Pagi itu, Reno pulang lebih awal dari biasanya. Alena yang sedang membersihkan ruang tamu merasa heran ketika mendengar pintu depan terbuka sebelum waktunya. Ia menoleh ke arah Reno yang berdiri di ambang pintu dengan wajah kusut dan langkah gontai.
“Ren, kenapa kamu pulang secepat ini? Apa kamu sakit?” tanya Alena, berjalan mendekat dengan nada cemas.
Reno tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang dan duduk di sofa, mengusap wajahnya dengan tangan. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya berkata dengan suara rendah, “Pabrik tempatku kerja tutup, Lena. Mereka mengumumkannya pagi ini. Semua pekerja dirumahkan.”
Berita itu membuat Alena terdiam. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Reno. “Tutup? Maksudnya... kita tidak punya pemasukan lagi?” tanyanya pelan, meski ia sudah tahu jawabannya.
Reno mengangguk pelan, menundukkan kepala. “Aku sudah berusaha bertanya apakah ada kemungkinan kami dipindahkan ke cabang lain atau diberi kompensasi. Tapi jawabannya tidak. Mereka hanya memberi pesangon kecil, dan itu pun tidak cukup untuk bertahan lebih dari satu bulan.”
Alena merasakan gelombang kekhawatiran melanda hatinya, tetapi ia berusaha tetap tenang. Ia duduk di samping Reno, menggenggam tangannya. “Kita akan mencari jalan keluar, Ren. Kita selalu bisa melewati semuanya bersama.”
Namun, Reno hanya menggeleng pelan. “Aku merasa gagal, Lena. Aku bahkan tidak bisa menjaga kestabilan rumah tangga kita. Bagaimana aku bisa menjadi suami yang baik kalau aku tidak bisa menyediakan kebutuhan dasar untuk keluarga kita?”
Meski hatinya sendiri diliputi rasa takut, Alena memutuskan untuk tidak membiarkan keputusasaan menguasai mereka. Ia segera mengambil langkah-langkah kecil untuk mencari solusi. Ia mulai menghubungi kenalan yang mungkin bisa membantu Reno mendapatkan pekerjaan baru, sementara ia sendiri mencoba meningkatkan produksi kerajinan tangan untuk dijual lebih banyak.
Alena juga mulai mencari pasar online untuk memasarkan produknya, sesuatu yang belum pernah ia coba sebelumnya. “Kalau kita bisa menjangkau lebih banyak orang, mungkin aku bisa menjual lebih banyak juga,” pikirnya. Dengan sisa tabungan yang mereka miliki, ia membeli bahan-bahan baru untuk membuat koleksi kerajinan tangan yang lebih beragam.
Di sisi lain, Reno mulai mengirimkan lamaran ke berbagai perusahaan. Ia bahkan tidak ragu untuk mencoba pekerjaan yang berbeda dari keahlian teknisnya, meskipun itu berarti ia harus belajar dari awal. Reno juga pergi ke beberapa job fair di kota terdekat, berharap bisa menemukan peluang kerja yang sesuai.
Namun, pencariannya tidaklah mudah. Banyak perusahaan yang menolak dengan alasan overqualified atau kurangnya posisi yang sesuai. Setiap penolakan membuat Reno semakin frustrasi, tetapi ia berusaha menyembunyikan perasaan itu dari Alena.
Seiring waktu, tekanan yang mereka rasakan mulai memengaruhi hubungan mereka. Reno yang biasanya ceria dan penuh semangat kini sering murung dan mudah marah. Alena pun merasa lelah karena harus mengatur banyak hal sekaligus. Meskipun mereka saling mendukung, ada saat-saat di mana ketegangan kecil berubah menjadi pertengkaran.
“Aku tahu kamu sedang berusaha, Ren, tapi aku juga butuh kamu untuk tetap kuat. Kita tidak bisa menyerah sekarang,” kata Alena pada suatu malam ketika Reno mulai kehilangan harapan.
“Aku sedang berusaha, Lena! Tapi semuanya terasa seperti jalan buntu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi,” balas Reno dengan nada frustrasi.
Alena menarik napas dalam, berusaha menahan emosinya. “Kita sudah melewati banyak hal bersama, Ren. Aku butuh kamu untuk percaya bahwa kita bisa melewati ini juga. Kalau kamu menyerah, bagaimana dengan aku? Dengan kita?”
Kata-kata Alena mengguncang Reno. Ia menyadari bahwa meskipun situasi mereka sulit, menyerah bukanlah pilihan. Ia memeluk Alena erat-erat, seolah-olah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Di tengah-tengah perjuangan mereka, sebuah peluang kecil muncul. Salah satu kenalan Alena menawarkan Reno pekerjaan sementara sebagai teknisi lepas. Meski tidak memberikan penghasilan tetap, pekerjaan itu memberi mereka sedikit harapan.
Alena juga berhasil menjual beberapa kerajinan tangannya dalam jumlah besar kepada seorang pelanggan yang tertarik dengan desain uniknya. Uang yang dihasilkan dari penjualan itu membantu mereka membayar tagihan yang sudah mulai menumpuk.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, Reno dan Alena duduk bersama sambil tersenyum kecil. Meskipun perjalanan mereka masih panjang, mereka tahu bahwa selama mereka tetap bersama, mereka bisa menghadapi apa pun yang datang.
Setelah malam penuh harapan itu, Alena menyadari bahwa ia perlu melakukan lebih banyak untuk membantu keluarga mereka. Dengan Reno yang sibuk bekerja sebagai teknisi lepas, Alena memutuskan untuk mencari pekerjaan tambahan di luar rumah. Namun, tanpa pengalaman kerja yang memadai dan hanya berbekal ijazah SMA, perjalanan Alena untuk mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah.Pagi itu, Alena berpakaian rapi dengan blus sederhana dan rok panjang. Ia menggendong tas kecil yang berisi beberapa lembar fotokopi ijazah dan surat lamaran yang sudah ia tulis semalaman. Ia pergi dari satu toko ke toko lain di pusat kota, menanyakan apakah ada lowongan pekerjaan yang tersedia.Namun, jawaban yang ia terima hampir selalu sama. “Maaf, kami sudah penuh.” atau “Kami mencari seseorang dengan pengalaman minimal dua tahun.” Alena merasa kecewa, tetapi ia terus berjalan, mencoba lebih banyak tempat.Di sebuah kafe kecil, seorang manajer memberinya kesempatan untuk wawancara. Ia merasa lega, tetapi ketika dit
Hari-hari terus berlalu, tetapi beban yang dirasakan Reno semakin berat. Meskipun ia telah mendapatkan pekerjaan sebagai teknisi lepas, penghasilannya tidak cukup untuk menutupi kebutuhan rumah tangga mereka. Reno mulai merasa kehilangan kendali atas hidupnya. Ia adalah seorang suami, seorang pria yang seharusnya menjadi penopang keluarga, tetapi situasi sekarang membuatnya merasa gagal.Setiap kali ia pulang ke rumah dan melihat Alena yang sibuk dengan kerajinan tangannya, Reno tidak bisa menghindari rasa bersalah yang menghantui. Ia mulai membandingkan dirinya dengan suami-suami lain yang memiliki pekerjaan tetap dan mampu memberi istri mereka kehidupan yang lebih layak.“Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?” pikir Reno dalam hati.Pada suatu malam, Reno dan Alena duduk bersama di meja makan. Reno tampak gelisah, jarang mengangkat pandangan dari piringnya. Alena, yang mulai menyadari perubahan sikap suaminya, mencoba membuka pembicaraan.“Ren, apa yang kamu pikirkan? Akhir-akhir in
Pagi itu, Alena sedang duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Ia menatap layar ponselnya, membuka-buka media sosial untuk mencari inspirasi baru bagi kerajinan tangannya. Di sela-sela aktivitas tersebut, sebuah iklan lowongan pekerjaan menarik perhatiannya.“Perusahaan Adrian Global mencari teknisi dengan pengalaman di bidang permesinan. Gaji menarik, fasilitas lengkap.”Alena membaca deskripsi lowongan itu dengan seksama. Perusahaan Adrian Global adalah salah satu perusahaan besar yang terkenal di kota mereka. Mendapatkan pekerjaan di sana tentu akan menjadi langkah besar bagi Reno dan keluarga mereka.“Ini mungkin kesempatan yang kita cari,” gumam Alena dengan semangat baru.Tanpa membuang waktu, ia menyimpan detail iklan itu dan segera menunjukkan kepada Reno saat suaminya kembali dari pekerjaannya sebagai teknisi lepas.Ketika Reno tiba di rumah, wajahnya terlihat lelah. Namun, Alena tetap menyambutnya dengan senyuman. Ia tahu, meski Reno sedang dalam t
Sejak Reno menerima panggilan wawancara dari Adrian Global, harapan kecil mulai tumbuh di hati Alena. Namun, ia sadar bahwa hanya mengandalkan peluang Reno mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka yang terus menumpuk. Dengan segala keberanian, Alena memutuskan untuk ikut mencari pekerjaan di perusahaan yang sama.Suatu pagi, sambil menyeruput teh hangat, Alena membuka laptop dan menelusuri situs resmi Adrian Global. Ia membaca beberapa lowongan pekerjaan hingga matanya tertuju pada sebuah posisi: Asisten Administratif. Persyaratannya terlihat cukup sesuai dengan kemampuan Alena—minimal lulusan SMA, mampu bekerja secara terorganisir, dan memiliki keterampilan dasar dalam komputer.“Mungkin aku bisa mencoba ini,” pikirnya sambil mencatat detail lowongan tersebut.Namun, bayangan tentang kurangnya pengalaman kerja mulai menghantuinya. “Apa mereka akan mempertimbangkan seseorang seperti aku?” pikirnya lagi. Tetapi, mengingat Reno yang sudah melangkah lebih dulu dengan
Pagi itu, Alena sedang sibuk membuat kerajinan tangan di ruang tengah ketika ponselnya berdering. Ia segera meraihnya dan melihat nama pengirim yang tertera: Adrian Global Recruitment. Jantungnya berdegup kencang, tangan gemetar saat ia menggeser layar untuk menjawab panggilan tersebut.“Selamat pagi, Ibu Alena. Saya Rina dari Adrian Global. Kami ingin memberi tahu bahwa Anda diterima untuk posisi Asisten Administratif di perusahaan kami. Selamat!”Alena hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan air mata bahagia. “Terima kasih, Bu Rina. Terima kasih banyak atas kepercayaannya. Saya tidak akan mengecewakan,” jawabnya dengan suara bergetar.Setelah panggilan itu berakhir, ia berlari keluar rumah mencari Reno yang sedang memperbaiki motor tua mereka di halaman belakang. Dengan penuh antusias, ia mengabarkan berita baik itu.“Ren! Aku diterima kerja! Aku diterima!” serunya sambil memeluk Reno erat-erat.Reno tertawa lebar dan meme
Pagi itu, Alena berdiri di depan gedung pencakar langit Adrian Global, mengenakan setelan kerja sederhana dengan tas selempang kecil di pundaknya. Gedung itu menjulang tinggi, dinding kacanya memantulkan sinar matahari pagi yang menyilaukan. Untuk sesaat, Alena merasa kecil dibandingkan kemegahan yang ada di hadapannya.“Ini benar-benar di luar bayanganku,” gumamnya, sambil menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.Ketika memasuki gedung, Alena disambut oleh suasana profesional yang sangat berbeda dari apa yang pernah ia alami sebelumnya. Lantai marmer yang mengilap, lampu gantung modern, dan aroma kopi yang harum dari kafe kecil di sudut lobi membuat tempat itu terasa seperti dunia lain. Para karyawan berlalu-lalang dengan langkah cepat, mengenakan pakaian formal dan memegang gadget canggih.“Selamat pagi, Ibu Alena,” sapa seorang resepsionis dengan senyum ramah. “Ruangan Anda ada d
Hari itu, Alena tiba di kantor dengan semangat yang lebih tinggi dari biasanya. Ia telah mulai terbiasa dengan lingkungan Adrian Global, meski masih banyak hal yang harus ia pelajari. Namun, suasana hari itu terasa berbeda. Ada bisik-bisik di antara karyawan di lantai tempatnya bekerja.“Adrian akan datang ke lantai ini hari ini,” kata Rina dengan nada setengah berbisik saat melewati meja Alena.Alena menoleh dengan kaget. “Maksudmu Adrian? Pemilik perusahaan ini?” tanyanya.Rina mengangguk. “Iya. Dia biasanya jarang turun langsung, tapi kalau dia datang, itu berarti ada hal penting. Dia tipe pemimpin yang sangat detail dan terorganisir, tapi juga tidak segan menegur kalau ada kesalahan.”Alena merasa gugup. Nama Adrian bukan hanya terpampang di logo perusahaan, tapi juga dikenal sebagai salah satu pebisnis paling sukses di negara itu. Sosoknya sering muncul di berita,
Hari-hari berikutnya di kantor terasa berbeda bagi Alena. Setelah pertemuan pertamanya dengan Adrian, ia berpikir bahwa mungkin pria itu akan lebih memperhatikannya atau setidaknya mengenali keberadaannya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Adrian tampak semakin dingin, seolah-olah perbincangan mereka sebelumnya tidak pernah terjadi. Saat melewati meja Alena, ia bahkan tidak menoleh sedikit pun. Jika dulu Alena bisa menangkap tatapan pria itu secara tidak sengaja, kini Adrian nyaris tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mengenalnya lebih dari sekadar pegawai biasa.Alena mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hal yang wajar. “Dia atasanmu. Tidak ada alasan baginya untuk terus memperhatikanmu.” Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tidak bisa menahan perasaan kecil dan tidak berarti setiap kali diabaikan seperti itu.Suatu hari, saat makan siang di kantin bersama rekan-rekan kerja, Alena tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.“Kamu kelihatan murung, Alena,” ujar Rina, salah satu senio
Alena merasakan tatapan-tatapan itu bahkan sebelum ia melangkahkan kaki ke ruang pantry. Pembicaraan yang tiba-tiba terhenti ketika ia masuk, lalu dilanjutkan dengan bisikan-bisikan pelan—semua itu menjadi rutinitas barunya selama seminggu terakhir."Pagi," sapanya pada sekelompok kecil staf yang sedang berkumpul di meja. Beberapa hanya tersenyum tipis, sementara yang lain mengangguk singkat. Sari, staf bagian keuangan yang biasanya ramah, kini hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan kopinya.Alena mengambil cangkir dan menyeduh kopi dalam diam. Telinganya menangkap potongan percakapan yang sengaja dipelankan."...kemarin mereka makan malam berdua lagi...""...katanya sampai jam sebelas malam masih di restoran itu...""...jelas dia naik jabatan karena itu..."Tangannya sedikit gemetar saat menuangkan kopi, membuat beberapa tetes tumpah di meja. Ia cepat-cepat membersihkannya dengan tisu."Hai, butuh bantuan?"
Alena memijat pelipisnya pelan, mencoba mengusir rasa pening yang semakin menjadi. Layar komputer di hadapannya menampilkan data yang seharusnya ia analisis sejak dua jam lalu, namun pikirannya melayang entah kemana. Ia meneguk kopi yang sudah mendingin, berharap kafein bisa memfokuskan pikirannya kembali."Deadlinenya besok pagi, Lena," gumamnya pada diri sendiri.Suara ketukan di pintu ruangannya membuat Alena tersentak. Jantungnya berdegup kencang ketika pintu terbuka perlahan, menampilkan sosok Adrian dengan senyum tipis di wajahnya yang tampan."Boleh saya masuk?" tanyanya, meskipun tubuhnya sudah setengah berada di dalam ruangan.Alena mengangguk kaku. "Tentu, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"Adrian melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Alena merasakan kegelisahan merayapi tubuhnya. Sudah dua minggu ini Adrian semakin sering muncul di ruangannya dengan berbagai alasan. Terkadang hanya untuk menanyakan progress pekerjaan, kadang unt
Alena berjalan menuju ruangan Adrian dengan perasaan berat. Setiap langkah terasa seperti melewati medan ranjau, mata-mata yang mengawasi dari sudut-sudut kantor membuat jantungnya berdegup kencang. Ketika sampai di ruangan Adrian, ia mengetuk pintu pelan."Masuk," suara Adrian terdengar dari dalam.Alena membuka pintu dan menemukan Adrian sedang berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke panorama kota. Ia berbalik dan tersenyum lebar melihat Alena."Ah, Alena. Terima kasih sudah datang." Adrian mengisyaratkan agar Alena duduk di kursi di depan mejanya. "Jadi, tentang presentasi besok..."Sementara Adrian berbicara tentang detail presentasi, pikiran Alena melayang. Bagaimana ia akan menjelaskan situasi ini pada Reno nantinya? Ia merasa terjebak dalam pusaran yang semakin dalam, dan setiap usahanya untuk keluar justru menariknya lebih jauh ke dalamnya."Alena? Kamu mendengarkan?" tanya Adrian, membuya
Alena hampir tidak bisa tidur malam itu. Pesan misterius di ponselnya terus menghantui pikirannya. Ketika Reno pulang larut malam, ia berpura-pura sudah tertidur, tidak siap menghadapi pertanyaan tentang bagaimana ia pulang kerja atau tentang gosip di kantornya.Pagi berikutnya, Alena tiba di kantor dengan wajah lelah. Ia segera mengembalikan kunci mobil ke resepsionis, berharap tidak ada yang memperhatikan. Namun, saat ia berjalan menuju mejanya, ia bisa merasakan tatapan-tatapan yang mengikutinya—tatapan penuh arti yang seolah menganalisis setiap gerak-geriknya."Pagi, Alena," sapa Adrian saat berpapasan di lorong. "Bagaimana perjalanan pulangmu semalam? Mobilnya nyaman, kan?"Suara Adrian yang cukup keras membuat beberapa kepala menoleh ke arah mereka. Alena merasakan wajahnya memanas."Ya, terima kasih, Pak," jawabnya singkat sebelum bergegas menuju mejanya.Sepanjang pagi, Alena berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi sulit rasanya mengabaikan bisikan-bisikan yang sesekali terde
"Dian menghubungi Reno?" Alena terpaku di tempatnya, jari-jarinya mencengkeram ponsel dengan kuat. "Aku... aku akan menelponmu kembali, sayang."Dengan tangan gemetar, Alena mengirim pesan pada Dian: "Kenapa kamu menghubungi suamiku?"Tak lama, balasan dari Dian masuk: "Tenang, aku hanya ingin mengajaknya bergabung untuk acara anniversary kantor bulan depan. Memangnya kenapa?"Alena menghela napas panjang, campuran antara lega dan frustrasi. Ia segera menelepon Reno kembali dan menjelaskan tentang acara anniversary kantor. Meski begitu, sepanjang perjalanan menuju restoran, kekhawatiran terus menggerogoti pikirannya.Keesokan harinya, Alena sengaja datang lebih awal ke kantor, berharap bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum rekan-rekannya datang. Ia terkejut mendapati Adrian sudah ada di ruangannya."Selamat pagi, Alena," Adrian menyapa dengan senyum ramah. "Bisa bicara sebentar?"Alena mengangguk dan mengikuti Adrian ke ruangannya. Ia berdiri dengan canggung, sementara Adrian
Suara ketukan keyboard dan denting pelan notifikasi email mengisi ruang kerja pagi itu. Alena menyesap kopi dari mug keramik biru favoritnya, matanya terfokus pada layar komputer. Namun, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Sesekali ia menangkap lirikan cepat dari rekan-rekan di sekitarnya, diikuti bisikan pelan dan tawa tertahan."Hei, Alena," sapa Nina, rekan kerjanya dari divisi marketing, yang tiba-tiba muncul di samping mejanya. "Kami akan makan siang di Café Lumiere. Kamu ikut?"Alena tersenyum, merasa sedikit lega ada yang mengajaknya. "Tentu, aku sudah lapar sejak tadi."Di Café Lumiere, Alena duduk di antara Nina dan Dian. Percakapan mengalir lancar sampai Dian dengan santai bertanya, "Jadi, bagaimana proyekmu dengan Pak Adrian? Dia sepertinya sangat memperhatikanmu."Alena hampir tersedak minumannya. "Maksudmu?"Nina mengibaskan tangannya dengan gestur nakal. "Oh ayolah, kami semua melihatnya. Cara dia melihatmu saat meeting, bagaimana dia selalu memanggil namamu dengan nada y
Adrian tidak lagi berusaha menyembunyikan ketertarikannya pada Alena. Ia mulai menunjukkan perhatiannya dengan cara yang semakin terang-terangan. Ia sering memberi Alena tugas-tugas khusus yang mengharuskannya berada di dekatnya lebih lama. Alena pun tidak bisa mengelak, meski ia tahu bahwa ini bukan sekadar urusan pekerjaan.Suatu pagi, saat Alena baru tiba di kantor, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Adrian muncul di layarnya:“Temui aku di ruang kerja pribadiku. Ada hal penting yang perlu kita bicarakan.”Hati Alena berdebar. Ia tahu bahwa rapat ini mungkin tidak sepenuhnya tentang pekerjaan. Namun, ia tetap berusaha menjaga sikap profesional. Setelah merapikan beberapa dokumen, ia berjalan menuju ruang kerja Adrian yang terletak di lantai paling atas. Ruang itu eksklusif, hanya beberapa orang terpilih yang bisa memasukinya, dan kini Alena menjadi salah satunya.Ketika ia tiba, pintu terbuka dengan otomatis, memperlihatkan Adrian yang sedang duduk santai di kursinya, memandang
Hari-hari setelah percakapan dengan Reno terasa semakin berat bagi Alena. Setiap kali ia berusaha untuk berperilaku normal, perasaan bersalah yang mengganggu hatinya semakin memperburuk keadaan. Reno semakin terlihat curiga, dan ia merasa semakin terjebak dalam labirin emosional yang tak bisa ia kendalikan. Keadaan ini, yang sudah cukup rumit, semakin rumit lagi dengan hadirnya Adrian yang terus mengujinya dengan perhatian dan godaan yang tak kunjung reda.Sementara itu, Reno juga tidak tinggal diam. Ia mulai melacak lebih jauh kehidupan Alena di kantor. Awalnya, ia mencoba bertahan dengan hanya mencurigai sedikit perubahan dalam perilaku Alena, namun seiring berjalannya waktu, kecurigaannya semakin tajam. Ia memperhatikan setiap detail yang dulu mungkin terlewatkan: Alena yang sering pulang larut malam, proyek-proyek yang tampaknya tidak pernah selesai, serta ketidakhadiran Adrian di beberapa kesempatan yang seharusnya mengharuskan kehadirannya. Semua hal ini mulai menyatu dalam piki
Hari itu terasa berbeda. Alena bisa merasakan ketegangan yang menebal di udara. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pekerjaannya, hatinya terasa seperti dihantui oleh perasaan yang tak terucapkan. Ia tahu bahwa Reno semakin curiga, semakin merasa ada yang tidak beres, dan akhirnya, hari itu datang juga—saat di mana Reno tidak bisa lagi diam.Pagi itu, Alena datang lebih awal ke kantor, berharap bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan tanpa gangguan. Namun, begitu ia melangkah masuk ke ruangannya, ia langsung merasakan ada yang berbeda. Reno sudah ada di sana, duduk di kursinya, tampak lebih serius daripada biasanya. Biasanya, ia akan menyapa dengan senyuman atau candaan ringan, tetapi kali ini, tidak ada sedikit pun ekspresi ceria di wajahnya.Alena mencoba tersenyum dan duduk di meja kerjanya, berusaha menunjukkan bahwa tidak ada yang berubah. "Pagi, Reno," sapanya dengan nada biasa, meskipun hatinya mulai berdegup kencang.Namun, Reno tidak membalas dengan sapaan ha