BAB VI

“Han ... bangun! Jangan seperti ini,” ucapku. 

Sebenarnya, aku trenyuh, tetapi mau bagaimana lagi? Semua sudah berlalu. Janji adalah janji.

Tanganku lantas menariknya pria itu agar bangun.

Ini memalukan. Bahkan, beberapa menyaksikan kami dari kejauhan.

Aku menoleh ke kanan dan melirik ke rumah tetangga yang juga menyaksikan peristiwa ini. Duh, malu rasanya. Ini bukan drama Korea atau drama China, Bosku!Aku berhasil membuatnya bangun. Mataku, memberanikan diri untuk menatap mata sembabnya. Lelaki itu, yang selama setahun ini menjadi temanku. Ia bahkan selalu ada untukku. Kenapa baru sekarang? Aku pernah berharap padanya, akan tetapi aku kubur karena tidak ingin kecewa lagi. Hanya dia yang menemani saat-saat paling sulit ketika Mas Dwi meninggalkanku. Bukan, lebih tepatnya aku yang tidak mau bersamanya, ketika tahu bahwa ia hanya memanfaatkanku saja.

“Aku benar-benar minta maaf, Han. Aku menyesal tidak menyadari sebelumnya. Han, aku sudah janji dengannya, tidak mungkin mengingkarinya,” ucapku.

Aku balik badan langsung meninggalkannya. Hatiku campur aduk tidak karuan. Aku sudah menentukan pilihan dengan Mas Bagus, akan tetapi Handy anak yang baik. Aku bisa kembali seperti ini karenanya. Jika tidak ada dia yang menyemangatiku, mungkin saja aku ….

Hampir saja aku terjatuh dari motor jika tidak segera sadar.  Ini tikungan tajam, akan tetapi tidak konsentrasi aku mengendarai motor. Hingga, sampai rumah, perkataan Handy selalu saja terngiang. Aku mengembuskan napas berkali-kali. 

*******

Setelah melakukan aktivitas, ibuku pulang dari pasar. Ibu memandangku, membuatku salah tingkah.

“Ada apa, Bu?” tanyaku.

Ibuku berulang kali mengembuskan napas. Aku semakin penasaran yang terjadi sama wanita yang paling mencintaiku di seluruh dunia ini.

“Kamu tidak bisa lagi mengubah keputusan?” tanya ibu.

Aku menghentikan aktivitasku membersihkan ruang depan. 

“Bu, aku sudah berjanji akan menerima siapa saja yang berani bilang sama ibu. Aku tidak bisa ingkar janji,” ucapku.

Ibu mengembuskan napas lagi.

“Ada apa?” 

Akhirnya lolos juga pertanyaan itu untuk ibuku.

“Aku ketemu dengan temanmu. Kami sempat mengobrol,” ucap ibuku.

Telingaku terasa sedikit panas. Bukan marah, melainkan …  tidak tahu, rasa yang menyusup ini. Boleh dibilang, sebuah penyesalan. Penyesalan yang tidak pernah dapat aku bandingkan dengan rasa bahagia akan menikah. Bahagia? Jauh sepertinya.

Yang aku rasakan, bukan bahagia. Melainkan hanya rasa menyelesaikan tugas agar tidak membuat ibuku malu lagi. Memang, ada sedikit haru dan sedikit merasa suka dengan Mas Bagus. Akan tetapi belum dalam taraf cinta, selain sebuah tanggung jawab karena sumpah yang pernah aku utarakan bahkan di depan setiap teman laki-laki yang berusaha mendekatiku.

“Apa yang dia katakan?”  tanyaku.

Aku penasaran, apa yang sebenarnya dikatakan oleh Handy pada ibuku. Apakah sama dengan yang dikatakan padaku? 

“Dia menyukaimu,” ucap ibu singkat.

Aku menunduk, sepertinya ia belum menyerah. Aku paham rasanya, ia sudah menyukaiku selama setahun mungkin. Akan tetapi, karena aku bilang hanya menerima orang yang ingin menikah denganku, maka ia mempersiapkan semuanya.

“Aku tahu, tetapi … bagaimana lagi? Apakah aku harus menelan ludahku dan menerimanya?” tanyaku.

“Bu, mungkin ia bukan jodohku,” pupusku.

Ibu mengembuskan napas panjang.

“Dia lebih bertanggung jawab daripada Bagus. Bahkan, ia sudah merawat kambing untuk bekal melamarmu,” lanjut ibu.

Aku menelan air ludah di tenggorokan sangat payah. Sudah sampai sejauh itu ia mempersiapkan. Akan tetapi, lagi-lagi mungkin ia bukan jodohku.

“Kamu yakin, Nduk tidak ingin berubah pikiran? Belum terlambat kalau berubah pikiran. Menurut penilaian ibu, Bagus tidak bertanggung jawab. Jika memang begitu, nantinya kamu akan menderita. Sejauh ini, kamu belum pernah bahagia. Bahkan ibumu ini tidak bisa membuatmu bahagia,” ucap ibuku.

Suaranya terdengar tertahan di tenggorokan. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Ibu, jangan bicara begitu. Ibu sudah membuatku bahagia hanya terlahir dari rahimmu. Itu sudah cukup bagiku. Bu, mungkin Tuhan punya rencananya,” ucapku untuk membujuk ibu.

Namun, ibuku masih saja menangis. Ia  juga menghapus air matanya dengan punggung tangannya.

Aku memeluknya untuk menenangkan. Wanita yang sudah setengah abad itu tergugu di pelukanku.

“Jangan merasa sakit dengan keadaan kita. Aku bahagia, Bu. Menjadi anakmu.”

Kami berdua saling berpelukan. Sepertinya, aku mulai ragu akan keputusan ini, akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk kami. Semua terlanjur sudah. Aku harus konsisten dengan keputusan yang aku ambil.

Setelah kami saling berpelukan, Ibu pun mengatakan semua yang ia dengar dari Handy. Lelaki itu sungguh menyayangiku. Ia tidak mengatakannya sebab menunggu sampai siap. Aku menunduk, mengapa harus memilih lelaki yang jelas belum siap? Akan tetapi, aku berpikir lagi.

Jika aku memilih Handy, maka akan sangat kelihatan bahwa tidak ada perjuangan. Apa kata orang?  Nisa materialistik. Ia tega meninggalkan Bagus, bersama Handy karena Bagus tidak memiliki uang untuk lamaran.

Aku berulang kali mengembuskan napas. Sudah bulat tekadku, untuk berjuang bersama dengan Bagus. Masih ingat beberapa minggu yang lalu saat lelakiku itu berbincang denganku tentang masa depan. Ia bilang, akan berjuang dengan baik untuk taraf hidup yang lebih baik. Ia juga memiliki rencana untuk berwirausaha agar lebih sukses bersama.

“Bu, mungkin sudah takdir. Kita tidak adil pada Mas Bagus. Jika aku melepaskannya dan memilih Handy, kita juga pernah menjadi orang yang sangat memprihatinkan. Aku yakin dengannya, aku akan menjalani hidup ini dengannya,” ucapku tegas.

"Nak ...."