Part 5
“Dia pengasuh Alvaro, jadi aku yang lebih berhak menggunakan jasa tenaganya, bukan kamu. Ayo, kau ikut aku, Hana!”Aku terdiam untuk beberapa saat.“Kenapa masih diam? Ayo ikut saya, ada yang ingin saya bicarakan mengenai Alvaro!” tegasnya lagi.“Ba-baik, Tuan,” jawabku gugup. Duh rasanya tidak nyaman sekali apalagi saat kulirik dari ekor mataku, Mariana tampak menghentakkan kakinya kesal.Sampai di ruangan kerja Tuan Putra, aku masih berdiri menunggunya berbicara. Tapi lelaki itu justru asyik membaca buku.Sepuluh menit berlalu hingga lima belas menit berlalu, tak ada yang dia ucapkan, padahal kakiku mulai kesemutan.“Maaf Tuan, kalau saya lancang, ada tugas apa tuan memanggil saya? Den Alvaro sudah tidur dan--"Lelaki itu justru melayangkan tangannya, agar aku berhenti bicara.Aku menelan ludah, lalu menunduk. Sebenarnya orang yang seperti apa sih majikanku ini?Hingga waktu berlalu, detik berganti menit dan sampai lima belas menit tanpa suara.“Alvaro sepertinya cocok denganmu, setelah kulihat rekamanmu bersama Alvaro dari cctv."Aku terkejut sejenak, jadi di kamar Alvaro dipasang cctv?"Jadi tolong tanda tangani ini,” tukas pria itu seraya menyodorkan sebuah map.“Hah, tanda tangan? Ini apa tuan?""Kau bisa baca bukan?"Aku mengangguk dan membuka map itu. Isinya sebuah surat perjanjian kerja. Disitu tertera aku akan mendapatkan insentif perbulannya sebesar 10% dari gaji pokok tapi aku diharuskan bekerja sampai lima tahun ke depan, bila keluar dari masa kontrak kerja maka aku diharuskan membayar denda.Deg. Apakah aku sanggup?"Bagaimana, Hana? Apa kau mau menerimanya? Ini adalah keputusan dan tak bisa diganggu gugat lagi bila kau sudah menandatangani ini.""Tapi Tuan--.""Tenang saja, aku akan memberi kamu waktu libur untuk pulang kampung. Bukankah kau sedang butuh uang buat biaya kedua orang tuamu daj adik-adikmu yang masih sekolah?"Aku mengangguk, membayangkan senyum ibu yang penuh harap aku bisa bekerja di sini.Kububuhkan tanda tanganku di atas kertas itu. Tidak usah mengingat masa lalu. Ayo bangkit, Hana!***“Dasar eta si Bambang brekele! Tiba-tiba mulangin neng ke rumah teh ternyata mau nikah lagi! Dasar jurig!" geram ibuku dengan logat sundanya. Ibuku orang sunda, sedangkan bapakku orang jawa, jadi aku berdarah campuran.Ibu langsung merebut kertas undangan dari tanganku lalu menyobeknya hingga menjadi potongan-potongan kecil kemudian menginjak-injaknya dengan kesal."Bambang brekelee, kehidupan kamu teh gak bakal bahagia!" serunya lagi. Ibu yang biasanya lembut dna penuh kasih sayang, terlihat begitu marah. Pastilah seorang ibu ikut geram saat putrinya disakiti.Aku masih termangu beberapa saat melihat ibu yang masih mengomel. “Udah Neng, gak usah datang. Ngapain capek-capek datang bikin nyeri hati. Iih amit-amit si Bambang gelo, gak punya hati emang!” sungut ibu lagi."Ibu teh gak ikhlaaaas, bener-bener gak ikhlaaas, Neng disakiti begini sama si Bambang, hati ibu ikut sakit, Neng. Sakit bangeet. Neng yang sabar ya, insyaallah nanti Neng teh bakal dapat kebahagiaan. Insyaallah, nanti hidup Neng nuju kemuliaan. Ibu yakin, Neng. Neng pasti bisa bahagia tanpa si Bambang. Neng harus tetap semangat ya, jangan sedih terus. Ibu akan selalu doain Neng, sabar ya, Sayang.""Ehem!! Kalau kerja jangan sambil ngelamun! Mikirin siapa sih?" bisik seseorang di telingaku.Aku terperanjat, ingatan beberapa waktu yang lalu menguap seketika. Aku menoleh melihat pria itu tersenyum padaku. Jantung berdebar lebih cepat dari biasanya. Kenapa tiba-tiba dia ada di sini?Ini masih pagi, pukul 04.30WIB dan aku terbangun segera membersihkan perlengkapan dapur. Ya, itu tugas pertama yang diberikan untukku oleh Bik Rasni. Sebelum para juru masak akan bertugas.Tetiba tangan pria itu menyentuh tanganku, segera kutarik tanganku darinya.“Hana, maafkan aku. Aku tahu kau pasti marah atas sikapku. Aku lakukan ini karena ter—“Aku langsung menjauh dari pria itu. Sudah cukup rasa sakit yang dia torehkan padaku, kenapa aku harus dipertemukan lagi dengannya?“Hana, aku tau kamu masih kesal, tolong maafkan kesalahanku. Ini semua bukan keinginanku, Hana. Tapi Mama yang sudah.”“Hhhh ... tidak perlu menjelaskannya lagi, Mas. Hubungan kita sudah berakhir. Jadi fokuslah dengan kehidupan barumu. Anggap saja kau tak mengenalku di sini, itu lebih baik dari pada kau harus ketahuan oleh istri barumu,” ucapku dengan nada tertahan, masih ada rasa sakit di ulu hati ini.“Tidak Hana, aku tidak bisa seperti itu. Sungguh, aku masih belum bisa melupakanmu, sekarang kau sudah tahu alasanku bukan? Jadi aku menikah dengan Ana karena terpaska ...”‘Terpaksa tapi menikmatinya ‘kan?’ batinku berbicara sendiri.“Aku dan Hana menikah hanya karena bisnis, tak ada cinta di hati ini, Hana. Jujur akupun tersiksa, karena harus berpisah darimu. Andaikan diberi kesempatan lagi, apa kamu mau rujuk denganku Hana?”“Apa kamu sudah gila, Mas?”Mendadak tangan Mas Bambang menutup mulutku. “Jangan teriak Hana, mungkin aku memang gila, karena tak kuasa menolak permintaan orang tuaku. Tapi hati ini akan tetap milikmu, Hana. Aku masih sangat mencintaimu.”Aku meninju perutnya hingga ia melepaskan tangannya dari mulutku. Ia mundur beberapa langkah, tapi maju kembali.“Tidak usah merayuku seperti itu, Mas. Semua yang berlalu takkan pernah kembali lagi seperti sedia kala. Seperti itu juga hubungan kita, sudah selesai dan takkan mungkin disatukan lagi.”Mas Bambang menggeleng perlahan. “Tidak, Hana, aku masih sangat rindu padamu. Beruntung bisa bertemu di sini jadi aku masih bisa melihatmu setiap hari,” ucap Mas Bambang seraya membelai kepalaku. Ia mendekatkan wajahnya, tapi aku langsung mendorongnya.Sialan, pagi-pagi sudah dihadapkan dengan situasi seperti ini. “Pergilah menjauh, atau aku akan teriak dan membangunkan semua orang!”Mas Bambang justru tertawa kecil. “Tidak apa-apa teriak saja, tapi yang harus jaga sikap disini itu kamu, Hana. Kalaupun kamu bicara, apakah mereka akan mendengarkanmu dan percaya padamu? Sedangkan kau hanya pembantu di sini, bukan siapa-siapa. Orang-orang tak mengenalmu sebelumnya, kalau aku membuat fitnah kau yang menggodaku pun mereka akan lebih mempercayaiku ‘kan?”Dasar licik.Karena tak ingin terjebak dalam situasi ini, aku memilih pergi dari dapur, terlebih terdengar suara kaki menuruni tangga. Aku tak ingin orang-orang salah paham dan menilaiku buruk. Apalagi semalam, aku baru saja menandatangani kontrak kerja menjadi pengasuh Alvaro. Aku tak ingin kena denda maupun dirugikan gara-gara lelaki jurig seperti Mas Bambang.“Kalian kenapa keluar dari dapur sama-sama?” Lagi dan lagi aku dikejutkan oleh sebuah suara, suara sang nona yang cantik dan perfeksionis.“Tidak ada apa-apa, Sayang? Tadi aku hanya ingin mengambil air minum, kebetulan bertemu dengan dia di dapur,” sahut Mas Bambang, ternyata dia memang mengikuti langkahku.“Kok kamu ambil minum ke dapur segala? Bukankah di kamar juga masih ada?”“Emhh, itu sayang, aku ingin minum dingin,” kilah Mas Bambang lagi, pintar sekali dia berbohong.“Tapi dia gak gangguin kamu ‘kan, Sayang? Aku gak mau loh suamiku yang ganteng ini digangguin wanita lain, apalagi dia cuma seorang pembantu!” tukas Mariana seraya melirik ke arahku.Wanita itu masih menggelayut manja di lengan Mas Bambang. pembantulah, semua pekerjaan di rumah orang kaya bisa teratasi. Jadi satu sama lain saling menguntungkan alias simbiosis mutualisme.“Kau berani menjawabku?!” Nada suara Mariana makin tinggi.“Sudah Mariana, yang dikatakannya juga memang benar. Dia gak bakal berani menggodaku, apalagi aku sudah punya kamu yang cantik ini. hmmm ...”Part 6“Mommy!” teriak Alvaro. Dia langsung menghambur ke arahku. Entah kenapa bocah kecil imut ini memanggilku Mommy. Ia baru saja bangun tidur, tapi matanya sungguh indah. Rambutnya agak panjang untuk anak kecil seukuran dia, karena katanya dia susah untuk dibujuk.Aku tersenyum lantas menggendongnya. “Sayang, ayo kita mandi dulu. Air hangat sudah disiapkan loh,” sahutku sambil tersenyum. Aku senang sekali, di sini ada Alvaro, anak yang sangat lucu dan menggemaskan, jadi aku tak terlalu jenuh mengerjakan pekerjaan rumah yang melelahkan untuk ukuran rumah sebesar dan semewah ini. Ada pelipur lara hati saat melihat tingkahnya yang polos.Tapi, entah kenapa rasanya para keluarga mengucilkan anak ini, hanya ayahnya saja yang sangat protektif. Katanya sih, dia nakal banget hingga susah diatur. Barang apa saja yang dipegangnya akan dirusaknya, membuat para anggota keluarga gemas. Bocah kecil itupun sering kabur keluar rumah membuat para pengasuhnya kewalahan karena sikapnya yang sang
Part 7"Mama kenal?" tanya Mariana lagi. Ia melangkah mendekat, membuat Bu Samira tampak tergagap lantas tersenyum."Emhh ya, Mama kenal dia," jawab Bu Samira. "Dia pembantu di rumah Mama dulu," sambungnya lagi sambil tertawa kecil.Aku menoleh ke arahnya, hatiku seakan tercubit dengan perkataannya itu. Jadi dia hanya menganggapku sebagai pembantu.“Kamu harus hati-hati, Sayang. Dia pembantu tapi tidak jujur. Maka dari itu dulu mama memecatnya. Makanya mama sangat terkejut, saat dia ada di sini. Awas saja, barang-barang kalian, takutnya ada yang hilang. Terlebih kamu, kamu harus lebih hati-hati.”“Oh ya? Jadi dia pencuri?” Mata Mariana membulat lalu menatapku tajam. “Kau pencuri?” tanyanya lagi penuh selidik.“Tidak, Nyonya. Saya berani bersumpah, saya bukan pencuri. Bu Samira berbohong, saya itu is—““Sekalinya pencuri tetaplah pencuri, pasti dia tidak akan mau ngaku ‘kan? Kamu pasti lebih percaya Mama kan dari pada si pembantu ini?” sela Bu Samira. Ah, dia tega sekali memfitnahku de
Part 8“Hana, kuperingatkan kau, jangan cari muka di sini apalagi berusaha menggoda majikanmu sendiri atau—“"Atau apa, Mas? Lebih baik kamu tidak usah pedulikan aku lagi. Anggap saja kita tidak saling mengenal satu sama lain di sini. Apa kau tidak takut sikapmu ini ketahuan istri barumu?" Kukibaskan cekalan tangannya dengan kasar.Dia terhenyak dan menatapku beberapa jeda. Sorot matanya sangat berbeda, tak nampak kehangatan seperti dulu lagi. Dia bukanlah Bambang Wijaya yang pernah kukenal dulu.Aku tersenyum masam, lantas melirik ke arah kamar Tuan Putra. Rupanya pria itu tengah memperhatikan kami dengan tatapan bertanya-tanya.Gegas aku pergi dari sana, tak ingin terjadi salah paham apapun lagi. Terlalu sakit hati ini bila terus mendapatkan penghinaan oleh orang-orang kaya.Aku kembali melewati mereka semua. Tatapan Bu Samira padaku begitu tajam hingga membuatku bergidik.***Rutinitasku sehari-hari seperti biasanya, mengasuh Alvaro, dari mulai memandikan, menyuapinya makan, lalu
Part 9"Hah?""Kenapa bengong?""Eh, i-iya, Tuan. Saya akan buatkan kopi.""Kopi hitam ya, jangan terlalu manis.""Baik, Tuan."Aku segera beranjak keluar dari ruang kerja majikanku. Aneh sekali, katanya mau dihukum, ternyata cuma disuruh bikin kopi?Gegas aku menuju ke dapur, menyiapkan cangkir dan tatakannya. Dua sendok kopi, dan satu sendok gula pasir lalu kutuangkan air panas dari termos. Tidak terlalu manis sesuai permintaannya."Hana, kamu buat kopi buat siapa?" tanya Isna."Tuan Putra.""Tumben Tuan Putra minta dibikinin kopi."Aku hanya mengendikkan bahu. "Tapi kata Mbak Rasni, Tuan Putra gak boleh kebanyakan minum kopi, karena punya sakit lambung."Aku mengangguk. "Isna, kamu tahu gak kenapa semua anak-anak Tuan Mahesa pada kumpul di sini? Padahal sudah pada berkeluarga. Kenapa gak misah gitu?" tanyaku penasaran. Ya memang sih, rumah ini sangat besar jadi muat menampung mereka."Kenapa nanya gitu?""Ya cuma pengin tau aja, Isna. Biasanya kan orang udah berkeluarga pada misah
Part 10Aku mengangguk dan masuk ke ruang kerja Tuan Putra. Sebelumnya kudengar Mariana melangkah pergi dengan menghentakkan kakinya seraya menggerutu.“Ya, Tuan?”“Saya ingin memasukkan Alvaro ke PAUD tahun ini, apa kau bersedia mengantar dan menungguinya selama jam pelajaran berlangsung?”“I-iya, Tuan.”“Bagus. Kalau begitu kau list semua kebutuhannya untuk sekolah nanti, lalu berikan pada saya.”“Baik, Tuan.”“Jangan sampai seperti tahun kemarin, saya tidak ingin kegagalan terulang lagi.”“Maaf, maksudnya gimana, Tuan?”“Alvaro gagal bersekolah tahun lalu.” “Baik, Tuan, saya akan berusaha dengan sebaik mungkin untuk menjaga Den Alvaro.”“Ya, sudah, kau boleh pergi.”Aku mengangguk.“Maaf Tuan ...”“Ya, ada apa, Hana?”“Soal guci yang pecah itu apa nantinya akan dipotong dari gaji?”“Oh, kamu masih memikirkan hal itu?”“I-iya, Tuan. Saya merasa bersalah."“Tidak. Kau jangan khawatir, gajimu tetap utuh.”"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Tuan."Senyumku mengembang mendengar jawab
Part 11“Aku akan laporkan hal ini ke kakek. Beliau pasti shock, ada wanita yang dekat dengan anaknya tapi cuma seorang pembantu!”Setelah mengatakan hal itu, Mariana langsung pergi. Aku segera bangkit. “Tuan maafkan saya, gara-gara saya, Tuan jadi kena masalah.”Aku langsung mengejar Mariana. “Nyonya, tolong jangan laporkan hal ini pada Tuan Besar. Saya yang salah.”“Ya, memang kamu yang salah, harusnya kamu tahu diri!” tandas Mariana seraya tersenyum sinis.“Nyonya--"“Sudah, biarkan saja, Hana. Terserah kamu mau laporkan ini ke siapapun, aku tak peduli!” Tuan Putra datang menghampiri. Mata lentik Mariana makin melebar mendengar ucapan pamannya. Ia lantas pergi seraya menarik tangan Mas Bambang.“Tapi, Tuan—““Duduklah kembali dan habiskan makananmu.”Aku tertunduk dan hanya menunduk. Alvaro menatapku bingung. “Mommy kenapa?”“Gak apa-apa, Sayang,” jawabku seraya tersenyum.Tuan Putra kembali duduk di hadapanku. “Kenapa diam saja? Ayo dimakan, jangan cuma dilihatin terus.”“Tuan—“
Part 12Tanpa sengaja, Bambang melihat kedakatan mereka berdua di dapur. Putra dan Hana, semakin hari semakin akrab saja. Ditambah si Alvaro yang memanggil Hana mommy. Memang benar-benar aneh. Putra, paman istrinya sekaligus bosnya di kantor terlihat lebih santai ketika bersama mantan istrinya itu. Tak seperti perangainya di kantor yang kaku dan dingin, serta keras kepala.Dadanya bergemuruh, terasa panas dan cemburu. Meski Hana hanya mantan istrinya tapi perasaan cinta itu belum pudar. Ia terpaksa menceraikan Hana karena permintaan orang tua. Ia pun terpaksa menikahi Mariana atas perjodohan itu, pernikahan bisnis agar bisnis ayahnya makin berkembang.Beberapa bulan yang lalu ...“Pulanglah dulu, Bambang, Papamu sakit,” ucap Bu Samira di seberang telepon. Bambang melirik arloji yang melingkar di tangan, waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB. “Tapi aku masih bekerja, Ma,” jawab Bambang.“Jadi kau lebih memilih pekerjaan dari pada papamu? Kau sudah lama tidak berkunjung kesini sejak men
Part 13"Asalkan apa, Tuan?" Tok tok tok ... Tetiba terdengar suara ketukan pintu. Tak lama Mariana masuk ke dalam."Om Putra?! Masih belum selesai juga? Itu ada Tante Sasya nungguin di ruang tamu!" seru Mariana. Ia melirik ke arahku dengan tatapan sinis."Mau apa dia datang? Bilang saja aku sedang sibuk.""Itu tidak mungkin, Om. Kayak gak tahu tante aja.""Oh iya, Hana, kamu boleh pergi!" pungkas Tuan Putra lagi. "Baik, Tuan, saya permisi."Aku keluar dari ruang kerja Tuan Putra. Terdengar suara langkah kaki mendekat."Eh, eh tunggu Hana! Buatkan minuman untuk tamu spesial yang datang hari ini!" "Baik, Nyonya." "Dia adalah mamanya Alvaro. Di sini biar kamu sadar diri, kamu itu tidak selevel dengan Om Putra!" bisiknya penuh penekanan, lalu pergi begitu saja.Aku menghela napas. Segera menuju ke dapur, membuatkan minuman untuk tamu. Di ruang tamu kulihat wanita cantik yang tempo hari bertemu di mall. Ia sedang berbincang dan tertawa dengan Mariana."Silakan diminum tehnya, Nyonya.
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja