Part 1
"Udah siap, Dek?" tanya Mas Bambang seraya memperhatikan penampilanku.Aku mengangguk lalu tersenyum manis ke arahnya. Tumben sekali hari ini Mas Bambang mengajakku pergi berlibur bahkan menginap selama beberapa hari ke depan. Biasanya dia akan sibuk dengan pekerjaannya."Baju-bajumu udah siap?""Udah, Mas, itu di koper."Mas Bambang mengangguk lagi. Entah kenapa sedari tadi dia kehilangan senyum. Wajahnya tampak tegang, bahkan pikirannya tak fokus."Mas, emangnya kita mau liburan kemana sih? Kok bawa baju banyak banget?""Kejutan, Dek, nanti juga kamu tahu," ujarnya lagi.Tiap ditanya pasti jawabannya begitu saja, ya sudah, aku takkan bertanya lagi. Aku percaya pada suamiku yang paling tampan dan juga baik hati, dia pasti memilihkan tempat terbaik untuk kami liburan.Mobil mulai melaju meninggalkan rumah yang sudah tiga tahun aku huni bersama Mas Bambang. Rumah minimalis bergaya eropa, tampak mewah dan elegan. Rumah yang menjadi saksi bisu, kulewati malam-malam manis bersamanya.Tiga tahun bagiku terasa begitu singkat, apalagi sikap Mas Bambang yang lembut dan juga baik akhirnya mengalahkan keraguanku. Pernikahan kami tanpa restu orang tua Mas Bambang, hanya paman dan bibinya saja yang datang dan menjadi saksi pernikahan kami dari pihak keluarganya. Tapi tak apa, asalkan bersama suami, kami saling menguatkan satu sama lain.Selama tiga tahun ini juga, kami belum diberi amanah untuk mendapatkan keturunan. Padahal semuanya normal, baik aku juga Mas Bambang. Ya memang belum dikasih aja.Tanpa terasa aku tertidur di mobil, entah berapa lama. Aku terkesiap kaget mendapat usapan lembut di pipi."Kita udah sampai, Dek!" ujar Mas Bambang.Aku mengedarkan pandangan, seketika memicingkan mata melihat samping kiri jalan adalah rumah orang tuaku."Mas, jadi liburan kita ke rumah orang tuaku? Kok kamu gak ngomong dari awal?" tanyaku.Mas Bambang tak menanggapi ucapanku."Ayo turun, Dek!" ajaknya. Ia langsung keluar dari mobilnya lalu membuka bagasi dan mengambil koperku.Dengan hati dan pikiran yang bertanya-tanya, akupun turun dari mobil. Sekali lagi memandang wajah rupawan Mas Bambang dengan tatapan menyelidik."Mas, ada apa sih sebenarnya?""Nanti juga kamu tahu, Dek," sahutnya singkat."Eh, anak dan menantu ibu rupanya dateng!" sambut suara dari dalam rumah.Aku menoleh, melihat ibuku datang tergopoh-gopoh."Ibu?" Aku langsung memeluknya dan menciumi punggung tangannya dengan takdzim. Mas Bambang pun segera menyalami tangan ibu."Dari sana jam berapa, Nak?" tanya ibu."Jam delapan, Bu," sahut Mas Bambang.Perjalanan dari rumah ke rumah orang tuaku menghabiskan waktu dua jam perjalanan.Aku menatap bangunan rumah sangat sederhana di hadapanku. Dinding tembok sepotong dan ke atasnya terbuat dari anyaman bambu. Ya, memang semiskin itu hidup oranh tuaku di desa, bapakku hanyalah seorang petani kecil dan ibu hanya ibu rumah tangga, mengasuh adik-adik yang masih kecil."Ayo masuk, Nak. Ayo Nak Bambang!" ajak ibu lagi.Kami masuk ke dalam rumah dan duduj di kursi kayu di ruang tamu. Alhamdulillahnya sekarang, lantai sudah berganti ubin, bukan lantai tanah lagi."Bapak mana, Bu?" tanya Mas Bambang."Bapak ada di sawah, Nak. Nanti ya, ibu panggilkan dulu," ujar ibu. Raut wajahnya tampak begitu antusias melihat kedatangan kami.Ibu masuk ke dalam, aku mengikutinya."Neng, kamu kok gak bilang-bilang mau kesini? Jadi ibu gak ada persiapan apa-apa ini. Belum masak belum apa, ini suamimu mau dimasakin apa? Ibu sekalian mau belanja lagi ke warung, kali masih ada lauk pauk."Aku tersenyum mendengar ucapan ibu. "Tidak usah repot-repot, Bu. Seadanya aja. Kami kesini juga tanpa persiapan apapun."Ibu tersenyum lagi, tangannya sibuk membuatkan teh manis untuk kami. "Tapi ibu senang banget dengan kedatangan kalian, terakhir kan enam bulan yang lalu. Gimana Neng, udah isi?" tanya ibuAku tersenyum miris, bahkan orang tuaku pun merindukan seorang cucu. "Belum, Bu. Doain aja ya.""Iya, Neng, pasti. Ya sudah nih tehnya antar ke suami kamu, biar ibu ke sawah nyusulin bapak, lalu langsung mampir ke warung Yu Darmi.""Iya, Bu."Aku membawa dua gelas berisi teh manis itu ke depan."Mas, minum dulu tehnya.""Iya makasih, Dek.""Atau mau istirahat dulu di kamar, Mas? Sebentar aku beresin dulu."Diam, tak ada jawaban apapun dari Mas Bambang.Aku beranjak seraya membawa koper menuju deretan kamar paling belakang, kamar yang aku tempati selagi gadis. Pintunya tak dikunci, kondisinya pun masih sama seperti dulu. Rapi dan bersih sudah otomatis ibu membersihkannya tiap hari. Mungkin ibu juga melarang adik-adik main di kamarku.Aku tersenyum sejenak membayangkan masa-masa sebelum menikah dulu. Seru. Semua terlintas bagaikan potongan film."Assalamu'alaikum ..." Terdengar suara berat dari luar. Suara yang teramat kurindukan."Bapak!" Aku langsung berjalan keluar dan menghampirinya. Bapak yang paling kuhormati.Aku menyalami tangan bapak yang hitam dan keriput karena kebanyakan kerja di sawah. Panas terik mentari tak ia hiraukan demi anak-anaknya tak kelaparan.Tak lama, ibupun kembali pulang menjinjing kantung kresek berisi belanjaan.Bapak berlalu ke dalam untuk bebersih diri, begitu juga dengan ibu.Aku masih menemani Mas Bambang yang kini tampak sibuk dengan ponselnya."Mas, kita nginep berapa hari di sini?" tanyaku."Sesukamu.""Hah? Maksudnya? Emang kamu libur berapa hari?" Keningku mengernyit mendengar jawabannya. Sesukaku? Apa maksudnya coba?"Dua hari.""Jadi kita di sini cuma dua hari? Kenapa pake bawa baju-baju banyak banget?" tanyaku lagi.Ehem! Terdengar suara bapak berdehem, ia sudah kembali dan duduk di hadapan Mas Bambang."Gimana kabar kalian, Nak?" tanya bapak."Alhamdulillah baik, Pak.""Kerjaanmu lancar, Nak?""Alhamdulillah semua lancar, Pak."Mereka mengobrol ngalor ngidul sedangkan aku berlalu ke dapur membantu ibu agar cepat selesai.Sayur bening, tempe plus tahu goreng, ikan asin, sambal terasi dan lalapan menemani makan siang kami hari ini. Menu yang sangat sederhana jauh dari kata mewah."Ayo, ayo, kita makan dulu Nak Bambang."Ibu dan bapak benar-benar menyambut suamiku dengan hangat. Kami makan siang bersama kebetulan adik-adik juga sudah pulang dari sekolahnya.***"Maaf Pak, Bu, kedatangan saya kesinu karena ingin memulangkan Hana pada kalian," ujar Mas Bambang dengab nada bergetar."Tunggu, tunggu, apa maksudnya, Mas?" tanyaku bingung. Jantung mulai berpacu dengan cepat menerka apa yang terjadi. Ibu dan bapak pun ikut terkejut."Ada apa ini, Nak?""Pak, Bu, dulu saya menikahi Hana dengan baik-baik, jadi sekarang saya juga ingin memulangkan Hana secara baik-baik. Kami akan bercerai, Pak."Bagaikan disambar petir di siang bolong mendengar ucapan Mas Bambang."Selagi bapak dan ibu ada di sini, akan menjadi saksi ucapanku. Sebelumnya mohon maafkan saya ya, Pak, Bu, saya harus mengambil keputusan ini.""Bismillah, Hana Aisyah binti Rusman, mulai hari ini juga, detik ini, saya ceraikan kamu. Kamu bukan istriku lagi. Dengan ini saya lepas tanggung jawab terhadapmu, kupulangkan lagi kamu ke orang tuamu, Hana."Kata-kata yang terucap dari mulut lelaki tercintaku sudah layaknya sembilu yang menyayat hati. Sakit dan perih sekali. Tanpa terasa butiran bening menitik dari sudut mata, tak tertahankan lagi."Mas, apa salahku? Kenapa bisa? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja?" Aku bertanya dengan nada bergetar."Maafkan aku, Hana. Kamu tidak bersalah, tapi kita harus berpisah. Ini uang sepuluh juta untuk bekalmu. Aku pamit pulang ya, jaga dirimu baik-baik."Mas Bambang bangkit, lalu mengecup keningku dengan lembut. Lelaki itu pergi tanpa menoleh lagi.Sakit sekali rasanya. Sakiiiiit.Part 2"Mas, tunggu, Maaas,!!" teriakku. Aku mengejarnya sampai ke mobil. "Mas, aku salah apa, Mas? Kasih tahu aku, apa salahku?""Sudahlah Hana, jangan seperti ini. Aku akan mengantar barang-barangmu yang lain nanti."Seketika hatiku mencelos. Ah, kenapa rasanya perih sekali, diceraikan tanpa sebab?Mas Bambang hampir saja masuk ke dalam mobil."Tunggu, Nak!" Suara bapak menghentikannya pergi. Mas Bambang kembali turun dan menatap bapak, hendak menyalami tangannya, tapi tiba-tiba ...Buuugghhhtt ... sebuah pukulan melayang di perut Mas Bambang hingga ia terhuyung ke belakang. "Neng, ayo masuk!" sergah bapak."Tapi, Pak--""Neng, masuk! Si Bambang sudah gak mau lagi sama kamu, Neng. Jadi buat apa dikejar lagi. Masuk, Neng!" sergah bapak."Pergi kau!! Jangan pernah datang kesini lagi! Mentang-mentang kaya, bisa seenaknya sendiri!" seru bapak. Terdengar emosi dalam nada suaranya. "Maaf, Pak, saya permisi!" ujar Mas Bambang seraya meringis kesakitan. Ia masuk ke dalam mobilnya dan mel
Part 3“Permisi Bu, ini ada surat dari Jakarta untuk Bu Hana Aisyah,” ujar seorang kurir. Aku yang saat itu tengah menyapu lantai, segera menerimanya. Tanganku sedikit dingin dan gemetar saat membuka amplop putih itu ternyata isinya sebuah undangan. Aku mengejanya dengan seksama, undangan pernikahan “Bambang Wijaya dan Mariana.”Deg! Hatiku seperti diremas-remas kembali. Perasaan luka yang kemarin mulai mengering kini terkoyak lagi. Jadi ... ini alasannya Mas Bambang menceraikanku? Dia akan menikah lagi? Dan dia tega sekali mengirimkan undangan pernikahannya padaku padahal akta cerai belum kuterima.Jadi semudah itu Mas Bambang melupakanku? Sakit dan kecewa itu pasti. “Han, ini kesempatan bagus loh! Ada lowongan jadi ART di tempat orang kaya, gajinya 5 juta perbulan. Lima juta, Han, banyak banget kan?”“Masa sih ada gaji ART 5 juta?”“Udah deh gak usah kebanyakan mikir, Han. Kita langsung aja berangkat. Pasti diterima, Han, kita ini sama-sama rekomendasi dari Bu Haji Siti Sadiyah, b
Part 4'Mas Bambang?' Tampak keterkejutan dalam tatapannya. Hampir aja aku keceplosan ingin memanggil namanya dan membicarakan masalah kami. Dia yang pergi tiba-tiba, jadi inikah alasan yang sebenarnya?"Hei Mbak, tolong barang-barang kami dibawa masuk ya!" sergah seorang wanita di samping Mas Bambang. Apakah dia yang bernama Mariana? Seorang wanita muda yang tampak begitu cantik dan menawan. Dengan bibir merah merona dan rambut bergelombang berwarna pirang. Sungguh teramat cantik, bahkan aku yang seorang wanita pun turut mengagumi kecantikannya."Tunggu, tunggu, kamu pembantu baru di sini ya? Aku kok baru lihat kamu?""Eh i-iya, Nyonya, saya baru bekerja hari ini," sahutku, kali ini aku mengalihkan pandangan.Wanita itu manggut-manggut tapi pandangannya mengulitiku. "Lain kali jangan lihatin suamiku seperti itu. Aku tahu suamiku ini tampan. Tapi jangan lancang ya!" serunya lagi. Deg! Ah, rasanya sungguh tak karuan ..."Maaf, Nyonya." Aku menunduk dengan debar jantung yang tak me
Part 5“Dia pengasuh Alvaro, jadi aku yang lebih berhak menggunakan jasa tenaganya, bukan kamu. Ayo, kau ikut aku, Hana!”Aku terdiam untuk beberapa saat.“Kenapa masih diam? Ayo ikut saya, ada yang ingin saya bicarakan mengenai Alvaro!” tegasnya lagi. “Ba-baik, Tuan,” jawabku gugup. Duh rasanya tidak nyaman sekali apalagi saat kulirik dari ekor mataku, Mariana tampak menghentakkan kakinya kesal.Sampai di ruangan kerja Tuan Putra, aku masih berdiri menunggunya berbicara. Tapi lelaki itu justru asyik membaca buku.Sepuluh menit berlalu hingga lima belas menit berlalu, tak ada yang dia ucapkan, padahal kakiku mulai kesemutan.“Maaf Tuan, kalau saya lancang, ada tugas apa tuan memanggil saya? Den Alvaro sudah tidur dan--"Lelaki itu justru melayangkan tangannya, agar aku berhenti bicara. Aku menelan ludah, lalu menunduk. Sebenarnya orang yang seperti apa sih majikanku ini?Hingga waktu berlalu, detik berganti menit dan sampai lima belas menit tanpa suara.“Alvaro sepertinya cocok den
Part 6“Mommy!” teriak Alvaro. Dia langsung menghambur ke arahku. Entah kenapa bocah kecil imut ini memanggilku Mommy. Ia baru saja bangun tidur, tapi matanya sungguh indah. Rambutnya agak panjang untuk anak kecil seukuran dia, karena katanya dia susah untuk dibujuk.Aku tersenyum lantas menggendongnya. “Sayang, ayo kita mandi dulu. Air hangat sudah disiapkan loh,” sahutku sambil tersenyum. Aku senang sekali, di sini ada Alvaro, anak yang sangat lucu dan menggemaskan, jadi aku tak terlalu jenuh mengerjakan pekerjaan rumah yang melelahkan untuk ukuran rumah sebesar dan semewah ini. Ada pelipur lara hati saat melihat tingkahnya yang polos.Tapi, entah kenapa rasanya para keluarga mengucilkan anak ini, hanya ayahnya saja yang sangat protektif. Katanya sih, dia nakal banget hingga susah diatur. Barang apa saja yang dipegangnya akan dirusaknya, membuat para anggota keluarga gemas. Bocah kecil itupun sering kabur keluar rumah membuat para pengasuhnya kewalahan karena sikapnya yang sang
Part 7"Mama kenal?" tanya Mariana lagi. Ia melangkah mendekat, membuat Bu Samira tampak tergagap lantas tersenyum."Emhh ya, Mama kenal dia," jawab Bu Samira. "Dia pembantu di rumah Mama dulu," sambungnya lagi sambil tertawa kecil.Aku menoleh ke arahnya, hatiku seakan tercubit dengan perkataannya itu. Jadi dia hanya menganggapku sebagai pembantu.“Kamu harus hati-hati, Sayang. Dia pembantu tapi tidak jujur. Maka dari itu dulu mama memecatnya. Makanya mama sangat terkejut, saat dia ada di sini. Awas saja, barang-barang kalian, takutnya ada yang hilang. Terlebih kamu, kamu harus lebih hati-hati.”“Oh ya? Jadi dia pencuri?” Mata Mariana membulat lalu menatapku tajam. “Kau pencuri?” tanyanya lagi penuh selidik.“Tidak, Nyonya. Saya berani bersumpah, saya bukan pencuri. Bu Samira berbohong, saya itu is—““Sekalinya pencuri tetaplah pencuri, pasti dia tidak akan mau ngaku ‘kan? Kamu pasti lebih percaya Mama kan dari pada si pembantu ini?” sela Bu Samira. Ah, dia tega sekali memfitnahku de
Part 8“Hana, kuperingatkan kau, jangan cari muka di sini apalagi berusaha menggoda majikanmu sendiri atau—“"Atau apa, Mas? Lebih baik kamu tidak usah pedulikan aku lagi. Anggap saja kita tidak saling mengenal satu sama lain di sini. Apa kau tidak takut sikapmu ini ketahuan istri barumu?" Kukibaskan cekalan tangannya dengan kasar.Dia terhenyak dan menatapku beberapa jeda. Sorot matanya sangat berbeda, tak nampak kehangatan seperti dulu lagi. Dia bukanlah Bambang Wijaya yang pernah kukenal dulu.Aku tersenyum masam, lantas melirik ke arah kamar Tuan Putra. Rupanya pria itu tengah memperhatikan kami dengan tatapan bertanya-tanya.Gegas aku pergi dari sana, tak ingin terjadi salah paham apapun lagi. Terlalu sakit hati ini bila terus mendapatkan penghinaan oleh orang-orang kaya.Aku kembali melewati mereka semua. Tatapan Bu Samira padaku begitu tajam hingga membuatku bergidik.***Rutinitasku sehari-hari seperti biasanya, mengasuh Alvaro, dari mulai memandikan, menyuapinya makan, lalu
Part 9"Hah?""Kenapa bengong?""Eh, i-iya, Tuan. Saya akan buatkan kopi.""Kopi hitam ya, jangan terlalu manis.""Baik, Tuan."Aku segera beranjak keluar dari ruang kerja majikanku. Aneh sekali, katanya mau dihukum, ternyata cuma disuruh bikin kopi?Gegas aku menuju ke dapur, menyiapkan cangkir dan tatakannya. Dua sendok kopi, dan satu sendok gula pasir lalu kutuangkan air panas dari termos. Tidak terlalu manis sesuai permintaannya."Hana, kamu buat kopi buat siapa?" tanya Isna."Tuan Putra.""Tumben Tuan Putra minta dibikinin kopi."Aku hanya mengendikkan bahu. "Tapi kata Mbak Rasni, Tuan Putra gak boleh kebanyakan minum kopi, karena punya sakit lambung."Aku mengangguk. "Isna, kamu tahu gak kenapa semua anak-anak Tuan Mahesa pada kumpul di sini? Padahal sudah pada berkeluarga. Kenapa gak misah gitu?" tanyaku penasaran. Ya memang sih, rumah ini sangat besar jadi muat menampung mereka."Kenapa nanya gitu?""Ya cuma pengin tau aja, Isna. Biasanya kan orang udah berkeluarga pada misah
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja