Share

BAB VII

Author: Meyyis
last update Last Updated: 2023-03-09 10:38:24

Ibu lantas mengangguk. Ia pun membuang ingus yang mungkin sudah penuh karena menangis.

Aku tersenyum, mengantarkan wanita yang paling hebat itu ke belakang dan membawakan keranjang belanjaan yang berisi beberapa lauk dari pasar. Setelah mencuci ikan, memasaknya. 

Ibu sudah bersiap untuk istirahat sebentar sebelum nantinya akan aktivitas merawat sayuran lagi. Setelah itu, kami berbincang tentang pernikahan. Meskipun sederhana, kami tetap akan membuat pelaminan. 

“Bu, tidak usah menyewa pelaminan. Itu akan membutuhkan biaya banyak,” ucapku.

Ibu menoleh, ketika aku mengatakan itu. Matanya berkaca-kaca. Sekilas, aku memandang mata wanita tua ini berkaca-kaca. Kutahu, pasti hatinya sakit. Aku masih muda, ini pertama kali untukku. Akan tetapi, pernikahan ini harus sederhana. Bukan mewah intinya. Aku hanya ingin menikah untuk memberi tahu orang-orang, bahwa aku bukan pembawa sial. Atau bahasa kasarnya tidak laku.

“Tidak apa-apa. Sederhana saja. Kamu daftar dulu pernikahan kalian. Setelah itu, ke  rumah bapakmu untuk meminta restu. Akan tetapi, sepertinya ia tidak bisa menjadi penghulu. Demikian kata Pak Penghulu.”

Aku mengerutkan kening. Mengapa tidak bisa?

“Ah, ibu sudah bertemu dengannya?” tanyaku penasaran.

Ibu bisa tahu semua itu, tentu saja mestinya dari penghulu itu. Ibu bukan orang yang tahu tentang ketentuan nikah. Ia bukan orang muslim yang berilmu. Hanya ikut-ikutan saja.

“Sudah waktu pulang tadi. Biaya nikah, empat ratus ribu. Selain itu ada wali hakim dua ratus ribu, karena kamu tidak bisa menggunakan bapakmu sebagai wali,” ucap ibu selanjutnya.

Aku tidak bertanya lagi, karena takut melukai ibu. Pasti ada sesuatu yang berbeda, mengapa tidak bisa menjadi wali nikahku. Setelah selesai melakukan pekerjaan rumah, aku mencari dokumen-dokumen itu. Ternyata, ada dokumen yang aku cocokkan menjadi penyebab bahwa bapakku tidak bisa menjadi wali. Aku mengembuskan napas panjang. Keadaan ini, harus aku tanyakan kepada ibu. Meskipun mungkin akan melukai perasaannya.  

Aku menemukan bahwa akta lahir dan tanggal nikah ibu hanya selisih satu hari. Ibu menikah tanggal dua sedangkan tanggal tiganya hari kelahiranku. Aku mengerutkan kening.

“Mungkinkah aku ada sebelum pernikahan? Atau hanya pencatatannya saja? Aku harus bertanya pada ibu tentang ini,” batinku.

Aku mengumpulkan persyaratan untuk membuat akta nikah. Setelah itu, keluar dari kamar untuk menemui tamu, karena sepertinya ada suara mengetuk pintu. Aku tersenyum, karena ternyata itu adalah calon suamiku.

“Bagaimana jadinya?” tanyanya setelah duduk dan aku memberikan minum untuknya.

“Kata ibu, kita harus memberi tahu bapak,” ucapku.

“Ya memang kita harus ke sana. Pakai motormu, ya? Aku tidak punya motor sudah dijual,” ucapnya.

Aku menelan ludah payah. Motor yang aku pakai ini, memang hasil kami berdua. Bukan beli cash melainkan kredit. Untuk DP, aku mengiur sekitar tujuh puluh persen, sedangkan ia tiga puluh persennya.

“Baiklah, memang motormu kemana?” tanyaku.

Akhirnya pecah juga pertanyaan itu dari kemarin. Rasa penasaranku semoga terjawab, karena melihatnya menggunakan sepeda.

“Motorku dijual untuk membiayai adik. Dia … dia berantem sehingga harus memberikan kompensasi pada orang yang dipukul itu,” ucapnya.

Aku memejamkan mata. Keluarga apa yang sebenarnya aku kenal. Sebagai info, calon suamiku ini juga suka sekali minum minuman keras, sehingga saat ia mabuk kadang juga di luar kendali. Akan tetapi,  entah dari mana kepercayaan diri aku datang, ingin membawanya untuk kembali ke jalan yang benar. Aku melihat, suatu saat nanti ia akan bisa berubah ke jalan yang benar. Aku punya Allah, pasti akan bisa.

“Baiklah, kapan mau ke sana?” ucapku.

Dia terlihat berpikir sejenak.

“Besok saja,” katanya.

Seperti biasa. Kami memang tidak memiliki tema yang akan dibahas.

Di depannya, selalu saja tidak bisa bicara. Aku selalu merasa harus berhati-hati jika di depannya. Takut menyinggung perasaannya, takut tidak sesuai yang ia inginkan. 

Kami berpisah dengan saling memeluk. Tentu saja, kami mencuri momen itu. Jika sampai ada yang melihat, akan sangat bahaya. Aku berada di desa. Bagi orang desa, pantang bagi pemuda dan pemudi hanya sekedar berpelukan saja, sebelum halal. 

Esok hari, kami benar-benar pergi menemui bapakku. Kami ke sebuah kota yang berada jauh dari kota yang kami tinggali. Perjalanan ke sana, sekitar empat jam. Kami menaiki motor bebek berboncengan. Saat ini, hanya rasa bahagia dan optimis. 

Aku sudah beberapa kali ke rumah bapak.

Sebagai informasi, ibuku bercerai saat aku masih duduk di bangku SMA. Aku sendiri tidak mengetahui sebabnya. Aku hanya menduganya, karena bapak berbohong pada ibu. Ia tidak mengaku selama delapan belas tahun menikah dengan ibu, jika dirinya sudah beristri sebelumnya. 

"Semoga pilihanku ini tepat," lirihku menenangkan diri.

Related chapters

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB VIII

    Meskipun aku tidak membenci ayahku, akan tetapi sampai hari ini merasa sakit karena tahu bahwa aku sebenarnya bukan anak pertama. Ada dua kakak dari pernikahan terdahulu yang keberadaannya baru kami ketahui karena kakak tiriku yang pertama itu, perempuan dan akan menikah. Jadi keluarga pertama, mencari bapak. Aku memejamkan mata. Drama apa yang terjadi dalam hidup. Mengapa? Keluargaku penuh dengan misteri. Aku sangka, bahwa orang tuaku baik-baik saja. Akan tetapi, ternyata demikian. Sungguh, ini mirip dengan film. Aku tertawa menertawakan diriku sendiri. Ibuku? Dulu dibohongi bapak. Apakah ini sebuah karma? Kami disambut baik oleh kakak tiriku. Aku memang berhubungan baik dengan mereka. Selain itu, mereka juga ingin sebenarnya memberikan aku pekerjaan agar dapat hidup lebih layak. Sebagai gambaran, kakak tiriku yang laki-laki memang pekerja keras. Terutama dengan istrinya yang sangat getol dengan usaha. Ia pedagang ikan pindang yang sudah bisa disebut juragan karena memilih masak se

    Last Updated : 2023-03-09
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB IX

    “Mas!""Kenapa?" tanyanya kecewa."Aku … kalau sudah menikah, bukan hanya itu yang kamu punya. Tapi semuanya,” ucapku lirih.Bagas terlihat semakin kecewa. Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa melakukannya. Aku terlalu takut. Sebenarnya, bukan karena takut dosa, akan tetapi takut sengsara. Berapa contoh yang memberikan dirinya, menyerahkan dirinya sebelum menikah, ditinggalkan oleh lelakinya dengan biadab. Aku tidak mau begitu.*****Aku lantas ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya. “Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku. “Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar. Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah

    Last Updated : 2023-03-09
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   Bab X

    Aku tersenyum, suamiku memang nyentrik. Mas kawin, seharusnya akan dibawa bersama lamaran. Aku lupa, lamaran itu tidak pernah ada. Kita sudah membahas, bahwa tidak apa-apa aku tidak dilamar asalkan sah secara agama dan negara. Bagiku sudah cukup. Kali ini aku cukup terharu karena dia menyediakan mas kawin ini. “Terima kasih,” ucapku. “Kamu tahu, mengapa aku memilih mas kawin ini yang berbeda dari biasanya?” tanya dia. Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu. “Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.” Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar s

    Last Updated : 2023-03-09
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB IX

    Aku ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya.“Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku.“Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar.Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah suara ayahku. Tidak akan pernah lupa. Suara itu yang tidak pernah kurindukan walau ia adalah lelaki yang telah mengukir diriku di dalam rahim ibuku. Kami, hanya bertemu beberapa waktu saja meskipun lelaki itu disebut ayah.“Bukan begitu, Pak. Aku lupa gangnya. Jadi aku ke rumah Mas Fatih dulu,” ucapku.Ya Fatih adalah kakakku. Lelaki itu yang mencari bapak waktu kakakku yang bernama Ratih, akan menikah. Maka sejak itu, ibu mengetahui bahwa ia

    Last Updated : 2023-03-10
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB X

    Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu.“Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.”Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar sementara. Akan tetapi, ia menginginkan kita abadi, kemungkinan hanya maut yang akan memisahkan. Alangkah indahnya, hingga mataku sampai berkaca-kaca.“Alah, alah … sudah jangan terharu begitu. Masih ada aku. Gus. Jangan membuatku yang jomblo ini ngiri pada kalian,” ucap sahabatnya Mas Bagus. Aku semakin tersipu menarik tanganku yang dipegang oleh Mas Bagus. Setelah Mas Bagus mengatakan semuanya, aku pamit ke belakang untuk

    Last Updated : 2023-03-10
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB XI

    Aku masih ingat saat usiaku tujuh belas tahun, tepatnya kelas dua dahulu disebut SMA. Saat SMA, aku tinggal di panti asuhan karena ibu tidak sanggup lagi membiayai sekolahku. Saat aku bilang akan sekolah, ibu menangis dan bilang dengan suara gemetar,“Mbak, ibu tidak lagi bisa membiayai sekolahmu. Saat SMP saja, kalau kamu tidak pintar dan mendapatkan beasiswa, tidak bisa lulus. Kamu masih ingat waktu kelas dua dan adikmu harus rawat jalan karena flek paru-paru, bahkan hampir saja keluar dari sekolah karena uang beasiswa digunakan untuk berobat. Sekarang SMA juga jauh di kota. Ibu hanya bisa merestuimu,” ucap ibuku.Maka berangkatlah aku di panti asuhan walau sebenarnya, bukan anak yatim atau piatu. Apalagi, anak yatim piatu. Akan tetapi, demi selembar ijazah, tidak malu diriku masuk ke dalam panti asuhan. Aku tidak tahu hukumnya, yang terpenting ingin sekolah saja.Maka dari itu, meskipun hari-hariku sulit, tetap kujalani. Tuhanku mengijabah, yang sebelumnya aku hanya bisa membaca Al

    Last Updated : 2023-03-10
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB XII

    “Mbak, saat aku bersama ayahmu, dia bilang pergi dari rumah setelah khitan. Kita bertemu di perantauan. Tahukah kamu, jika ibu tidak menikah dengan ayahmu, ibu tidak bisa pulang dari rumah pakdemu,” ucap ibu.Aku bingung sebenarnya dari keterangan ibu. Apa hubungannya pulang, dengan menikah? Baiklah, kita dengarkan kisah selengkapnya saja.“Jadi, dulu ibu dan ayahmu ketemu di Sumatera, di kampung trans. Ayahmu adalah pegawainya pakdemu. Kata Pakdemu, dia akan membiarkanku pulang dan bawa simbahmu, jika aku mau menikah,” ucapnya.Dia sudah bisa menghadapiku. Matanya sedikit sembab, bahkan hampir menjatuhkan buliran itu. aku memeluknya, hal yang paling jarang bahkan tidak pernah kulakukan. Tangisnya tumpah saat ini di pelukanku. Aku belum pernah melihat air mata wonder woman-ku ini, selama umurku. Ibuku, tidak pernah menangis. “Kalau tidak kuat, ceritanya bisa lain kali saja, Bu. Aku tidak buru-buru ingin mendengar,” ucapku.Demi Tuhan, aku melihat sisi rapuh dari wanita yang melahirka

    Last Updated : 2023-03-10
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB XIII

    Esok hari, tepatnya hari Jumat tanggal tujuh Agustus tahun 2009 ini, kami akan melangsungkan pernikahan ini. Semua kerabat sudah datang. Mereka berada di ruangan depan rumah ibuku. Sudah pukul enam pagi, penata rias sudah datang. Aku sudah mandi juga.Dengan baju kemben, penata rias mulai menta wajahku. Dengan sebuah doa, dimulailah wajahku dibersihkan. Semula, aku yakin akan kelancaran acara. Hingga pukul setengah sembilan, lelakiku itu tidak dapat dihubungi. Lelaki itu sungguh membuat jantungku berdebar begitu kencang. Aku sudah siap, dengan gaun putih yang dirias oleh sang penata rias.“Aduh, sebenarnya jadi nggak sih? Kenapa aku sangat takut?” gumamku.Hingga seseorang dari keluarganya datang terlebih dahulu dengan mini bus.“Akhirnya, kalian datang juga,” komentar salah satu keluarga.Aku juga lega, akan tetapi telingaku menangkap bahwa calon suamiku belum datang, malah pengiringnya terlebih dahulu yang datang. Dalam hati, kok bisa demikian? Aku hampir meledak karena marah.“Iya

    Last Updated : 2023-07-12

Latest chapter

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB XIII

    Esok hari, tepatnya hari Jumat tanggal tujuh Agustus tahun 2009 ini, kami akan melangsungkan pernikahan ini. Semua kerabat sudah datang. Mereka berada di ruangan depan rumah ibuku. Sudah pukul enam pagi, penata rias sudah datang. Aku sudah mandi juga.Dengan baju kemben, penata rias mulai menta wajahku. Dengan sebuah doa, dimulailah wajahku dibersihkan. Semula, aku yakin akan kelancaran acara. Hingga pukul setengah sembilan, lelakiku itu tidak dapat dihubungi. Lelaki itu sungguh membuat jantungku berdebar begitu kencang. Aku sudah siap, dengan gaun putih yang dirias oleh sang penata rias.“Aduh, sebenarnya jadi nggak sih? Kenapa aku sangat takut?” gumamku.Hingga seseorang dari keluarganya datang terlebih dahulu dengan mini bus.“Akhirnya, kalian datang juga,” komentar salah satu keluarga.Aku juga lega, akan tetapi telingaku menangkap bahwa calon suamiku belum datang, malah pengiringnya terlebih dahulu yang datang. Dalam hati, kok bisa demikian? Aku hampir meledak karena marah.“Iya

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB XII

    “Mbak, saat aku bersama ayahmu, dia bilang pergi dari rumah setelah khitan. Kita bertemu di perantauan. Tahukah kamu, jika ibu tidak menikah dengan ayahmu, ibu tidak bisa pulang dari rumah pakdemu,” ucap ibu.Aku bingung sebenarnya dari keterangan ibu. Apa hubungannya pulang, dengan menikah? Baiklah, kita dengarkan kisah selengkapnya saja.“Jadi, dulu ibu dan ayahmu ketemu di Sumatera, di kampung trans. Ayahmu adalah pegawainya pakdemu. Kata Pakdemu, dia akan membiarkanku pulang dan bawa simbahmu, jika aku mau menikah,” ucapnya.Dia sudah bisa menghadapiku. Matanya sedikit sembab, bahkan hampir menjatuhkan buliran itu. aku memeluknya, hal yang paling jarang bahkan tidak pernah kulakukan. Tangisnya tumpah saat ini di pelukanku. Aku belum pernah melihat air mata wonder woman-ku ini, selama umurku. Ibuku, tidak pernah menangis. “Kalau tidak kuat, ceritanya bisa lain kali saja, Bu. Aku tidak buru-buru ingin mendengar,” ucapku.Demi Tuhan, aku melihat sisi rapuh dari wanita yang melahirka

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB XI

    Aku masih ingat saat usiaku tujuh belas tahun, tepatnya kelas dua dahulu disebut SMA. Saat SMA, aku tinggal di panti asuhan karena ibu tidak sanggup lagi membiayai sekolahku. Saat aku bilang akan sekolah, ibu menangis dan bilang dengan suara gemetar,“Mbak, ibu tidak lagi bisa membiayai sekolahmu. Saat SMP saja, kalau kamu tidak pintar dan mendapatkan beasiswa, tidak bisa lulus. Kamu masih ingat waktu kelas dua dan adikmu harus rawat jalan karena flek paru-paru, bahkan hampir saja keluar dari sekolah karena uang beasiswa digunakan untuk berobat. Sekarang SMA juga jauh di kota. Ibu hanya bisa merestuimu,” ucap ibuku.Maka berangkatlah aku di panti asuhan walau sebenarnya, bukan anak yatim atau piatu. Apalagi, anak yatim piatu. Akan tetapi, demi selembar ijazah, tidak malu diriku masuk ke dalam panti asuhan. Aku tidak tahu hukumnya, yang terpenting ingin sekolah saja.Maka dari itu, meskipun hari-hariku sulit, tetap kujalani. Tuhanku mengijabah, yang sebelumnya aku hanya bisa membaca Al

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB X

    Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu.“Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.”Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar sementara. Akan tetapi, ia menginginkan kita abadi, kemungkinan hanya maut yang akan memisahkan. Alangkah indahnya, hingga mataku sampai berkaca-kaca.“Alah, alah … sudah jangan terharu begitu. Masih ada aku. Gus. Jangan membuatku yang jomblo ini ngiri pada kalian,” ucap sahabatnya Mas Bagus. Aku semakin tersipu menarik tanganku yang dipegang oleh Mas Bagus. Setelah Mas Bagus mengatakan semuanya, aku pamit ke belakang untuk

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB IX

    Aku ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya.“Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku.“Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar.Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah suara ayahku. Tidak akan pernah lupa. Suara itu yang tidak pernah kurindukan walau ia adalah lelaki yang telah mengukir diriku di dalam rahim ibuku. Kami, hanya bertemu beberapa waktu saja meskipun lelaki itu disebut ayah.“Bukan begitu, Pak. Aku lupa gangnya. Jadi aku ke rumah Mas Fatih dulu,” ucapku.Ya Fatih adalah kakakku. Lelaki itu yang mencari bapak waktu kakakku yang bernama Ratih, akan menikah. Maka sejak itu, ibu mengetahui bahwa ia

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   Bab X

    Aku tersenyum, suamiku memang nyentrik. Mas kawin, seharusnya akan dibawa bersama lamaran. Aku lupa, lamaran itu tidak pernah ada. Kita sudah membahas, bahwa tidak apa-apa aku tidak dilamar asalkan sah secara agama dan negara. Bagiku sudah cukup. Kali ini aku cukup terharu karena dia menyediakan mas kawin ini. “Terima kasih,” ucapku. “Kamu tahu, mengapa aku memilih mas kawin ini yang berbeda dari biasanya?” tanya dia. Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu. “Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.” Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar s

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB IX

    “Mas!""Kenapa?" tanyanya kecewa."Aku … kalau sudah menikah, bukan hanya itu yang kamu punya. Tapi semuanya,” ucapku lirih.Bagas terlihat semakin kecewa. Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa melakukannya. Aku terlalu takut. Sebenarnya, bukan karena takut dosa, akan tetapi takut sengsara. Berapa contoh yang memberikan dirinya, menyerahkan dirinya sebelum menikah, ditinggalkan oleh lelakinya dengan biadab. Aku tidak mau begitu.*****Aku lantas ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya. “Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku. “Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar. Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB VIII

    Meskipun aku tidak membenci ayahku, akan tetapi sampai hari ini merasa sakit karena tahu bahwa aku sebenarnya bukan anak pertama. Ada dua kakak dari pernikahan terdahulu yang keberadaannya baru kami ketahui karena kakak tiriku yang pertama itu, perempuan dan akan menikah. Jadi keluarga pertama, mencari bapak. Aku memejamkan mata. Drama apa yang terjadi dalam hidup. Mengapa? Keluargaku penuh dengan misteri. Aku sangka, bahwa orang tuaku baik-baik saja. Akan tetapi, ternyata demikian. Sungguh, ini mirip dengan film. Aku tertawa menertawakan diriku sendiri. Ibuku? Dulu dibohongi bapak. Apakah ini sebuah karma? Kami disambut baik oleh kakak tiriku. Aku memang berhubungan baik dengan mereka. Selain itu, mereka juga ingin sebenarnya memberikan aku pekerjaan agar dapat hidup lebih layak. Sebagai gambaran, kakak tiriku yang laki-laki memang pekerja keras. Terutama dengan istrinya yang sangat getol dengan usaha. Ia pedagang ikan pindang yang sudah bisa disebut juragan karena memilih masak se

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB VII

    Ibu lantas mengangguk. Ia pun membuang ingus yang mungkin sudah penuh karena menangis. Aku tersenyum, mengantarkan wanita yang paling hebat itu ke belakang dan membawakan keranjang belanjaan yang berisi beberapa lauk dari pasar. Setelah mencuci ikan, memasaknya. Ibu sudah bersiap untuk istirahat sebentar sebelum nantinya akan aktivitas merawat sayuran lagi. Setelah itu, kami berbincang tentang pernikahan. Meskipun sederhana, kami tetap akan membuat pelaminan. “Bu, tidak usah menyewa pelaminan. Itu akan membutuhkan biaya banyak,” ucapku. Ibu menoleh, ketika aku mengatakan itu. Matanya berkaca-kaca. Sekilas, aku memandang mata wanita tua ini berkaca-kaca. Kutahu, pasti hatinya sakit. Aku masih muda, ini pertama kali untukku. Akan tetapi, pernikahan ini harus sederhana. Bukan mewah intinya. Aku hanya ingin menikah untuk memberi tahu orang-orang, bahwa aku bukan pembawa sial. Atau bahasa kasarnya tidak laku. “Tidak apa-apa. Sederhana saja. Kamu daftar dulu pernikahan kalian. Setela

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status