"Ibu dengar dari orang-orang, kalian masih belum dapat kabar baik, ya. Padahal sudah lima tahun loh." Suara Bu Maria, ibu mertua Melia, terdengar ringan, tapi langsung menusuk tepat ke hati.
Melia menelan ludah, mencoba mempertahankan senyumnya. "Iya, Bu. Kami masih berusaha..."
Tiba-tiba Anin, adik ipar perempuan Melia, menimpali dengan nada geli, "Lho, di keluarga kita nggak ada yang susah punya anak, kok. Aku aja, begitu nikah, langsung hamil."
Melia meremas jemarinya di pangkuan. Napasnya terasa berat, tapi ia tetap berusaha tenang. Di ruang tamu keluarga Jordy yang seharusnya hangat, udara di sekeliling Melia terasa berbeda, penuh tekanan yang tidak diucapkan.
"Iya, mungkin Melia perlu periksa lebih lanjut," Bu Maria menambahkan sambil tertawa kecil. "Siapa tahu ada sesuatu yang perlu diperbaiki."
Melia menoleh sejenak ke arah suaminya, Radit, berharap dia akan membela dirinya. Namun, Radit tetap sibuk berbincang dengan Pak Darma, ayahnya, juga Jordy, pamannya, seolah tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di depan mereka.
Dengan suara tertahan, Melia tersenyum kecil. "Kami sudah periksa, Bu. Dan hasilnya... yang perlu lebih berusaha sebenarnya Mas Adit."
Hening. Suasana ruangan tiba-tiba berubah sunyi. Ekspresi kaget tampak di wajah Bu Maria, dan Anin hanya terdiam. Radit, yang sedang menyeruput teh, tiba-tiba terbatuk kecil.
"Ah, masa?" Bu Maria terkekeh, tapi wajahnya terlihat tidak nyaman. "Dokter bisa salah, lho. Adit itu sehat dari kecil sampai remaja, nggak pernah sakit parah."
"Iya, Bu, tapi yang diperiksa bukan soal itu," Melia menjelaskan lembut tapi tegas. "Dokter bilang, faktor kualitas benih juga mempengaruhi peluang kehamilan."
Radit menatap Melia dengan tatapan peringatan, seolah meminta istrinya untuk berhenti berbicara. Namun, kali ini Melia tak peduli. Sudah terlalu lama hanya dia yang menanggung beban dan tekanan. Kali ini, ia ingin suaminya juga merasakan tanggung jawab itu.
"Ah, dokter zaman sekarang terlalu banyak maunya. Mungkin Mas Adit cuma kurang makan yang sehat aja," Arin terkekeh, mencoba mengalihkan.
Melia tersenyum getir. Rasa sesak dalam dadanya semakin dalam. Di sisi lain, Radit tetap diam.
Di tengah ketegangan itu, pintu depan terbuka dan Bude Yati, kakak ipar Bu Maria, masuk tanpa mengetuk. "Lho, kok tegang gini? Lagi ngomongin apa?" tanyanya sambil duduk di sebelah Bu Maria.
"Ini lagi ngobrolin Melia sama Adit yang belum dikasih momongan," jawab Bu Maria sambil terkekeh ringan.
Bude Yati tersenyum lebar. "Kenapa nggak bilang ke Bude dari dulu? Ada Gus Bokis di kampung sebelah, lho. Banyak yang sudah berhasil. Begitu datang ke sana, langsung hamil dalam hitungan bulan."
Melia menatap Radit, berharap kali ini suaminya akan segera menolak usulan tersebut. Tapi seperti biasa, Radit tetap diam.
Melia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan tegas, "Maaf, Bude. Saya dan Mas Adit lebih percaya pada pengobatan medis. Kami sudah periksa ke dokter dan tahu apa yang perlu dilakukan."
Namun, Bude Yati tidak menyerah. "Jangan sombong, Neng. Usaha kan bisa dari berbagai cara. Tetangga Bude yang divonis mandul sama dokter aja akhirnya bisa punya anak setelah ke Gus Bokis."
"Iya, kenapa nggak dicoba, Mel? Jangan terlalu kaku," sahut Bu Maria setuju.
Melia menggigit bibir. Ini sudah kelewatan. Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, Radit akhirnya angkat bicara, meski dengan nada ragu. "Kami akan tetap jalani pengobatan sesuai rekomendasi dokter, Bude. Terima kasih sarannya."
Melia sedikit terkejut, namun merasa lega karena setidaknya Radit akhirnya bersuara. Tetapi Bude Yati hanya mendengus, "Ya sudah, kalau nggak mau nurut, semoga aja nggak nyesel."
Suasana menjadi canggung setelah itu. Tak lama kemudian, Radit mengajak Melia pulang.
Dalam perjalanan pulang dengan motor, Melia duduk diam. Tangannya tak melingkar di pinggang suaminya seperti biasa. Angin malam menerpa wajahnya, tapi tak cukup dingin untuk meredakan panas di dalam dadanya. Ia menatap lurus ke depan, seolah mencoba menahan lautan emosi yang siap meledak.
Radit bisa merasakan perubahan sikap istrinya. Tapi seperti biasa, ia memilih diam.
Sesampainya di rumah, Melia langsung turun tanpa sepatah kata. Langkahnya cepat masuk ke dalam, membiarkan pintu terbuka begitu saja. Radit menghela napas berat, lalu memarkir motor dengan perasaan tak menentu.
Di ruang tengah, Melia berdiri dengan tangan gemetar, melepaskan kerudungnya dengan kasar. Matanya merah bukan karena ingin menangis, tapi karena marah yang sudah mencapai puncaknya.
"Kenapa kamu diam aja tadi, Mas?" tanyanya. Suaranya pelan, tapi tajam seperti pisau yang menyayat.
Radit menutup pintu perlahan dan menguncinya. "Aku nggak mau ribut sama Ibu, Mel."
Melia tertawa pendek, getir. "Oh, jadi biar kamu tetap kelihatan anak baik, aku harus terus-terusan dijadikan sasaran? Kamu denger sendiri kan tadi mereka bilang apa? Seolah-olah aku ini... mandul!"
Radit mengusap wajah. "Aku cuma nggak pengin keributan di rumah orang tua sendiri, Mel."
Melia mendekat, matanya menyala. "Tapi kamu tega biarin aku dilecehkan begitu? Lima tahun, Mas. Lima tahun aku disindir, dibanding-bandingkan. Dan kamu selalu... DIAM!" Melia tak kuasa lagi menahan gejolak dalam dadanya,
"Aku capek, Mel," jawab Radit, nada suaranya mulai meninggi. "Kamu pikir aku nggak ngerasa bersalah? Aku juga malu!"
"Kalau kamu malu, kenapa kamu biarin aku terus yang dihina?" suara Melia mulai bergetar, tapi bukan karena tangis, karena kemarahan yang tak lagi bisa ditahan. "Aku ini istri kamu, Mas. Tapi aku merasa seperti orang asing di keluargamu sendiri!"
Radit menunduk. "Aku nggak tahu harus gimana..."
"Kamu tinggal ngomong! Satu kalimat, Mas. ‘Tolong jangan salahin Melia, ini bukan salah dia.’ Sesederhana itu! Tapi kamu nggak pernah punya nyali!" Suara Melia makin meninggi, dadanya naik-turun.
Radit terpaku. Suara Melia menggema di antara dinding yang dingin.
"Setiap kali kita pulang dari rumah orang tuamu, aku selalu ngerasa kecil. Terhina. Tapi kamu... kamu selalu bilang 'biarin aja', 'nggak usah dipikirin'. Apa kamu pikir hatiku ini batu? Aku ini manusia Mas, punya perasaan? Coba kalau kamu dihina dan direndahkan oleh keluargaku, terus aku diam saja, kamu mau gimana?" Melia benar-benar lepas kontrol.
Radit menggigit bibirnya. "Aku cuma... bingung harus hadapin mereka gimana."
Melia menatapnya dalam. "Kamu itu laki-laki, Mas. Kamu cuma takut jadi anak durhaka. Tapi kamu nggak pernah takut kehilangan aku sebagai istrimu, kan?"
Radit menegang. Tidak ada bantahan.
Melia menarik napas panjang, suaranya melemah, tapi lebih dalam. "Aku butuh suami, Mas. Seseorang yang berdiri di sampingku, bukan di belakang ibunya. Bagaiman kalu hinaan itu datang dari orang lain, apakah kamu juga akan membiarkanm istrimu direndahkan?"
Melia berbalik, melangkah ke kamar, meninggalkan Radit yang berdiri membeku, diliputi rasa bersalah dan kekosongan yang menggigit.
Ketika Radit mengetuk pintu kamar, Melia justru memberikan Ultimatum, “Kalau kamu belum siap menjadi suami, sebaiknya kita tidak perlu tidur bareng, Mas!”
“Melia….”
“Aku ingin sendirian dulu, Mas!” potong Melia tegas.
Radit hanya bisa pasrah.
^*^
Ruang pantry kantor siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang beradu pelan, diselingi suara kipas angin langit-langit yang berputar malas. Melia duduk di ujung meja, membuka kotak makannya perlahan. Nasi dan lauk kesukaannya ada di dalamnya, tapi entah mengapa tak satupun menggugah selera.Siska datang dengan senyum khasnya, membawa kotak makan dan sebotol air mineral. “Kosong?” tanyanya sambil duduk di seberang Melia.Melia mengangkat bahu. “Lagi nggak pengen makan.”Siska mengernyit, meletakkan kotaknya. “Tumben. Kamu biasanya yang paling lahap di jam makan siang.”Melia hanya tersenyum sekilas, datar.Siska memandangnya sejenak sebelum mulai membuka kotaknya sendiri. Ia menyuapkan sesendok nasi, lalu meletakkan sendoknya, menatap serius sahabatnya. “Mel, kamu kenapa sih? Dari pagi wajah kamu suram banget. Nggak biasanya kayak gini.”Melia menghela napas panjang, memandang ke luar jendela kecil di sudut ruangan. Matahari cerah, tapi hatinya justru
Pagi berikutnya, saat sarapan, Bu Maria masih tak bisa berhenti memikirkan kehamilan yang tak kunjung datang."Sudah berapa kali aku bilang, Yah? Melia sepertinya masalahnya besar," katanya pada suaminya.Pak Darma mencoba tetap tenang, berkata, "Bu, kita nggak bisa menyalahkan siapa pun. Radit dan Melia sudah berusaha."Bu Maria pun kembali mengusulkan untuk pergi ke Gus Bokis, saran dari Bude Yati. "Mungkin ada yang bisa membantu mereka.""Tidak, Bu," tegas Pak Darma. "Kita nggak boleh menggantungkan harapan pada hal-hal seperti itu. Serahkan semuanya pada Allah."Bu Maria mendesah kesal, tapi akhirnya berkata, "Baiklah. Tapi kalau dalam beberapa minggu nggak ada perubahan, ibu akan mencoba cara lain."Sarapan berakhir dalam keheningan, namun ketegangan masih terasa di antara mereka.Setelah Pak Darma berangkat ke kantor, Bu Maria masih duduk termenung di meja makan. Tatapannya kosong, tapi pikirannya penuh. Keinginan agar Radit dan Melia segera memiliki anak membuatnya resah.Meski
Di ruangan kantor yang relatif besar dan terang, Jordy duduk di balik meja kerjanya, menatap kosong pada buku laporan kinerja yang terbuka di depannya. Lembar-lembar itu seolah hanya hiasan, karena pikirannya melayang jauh dari tanggung jawab pekerjaannya. Wajah Melia istri keponakannya, justru memenuhi pikirannya dalam beberapa hari terakhir ini.Percakapan di rumah Bu Maris, kakaknya dengan keluarganya, juga obrolan empat mata dirinya dengan Melia saat di mobil, terus menghantuinya. Bukan karena kecantikan dan pesona Melia, tapi perasaan kasih dan tidak nyaman dengan keadaan Melia yang sepertinya selalu terpojok. Dia semakin yakin jika sebenarnya Radit-lah yang bermasalah.Jordy terus berusaha menepiskan pikiran kotornya. Bagaimana mungkin dirinya, yang selalu menjaga moral dan tanggung jawab, tiba-tiba terjerumus dalam pikiran-pikiran absurd untuk memberikan benih suburnya pada istri keponakannya."Kenapa aku bisa sampai memikirkan hal ini?" gumam Jordy sambil menggelengkan kepalan
Pagi itu, Bu Maria bangun dengan semangat yang jarang ia rasakan. Hatinya gembira, bahkan ada senyum yang tersungging di bibirnya. Suaminya akan pergi dinas luar selama tiga hari, memberikan kesempatan untuk melaksanakan rencana yang sudah lama ia simpan.Sambil menyiapkan sarapan, Bu Maria terus bersenandung, seakan kegembiraan ini tidak bisa ia sembunyikan. Namun, sesekali ada kekhawatiran yang muncul. “Bener gak ya, jalan ini? Apa gak dosa ya minta bantuan begituan?” batinnya ragu.Ia menghela napas panjang, melirik ke arah jam dinding yang berdetak pelan. Ia tahu, di balik senandungnya itu ada rasa was-was yang terus mengintai.“Tapi... ini demi kebaikan Radit dan Melia,” bisiknya, berusaha meyakinkan diri.Setelah Pak Darma pergi, Bude Yati menjemput Bu Maria dengan mobil Tony, menantunya. Tony sudah beberapa kali mengantar Bude Yati, mertuanya ke tempat Gus Bokis.Setelah berada dalam mobil, Bu Maria masih merasa tegang.“Tenang, Mar. Kita cuma mau cari solusi buat Radit dan Mel
Bersamaan dengan Bu Maria dan Kelvin melaju di jalan pedesaan, Melia memutuskan untuk singgah di sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan. Tempat ini selalu memberi ketenangan, seolah-olah waktu berjalan lebih lambat di sini.Dengan secangkir teh hangat di tangannya, Melia duduk di salah satu bangku kayu yang menghadap ke jalan. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berat, terutama soal kehamilannya yang terus dipertanyakan oleh ibu-ibu di sekitar rumah.Apa aku mending tinggal di rumah ibu aja? Biarin aja Mas Radit mau ikut sukur, gak juga gak apa-apa, pikirnya.Melia menggulir layar ponselnya, mencoba mencari hiburan sejenak di media sosial, Melia mendesah panjang. Sepertinya, tak ada jalan mudah untuk lari dari kenyataan. Pandangannya masih tertuju pada layar ketika tiba-tiba, suara yang sangat familiar memecah keheningan siang itu."Melia ya?"Melia mengangkat kepala. Di hadapannya, berdiri seorang pria dengan jaket ojek online dan helm di tangan. Sosok yang begitu dikenal, tap
Melia duduk kembali di meja kerjanya. Tangannya sibuk mengetik laporan, namun pikirannya masih tertinggal di warung kopi tadi. Wajah Gilang, suaranya, bahkan caranya menatap. Semua membekas di kepalanya.Ia mengusap perutnya yang masih datar. Bayi yang belum kunjung hadir, pertanyaan dari ibu-ibu kompleks, tatapan sinis mertua, dan suaminya yang seolah tak peduli dengan segala deritanya. Semua itu membuatnya semakin goyah. Dan kini, hadirnya Gilang seperti pintu kecil yang terbuka. Bukan untuk cinta, tapi untuk pelarian.Melia memejamkan mata sejenak. Bukan, dia tidak ingin kembali ke masa lalu. Tapi ia rindu akan ketulusan. Rindu seseorang yang melihatnya sebagai perempuan yang cukup, bukan hanya istri yang dituntut melahirkan keturunan oleh keluarga suaminya, tanpa mau tahu apa permasalahan yang sebenarnya."Mas Gilang..." lirihnya pelan, nyaris tak terdengar.Ia tahu pertemuan tadi tidak akan berhenti di situ. Bukan karena dia menginginkannya, tapi karena hatinya diam-diam berharap
Di saat bersamaan pula, setelah kurang lebih dua jam perjalana, Bu Maria dan Kelvin tiba di rumah Gus Bokis.Kelvin terkagum-kagum, "Ini rumah siapa, Bu? Besar banget.""Ini tempat yang bisa membantu Mas Radit dan Mbak Melia, Vin." jawab Bu Maria, lalu masuk sendirian.Di dalam, Gus Bokis yang berpakaian laksana ulama besar dan duduk di singgasana itu, menyambutnya dengan senyuman khasnya.“Sudah dibawa persyaratannya?”“Sudah Gus.”“Yu ikuti saya, ritualnya kita di kamar khsusus,” ajak Gus Bokis.Bu Maria mengikuti Gus Bokis melewati lorong rumah yang cukup panjang. Dinding-dinding lorong dihiasi lukisan kaligrafi dan aroma minyak zaitun samar tercium sejak langkah pertama memasuki ambang kamar yang disebutnya kamar khusus.Kelvin tidak diizinkan masuk. Ia menunggu di ruang tamu atau di luar dengan gelisah, sesekali memerhatikan jam dan mendengarkan samar suara burung jalak di sangkar besar dekat jendela.Sementara itu, di dalam kamar khusus, suasananya temaram. Hanya cahaya lampu mi
Entah berapa lama Bu Maria tenggelam dalam keadaan trans yang tak terkendali. Tubuhnya bergerak tanpa arah, dibimbing oleh naluri yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Sesekali tangan Gus Bokis memaju mundurkna kepalanya.Lalu tiba-tiba, sesuatu meledak dalam mulutnya juga dari dalam dirinya. Hangat, tajam, kental dan menggetarkan. Bagian bawahnya basah dan mulutnya pun penuh dengan cairan. Saat itu juga dia meraskan seolah seluruh isi jiwanya terlepas dan melayang, cairan itu pun tanpa tersisa masuk dalam kerongkongannya.Jiwanya semakin naik, tinggi, menuju langit ketujuh.Sesaat dunia terasa diam. Tak ada waktu, tak ada suara. Hanya euforia yang membungkusnya rapat, membuatnya lupa siapa dirinya, di mana ia berada, dan mengapa ini bisa terjadi. Bu Maria melepasakan benda dalam mulutnya, lidahnya menjilati sisa-sisa cairan di sudut-susdut bibirnya, seakan tak mau terlewatkan rasa nikmat itu walau setetes.“Kamu berhasil melakukannya, Bu,” ucap Gus Bokis, tanpa membuka matanya, wajahn
Sore menjelang dengan langit yang dilapisi jingga lembut. Di teras rumah yang diteduhi pohon mangga tua, dua perempuan duduk menghadap taman kecil yang mulai merekah setelah disiram hujan semalam.Bu Maria mengenakan daster biru dengan motif bunga-bunga halus. Wajahnya tampak lebih segar dari bisanya. Senyumnya lebih ringan, dan tatapan matanya punya sorot yang sulit dijelaskan, seolah ada percikan kehidupan yang sudah makin menyala dalam dirinya.Bude Yati memperhatikan adik iparnya diam-diam, lalu menaruh cangkir tehnya sambil menghela napas kecil.“Kamu sekarang lain, Mar,” katanya pelan, “Langkahmu terlihat lebih enteng, suaramu juga nggak berat kayak biasanya.”Bu Maria tertawa kecil. Lirih, tapi hangat. “Bude bisa aja. Mungkin karena aku sudah mulai belajar menerima hidup seperti yang disarankan Gus Bokis.”“Dari Gus Bokis?” Bude Yati menaikkan alisnya sambil menyeringai nakal. “Atau... dari Kelvin?”Nama Kelvin disebut dengan nada menggoda, membuat Bu Maria mengangkat alis, lal
Kelvin sedikit membungkukkan tubuh, mensejajarkan selangkangannya dengan pantat mertuanya. Tangan kanannya memegangi batang rudal yang keras, sementara tangan kirinya menahan pantat Bu Maria dan menariknya.Setelah meyakini seluruh batangnya tembus pada lobang vagina, Kelvin segera mencengkram dua bongkahan pantat itu, lalu mendorong serta memajukan selangkangannya hingga rudalnya yang hitam dan mengkilat terlihat nyata keluar masuk lobang yang dirimbuni rambut-rambut halus menggelikan.Kelvin megap megap. Doggy style di depan cermin yang besar baru kali ini dia rasakan. Wajahnya berkali kali menunduk melihat keluar masuk batang kejantannya dalam vagina mertuanya. Sekali dia juga beradu pandang di balik cermin dengan wanita yang wajahnya mulai basah dengan bulir-bulir keringat.Kelvin menjilati jemari kirinya, lalu menekan dan mengusap-usapkan pada bibir anus Bu Maria. “Oooooh…” Bu Maria melenguh, angan dan fantasinya melayang di awang-awang b
Bu Maria menghentikan langkahnya, lalu tersenyum kecil."Ibu tahu, Vin," jawabnya lembut. "Itu yang membuatmu semakin menarik."Kelvin makin tercekat. Kata-kata Bu Maria seperti pisau tajam yang menusuk hatinya. Dia merasa terjebak dalam jebakan yang tak terlihat. Sebuah ruangan yang seolah menutup semua pintu keluar. Wangi aromaterapi semakin menusuk, melingkupi pikirannya yang sedikit kalut.Bu Maria mendekat hingga jarak mereka tak lebih dari satu lengan. Dia mengulurkan tangan, jemarinya nyaris menyentuh bahu menantunya. Tapi, tepat sebelum jemari itu benar-benar menyentuh, Kelvin berusha mundur selangkah."Tolong, Bu," katanya, dengan suara yang sedikit gemetar. "Saya nggak bisa."Seketika senyum Bu Maria berubah menjadi tawa kecil. "Oh, sayang... kamu jangan terlalu tegang, ibu hanya ingin bersenang-senang."Ucapan itu membuat dada Kelvin semakin sesak dan segalanya terasa lebih ringan."Ibu... cantik," kata Kelvin akhirnya, nya
Usai arisan, rumah Bu Maria kembali tenang. Riuh ibu-ibu kompleks yang tadi memenuhi ruang tamu kini tinggal kenangan samar, tak ada yang tersisa, bahkan semua piring dan gelas pun sudah kembali rapi.Malam pun tiba.Di lantai bawah, suasana jauh lebih senyap. Arin, bersama Kenzi, bayinya dan Kelvin, suaminya, telah terlelap di kamar karena kelelahan. Awalnya Arin mau pulang namun Kelvin memintanya untuk menginap karena merasa kelelahan.Bu Maria duduk seorang diri di kamarnya. Kursi rotan tempatnya berayun pelan, seirama dengan waktu yang terasa malas. Tatapannya kosong menembus langit malam yang menghitam lewat jendela terbuka.Angin dari taman depan masuk perlahan, tapi tak cukup mengusir sepi yang menyelinap ke dada. Hening ini bukan ketenangan, tapi kehampaan yang menariknya tenggelam dalam pikiran sendiri.Sejak Kelvin datang tadi, ada sesuatu yang mengusik batinnya. Ia tak ingin mengaku, bahkan pada diri sendiri. Tapi semakin lama, perasaan
"Bu Maria... aku tuh sampai sekarang masih suka mikir," ujar Bu Hilma sambil mengaduk tehnya perlahan. "Gimana bisa Melia… yang udah lima tahun nikah sama Radit… malah keduluan sama Arin? Padahal Arin itu baru juga lulus kuliah kemarin sore."Bu Maria tersenyum kaku. Ia sudah menduga arah pembicaraan ini. Bu Hilma memang selalu punya cara untuk menyelipkan topik-topik “berbobot” dalam balutan nada prihatin."Iya, saya juga bingung, Bu," jawab Bu Maria pelan, matanya memandangi taman dari balik jendela."Kadang tuh saya ngerasa… Melia itu keras kepala. Dibilangin susah. Hidupnya juga maunya serba sederhana. Katanya sih, biar nggak ngerepotin. Tapi kadang saya mikir, apa iya semua itu bener-bener karena prinsip? Atau jangan-jangan... memang dia nggak terlalu serius."Bu Hilma mengangguk, matanya tajam. "Padahal ya, kalau saya boleh kasih saran… ada loh, metode totok rahim atau akupuntur khusus. Di tempat saya itu, ban
Di depan laptopnya Radit masih tertegun merenungi nasib diri dan rumah tangganya. Hatinya merasa sangat kesal dengan Pak Yanto juga Reza yang seolah menilai Melia sebagai obyek pelampiasan. Radit merasa sudah saatnya melawan dan terbuka pada siapapun, termasuk ibunya. Namun tidak hari ini, karena di rumah orang tuanya sedang ramai oleh ibu-ibu arisan.Pagi ini rumah Pak Darma memang sedang sangat berbeda. Lebih hidup dari biasanya.Deretan mobil dan motor memenuhi halaman dan sisi jalan kecil kompleks perumahan. Suara-suara tawa dan obrolan ibu-ibu berbaur dengan denting sendok di gelas teh manis yang baru saja disuguhkan oleh para ibu-ibu anggota arisan lainnya.Ruangan tamu dipenuhi aroma parfum mahal dan kue-kue kering yang disusun rapi di atas piring saji. Beberapa ibu duduk membentuk lingkaran, dengan wajah cerah dan mata yang menyapu ke sana kemari, mencari topik hangat untuk dibahas."Bunda, makin cantik aja nih, setiap hari juga cantik sih, tapi kok sekarang beda banget""Iya
Ketika Nola baru memluai babak awal bersama Pak Yanto, Reza sudah duduk di kantin kantor. Suasana masih sepi, hanya ada suara sendok beradu pelan di dalam gelas. Radit datang terlambat lima menit, wajahnya lesu.Reza menyambutnya dengan senyum lebar. “Akhirnya datang juga. Duduk, Dit. Gue udah pesenin kopi favorit lu.”Radit duduk tanpa banyak bicara. Hanya anggukan kecil. Reza mencondongkan tubuh ke depan, matanya menyala penuh percaya diri.“Gue ada kabar gembira. Nola positif hamil, dua bulan.”Radit menoleh cepat. “Serius lu?”Reza mengangguk, ekspresinya seperti orang baru memenangkan lotre.“Alhamdulillah banget. Dan lu tahu? Itu terjadi setelah Nola rutin dipijat sama Pak Yanto.”Radit mengerutkan kening, wajahnya sedikit kaku, “Serius lu? Emang Nola suka dipijat sama Pak Yanto?”Reza tertawa kecil. “Iya. Waktu lu curhat soal susah punya anak. Gue sebenarn
Pak Yanto tersenyum puas melihat Nola orgasme dengan dahsyatnya. Ia membersihkan cairan yang menyemprot ke wajahnya dengan telapak tangan tuanya. Ia sedikit menjilat cairan yang terasa gurih itu. Pak Yanto lalu naik menindih tubuh lemas Nola. Mulut dan lidahnya kembali menjilati leher, telinga dan payudarra Nola.“Kalau udah ada janinnya, cairan kamu makin enak, Sayang,” bisik Pak Yanto.“Sedotan bapak juga makin kuat dan ajib,” balas Nola manja.Tak butuh waktu lama bagi Nola untuk pulih dari lemasnya. Ia membalas cumbuan Pak Yanto pada mulutnya. Tubuh Nola yang sudah berisi janian muda, benar-benar siap menerima sodokan batang jumbo dan kekar itu. Pak Yanto lalu merentangkan kedua kaki Nola yang kini tergeletak di atas lantai dapur beralaskan karpet kecil.Tangan Pak Yanto membimbing rudalnya memasuki vagina Nola yang makin deg-degan saat kepala rudalnya yang besar mencoba memasuki lubang sempitnya. Pak Yanto mencoba menguak vagi
Pagi itu, matahari baru saja naik pelan dari balik perbukitan. Udara sejuk masih menggantung di halaman rumah Reza yang rapi. Burung-burung berkicau riang, dan aroma kopi dari dapur perlahan memenuhi ruang keluarga.Reza muncul dari dalam rumah dengan kemeja biru tua yang disetrika rapi. Sepatunya mengkilap, rambutnya tersisir rapi. Nola menyusul dari belakang dengan senyum manis, mengenakan daster lembut berwarna pastel, rambut dikuncir santai, tapi riasan tipis di wajahnya yang terlihat segar.“Sayang, jangan lupa makan siang, ya. Nanti malam aku masakin ayam kecap kesukaanmu,” ucap Nola sambil membetulkan kerah baju suaminya.Reza tersenyum, mencium kening istrinya lembut. “Istri siapa sih ini? Udah cantik, perhatian, setia pula. Beruntung banget aku.”Nola tersipu, tangannya mencubit lengan Reza pelan. “Ih, Mas ini bisa aja. Hati-hati di jalan, ya…”Reza menuju mobilnya, sementara Nola berdiri di teras