariana seraya tersenyum sinis.“Nyonya--"“Sudah, biarkan saja, Hana. Terserah kamu mau laporkan ini ke siapapun, aku tak peduli!” Tuan Putra datang menghampiri. Mata lentik Mariana makin melebar mendengar ucapan pamannya. Ia lantas pergi seraya menarik tangan Mas Bambang.“Tapi, Tuan—““Duduklah kembali dan habiskan makananmu.”Aku tertunduk dan hanya menunduk. Alvaro menatapku bingung. “Mommy kenapa?”“Gak apa-apa, Sayang,” jawabku seraya tersenyum.Tuan Putra kembali duduk di hadapanku. “Kenapa diam saja? Ayo dimakan, jangan cuma dilihatin terus.”“Tuan—“
Part 12Tanpa sengaja, Bambang melihat kedakatan mereka berdua di dapur. Putra dan Hana, semakin hari semakin akrab saja. Ditambah si Alvaro yang memanggil Hana mommy. Memang benar-benar aneh. Putra, paman istrinya sekaligus bosnya di kantor terlihat lebih santai ketika bersama mantan istrinya itu. Tak seperti perangainya di kantor yang kaku dan dingin, serta keras kepala.Dadanya bergemuruh, terasa panas dan cemburu. Meski Hana hanya mantan istrinya tapi perasaan cinta itu belum pudar. Ia terpaksa menceraikan Hana karena permintaan orang tua. Ia pun terpaksa menikahi Mariana atas perjodohan itu, pernikahan bisnis agar bisnis ayahnya makin berkembang.Beberapa bulan yang lalu ...“Pulanglah dulu, Bambang, Papamu sakit,” ucap Bu Samira di seberang telepon. Bambang melirik arloji yang melingkar di tangan, waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB. “Tapi aku masih bekerja, Ma,” jawab Bambang.“Jadi kau lebih memilih pekerjaan dari pada papamu? Kau sudah lama tidak berkunjung kesini sejak men
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja