‘’Mas, jangan!’’ teriakan Valerie terputus dengan bekapan Leo pada mulutnya. Leo seperti tak memiliki hati, bahkan semakin buas melakukan kekejian itu meski Valerie terus memberontak tiada henti. Saat itu, Valerie merasakan harga dirinya sebagai seorang Mahendra lenyap tak bersisa. Perlawanannya selama satu jam telah berakhir sia-sia. Air mata Valerie jatuh berderai— menyadari perih tak tertahankan berasal dari robeknya kehormatan yang susah payah ia jaga. Dan isakan itu sama sekali tak mempengaruhi Leo untuk berhenti dan malah melanjutkannya lagi, lagi dan lagi. Valerie memejamkan mata, berharap bahwa semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi. Tapi sayang, rasa sakit di selangkangannya menyadarkan Valerie bahwa hal terkutuk itu benar-benar terjadi. *** Dunia Valerie hancur ketika sang calon kakak ipar tak sengaja memasuki kamarnya. Padahal Leo akan segera menikah dengan kakak kandung Valerie. Lalu bagaimana dengan nasib pernikahan tersebut saat keluarga mengetahui siapa yang telah membuat Valerie berbadan dua? Bagaimana dengan Vania jika tau bahwa Leo memperistri adiknya sendiri?
View More‘’Valerie sayang. Bawa kemari minumannya, Nak.’’
Pekikan dari ruang tamu terdengar jelas sampai ke dapur. Valerie gesit mengangkat nampan berisi lima gelas air jeruk dingin dan membawanya ke depan. Minuman-minuman itu untuk tamu-tamu orang tuanya yang datang melamar sang kakak— Vania.
Seulas senyum terpatri bersama tangan yang sibuk menata gelas di meja. Dan Valerie langsung mendapatkan pujian atas sikap baiknya dari keluarga besan.
Setelah kembali ke dapur, Valerie langsung naik ke lantai dua untuk membereskan tempat tidur di kamar tamu. Keluarga besan akan menginap karena besok akan diadakan pertunangan dan juga penentuan hari pernikahan.
Berkutat dengan sapu, pel lantai dan ember berisi air selama kurang lebih lima belas menit, akhirnya pekerjaan itu selesai. Valerie masuk ke kamarnya untuk beristirahat.
Merebahkan tubuh di kasur dan menutupinya dengan selimut. Dan tak lupa mematikan lampu.
Masih dalam keadaan setengah terlelap, Valerie mendengar suara gagang pintu yang digerakkan dari luar. Meski begitu, Valerie kesulitan membuka mata karena ia benar-benar tengah mengantuk.
Ia berpikir bahwa itu adalah keluarganya yang selalu mengecek kamarnya setiap malam.
Namun, merasakan kehadiran seseorang yang sudah berdiri di samping ranjang refleks membuatnya terbangun.
Itu bukan ayah, kakak ataupun ibunya yang ia pikir sedang melakukan patroli seperti biasa. Ia mengenali siluet itu. Kenapa Leo bisa ada di sini? Untuk apa calon kakak iparnya berada di kamarnya?
Valerie ingin berteriak. Tapi kesadaran yang masih belum sepenuhnya pulih membuat Valerie kesulitan membuka suara.
Jantung Valerie berdetak cepat saat dalam sepersekian detik Leo sudah bergabung bersamanya di tempat tidur. Menanggalkan pakaiannya.
‘’Mas, jangan!’’ Teriakan Valerie terputus dengan bekapan Leo pada mulutnya.
Leo seperti tak memiliki hati, bahkan semakin buas melakukan kekejian itu meski Valerie terus memberontak tiada henti.
Saat itu, Valerie merasakan harga dirinya sebagai seorang Mahendra lenyap tak bersisa. Perlawanannya selama satu jam telah berakhir sia-sia. Air mata Valerie jatuh berderai— menyadari perih tak tertahankan berasal dari robeknya kehormatan yang susah payah ia jaga. Dan isakan itu sama sekali tak mempengaruhi Leo untuk berhenti dan malah melanjutkannya lagi, lagi dan lagi.
Valerie memejamkan mata, berharap bahwa semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi. Tapi sayang, rasa sakit di selangkangannya menyadarkan Valerie bahwa hal terkutuk itu benar-benar terjadi.
***
Keesokannya…
Alarm ponsel membuat seorang pria yang tidur dengan bertelanjang dada terusik.
Perlahan Leo membuka kelopak mata dengan tubuh pegal dan sakit di beberapa titik.
Pandangannya tertuju pada celana pendek yang sedang ia pakai. Leo tersenyum sebentar, kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Ketika tengah bercermin, Leo menyadari ada yang salah dengan warna bahan ini. Vania membenci warna pink.
Leo kembali memutar memori tadi malam. Perjalanan jauh membuat Leo letih dan kedinginan. Karena itulah, setelah semua orang masuk ke dalam kamar— Leo mengirim pesan pada calon istrinya bahwa ia menginginkan kehangatan. Bak gayung bersambut, Vania pun mengiyakan.
Meski sudah sering melakukannya di hotel, Leo berpikir tak ada salahnya jika ia melakukannya di rumah. Toh sebentar lagi mereka akan bertukar cincin dan menikah. Jika ketahuan pun keduanya akan langsung dikawinkan.
Setelah meneguk alkohol untuk mendapatkan keberanian— diam-diam ia keluar dari kamar tamu, mencari ruangan yang Vania katakan sebelah kanan dari tangga. Dengan hati-hati Leo memutar gagang pintu, masuk dengan cepat kemudian menutupnya.
Dan hal pertama yang menyambutnya adalah kegelapan. Namun cahaya dari jendela sangat membantu Leo untuk menemukan wanita yang tengah tertidur di bawah selimut.
‘’Sayang.’’
Nafsu yang sudah di ubun-ubun dan keinginan untuk segera menggauli membuat Leo tak memperhatikan siapa wanita yang sedang tertidur itu.
Baginya—wanita yang tidur dengan tirai jendela yang dibiasakan terbuka adalah ciri seorang Vania. Karena itulah Leo yakin bahwa ia tak salah masuk kamar.
Besok mereka akan bertukar cincin dan menentukan tanggal pernikahan. Leo merasa tak ada salahnya jika ia melakukan ini sekali lagi sebelum dipingit.
Leo langsung menarik selimut dan membuka pakaian Vania.
Tapi tetap saja, Leo tetaplah Leo. Ia merasa khawatir dan tak nyaman jika berhubungan terlalu lama lalu ketahuan keluarga karena Vania tak setenang biasanya.
Akhirnya Leo sembarangan mengambil celana yang tercecer di lantai. Tak disangka ia malah salah mengambil celana yang bukan miliknya. Itulah alasan mengapa ia tertawa tadi.
Leo segera membersihkan diri dengan ingatan menyenangkan. Untuk sejenak Leo kembali merasakan tubuhnya terasa sakit. Tapi ia tak menghiraukan dan memilih untuk melanjutkan.
Ia memakai kemeja batik lalu turun dari kamar. Dilihatnya seluruh keluarga dan kerabat dekat telah berkumpul di ruang tamu. Vania terlihat cantik dengan kebaya berwarna biru.
Dengan bibir pucat dan mata yang membengkak, Valerie mendapati Leo tengah menuruni tangga. Ia pun buru-buru mengambil cincin yang akan digunakan untuk mengikat kedua mempelai.
Pertunangan berjalan dengan lancar dan juga meriah. Seluruh keluarga berbahagia dan mengambil gambar sebagai kenang-kenangan.
Dan satu bulan dari sekarang adalah waktu yang ditetapkan untuk Leo dan Vania menikah. Leo akan berada di luar kota untuk menjalankan bisnis batu bara keluarganya sampai hari h tiba. Setelah itu ia akan datang lagi untuk membawa Vania pindah.
Benak Leo diselimuti haru. Namun perasaan itu tiba-tiba saja buyar saat Vania mengatakan sesuatu.
‘’Mama… aku enggak mau warna pink pokoknya. Aku mau pake gaun warna biru aja pas nikah nanti. Mama kan tau aku ga suka warna merah muda. Bahkan aku ga punya satupun pakaian dengan warna itu.’’
Leo bagai tersambar petir di siang bolong. Bintik-bintik keringat mulai membasahi dahi. Udara yang sejuk tiba-tiba terasa panas baginya. Pikirannya berkecamuk. Jadi celana tidur itu punya siapa?
Leo kesulitan menelan ludah. Dengan rasa penasaran yang tinggi, akhirnya Leo melihat ponselnya lagi. Penunjuk arahnya sudah benar. Tapi di sebelah kanan itu ada dua kamar. Dan ia yakin tak melakukan kesalahan sampai akhirnya ia tersadar ruangan siapa yang sebenarnya ia masuki. Leo tanpa sengaja melihat calon adik iparnya menyeka air mata seraya masuk ke kamar yang tadi malam ia kunjungi.
‘’Valerie?’’
Leo memijit kening dengan wajah tertunduk. Menarik napas berkali-kali. Pantas saja tadi malam ia merasa ada yang berbeda dengan Vania sampai-sampai tubuhnya sakit karena harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk membuat kekasihnya diam.
Sayang, kok lama? Ketiduran ya? Padahal aku udah pakai gaun tidur yang kamu suka.
Leo menyingkir dari keramaian. Menyembunyikan kepalan tangan di dalam saku seraya berperang besar dengan akal sehat dan pikirannya yang kusut. Pesan Vania yang tak terbaca di jam dua pagi sukses membuat otak Leo panas dan kemungkinan akan segera pecah.
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments