Setelah berada di dalam kamar, Leo lantas mengambil kemeja batik motif lain. Kemudian mengenakannya secepat kilat.
Tadi, ia sempat melihat Vania yang memergokinya keluar dari kamar Valerie. Namun ia berpura-pura acuh.
Jadi ia telah menyusun beberapa kalimat untuk menangkis tudingan dan kecurigaan Vania. Padahal selama ini ia tidak pernah menutupi apapun dari wanita yang sangat ia cintai itu.
Mempersiapkan mental, Leo menghela oksigen berselimutkan kegelisahan. Lalu menghembuskan kegugupan berbalut karbodioksida. Berharap dapat membantunya mengatasi kegugupan. Kemudian ia keluar dari kamar, melangkahkan kaki dengan tenang.
‘’Kenapa berganti pakaian?’’ Manik Vania memandangi setelan Leo.
Laki-laki itu masih berada satu langkah dari pintu. Dan Vania berada di anak tangga terakhir. Rupanya Vania masih di tempat yang sama ketika memergokinya tadi.
‘’Ada apa dengan Valerie? Kenapa kamu keluar dari kamarnya basah-basah?’’
‘’Aku tidak sengaja melihat pintu kamar Valerie terbuka. Dia terlihat keluar masuk kamar mandi, Sayang. Ternyata keran di kamar mandinya bocor. Jadi aku memutuskan untuk membantunya.’’ Leo menambahkan senyum kecil. Membuat Vania berpikir bahwa kebohongan itu benar-benar nyata dan bukan rekayasa.
‘’Kenapa tidak memanggil Pak Sena? Kalau ada apa-apa kamu bisa panggil tukang kebun di rumah ini. Dia bisa segala hal.’’
‘’Sebagai kakak ipar yang baik, aku gak tega adik iparku kesusahan. Lagi pula aku bisa mengatasinya,’’ jawab Leo, bersandiwara lagi.
Vania memicing, menyelidik— menatap Leo penuh curiga. Selang beberapa detik, ia tersenyum setelah tidak menemukan motif lain diekspresi Leo.
‘’Baiklah, kalau begitu kita turun lagi. Mama sama Papa nanyain kamu.’’
Leo mendekati Vania dengan perasaan lega. Lalu merangkul Vania sambil menuruni tangga.
Setelah acara pertunangan selesai dan keadaan rumah mulai sepi, Leo masuk ke kamar calon istrinya. Melakukan hal yang sempat gagal tadi malam.
Di tengah kerungsingan yang menjalar, ia ingin sekali menolak keinginan Vania. Tapi bagaimanapun, ia harus membuat calon istrinya ini tidak berpikir macam-macam.
Waktu berlalu begitu cepat, Vania sudah tertidur di bawah selimut. Sementara itu, Leo masih saja tidak bisa menghilangkan Valerie dari pikirannya. Jadi ia memutuskan untuk menemui gadis itu lagi. Valerie yang sampai ingin bunuh diri benar-benar membuat Leo shock bukan main.
Leo beranjak dari tempat tidur, bergerak sepelan mungkin agar Vania tidak terbangun. Kemudian berpakaian.
Ia bergegas berpindah ruangan di sebelah kamar Vania. Membuka pintu Valerie buru-buru.
Leo langsung mendapati gadis polos itu di tempat tidur. Tidak seperti Vania yang terlelap dengan wajah puas, Valerie meringkuk dengan wajah bengkak akibat menangis.
Tempat tidur yang bergerak membuat Valerie sadar bahwa ia tidak sendiri sekarang. Ternyata Leo sudah duduk di tepi ranjang. Ia tidak tahu sejak kapan Leo sudah berada di kamarnya. Kenapa Leo datang lagi? Ia tak ingin Vania memergoki mereka.
‘’Kamu baik-baik saja, Val?’’ tanya Leo. Ia lihat bibir Valerie pucat.
‘’Apa aku terlihat baik-baik saja?’’ balas Valerie dengan nada geram.
Ingin rasanya Valerie memaki calon kakak iparnya. Leo masih bisa bertanya? Apa dia tidak bisa melihat?
Leo terlihat muram, paham dengan kata-kata Valerie, ‘’Apa kau sudah makan?’’
Tak bermaksud untuk perhatian, tapi Leo ingin memastikan bahwa Valeria cukup mendapatkan asupan makanan agar tidak terlihat seperti mayat hidup. Bagaimanapun, ia tak mau Valerie sakit apalagi terus-terusan merasa tersiksa.
Terlepas dari perlakuannya pada Valerie, ia merasa berdosa karena telah menemui Valerie di belakang Vania. Di samping itu, ia sangat mencintai wanita yang sudah bertahta di hatinya sejak lama. Berpikiran untuk selingkuh saja sebenarnya Leo tidak punya.
Valerie menggeleng, lalu Leo dengan kewaspadaan yang tinggi menuju dapur dan membawakan nasi beserta lauk pauk untuk Valerie. Meletakkannya di atas meja saat gadis itu tengah terlelap.
Beberapa jam kemudian, Valerie bangun dengan pemandangan makanan dan minuman yang ditutupi dengan tisu.
Dengan lemah Valerie bangun, lalu menyumpal nasi bersama air mata yang lagi-lagi jatuh tanpa bisa ia cegah.
***
Malam harinya…
Valerie merasakan pusing pada kepala, badannya panas disertai hidung tersumbat. Tubuhnya juga terasa sakit bila digerakkan. Ia meriang sekaligus demam.
Tak melihat putri bungsunya sejak acara berjalan, sang ibu pun masuk ke kamar Valerie. Biasanya Valerie akan terlihat mondar-mandir ke dapur karena anak itu suka sekali memasak.
‘’Val…’’ panggil Vira sembari menutup jendela yang masih terbuka.
Valerie berusaha duduk untuk mendekati sang ibu, tapi tubuhnya terlalu remuk untuk melakukan itu.
‘’Kamu kenapa, Nak?’’ tanya Vira. Ia berdiri di tempat tidur sambil menyentuh dahi Valerie. ‘’Sakit?’’
Sulit membuka mulut untuk berkata, akhirnya Valerie hanya bisa menggeleng. Berbohong.
Dari pintu yang terbuka, Valerie mendapati seorang pria baru saja masuk dari sana. Dan beberapa detik kemudian sudah berdiri di samping Vira. Dilihatnya Valerie dalam kondisi lemas. Bukan hanya bibir, tapi wajahnya pun pucat.
‘’Anak kita kenapa, Ma?’’ tanya Devano Mahendra, ayahnya.
‘’Anakmu sakit,’’ jelas Vira. Menoleh pada Devano sebentar, lalu menatap Valerie lagi. ‘’Kita ke rumah sakit, ya? Atau kalau kamu ga mau, dokternya aja yang ke rumah. Gimana?’’
Tanpa sadar, belaian hangat tangan Vira membuat ujung mata Valerie basah. ‘’Mama… Papa...,’’ panggilnya, lemah.
‘’Kamu di kamar saja ya, Nak. Jangan banyak bergerak. Nanti Papa panggilkan dokter.’’
Devano membawa istrinya keluar dari sana. Membiarkan Valerie kembali tertidur. Sekarang sudah waktunya makan malam, jadi mereka berdua langsung mendatangi lantai satu— ke meja makan. Di sana sudah ada Vania, Leo dan juga calon besan mereka.
‘’Maaf membuat menunggu.’’ Devano tersenyum. Lalu menarik kursi untuk duduk, begitu juga dengan Vira.
‘’Tidak apa-apa, Besan.’’ Ayah Leo yang menjawab.
‘’Ayo silakan dimulai makan malamnya,’’ ucap Vira sambil mengedarkan pandangan pada semua orang di sana.
‘’Ah, ada sayur asem sama ayam goreng ternyata,’’ pekik Vania girang. Itu kesukaannya.
‘’Nanti kalau sudah tinggal di Kalimantan, Vania makannya soto banjar. Bukan sayur asem lagi.’’ Perkataan Ibu Leo berhasil membuat meja makan yang tadinya sepi jadi ramai oleh kekehan.
‘’Kenapa Valerie tidak ikut turun, Ma?’’ tanya Leo penasaran— karena melihat kosongnya kursi di sebelah Vira.
Wanita itu melirik bangku di sampingnya, lalu menatap Leo yang duduk bersebrangan dengannya.
‘’Adik iparmu demam, Leo.’’
‘’Demam?’’
Leo yakin penyebabnya adalah air keran kemarin.
‘’Apa sih, Sayang!’’
Vania protes. Baginya, keterkejutan Leo itu benar-benar berlebihan.
‘’Dia adikmu, Sayangku. Apa kamu tidak khawatir?’’
‘’Setelah makan malam, Papa akan menghubungi dokter. Biasanya dia akan pulih lebih cepat jika sudah diperiksa dokter dan diberi obat.’’ Devano menjelaskan dengan tenang.
‘’Apa tidak sebaiknya dihubungi sekarang saja Pah dokternya? Kasihan kalau Valerie sampai kenapa-kenapa,’’ kata Leo.
‘’Sayang kamu tuh kenapa sih? Kan Papa sudah bilang setelah makan malam.’’ Vania benar-benar tidak terima akan sikap Leo yang tiba-tiba begitu perduli terhadap Valerie. Walau Valerie adalah adiknya, tapi Vania tetap saja tidak suka.
Saat dokter datang, semua orang di rumah langsung berbondong-bondong menuju kamar Valerie. Tak ketinggalan Vania dan Leo. Wanita itu memeluk lengan Leo dengan posesif. Sebab Leo berkeras untuk melihat dokter memeriksa sang adik. ‘’Badannya panas. Seharian ga keluar kamar, Dok.’’ Vira menjelaskan di saat dokter sendiri sedang memeriksa suhu tubuh Valerie. ‘’Makannya bagaimana? Perutnya sudah diisi belum?’’ Leo melirik piring yang masih lengkap dengan lauk pauk di atasnya. Sepertinya Valerie hanya makan beberapa suap. Valerie mengangguk. ‘’Apa ada bagian tubuh kamu yang sakit?’’ Valerie juga mengangguk. ‘’Di mana?’’ Ketika Valerie menunjuk ke arah perut, Leo terlihat tidak tenang. Apalagi saat Vira menyingkap selimut dari tubuh putrinya, semua orang bisa melihat ada noda darah di atas seprai. Vania langsung merasakan lengan Leo yang terasa basah. ‘’Kamu kenapa sih? Kok jadi keringat dingin?’’ Tapi Leo hanya menjawab pertanyaan Vania dengan meletakkan telunjuk di bibir. Me
Selain Vania yang semakin ke sini semakin bersikap tak enak padanya, selebihnya tak ada yang berubah sepeninggal Leo. Ia sudah sembuh dari sakitnya dan mulai membiasakan diri menerima kenyataan pahit akan luka yang dibuat Leo malam itu.Sesekali Valerie tak sengaja mendengar percakapan antara Vania dan Leo di telepon, mereka semakin mesra di hari-hari menjelang pernikahan. Tapi Vania buru-buru mengecilkan suara ataupun menutup pintu kamar dengan kasar di saat Valerie hanya kebetulan lewat.Satu bulan terlewati, hari pernikahan pun tiba. Rumah kembali ramai. Kerabat jauh dan dekat berdatangan. Tak hanya dari pihak Mahendra, tapi juga dari pihak Arka— keluarga Leo. Valerie hanya mampu bersembunyi di kamar ketika orang-orang mulai sibuk menyiapkan semuanya. Ia enggan membantu atau menemani Vania di dandani oleh MUA, karena memang Vania tidak mau Valerie ada di dekatnya. Sebelum acara dimulai, suara-suara yang terdengar sampai ke kamar Valerie kebanyakan memperbincangkan mempelai laki-l
Vania seperti sengaja. Malam itu, Valerie mendengar suara-suara desahan dari kamar sebelah. Mungkin Valerie tidak akan bisa tidur bila tidak ia paksakan menutup telinga menggunakan bantal. Dan di tengah malam, tiba-tiba saja Valerie terbangun. Rasa traumanya kambuh begitu saja. Valerie mengecek pintu, memastikannya terkunci lalu mencoba kembali tidur. Tapi sayangnya Valerie malah terjaga sebentar. Adanya Leo di rumah membuat batin Valerie tak tenang. ‘’Kau tidak boleh lengah, Valerie,’’ lirihnya. Hidup memang sulit untuk di tebak. Sebelum malapetaka itu terjadi, ia adalah gadis yang bersahaja. Ia bermimpi untuk menjadi dokter. Jadi Valerie tidak takut dengan yang namanya hal-hal mengerikan termasuk kematian. Sebab, Valerie akan mendedikasikan hidupnya untuk menyelamatkan nyawa orang. Namun siapa sangka bahwa terbesit di pikirannya untuk melakukan percobaan bunuh diri. Apanya yang menjadi dokter? Apanya yang ingin menyelamatkan nyawa? Mempertahankan napas dan keteguhan hidup untuk
‘’Apa yang kamu rasakan sekarang, Nak?’’ Valerie diburu pertanyaan Mahendra begitu siuman. Ada Vira juga di sana. Kepala terasa sakit. Valerie juga merasa seperti kehilangan tenaga. Tapi yang dikatakan Valerie selanjutnya jauh berbeda dengan kenyataannya. ‘’Valerie gak apa-apa kok, Pah.’’ ‘’Apanya yang gak apa-apa. Kamu pingsan. Sekarang kita ke rumah sakit,’’ tukas Mahendra lagi. Telapak tangan Valerie dingin. Ia telah menyukai dunia medis sejak kecil. Jadi sedikit banyak ia paham akan kondisi tubuhnya saat ini. Ada ketakutan yang membayangi Valerie jika ia berkeras menuruti permintaan Mahendra. ‘’Tadi cuma kaget lihat darah, Pah. Valerie beneran gak apa-apa,’’ ucap Valerie lirih. Hatinya diterpa kesedihan. ‘’Kalau begitu biar dokter yang kemari. Cepat telepon—’’ ‘’Mama,’’ Valerie memotong. Wajahnya memelas. Meminta untuk dituruti perkataannya. ‘’Tolong, Mah, Pah. Valerie hanya perlu istirahat.’’ Tetes air mata jatuh membasahi pipi. Kepala Valerie yang panas merasakan belaia
‘’Papa…’’ ‘’Jawab Valerie!’’ Vira berteriak tak sabar. Degup jantung Valerie terasa lebih kencang. Ia memejam sambil menyentuh tangan Devano yang semakin kuat menarik rambutnya. Mengharapkan belas kasih untuk dikendurkan sedikit tatkala ia meringis. Namun ringisan Valerie tak bisa menutupi kemarahan Devano selagi pertanyaan menggantung itu tak dijawab. ‘’Apa Vania bilang, Pa.’’ Secara tak langsung Vania membongkar kejahatannya sendiri. Wanita itu diam-diam selalu mencuci otak Vira dan Mahendra terkait desas-desus yang didapat Vania dari teman-temannya. Namun selama ini mereka berdua tidak percaya. Atau lebih tepatnya masih berpikiran positif tentang Valerie. Valerie kesal, kenapa orang tuanya tidak marah pada Vania yang jelas-jelas sengaja menjelek-jelekkannya tanpa bukti? Seolah fitnah itu tidak terdengar kejam. Apakah begitu rasanya menjadi anak yang paling disayang? Selalu dimaklumi perbuatannya meski salah? Batin Valerie menjerit. Dan yang membuat Valerie lebih berduka adala
‘’Mas?’’ Valerie meminta Leo sadar atas ucapannya. Itu berarti Leo menginginkan ia menjadi istri kedua.‘’Kita harus membicarakannya. Segera. Waktu saya tidak banyak,’’ pungkas Leo sambil mengulurkan tangannya pada Valerie. Mengajak wanita itu pergi.Berkali-kali Valerie mengurungkan niat untuk menyambut telapak tangan yang terbuka itu. Tapi apa daya, gerakan sepihak Leo membuat telapak tangan mereka bertemu. Ada penerbangan yang sedang menunggu dan Vania yang menghubunginya terus-menerus. Ia diburu waktu.‘’Saya tidak mau dimadu. Dan lagi, kamu sudah menikah dengan Vania,’’ ujar Valerie saat mereka sudah berada di dalam mobil. Leo mendengarkan sambil mengemudikan mobil.Mendengar Valerie berkata seperti itu, Leo menghentikan kendaraan di pinggir jalan. Menghadapkan tubuh pada Valerie. Bisa dibilang Leo terlihat sangat frustasi saat itu.‘’Apa yang kamu harapkan? Saya menceraikan Vania lalu menikahi kamu di depan keluarga?’’ Leo berujar marah. Valerie membisu merasakan suasana panas
Di sang hari yang panas tersebut, Leo urung tidur siang bersama istri pertamanya setelah membaca pesan di gawai itu. Leo cepat-cepat memakai baju dan memastikan mata Vania masih menutup. Wanita yang ia sayang itu tidak boleh tahu ia meninggalkan kamar. ‘’Kau menipuku? Sebenarnya kau di mana?’’ Leo bertanya beruntun setelah mengecek ke luar rumah dan tidak menemukan wanita yang di dalam pesan mengatakan sedang berada di kediamannya. ‘’Saya salah ketik.’’ Apa dia serius? Leo menahan kesal mendengar kalimat polos Valerie. Seperti mendapatkan syok terapi. ‘’Sekarang kau di mana?’’ Kekesalannya masih belum hilang. Leo berkata keras sampai Valerie harus menjauhkan gawai dari telinga. ‘’Saya di luar. Sedang berbelanja.’’ ‘’Bukankah sudah ku bilang jangan menghubungi bila tidak penting?’’ Susu ibu hamil di depan mata urung ia raih. Sebegitu terganggunya kah Leo dengan pesan typo tersebut? Padahal ia ingin mengetikkan ”saya sudah makan’’ dan mengirimkannya pada Inah. ‘’Maaf, Mas. S
Hari itu, dengan penerbangan yang sama namun di kelas yang berbeda, Vania, Leo dan Valerie berangkat dari Kalimantan menuju Jakarta. Valerie di kelas ekonomi sementara suami istri itu tersebut di kelas bisnis.Leo mengatur segalanya agar Valerie tidak bertemu dengan Vania. Termasuk dengan membuat Valerie mengenakan hijab dan juga masker agar tidak dikenali oleh siapapun. Terutama istrinya.Perjalanan memakan waktu kurang lebih dua jam dan untuk sampai ke rumah duka sekitar empat puluh lima menit dari bandara. Valerie tiba belakangan menggunakan taksi sedangkan Leo dan Vania sudah sampai lebih awal karena dijemput oleh Pak Sena.Tepat pukul tiga sore, kembali Valerie menginjakkan kaki di rumah yang pergi maupun pulang membuat air mata Valerie berlinang. Keluarga dan kerabat dekat berbisik-bisik satu sama lain dan memandanginya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seolah Valerie adalah orang asing yang tak seharusnya hadir. Inah menjadi satu-satunya orang yang menyambutnya dengan langs
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu