Pernikahanku dan Mas Bagas memang dimulai dengan sebuah kesalahan. Tanpa restu ibu dan keluarga pria itu, kami tetap melaksanakan ijab kabul. Kini, suamiku berubah setelah aku menjadi perisainya dan mendampingi, bahkan dicaci keluarganya .... Bisakah aku bertahan? Ataukah sulitnya restu yang kami dapat sebenarnya sebuah pertanda bahwa kami tak bisa bersatu?
View More“Nduk, kamu yakin mengejar keponakanku? Kamu sudah mengenalnya dengan baik?” tanya pakde dari kekasihku.
Aku menghela nafas bingung--masih meraba tentang perkataan pakdenya calon suamiku ini. Apakah ia dalam pihak kami, atau dalam pihak orang tua kekasihku yang tampak tidak setuju dengan hubungan kami?
“Sudah sampai sini, Pakdhe. Itu juga yang ingin aku tanyakan. Dia tidak bisa dihubungi, padahal pernikahan kami kurang sebulan lagi,” lanjutku dengan cemas.
Terlihat, pakdhe demikian juga aku panggil, kaget. Mungkin pikirnya, sudah sejauh itu? Karena pada kenyataannya memang kami tidak memberitahukan keluarganya sama sekali. Bahkan, calon suamiku itu menyerahkan semuanya padaku tentang semua pernak-pernik pernikahan kita ini.
“Bagaimana bisa? Nah begitulah makanya aku tanya kamu. Kasihan kamunya jika sudah menjadi istrinya. Aku tahu siapa keponakanku, jadi tidak ada yang bisa aku katakan,” ucapnya.
Kami terdiam, sampai sang istri menyajikan minuman dan makanan kecil. Kala itu, tahu goreng dan bala-bala. Makanan yang menjadi favoritku itu, bahkan terlihat seperti hanya seonggok duri yang tidak menarik minatku. Belum lagi, segelas teh hangat, minuman yang paling tidak kusuka.
“Arif, telpon adikmu. Bisa-bisanya, tidak bisa dihubungi dalam masa seperti ini. Ini anak orang dia bikin bingung,” kata Pakdhe terlihat sangat kesal.
Aku sedikit merasa mendapat dukungan. Ternyata, pakdenya tidak seperti kedua orang tuanya yang akan menjadi mertuaku itu, yang langsung menolak waktu sebulan lalu kami meminta restu. Akan tetapi, panggilan dari lelaki bernama Arif putra dari pakdhe itu tidak mendapat sambutan. Akan tetapi, hatiku merasa lega ketika suara rem sepeda menyentuh gendang telingaku. Kami sepakat menolak dan tidak lagi berbicara buruk tentang lelaki pujaan hatiku ini, yang sebenarnya baru saja aku sukai karena segala pemikirannya yang brilian menurutku.
“Mas, bagaimana? Bisakah kita menikah jika orang tua tak merestui?” tanyaku waktu itu, tepat setelah menunggunya selama dua jam di rumah uwak.
Rumah berukuran sepuluh kali enam meter dengan bilik bambu ini, menjadi saksi bagaimana aku ingin mengejar sebuah impian yang sebenarnya, saat ini terlihat fana. Lelakiku ini, terlihat penuh peluh karena mengayuh sepeda sekitar enam kilo meter. Keningku berkerut, ketika menyadari kedatangannya tidak mengendarai motor butut seperti biasanya.
Dalam dada penuh tanya, akan tetapi tidak dapat bibirku bergetar untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang nyasar di kepalaku itu. Kebingungan mulai melanda dalam pikiran waktu itu. Kekasihku, pujaan hatiku, selama mengenalnya sekitar setengah tahun ini, tidak sekalipun ia mengendarai sepeda. Biasanya, ia memilih tidak pergi atau meminjam sepeda motor milik temannya, daripada mengayuh.
“Aku belum mengatakan apa pun, Dik. Aku ….”
Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki di depanku ini, terlihat rustrasi. Lelaki yang sudah berani memintaku pada ibuku tersebut, terlihat penuh dengan tekanan dan luka. Rasanya, tidak cukup nyali menambah bebannya.
“Mas Bagus, bagaimana jadinya? Apakah kita batalkan saja pernikahan ini?” tanyaku memberanikan diri.
Diam, hanya itu yang dilakukan oleh Bagus. Hatiku semakin kalut. Bagaimana tidak? Pernikahan ini kurang satu minggu. Keluarganya bahkan tidak memberikan kepastian. Ada sedikit sesal merayap dalam hatiku. Mengapa bisa melangkah sejauh ini? Jika mundur, rasa malu keluargaku akan lebih parah dari yang pertama.
Ya, aku pernah gagal sebelumnya. Lelaki sebelum Bagus yang datang, memberiku sebuah janji yang tidak pernah menjadi nyata. Tapi, kami harus membatalkan pernikahan bahkan satu bulan sebelumnya. Sepertinya, kisah akan berulang. Demikian pikiranku saat itu. Sampai jarum panjang menunjuk di angka sebelas, sedangkan jarum hitam pendek di angka lima. Jarum merah terasa lambat bergeser.
“Kita ke rumahku bilang sama bapak dan ibu,” lanjutnya.
Kaget, kupuji keberaniannya. Hatiku sedikit tersentak dan trenyuh akan keberaniannya. Kepalaku sontak mengangguk tanpa komando. Akan tetapi, lagi-lagi hatiku tersentil untuk bertanya. Apakah ini benar? Bagaimana jika orang tuanya tetap tidak menyetujui? Mengapa aku kurang hati-hati? Apakah ini memang nasibku?
“Aku … apakah itu yang terbaik?” tanyaku.
Keraguan mulai datang, langkah ini apakah salah? Haruskah gagal lagi? Semua tanya itu berputar layaknya benang kusut yang tidak dapat terurai di kepalaku.
“Sebaiknya memang kalian kasih tahu orang tua. Disetujui atau tidak, bagaimanapun jika kalian sudah yakin, Pakdhe akan menyetujui. Nanti Pakdhe yang akan ngunduh mantu untuk kalian.”
Kedua bola mata kekasihku itu memandangku sangat dalam. Terlihat, tangannya akan diangkat akan tetapi diurungkan. Kepalanya mengangguk, mengajakku menaiki sepeda. Sejujurnya, air mataku sudah tidak bisa tertahan. Akan tetapi, dengan kerudung putih yang kukenakan, menyapu sudut mata agar tidak terlihat sembab.*******
Setelah bersusah payah mengayuh melewati jalan raya, sampailah di rumahnya. Dadaku semakin berdebar tak menentu. Tanganku meremas ujung kerudung. Ketika ia telah masuk ke rumah lewat pintu samping, kakiku berat melangkah untuk mengikutinya. Hingga sebuah suara terdengar.
“Nduk masuk,” ucap sebuah suara lelaki dewasa.
Itu adalah bapaknya Mas Bagus. Dengan langkah kecil, aku masuk ke rumah itu, bertepatan dengan masjid mengumandangkan ayat suci Al-Qur’an karena memang akan masuk waktu maghrib. Suara merdu dari toa itu tidak mampu menyejukkan hatiku. Hatiku semakin kalut ketika di sebelah bapaknya calon suamiku itu berdiri seorang wanita paruh baya, yang serupa ibuku walau lebih muda kira-kira lima tahun dari ibuku.
“Ada apa?” tanya ibunya.
Ya Tuhan, jantungku terasa terlepas dari kaitannya. Darahku terasa digelontorkan dari bilik langsung menuju ke kepala. Rasanya sangat panas, ketika mendengar kalimat tanya yang pendek dan klasik itu. kalimat itu bahkan lebih tajam dari belati yang sering ia gunakan untuk memangkas daun pisang, karena pekerjaan calon mertua wanitaku itu memang mengambil daun pisang untuk dijual kembali.
Ibunya, masih dengan pakaian kerja yang lusuh mendekat ikut duduk di ranjang reot yang ada di depan televisi. Kedua adiknya yang masih sekolah, baru saja makan sore sekaligus makan malam mungkin. Aku hafal, karena sudah beberapa kali berkunjung sampai senja tiba.
Debaran jantungku semakin tidak terkendali ketika meluruskan pandangan dengan pandangan calon mertuaku itu. Bibirku terasa kelu. Bagaimana tidak? Wanita dihadapanku inilah yang paling menentang.
“Bu, Pak, kedatangan saya dan Mas Bagus ke mari ingin meminta restu kalian. Kami akan menikah hari Jum’at depan,” ucapku lirih.
Demi Tuhan, aku tidak berani memandang wajah mereka yang ada di ruangan itu. Terutama, bapak dan ibunya. Dadaku rasanya mau meledak ketika bibirku sudah mampu mengatakan hal itu. Kepalaku menunduk sangat dalam. Bahkan, calon suamiku itu hanya terdiam saja. Ia berada di depanku, berdiri menghadap ke arahku yang duduk di dipan sempit itu.
Kini, Ibunya menoleh. Dari ekor mataku, terlihat bahwa sorot mata lelah itu lebih penuh dengan kemarahan.
“Katakan sekali lagi!”
Esok hari, tepatnya hari Jumat tanggal tujuh Agustus tahun 2009 ini, kami akan melangsungkan pernikahan ini. Semua kerabat sudah datang. Mereka berada di ruangan depan rumah ibuku. Sudah pukul enam pagi, penata rias sudah datang. Aku sudah mandi juga.Dengan baju kemben, penata rias mulai menta wajahku. Dengan sebuah doa, dimulailah wajahku dibersihkan. Semula, aku yakin akan kelancaran acara. Hingga pukul setengah sembilan, lelakiku itu tidak dapat dihubungi. Lelaki itu sungguh membuat jantungku berdebar begitu kencang. Aku sudah siap, dengan gaun putih yang dirias oleh sang penata rias.“Aduh, sebenarnya jadi nggak sih? Kenapa aku sangat takut?” gumamku.Hingga seseorang dari keluarganya datang terlebih dahulu dengan mini bus.“Akhirnya, kalian datang juga,” komentar salah satu keluarga.Aku juga lega, akan tetapi telingaku menangkap bahwa calon suamiku belum datang, malah pengiringnya terlebih dahulu yang datang. Dalam hati, kok bisa demikian? Aku hampir meledak karena marah.“Iya
“Mbak, saat aku bersama ayahmu, dia bilang pergi dari rumah setelah khitan. Kita bertemu di perantauan. Tahukah kamu, jika ibu tidak menikah dengan ayahmu, ibu tidak bisa pulang dari rumah pakdemu,” ucap ibu.Aku bingung sebenarnya dari keterangan ibu. Apa hubungannya pulang, dengan menikah? Baiklah, kita dengarkan kisah selengkapnya saja.“Jadi, dulu ibu dan ayahmu ketemu di Sumatera, di kampung trans. Ayahmu adalah pegawainya pakdemu. Kata Pakdemu, dia akan membiarkanku pulang dan bawa simbahmu, jika aku mau menikah,” ucapnya.Dia sudah bisa menghadapiku. Matanya sedikit sembab, bahkan hampir menjatuhkan buliran itu. aku memeluknya, hal yang paling jarang bahkan tidak pernah kulakukan. Tangisnya tumpah saat ini di pelukanku. Aku belum pernah melihat air mata wonder woman-ku ini, selama umurku. Ibuku, tidak pernah menangis. “Kalau tidak kuat, ceritanya bisa lain kali saja, Bu. Aku tidak buru-buru ingin mendengar,” ucapku.Demi Tuhan, aku melihat sisi rapuh dari wanita yang melahirka
Aku masih ingat saat usiaku tujuh belas tahun, tepatnya kelas dua dahulu disebut SMA. Saat SMA, aku tinggal di panti asuhan karena ibu tidak sanggup lagi membiayai sekolahku. Saat aku bilang akan sekolah, ibu menangis dan bilang dengan suara gemetar,“Mbak, ibu tidak lagi bisa membiayai sekolahmu. Saat SMP saja, kalau kamu tidak pintar dan mendapatkan beasiswa, tidak bisa lulus. Kamu masih ingat waktu kelas dua dan adikmu harus rawat jalan karena flek paru-paru, bahkan hampir saja keluar dari sekolah karena uang beasiswa digunakan untuk berobat. Sekarang SMA juga jauh di kota. Ibu hanya bisa merestuimu,” ucap ibuku.Maka berangkatlah aku di panti asuhan walau sebenarnya, bukan anak yatim atau piatu. Apalagi, anak yatim piatu. Akan tetapi, demi selembar ijazah, tidak malu diriku masuk ke dalam panti asuhan. Aku tidak tahu hukumnya, yang terpenting ingin sekolah saja.Maka dari itu, meskipun hari-hariku sulit, tetap kujalani. Tuhanku mengijabah, yang sebelumnya aku hanya bisa membaca Al
Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu.“Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.”Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar sementara. Akan tetapi, ia menginginkan kita abadi, kemungkinan hanya maut yang akan memisahkan. Alangkah indahnya, hingga mataku sampai berkaca-kaca.“Alah, alah … sudah jangan terharu begitu. Masih ada aku. Gus. Jangan membuatku yang jomblo ini ngiri pada kalian,” ucap sahabatnya Mas Bagus. Aku semakin tersipu menarik tanganku yang dipegang oleh Mas Bagus. Setelah Mas Bagus mengatakan semuanya, aku pamit ke belakang untuk
Aku ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya.“Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku.“Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar.Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah suara ayahku. Tidak akan pernah lupa. Suara itu yang tidak pernah kurindukan walau ia adalah lelaki yang telah mengukir diriku di dalam rahim ibuku. Kami, hanya bertemu beberapa waktu saja meskipun lelaki itu disebut ayah.“Bukan begitu, Pak. Aku lupa gangnya. Jadi aku ke rumah Mas Fatih dulu,” ucapku.Ya Fatih adalah kakakku. Lelaki itu yang mencari bapak waktu kakakku yang bernama Ratih, akan menikah. Maka sejak itu, ibu mengetahui bahwa ia
Aku tersenyum, suamiku memang nyentrik. Mas kawin, seharusnya akan dibawa bersama lamaran. Aku lupa, lamaran itu tidak pernah ada. Kita sudah membahas, bahwa tidak apa-apa aku tidak dilamar asalkan sah secara agama dan negara. Bagiku sudah cukup. Kali ini aku cukup terharu karena dia menyediakan mas kawin ini. “Terima kasih,” ucapku. “Kamu tahu, mengapa aku memilih mas kawin ini yang berbeda dari biasanya?” tanya dia. Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu. “Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.” Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar s
“Mas!""Kenapa?" tanyanya kecewa."Aku … kalau sudah menikah, bukan hanya itu yang kamu punya. Tapi semuanya,” ucapku lirih.Bagas terlihat semakin kecewa. Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa melakukannya. Aku terlalu takut. Sebenarnya, bukan karena takut dosa, akan tetapi takut sengsara. Berapa contoh yang memberikan dirinya, menyerahkan dirinya sebelum menikah, ditinggalkan oleh lelakinya dengan biadab. Aku tidak mau begitu.*****Aku lantas ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya. “Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku. “Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar. Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah
Meskipun aku tidak membenci ayahku, akan tetapi sampai hari ini merasa sakit karena tahu bahwa aku sebenarnya bukan anak pertama. Ada dua kakak dari pernikahan terdahulu yang keberadaannya baru kami ketahui karena kakak tiriku yang pertama itu, perempuan dan akan menikah. Jadi keluarga pertama, mencari bapak. Aku memejamkan mata. Drama apa yang terjadi dalam hidup. Mengapa? Keluargaku penuh dengan misteri. Aku sangka, bahwa orang tuaku baik-baik saja. Akan tetapi, ternyata demikian. Sungguh, ini mirip dengan film. Aku tertawa menertawakan diriku sendiri. Ibuku? Dulu dibohongi bapak. Apakah ini sebuah karma? Kami disambut baik oleh kakak tiriku. Aku memang berhubungan baik dengan mereka. Selain itu, mereka juga ingin sebenarnya memberikan aku pekerjaan agar dapat hidup lebih layak. Sebagai gambaran, kakak tiriku yang laki-laki memang pekerja keras. Terutama dengan istrinya yang sangat getol dengan usaha. Ia pedagang ikan pindang yang sudah bisa disebut juragan karena memilih masak se
Ibu lantas mengangguk. Ia pun membuang ingus yang mungkin sudah penuh karena menangis. Aku tersenyum, mengantarkan wanita yang paling hebat itu ke belakang dan membawakan keranjang belanjaan yang berisi beberapa lauk dari pasar. Setelah mencuci ikan, memasaknya. Ibu sudah bersiap untuk istirahat sebentar sebelum nantinya akan aktivitas merawat sayuran lagi. Setelah itu, kami berbincang tentang pernikahan. Meskipun sederhana, kami tetap akan membuat pelaminan. “Bu, tidak usah menyewa pelaminan. Itu akan membutuhkan biaya banyak,” ucapku. Ibu menoleh, ketika aku mengatakan itu. Matanya berkaca-kaca. Sekilas, aku memandang mata wanita tua ini berkaca-kaca. Kutahu, pasti hatinya sakit. Aku masih muda, ini pertama kali untukku. Akan tetapi, pernikahan ini harus sederhana. Bukan mewah intinya. Aku hanya ingin menikah untuk memberi tahu orang-orang, bahwa aku bukan pembawa sial. Atau bahasa kasarnya tidak laku. “Tidak apa-apa. Sederhana saja. Kamu daftar dulu pernikahan kalian. Setela
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments