Pagi itu, Alena sedang sibuk membuat kerajinan tangan di ruang tengah ketika ponselnya berdering. Ia segera meraihnya dan melihat nama pengirim yang tertera: Adrian Global Recruitment. Jantungnya berdegup kencang, tangan gemetar saat ia menggeser layar untuk menjawab panggilan tersebut.“Selamat pagi, Ibu Alena. Saya Rina dari Adrian Global. Kami ingin memberi tahu bahwa Anda diterima untuk posisi Asisten Administratif di perusahaan kami. Selamat!”Alena hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan air mata bahagia. “Terima kasih, Bu Rina. Terima kasih banyak atas kepercayaannya. Saya tidak akan mengecewakan,” jawabnya dengan suara bergetar.Setelah panggilan itu berakhir, ia berlari keluar rumah mencari Reno yang sedang memperbaiki motor tua mereka di halaman belakang. Dengan penuh antusias, ia mengabarkan berita baik itu.“Ren! Aku diterima kerja! Aku diterima!” serunya sambil memeluk Reno erat-erat.Reno tertawa lebar dan meme
Pagi itu, Alena berdiri di depan gedung pencakar langit Adrian Global, mengenakan setelan kerja sederhana dengan tas selempang kecil di pundaknya. Gedung itu menjulang tinggi, dinding kacanya memantulkan sinar matahari pagi yang menyilaukan. Untuk sesaat, Alena merasa kecil dibandingkan kemegahan yang ada di hadapannya.“Ini benar-benar di luar bayanganku,” gumamnya, sambil menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.Ketika memasuki gedung, Alena disambut oleh suasana profesional yang sangat berbeda dari apa yang pernah ia alami sebelumnya. Lantai marmer yang mengilap, lampu gantung modern, dan aroma kopi yang harum dari kafe kecil di sudut lobi membuat tempat itu terasa seperti dunia lain. Para karyawan berlalu-lalang dengan langkah cepat, mengenakan pakaian formal dan memegang gadget canggih.“Selamat pagi, Ibu Alena,” sapa seorang resepsionis dengan senyum ramah. “Ruangan Anda ada d
Hari itu, Alena tiba di kantor dengan semangat yang lebih tinggi dari biasanya. Ia telah mulai terbiasa dengan lingkungan Adrian Global, meski masih banyak hal yang harus ia pelajari. Namun, suasana hari itu terasa berbeda. Ada bisik-bisik di antara karyawan di lantai tempatnya bekerja.“Adrian akan datang ke lantai ini hari ini,” kata Rina dengan nada setengah berbisik saat melewati meja Alena.Alena menoleh dengan kaget. “Maksudmu Adrian? Pemilik perusahaan ini?” tanyanya.Rina mengangguk. “Iya. Dia biasanya jarang turun langsung, tapi kalau dia datang, itu berarti ada hal penting. Dia tipe pemimpin yang sangat detail dan terorganisir, tapi juga tidak segan menegur kalau ada kesalahan.”Alena merasa gugup. Nama Adrian bukan hanya terpampang di logo perusahaan, tapi juga dikenal sebagai salah satu pebisnis paling sukses di negara itu. Sosoknya sering muncul di berita,
Hari-hari berikutnya di kantor terasa berbeda bagi Alena. Setelah pertemuan pertamanya dengan Adrian, ia berpikir bahwa mungkin pria itu akan lebih memperhatikannya atau setidaknya mengenali keberadaannya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Adrian tampak semakin dingin, seolah-olah perbincangan mereka sebelumnya tidak pernah terjadi. Saat melewati meja Alena, ia bahkan tidak menoleh sedikit pun. Jika dulu Alena bisa menangkap tatapan pria itu secara tidak sengaja, kini Adrian nyaris tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mengenalnya lebih dari sekadar pegawai biasa.Alena mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hal yang wajar. “Dia atasanmu. Tidak ada alasan baginya untuk terus memperhatikanmu.” Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tidak bisa menahan perasaan kecil dan tidak berarti setiap kali diabaikan seperti itu.Suatu hari, saat makan siang di kantin bersama rekan-rekan kerja, Alena tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.“Kamu kelihatan murung, Alena,” ujar Rina, salah satu senio
Suatu sore, ketika Alena sedang bersiap-siap untuk pulang, ia menerima pesan dari sekretaris Adrian yang memintanya mengantarkan laporan mendesak ke ruang rapat. Dengan cepat, ia membawa dokumen yang diminta dan menuju lantai atas.Saat ia sampai, ruang rapat sudah hampir kosong. Hanya ada Adrian yang masih duduk di kursinya, membaca sesuatu di layar laptopnya.Alena ragu-ragu sejenak sebelum mengetuk pintu. “Permisi, Pak. Ini laporan yang diminta.”Adrian mengangkat kepalanya, menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. Lalu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia berbicara lebih dari sekadar satu atau dua kata.“Kamu yang mengetik laporan ini?” tanyanya sambil mengambil berkas dari tangan Alena.Alena mengangguk. “Ya, Pak. Saya mencoba menyusunnya sejelas mungkin.”Adrian membaca laporan itu sebentar, lalu mengangguk kecil. “Bagus. Kamu teliti.”Itu hanya pujian singkat, tetapi entah kenapa dada Alena terasa hangat mendengarnya.Namun, sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Adri
Hari itu, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Alena duduk di mejanya, fokus menyelesaikan laporan keuangan yang diminta oleh atasannya. Sejak hari pertama bekerja, ia telah berusaha sebaik mungkin untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Nadine, rekan kerja yang ramah, telah banyak membantunya dalam memahami budaya perusahaan.Salah satu tugas yang diberikan kepadanya adalah menyusun laporan anggaran bulanan untuk Adrian, sang CEO. Meski awalnya merasa gugup, Alena tetap berusaha memberikan yang terbaik. Ia membaca kembali data yang dikumpulkannya, memastikan setiap angka dan detail tersusun rapi sebelum akhirnya mengirimkannya ke meja Adrian.Tak lama setelah itu, telepon di mejanya berdering. Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya."Alena, bisa ke ruangan saya sekarang?" Suara berat Adrian terdengar di ujung telepon, tegas dan tak terbaca emosinya.Jantung Alena berdebar. Ini pertama kalinya ia dipanggil langsung oleh Adrian setela
Hari-hari berlalu dengan cepat sejak Alena mulai bekerja di perusahaan Adrian. Seiring waktu, ia mulai memahami ritme kerja di kantor, menyelesaikan tugasnya dengan lebih cepat, dan membiasakan diri dengan ekspektasi tinggi yang selalu diterapkan oleh atasannya. Namun, ada satu hal yang terus menghantuinya—hubungannya dengan Adrian yang terasa semakin rumit.Adrian, CEO yang dikenal dingin dan tidak mudah didekati, sering kali berbicara dengan nada tajam kepada Alena. Ia tidak pernah berbasa-basi dan selalu langsung ke inti masalah. Meskipun awalnya Alena hanya menganggapnya sebagai bagian dari profesionalisme Adrian, lambat laun ia mulai merasakan ketegangan yang berbeda dalam interaksi mereka.Pagi itu, Alena tengah sibuk mempersiapkan materi presentasi untuk rapat penting Adrian dengan para investor. Ia telah menghabiskan semalaman untuk memastikan semua dokumen dalam keadaan sempurna. Saat rapat dimulai, ia duduk di kursinya, mencatat setiap poin yang dibahas
Alena menatapnya dengan kaget. “Bukankah Anda yang mengatakan bahwa saya harus memastikan semuanya sempurna?”Adrian tersenyum tipis. “Benar. Tapi aku tidak pernah bilang kamu harus menyiksa diri sendiri.”Untuk pertama kalinya, Alena melihat sesuatu yang berbeda dalam tatapan Adrian—sesuatu yang lebih dari sekadar atasan yang menuntut kesempurnaan dari bawahannya. Ia melihat ketulusan, meskipun hanya sekejap.Ketegangan di antara mereka tetap ada, tapi kini ada sesuatu yang lain menyelinap di dalamnya. Sebuah ketertarikan yang perlahan mulai tumbuh, meskipun mereka berdua belum sepenuhnya menyadarinya.Hari-hari Alena di perusahaan Adrian semakin sibuk. Ia mulai mendapatkan lebih banyak tanggung jawab, sering kali harus pulang larut malam. Reno, yang sebelumnya selalu mendukungnya, mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Ia merindukan Alena yang dulu selalu ada untuknya, tetapi kini seolah-olah waktu dan perhatian istrinya le
Suasana semakin tegang, tetapi akhirnya Reno mundur. Ia menatap Alena untuk terakhir kalinya sebelum berkata, "Kau yang akan menyesali semua ini, Alena." Kemudian, ia pergi tanpa menoleh lagi.Pintu tertutup dengan debaman keras, meninggalkan keheningan mencekam dalam ruangan. Alena masih berdiri membeku, matanya tertuju pada pintu yang baru saja dibanting. Ucapan terakhir Reno terngiang di telinganya, lebih seperti ancaman daripada peringatan.Adrian menghampiri Alena dan menyentuh bahunya pelan. "Kau tidak apa-apa?"Alena menggeleng lemah. "Aku tidak pernah melihatnya seperti itu," ucapnya dengan suara bergetar. "Selama tujuh tahun mengenalnya, ini pertama kalinya aku melihat Reno... kehilangan dirinya."Laras yang sedari tadi hanya mengamati kini beranjak dari kursinya. "Dia perlu waktu untuk menenangkan diri," ujarnya, meski nadanya tidak sepenuhnya yakin. "Besok pagi, semua akan kembali normal.""Tidak," timpal Adrian cepat. "Kau tidak mengerti. Reno tidak akan kembali." Ia mengu
Konfrontasi semakin memanas. Reno kehilangan kendali dan akhirnya melayangkan pukulan ke wajah Adrian. Adrian tersentak ke belakang, tetapi ia tidak membalas. Alena menjerit dan langsung berdiri di antara mereka. "Hentikan! Ini tidak akan mengubah apa pun!"Suasana ruangan itu membeku. Darah menetes dari sudut bibir Adrian, menciptakan noda merah pada kemeja putihnya yang rapi. Matanya tetap tenang, kontras dengan amarah yang berkobar di mata Reno."Kau pikir dengan diam seperti ini kau terlihat mulia?" desis Reno, napasnya memburu. Kedua tangannya masih terkepal erat. "Selalu begitu, kan? Adrian yang tenang, Adrian yang bijaksana, Adrian yang tidak pernah salah!"Laras masih terpaku di sudut ruangan, wajahnya pucat pasi menyaksikan konfrontasi yang terjadi begitu cepat. Dokumen-dokumen penting yang seharusnya mereka diskusikan berserakan di lantai, terinjak dalam kekacauan.Adrian mengusap darah di bibirnya dengan punggung tangan. "Membalasmu tidak akan menyelesaikan masalah," ucapny
Adrian, yang selama ini hanya diam dan mengamati, akhirnya membuka suara. "Dia tidak memilih siapa pun, Reno. Tapi aku tidak akan mundur," katanya dengan nada penuh kepastian. Reno mengepalkan tangannya.Udara di sekitar mereka terasa berat. Angin sore yang berhembus pelan tidak mampu meredakan ketegangan yang mengental di antara kedua pria itu. Mereka berdiri berhadapan di taman belakang rumah Laras—perempuan yang tanpa disadari telah menjadi pusat gravitasi dalam kehidupan mereka."Kau pikir ini semacam permainan?" Reno mendesis, matanya menatap tajam. "Tiga tahun, Adrian. Tiga tahun aku mengenalnya, melindunginya, berada di sisinya saat dunianya hancur. Lalu kau—" ia menunjuk dengan jari yang gemetar, "—datang begitu saja dan berpikir bisa mengambilnya?"Adrian tetap tenang meski badai emosi Reno nyaris terasa menyentuh kulitnya. "Aku tidak datang untuk mengambil siapa pun. Aku datang karena hatiku sendiri," balasnya. "Dan Laras bukan hadiah yang bisa diperebutkan. Dia manusia deng
"Reno, jangan seperti itu," pinta Alena. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun.""Betul," Reno mengangguk. "Kau bukan barang. Kau manusia dengan kehendak bebas. Dan kau telah menggunakan kehendak bebasmu untuk memilih dia daripada aku."Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kunci. "Ini kunci apartemen kita—maksudku, apartemenku. Kau bisa datang mengambil barang-barangmu kapan saja. Aku akan memastikan tidak ada di rumah saat kau datang."Alena menerima kunci itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih.""Jangan berterima kasih padaku," kata Reno datar. "Aku tidak melakukannya untukmu. Aku melakukannya agar bisa cepat-cepat memulai hidup baru—hidup tanpa kalian berdua di dalamnya."Kata-kata itu menusuk hati Alena seperti ribuan jarum. Ia tahu Reno berhak marah, berhak membencinya, tapi tetap saja rasanya menyakitkan."Aku harap suatu hari nanti kau bisa memaafkan kami," kata Adrian pelan."Jangan terlalu berharap," bala
Reno menghela napas panjang. Ia menatap Alena dengan kecewa. "Jadi, kau memilih dia?" tanyanya. Alena tidak bisa menjawab dengan langsung. Ia tahu bahwa keputusannya akan menyakitkan, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya pada Adrian.Keheningan yang menggantung di udara terasa begitu menyesakkan. Suara-suara kota yang biasanya bising kini seolah teredam oleh ketegangan di antara mereka bertiga. Angin sore berembus lembut, membawa aroma hujan yang sebentar lagi akan turun—seolah langit pun bersiap menangisi drama yang sedang berlangsung."Reno," Alena akhirnya berbicara, suaranya nyaris berbisik. "Ini bukan tentang memilih. Ini tentang... tentang menjadi jujur pada diri sendiri.""Jujur?" Reno tertawa pahit. "Jujur adalah ketika kau mengatakannya sejak awal, bukan menunggu sampai aku memergoki kalian berdua."Adrian, yang sedari tadi diam, mencoba menyela. "Reno, ini bukan sepenuhnya salah Alena—""Diam!" bentak Ren
"Tidak perlu," potong Kayla. "Aku sudah cukup dengar." Ia berpaling pada kakaknya. "Reno, ayo pulang. Kau tidak seharusnya berada di sini."Reno mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya sejak pembicaraan ini dimulai, ia tampak lega—lega karena ada orang lain yang memahami rasa sakitnya, yang berpihak padanya."Tunggu," Adrian mencoba menghentikan mereka. "Kayla, kau juga sahabatku. Setidaknya dengarkan penjelasan kami.""Sahabat?" Kayla berbalik, matanya nyalang. "Sahabat tidak menikam sahabatnya dari belakang, Adrian. Dan kau," ia menatap Alena, "kau seperti kakak perempuan bagiku. Aku mempercayaimu dengan seluruh rahasiaku. Bagaimana mungkin kau melakukan ini pada kami?"Alena berusaha menjawab, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya yang bergetar. Adrian melangkah maju, berniat untuk merangkul Alena yang tampak akan ambruk kapan saja, tetapi Kayla menghentikannya."Jangan sentuh dia!" serunya. "Kalian berdua suda
Alena akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "Reno, aku... aku tidak berniat menyakitimu. Tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri," suaranya hampir berbisik, tetapi cukup jelas untuk membuat hati Reno hancur.Reno menatap wanita yang dulu ia yakini akan menjadi pendamping hidupnya itu dengan pandangan nanar. Ekspresinya berubah dari kemarahan menjadi kepedihan yang mendalam. Untuk sesaat, ia hanya diam, mencoba mencerna kata-kata Alena."Membohongi dirimu sendiri?" Reno akhirnya bersuara, suaranya parau. "Artinya selama ini kau terpaksa bersamaku? Begitu?"Adrian mengepalkan tangannya, ingin menyela tapi memutuskan untuk tetap diam. Ini adalah percakapan yang harus diselesaikan oleh Alena dan Reno."Bukan begitu," Alena menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Aku mencintaimu, Reno. Sungguh. Tapi mungkin... mungkin bukan dengan cara yang kita berdua butuhkan."Angin sore berembus lembut, membawa keheningan yang menyesakkan di antara mereka. Di kejauhan, Kayla masih men
"Tidak," Adrian menyela. "Kami memang berbicara banyak. Tentang Alena, tentang kau, tentang hubungan kalian. Dan saat itulah Alena mulai menyadari bahwa mungkin kalian tidak cocok satu sama lain."Ekspresi Reno mengeras. "Jadi ini semua karena hasutanmu?""Bukan seperti itu!" Alena cepat-cepat menjelaskan. "Adrian hanya membantuku melihat hal-hal yang selama ini kuabaikan—bahwa kita berdua menginginkan hal yang berbeda dalam hidup, Reno.""Dan kebetulan sekali, apa yang kau inginkan sekarang lebih mirip dengan apa yang Adrian inginkan, begitu?" Reno tertawa hambar. "Alena, aku mengenalmu selama tiga tahun. Kita bersama-sama melewati masa-masa sulit. Apa itu semua tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan tiga minggu bersama dia?"Pertanyaan itu menohok Alena. Ia menunduk, menatap cincin di jarinya. Cincin yang selama tiga minggu terakhir sering ia lepas dan pasang kembali dalam kebimbangan."Tentu saja berarti, Reno. Itu sebabnya ini sangat sulit untukku." Alena mendongak, menatap mat
Adrian melangkah maju, berdiri di depan Reno. "Ini bukan urusanmu lagi," katanya dingin. Reno menatap Adrian dengan penuh amarah. "Bukan urusanku? Dia tunanganku!" Alena merasa dunia berputar, dadanya sesak. Ia tak pernah melihat Reno semarah ini sebelumnya."Tunangan?" Adrian mendengus sinis. "Kau masih menganggapnya begitu setelah apa yang terjadi?"Reno mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Ada kilatan kemarahan yang belum pernah Alena lihat dalam matanya—bahkan setelah semua pertengkaran mereka selama ini."Aku tidak peduli apa yang kau katakan. Cincin ini," Reno menunjuk cincin platinum yang masih melingkar di jari manis Alena, "adalah bukti bahwa kami masih terikat."Alena menggigit bibirnya, merasa terjepit di antara dua pria yang kini saling berhadapan dengan ketegangan yang nyaris bisa disentuh. Para pengunjung kafe mulai melirik ke arah mereka, beberapa bahkan terang-terangan menonton."Tolong," Alena akhirnya bersuara, meskipun nyaris seperti bisikan. "Jan