Setelah menikah dengan Reno, seorang pria sederhana namun penuh cinta, Alena menjalani kehidupan pernikahan yang damai. Namun, krisis ekonomi menghantam keluarga kecil mereka, membuat Reno kehilangan pekerjaannya. Dalam keputusasaan untuk membantu suaminya dan membayar utang-utang mereka, Alena menerima tawaran bekerja sebagai asisten pribadi Adrian, seorang CEO muda, ambisius, dan penuh karisma. Di balik kesuksesan dan kekayaannya, Adrian memiliki sisi gelap: sifatnya yang dingin, egois, dan obsesif. Dalam perjalanan waktu, Alena tak hanya menjadi asistennya, tetapi juga terjebak dalam hubungan terlarang sebagai istri simpanannya. Kehidupannya yang awalnya penuh cinta berubah menjadi labirin rasa bersalah, gairah terlarang, dan rahasia kelam. Di sisi lain, Reno yang mencurigai perubahan sikap Alena mulai mencari tahu kebenaran. Dalam perjalanan mengungkap rahasia, Reno harus menghadapi dilema: mempertahankan cinta sejatinya atau membiarkan Alena memilih jalannya sendiri. Sementara itu, Adrian, yang perlahan mulai menunjukkan sisi manusiawinya, dihadapkan pada konflik antara ambisi, keinginan, dan cinta yang sebenarnya. Alena berada di persimpangan besar dalam hidupnya—memilih untuk kembali ke cinta yang sederhana bersama Reno atau terus terjebak dalam pesona dunia Adrian yang penuh gairah dan ketidakpastian.
Lihat lebih banyakSetelah pengakuan yang begitu emosional dari Adrian, Alena merasa hatinya dipenuhi dengan rasa simpati yang mendalam. Setiap kata yang diucapkan Adrian tentang masa kecilnya membuatnya semakin memahami kompleksitas pria itu. Di sisi lain, perasaan itu mulai membingungkan Alena. Ia merasa seperti sedang terjebak dalam hubungan yang tidak hanya profesional, tetapi juga emosional."Aku hanya ingin dia baik-baik saja," pikir Alena, merasa cemas setiap kali memikirkan luka yang ada dalam diri Adrian. Hal ini mulai mempengaruhi cara ia melihat hubungan mereka—sebuah simpati yang perlahan berkembang menjadi keterikatan yang lebih dalam.Keesokan paginya, Alena terbangun dengan pikiran yang masih berputar pada percakapan mereka semalam. Sinar matahari pagi menembus tirai tipis kamarnya, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di lantai kayu. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi hamparan sawah yang terlihat dari jendela kamarnya."Apa yang sedang kau lakukan, Alena?" bisiknya pada diri s
Adrian menarik napas panjang, dan dengan suara pelan ia berkata, "Aku tahu, mungkin aku terlihat dingin dan tak peduli. Tapi itu hanya caraku untuk bertahan. Aku takut jika aku memberikan hatiku sepenuhnya, aku akan terluka lagi."Alena tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara. "Adrian, aku tidak ingin memaksamu untuk membuka dirimu lebih dari yang kau siap. Tetapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku di sini, dan aku tidak akan pergi begitu saja."Ada keheningan sesaat sebelum Adrian menatapnya, mata mereka bertemu dengan penuh pengertian yang belum pernah ada sebelumnya.Keheningan itu terasa berat namun hangat, seperti selimut tebal di malam musim dingin. Kedua alam pikiran mereka saling menjelajahi tanpa kata-kata, mencoba memahami dan dimengerti. Cicada bernyanyi di kejauhan, memberikan melodi lembut yang mengiringi momen intim tersebut."Aku sudah lama tidak mendengar kata-kata seperti itu," ucap Adrian akhirnya, matanya masih terpaku pada Alena. Ada kilatan rasa takjub di sana,
"Aku merasa terjebak dalam pola itu. Cinta seolah menjadi sebuah jebakan bagi aku," lanjut Adrian. "Aku takut membuka hatiku, takut memberikan kepercayaan sepenuhnya. Aku tak ingin merasakan sakit yang sama lagi. Itu sebabnya aku memilih untuk menjaga jarak. Aku membangun dinding tebal di sekeliling hatiku, tidak memberi ruang untuk orang lain, bahkan untuk orang yang aku sayangi."Alena menatapnya dengan penuh empati. Ia bisa merasakan luka yang dalam di hati Adrian, dan meskipun ia belum sepenuhnya bisa mengerti, ia merasa semakin dekat dengan pria ini.Malam itu, di teras rumah kayu yang menghadap danau, kesunyian menyelimuti mereka. Langit berbintang menjadi saksi bisu pengakuan Adrian yang baru saja terucap. Alena masih diam, membiarkan kata-kata Adrian meresap dalam benaknya."Berapa lama kau hidup seperti ini?" tanya Alena lembut, suaranya nyaris berbisik.Adrian menghela napas panjang. Tatapannya menerawang jauh ke permukaan danau yang berkilauan ditimpa cahaya bulan. "Terlalu
Adrian menundukkan kepalanya, seolah-olah sedang memeriksa kembali kenangan yang telah lama terkubur. "Aku masih ingat bagaimana rasanya ketika ayahku menghukumku karena hal-hal yang tak pernah aku pahami. Aku selalu berusaha memenuhi ekspektasinya, tetapi tak pernah cukup. Di sisi lain, ibuku selalu menghindar dan akhirnya pergi. Saat mereka berpisah, aku merasa seolah-olah aku telah ditinggalkan dua kali lipat. Itulah yang membuatku percaya bahwa orang yang kucintai, pada akhirnya, akan pergi." Alena menggenggam tangannya erat-erat, berusaha memberikan kenyamanan meskipun kata-kata itu hampir tak tertahankan untuk didengar.Hujan di luar masih turun dengan deras, menciptakan simfoni lembut yang mengisi keheningan di antara mereka. Cahaya lilin yang bergoyang di meja mereka membuat bayangan Adrian menari di dinding, seolah-olah masa lalunya sedang mengelilinginya."Seperti apa dia?" tanya Alena lembut, memecah keheningan. "Ayahmu."Adrian menarik napas dalam-da
"Aku rasa aku belum menceritakan semuanya," kata Adrian sambil menatap kosong ke luar jendela restoran. "Cinta... itu adalah konsep yang sulit bagi aku. Aku selalu merasa tidak pantas untuk dicintai. Bukan hanya karena ayahku yang kasar atau ibu yang meninggalkanku. Tapi karena setiap orang yang kupercayai, selalu meninggalkanku."Alena merasa ada kedalaman dalam suara Adrian, yang jarang ia dengar sebelumnya. Ia tidak bisa tidak merasa terenyuh oleh keterbukaan Adrian, yang selama ini tampak begitu tegar dan penuh kontrol.Hujan mulai turun di luar, membuat jendela kaca besar itu dipenuhi aliran air yang semakin deras. Suasana restoran yang remang-remang, dengan cahaya lilin yang bergoyang pelan di meja mereka, menciptakan atmosfer intim yang tidak pernah mereka alami sebelumnya."Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya Alena lembut, jemarinya perlahan menyentuh tangan Adrian yang terkepal di atas meja.Adrian menarik napas dalam-dalam. Ada jeda panjang
Alena menunggu dengan sabar."Proyek baru yang kita tangani sekarang—proyek revitalisasi kawasan Kota Tua—ini adalah proyek yang sangat penting bagiku. Bukan hanya karena nilai kontraknya yang besar..." ia ragu sejenak sebelum melanjutkan, "...tapi karena ini adalah impian Elena yang tidak pernah terwujud.""Apa maksudmu?" tanya Alena, terkejut dengan pengungkapan ini."Elena selalu memiliki visi untuk menghidupkan kembali bagian kota yang terlupakan, membawa kembali kehidupan dan keindahan ke tempat-tempat yang telah kehilangan jiwanya." Adrian tersenyum kecil, terlihat tenggelam dalam kenangannya. "Kota Tua adalah salah satu tempat favoritnya di Jakarta. Dia selalu berkata bahwa di balik bangunan-bangunan tua yang melapuk itu, tersimpan jiwa dan cerita yang begitu kaya.""Itu sebabnya kau begitu terobsesi dengan detail-detail proyek ini," gumam Alena, kini memahami mengapa Adrian menghabiskan begitu banyak waktu untuk proyek tersebut.
Setelah pertemuan yang penuh pengungkapan di ruang kantor, suasana antara Alena dan Adrian terasa lebih terbuka. Namun, ketegangan yang tersisa masih menghinggapi mereka, terutama bagi Adrian. Ia merasa seolah-olah ada sebuah beban berat yang belum sepenuhnya terungkap. Beberapa hari setelah percakapan itu, Adrian kembali mendekati Alena, kali ini dengan niat untuk mengungkapkan lebih dalam lagi tentang dirinya. Mereka berada di sebuah restoran yang sepi, tempat di mana Adrian merasa sedikit lebih tenang. Alena, meskipun masih terkejut dengan semua yang telah didengar, mendengarkan dengan seksama.Restoran kecil bergaya Jawa klasik itu terletak di lantai dua sebuah bangunan tua di kawasan Menteng. Jauh dari keramaian pusat bisnis tempat mereka biasa bekerja, tempat ini menawarkan privasi yang nyaris sempurna dengan sekat-sekat kayu berukir yang membentuk ruang-ruang kecil intim. Suara gamelan lembut mengalun di latar belakang, menciptakan atmosfer yang tenang dan menenangkan.
Adrian," kata Alena lembut, mengembalikan foto itu padanya, "aku yakin Elena akan bangga dengan apa yang telah kau bangun. Tapi aku juga yakin dia tidak akan ingin kau hidup dalam bayang-bayangnya selamanya."Adrian menatap foto itu lama, jarinya menelusuri wajah Elena dengan lembut. "Itu adalah hal tersulit—melanjutkan hidup tanpanya. Kadang, aku merasa bersalah ketika aku mulai merasa bahagia, seolah-olah aku mengkhianatinya.""Tapi bukankah kebahagiaan adalah hal yang paling dia inginkan untukmu?" tanya Alena.Adrian terdiam sejenak, sebelum meletakkan kembali foto itu di mejanya—kali ini menghadap ke luar, tidak lagi tersembunyi. "Ya, itu yang selalu dia katakan. 'Hidup terlalu singkat untuk tidak bahagia, Adrian.' Itu adalah salah satu hal terakhir yang dia katakan padaku sebelum kecelakaan itu."Alena merasakan getaran emosi dalam suara Adrian. "Dan bagaimana kau menjawabnya?""Aku bilang padanya bahwa aku terlalu sibuk untuk memi
Adrian menatap Alena dengan mata yang penuh kejujuran. "Aku tahu aku tidak mudah untuk didekati. Aku tahu aku membuatmu bingung, mungkin bahkan terluka. Tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa ada alasan mengapa aku begitu. Aku tidak bisa mencintai atau mempercayai dengan mudah, karena setiap orang yang kupercayai selalu pergi. Tapi... kamu berbeda, Alena." Mendengar kata-kata itu, Alena merasa ada perasaan yang tumbuh dalam dirinya. Adrian akhirnya membuka dirinya, dan meskipun sulit untuk diterima, Alena merasa semakin dekat dengan pria itu.Suasana kantor malam itu terasa intim dengan cahaya lampu meja yang lembut dan suara samar kota Jakarta yang berdenyut di luar jendela. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam lebih, namun tidak satu pun dari mereka tampak peduli dengan waktu. Ada sesuatu yang lebih penting yang tengah berlangsung—sebuah tembok yang perlahan runtuh, sebuah jembatan yang mulai terbangun."Apa maksudmu aku berbeda?" tanya Alena perl
Di pagi yang cerah, sinar matahari menyelinap melalui tirai tipis di dapur kecil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, berpadu dengan suara gesekan spatula Alena yang sibuk memasak telur dadar untuk sarapan mereka. Reno, dengan rambut acak-acakan, duduk di meja makan sambil membaca koran usang yang ia dapatkan dari tetangga.“Makanannya hampir siap, ya,” kata Alena sambil menoleh ke arah Reno. Wajahnya yang berseri-seri adalah hal pertama yang membuat Reno merasa harinya akan baik-baik saja.“Kalau kamu yang masak, apa pun bakal terasa enak,” balas Reno sambil menyeringai, mencoba mencairkan suasana.Mereka duduk bersama di meja makan kecil itu, menikmati sarapan sambil berbicara tentang rencana sehari-hari. Reno berbagi tentang tugasnya di kantor, yang mulai terasa berat akibat tekanan dari atasannya. Alena mendengarkan dengan penuh perhatian, menggenggam tangan Reno untuk menenangkan kegelisahannya.Namun, ada sesuatu yang tak diucapkan Reno. Perusahaan tempat ia be...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen