Saat dokter datang, semua orang di rumah langsung berbondong-bondong menuju kamar Valerie. Tak ketinggalan Vania dan Leo. Wanita itu memeluk lengan Leo dengan posesif. Sebab Leo berkeras untuk melihat dokter memeriksa sang adik.
‘’Badannya panas. Seharian ga keluar kamar, Dok.’’
Vira menjelaskan di saat dokter sendiri sedang memeriksa suhu tubuh Valerie.
‘’Makannya bagaimana? Perutnya sudah diisi belum?’’
Leo melirik piring yang masih lengkap dengan lauk pauk di atasnya. Sepertinya Valerie hanya makan beberapa suap.
Valerie mengangguk.
‘’Apa ada bagian tubuh kamu yang sakit?’’
Valerie juga mengangguk.
‘’Di mana?’’
Ketika Valerie menunjuk ke arah perut, Leo terlihat tidak tenang. Apalagi saat Vira menyingkap selimut dari tubuh putrinya, semua orang bisa melihat ada noda darah di atas seprai.
Vania langsung merasakan lengan Leo yang terasa basah. ‘’Kamu kenapa sih? Kok jadi keringat dingin?’’
Tapi Leo hanya menjawab pertanyaan Vania dengan meletakkan telunjuk di bibir. Menyuruh wanita itu diam.
‘’Ini darah apa, Val?’’ Sang ibu memperhatikan dengan seksama noda tersebut.
Leo hanya bisa memejamkan mata. Jantungnya bergemuruh. Leo sangat khawatir Valerie akan membongkar semuanya di hadapan keluarga.
‘’Anu, Ma… itu…’’
Valerie tak sanggup meneruskan. Itu adalah darah selaputnya. Darah yang disebabkan karena berhubungan badan dengan Leo. Valerie kian gugup untuk menjawab saat Leo memberi gelengan kecil sebagai kode saat ia dan Leo saling memandang.
Dalam kebingungannya, Valerie hanya bisa meneguk ludah sembari merapatkan bibir.
‘’Jawab Mama, itu darah apa?’’
Cecaran Vira membuat Valerie berjengit. Ia bingung. Ia tak terbiasa berbohong.
‘’Bukankah itu seperti darah haid.’’ Ucapan Leo spontan membuat semua orang menoleh ke arahnya.
‘’Sayang!!’’ Vania benar-benar risih. Kenapa Leo jadi berinisiatif menjawab?
‘’Benar begitu, Nak?’’
Valerie hanya bisa mengangguk pasrah untuk membenarkan perkataan Leo.
‘’Ternyata dia sakit hanya karena menstruasi.’’ Vania berkata dengan nada meremehkan. ‘’Sudahlah sayang, kita keluar saja. Kamu kan harus siap-siap kembali ke Kalimantan.’’
Kaki Leo ingin sekali terpaku lebih lama. Tapi Vania yang terus menariknya untuk keluar disertai tatapan dingin membuat Leo tak punya keberanian untuk membantah.
Valerie hanya bisa menggigit bibir, menahan sakit atas kata-kata dan sikap Vania.
Bila sang kakak tau apa yang terjadi sebenarnya, Valerie yakin Vania tidak akan berkata dan bersikap sekasar itu. Tapi Valerie terlalu menyayangi Vania. Jadi, ia tidak akan menghancurkan kebahagiaan dan masa depan kakak kandungnya sendiri.
***
‘’Biar Mas bantu.’’
Suara yang tak asing itu membuat Valerie terperanjat. Untuk sesaat ia menghentikan gerakannya yang berusaha untuk duduk. Ia kehausan dan ingin mengambil minum di meja— samping tempat tidur.
Lalu Valerie menengadahkan kepala untuk melihat sosok yang sekarang sedang membantunya merubah posisi.
‘’Kau ingin minum?’’
Valerie mengangguk, Ialu melihat ke arah pintu yang tertutup.
Keberangkatannya ke Kalimantan membuat Leo gusar sendiri. Ada perasaan tidak ingin kembali karena tiba-tiba ia terus-terusan memikirkan Valerie. Setelah berkemas dan melihat sepinya rumah, Leo langsung menggunakan kesempatan itu untuk menemui Valerie.
Leo membantu Valerie untuk minum. Lalu mengembalikan gelas ke tempat semula setelah selesai.
Valerie sendiri sedikit risih dengan Leo yang membantu dan berada di dekatnya. Ia takut bila Vania atau siapapun di rumah ini tiba-tiba masuk.
‘’Kau sangat pucat.’’
‘’Aku tidak apa-apa. Nanti juga akan sembuh.’’
Leo menghela napas berat lalu mengangguk. ‘’Saya akan berangkat satu jam lagi. Dan saya ingin memastikan satu hal.’’
‘’Selama menunggu waktu pernikahan, bisakah kau tetap menyimpan rahasia ini, Val?’’ lanjut Leo.
Melihat keraguan Valerie yang ingin membongkar apa yang sebenarnya terjadi tadi, membuat Leo sedikit khawatir.
Mungkin sekarang ia hanya memikirkan nasib pernikahannya saja dan tak memikirkan nasib Valerie, tapi ia tidak bisa membuat Valerie merusak apa yang sudah lama ia nantikan.
Valerie menunduk lesu, Leo terus menuntutnya sedangkan ia tak menuntut apapun dari Leo.
‘’Vania adalah segalanya bagi saya,’’ ujar Leo— berusaha membuat Valerie mengerti akan kondisinya. Bentuk keegoisan Leo yang lain.
Valerie tau itu. Setiap minggu, Leo yang terbang dari Kalimantan ke Pulau Jawa hanya untuk mengunjungi Vania— sudah cukup membuktikan seberapa cinta pria itu pada sang kakak. Leo selalu membuat Vania merasa beruntung. Tapi Leo malah memberikan Valerie kemalangan, kesialan dan semua yang berkebalikan dari apa yang Vania terima dan rasakan.
‘’Jika kau menyimpan tentang hal ini dari keluarga kita, saya akan memberikan apapun yang kamu inginkan.’’ Leo masih berusaha membujuk. Biasanya seorang wanita akan setuju jika diiming-imingi dengan kalimat seperti itu.
‘’Apapun?’’ ulangnya. Ia tak berani menatap Leo. Pandangannya tertuju ke selimut.
Leo membenarkan. Ia bahkan menambahkan untuk memberi Valerie uang setiap bulan. Atau lebih tepatnya uang tutup mulut agar Valerie diam.
Valerie tersenyum getir. Kedua tangannya mencengkram selimut. Ternyata Leo menganggap kesuciannya bisa diukur dengan uang.
‘’Lima puluh juta setiap bulan. Bagaimana?’’
Keluarga Leo adalah pebisnis batu bara. Jumlah sesedikit itu tidak akan membuatnya merasa berat. Ada nama baik keluarga yang harus dijaga. Bila Valerie menginginkan dua atau sepuluh kali lipat pun, Leo tetap akan memberikannya.
Mungkin terlihat seperti Leo sedang membeli harga diri Valerie. Tapi ia tak mau ini semua terbongkar di mana posisinya Vania adalah ratu di hatinya. Sementara Valerie tak berarti apa-apa baginya.
Valerie kehilangan kata-kata.
Suara kasak-kusuk dari luar membuat Leo menoleh ke arah pintu sedangkan Valerie belum menjawab ataupun menyetujui tawarannya.
‘’Val…’’ Leo mendesak. Kepalanya bolak-balik melihat Valerie dan pintu.
‘’Jangan pernah berpikir bahwa tubuh saya dapat dinilai dengan harta. Jadi tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Mas. Saya tidak akan memberitahu siapapun. Itu adalah kecelakaan.’’
‘’Saya sangat berterimakasih padamu, Val.’’
Leo bernapas lega. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan menyentuh gagang pintu. Tapi sayangnya daun persegi panjang tersebut sudah terbuka dari luar. Ia terperanjat karena yang muncul adalah Vania.
‘’Sayang, kamu ngapain di sini?’’
Vania memandangi Valerie dan Leo bergantian.
‘’Aku hanya ingin berpamitan dengan Valerie. Aku tau dia tidak bisa mengantarku nanti ke bawah. Jadi aku mampir.’’ Leo berkata cukup tenang. Bahkan seperti tidak terjadi apa-apa.
Vania melirik Valerie dengan tatapan curiga. ‘’Dia hanya adik ipar. Kamu gak perlulah sampai datang ke kamarnya segala. Sendiri pula.’’
Leo mengusap kepala Vania. Tersenyum lembut. ‘’Sayang, adik kamu kan juga adikku. Aku juga cuma sebentar kok.’’
Pandangan Vania berubah sinis kepada Valerie. Namun begitu, Vania tetap mempercayai kata-kata Leo. ‘’Jangan lama-lama di sini. Aku mau dicium kamu dulu sebelum pulang.’’
Leo mengangguk sambil tersenyum. Ini akan menjadi pelajaran. Leo tidak akan membiarkan Vania memergokinya menemui Valerie diam-diam.
Esoknya, Valerie bangun lebih pagi. Ia harus bergerak untuk meregangkan otot-otot tubuhnya agar tidak kaku. Hari ini Valerie merasa sedikit membaik. Jadi ia keluar dari kamar dan perlahan menuruni tangga dengan hati-hati. Sesekali Valerie memegangi kepala begitu rasa pusing kembali menyerang.
‘’Kalau kamu jatuh, aku gak mau nolongin!’’
Valerie menoleh ke arah meja makan. Vania menatapnya sinis, lalu menjejali mulut dengan roti lapis. Sikap Vania memang tidak pernah ramah padanya. Bahkan sejak mereka kecil.
Ia sendiri tak menanggapi dan langsung duduk di kursi yang berhadap-hadapan dengan Vania.
‘’Kamu jangan berpikir macam-macam tentang calon suamiku. Dia memang baik sama semua orang. Hanya karena Leo menjengukmu kemarin, bukan berarti dia suka sama kamu!’’
Valerie hanya mengangguk mengerti. Ia lalu mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goreng. Tapi, Vania masih di sana, padahal wanita itu sudah selesai makan.
Valerie menelan saliva, menanti apa yang akan diucapkan Vania selanjutnya.
‘’Dan lagi… ga usahlah sok-sokan sakit di depan keluarga Mas Leo. Sakit kok dibuat-buat. Kamu tuh ga jelas banget! Haid doang sampe demam begitu.’’
Tidak ada pilihan bagi Valerie selain hanya bisa menganggukkan kepala. Vania berpikir bahwa perhatian yang Valerie dapat muncul saat acara lamaran itu. Padahal Valerie hanya mengantarkan minum, tidak lebih.
‘’Aku ingetin ya, jangan genit-genit sama Leo apalagi cari muka sama mertuaku!’’
‘’Iya, Mbak.’’
‘’Gak sekali aku dengar kamu dekat sama banyak laki-laki. Kalau nakal cukup di luar, jangan di bawa-bawa ke rumah. Jadi pelakor juga aku gak perduli,’’ seru Vania tajam. ‘’Boleh murahan, tapi jangan bersikap seperti pelacur untuk calon suami orang.’’
Hati terasa begitu sakit dianggap begitu rendah oleh kakak sendiri. Jemari Valerie meremas sendok dan garpu dengan kuat. Namun benda itu dilepas paksa demi menyeka bulir-bulir air yang tak kuasa untuk Valerie bendung. Meratapi kemalangannya yang sama sekali belum diketahui oleh Vania. Wanita yang memiliki ruang istimewa di hati keluarga dengan julukan anak kesayangan. Padahal anak perempuan di keluarga Mahendra ada dua dan bukan Vania saja.
Selain Vania yang semakin ke sini semakin bersikap tak enak padanya, selebihnya tak ada yang berubah sepeninggal Leo. Ia sudah sembuh dari sakitnya dan mulai membiasakan diri menerima kenyataan pahit akan luka yang dibuat Leo malam itu.Sesekali Valerie tak sengaja mendengar percakapan antara Vania dan Leo di telepon, mereka semakin mesra di hari-hari menjelang pernikahan. Tapi Vania buru-buru mengecilkan suara ataupun menutup pintu kamar dengan kasar di saat Valerie hanya kebetulan lewat.Satu bulan terlewati, hari pernikahan pun tiba. Rumah kembali ramai. Kerabat jauh dan dekat berdatangan. Tak hanya dari pihak Mahendra, tapi juga dari pihak Arka— keluarga Leo. Valerie hanya mampu bersembunyi di kamar ketika orang-orang mulai sibuk menyiapkan semuanya. Ia enggan membantu atau menemani Vania di dandani oleh MUA, karena memang Vania tidak mau Valerie ada di dekatnya. Sebelum acara dimulai, suara-suara yang terdengar sampai ke kamar Valerie kebanyakan memperbincangkan mempelai laki-l
Vania seperti sengaja. Malam itu, Valerie mendengar suara-suara desahan dari kamar sebelah. Mungkin Valerie tidak akan bisa tidur bila tidak ia paksakan menutup telinga menggunakan bantal. Dan di tengah malam, tiba-tiba saja Valerie terbangun. Rasa traumanya kambuh begitu saja. Valerie mengecek pintu, memastikannya terkunci lalu mencoba kembali tidur. Tapi sayangnya Valerie malah terjaga sebentar. Adanya Leo di rumah membuat batin Valerie tak tenang. ‘’Kau tidak boleh lengah, Valerie,’’ lirihnya. Hidup memang sulit untuk di tebak. Sebelum malapetaka itu terjadi, ia adalah gadis yang bersahaja. Ia bermimpi untuk menjadi dokter. Jadi Valerie tidak takut dengan yang namanya hal-hal mengerikan termasuk kematian. Sebab, Valerie akan mendedikasikan hidupnya untuk menyelamatkan nyawa orang. Namun siapa sangka bahwa terbesit di pikirannya untuk melakukan percobaan bunuh diri. Apanya yang menjadi dokter? Apanya yang ingin menyelamatkan nyawa? Mempertahankan napas dan keteguhan hidup untuk
‘’Apa yang kamu rasakan sekarang, Nak?’’ Valerie diburu pertanyaan Mahendra begitu siuman. Ada Vira juga di sana. Kepala terasa sakit. Valerie juga merasa seperti kehilangan tenaga. Tapi yang dikatakan Valerie selanjutnya jauh berbeda dengan kenyataannya. ‘’Valerie gak apa-apa kok, Pah.’’ ‘’Apanya yang gak apa-apa. Kamu pingsan. Sekarang kita ke rumah sakit,’’ tukas Mahendra lagi. Telapak tangan Valerie dingin. Ia telah menyukai dunia medis sejak kecil. Jadi sedikit banyak ia paham akan kondisi tubuhnya saat ini. Ada ketakutan yang membayangi Valerie jika ia berkeras menuruti permintaan Mahendra. ‘’Tadi cuma kaget lihat darah, Pah. Valerie beneran gak apa-apa,’’ ucap Valerie lirih. Hatinya diterpa kesedihan. ‘’Kalau begitu biar dokter yang kemari. Cepat telepon—’’ ‘’Mama,’’ Valerie memotong. Wajahnya memelas. Meminta untuk dituruti perkataannya. ‘’Tolong, Mah, Pah. Valerie hanya perlu istirahat.’’ Tetes air mata jatuh membasahi pipi. Kepala Valerie yang panas merasakan belaia
‘’Papa…’’ ‘’Jawab Valerie!’’ Vira berteriak tak sabar. Degup jantung Valerie terasa lebih kencang. Ia memejam sambil menyentuh tangan Devano yang semakin kuat menarik rambutnya. Mengharapkan belas kasih untuk dikendurkan sedikit tatkala ia meringis. Namun ringisan Valerie tak bisa menutupi kemarahan Devano selagi pertanyaan menggantung itu tak dijawab. ‘’Apa Vania bilang, Pa.’’ Secara tak langsung Vania membongkar kejahatannya sendiri. Wanita itu diam-diam selalu mencuci otak Vira dan Mahendra terkait desas-desus yang didapat Vania dari teman-temannya. Namun selama ini mereka berdua tidak percaya. Atau lebih tepatnya masih berpikiran positif tentang Valerie. Valerie kesal, kenapa orang tuanya tidak marah pada Vania yang jelas-jelas sengaja menjelek-jelekkannya tanpa bukti? Seolah fitnah itu tidak terdengar kejam. Apakah begitu rasanya menjadi anak yang paling disayang? Selalu dimaklumi perbuatannya meski salah? Batin Valerie menjerit. Dan yang membuat Valerie lebih berduka adala
‘’Mas?’’ Valerie meminta Leo sadar atas ucapannya. Itu berarti Leo menginginkan ia menjadi istri kedua.‘’Kita harus membicarakannya. Segera. Waktu saya tidak banyak,’’ pungkas Leo sambil mengulurkan tangannya pada Valerie. Mengajak wanita itu pergi.Berkali-kali Valerie mengurungkan niat untuk menyambut telapak tangan yang terbuka itu. Tapi apa daya, gerakan sepihak Leo membuat telapak tangan mereka bertemu. Ada penerbangan yang sedang menunggu dan Vania yang menghubunginya terus-menerus. Ia diburu waktu.‘’Saya tidak mau dimadu. Dan lagi, kamu sudah menikah dengan Vania,’’ ujar Valerie saat mereka sudah berada di dalam mobil. Leo mendengarkan sambil mengemudikan mobil.Mendengar Valerie berkata seperti itu, Leo menghentikan kendaraan di pinggir jalan. Menghadapkan tubuh pada Valerie. Bisa dibilang Leo terlihat sangat frustasi saat itu.‘’Apa yang kamu harapkan? Saya menceraikan Vania lalu menikahi kamu di depan keluarga?’’ Leo berujar marah. Valerie membisu merasakan suasana panas
Di sang hari yang panas tersebut, Leo urung tidur siang bersama istri pertamanya setelah membaca pesan di gawai itu. Leo cepat-cepat memakai baju dan memastikan mata Vania masih menutup. Wanita yang ia sayang itu tidak boleh tahu ia meninggalkan kamar. ‘’Kau menipuku? Sebenarnya kau di mana?’’ Leo bertanya beruntun setelah mengecek ke luar rumah dan tidak menemukan wanita yang di dalam pesan mengatakan sedang berada di kediamannya. ‘’Saya salah ketik.’’ Apa dia serius? Leo menahan kesal mendengar kalimat polos Valerie. Seperti mendapatkan syok terapi. ‘’Sekarang kau di mana?’’ Kekesalannya masih belum hilang. Leo berkata keras sampai Valerie harus menjauhkan gawai dari telinga. ‘’Saya di luar. Sedang berbelanja.’’ ‘’Bukankah sudah ku bilang jangan menghubungi bila tidak penting?’’ Susu ibu hamil di depan mata urung ia raih. Sebegitu terganggunya kah Leo dengan pesan typo tersebut? Padahal ia ingin mengetikkan ”saya sudah makan’’ dan mengirimkannya pada Inah. ‘’Maaf, Mas. S
Hari itu, dengan penerbangan yang sama namun di kelas yang berbeda, Vania, Leo dan Valerie berangkat dari Kalimantan menuju Jakarta. Valerie di kelas ekonomi sementara suami istri itu tersebut di kelas bisnis.Leo mengatur segalanya agar Valerie tidak bertemu dengan Vania. Termasuk dengan membuat Valerie mengenakan hijab dan juga masker agar tidak dikenali oleh siapapun. Terutama istrinya.Perjalanan memakan waktu kurang lebih dua jam dan untuk sampai ke rumah duka sekitar empat puluh lima menit dari bandara. Valerie tiba belakangan menggunakan taksi sedangkan Leo dan Vania sudah sampai lebih awal karena dijemput oleh Pak Sena.Tepat pukul tiga sore, kembali Valerie menginjakkan kaki di rumah yang pergi maupun pulang membuat air mata Valerie berlinang. Keluarga dan kerabat dekat berbisik-bisik satu sama lain dan memandanginya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seolah Valerie adalah orang asing yang tak seharusnya hadir. Inah menjadi satu-satunya orang yang menyambutnya dengan langs
‘’Halo, Valerie,’’ Telepon dari sahabat Valerie nan jauh di Solo. Layar gawai berkedip tak lama setelah ia duduk. Dengan suara yang dibuat ceria Valerie berdehem untuk mengatur suara sebelum menyapa. ‘’Delia. Kamu apa kabar?’’ sapanya. ‘’Aku baik. Tapi aku tahu kamu enggakkan, Val? Maaf ya aku jauh. Gak bisa menemani kamu di saat-saat seperti ini.’’ Delia tidak berbasa-basi. Valerie mengerti. Jarak menjadi penghalang niat Delia. ‘’Tidak apa-apa. Terimakasih sudah meneleponku.’’ ‘’Aku turut berduka,’’ ujar Delia. ‘’Aku dengar apa yang terjadi sama kamu, Val.’’ Deg. Sontak jantung Valerie berdegup resah. Kabar yang mana yang didengar Delia? Ia yang hamil di luar nikah atau ia yang menjadi penyebab meninggalnya Mahendra? ‘’Maksud kamu apa, Del?’’ Valerie berpura-pura. ‘’Aku tahu dari Vania. Kabar papa kamu dan kamu yang…’’ Seperti tau akan menyakiti hati Valerie, Delia enggan melanjutkan. Dia memang sahabat yang baik. Tapi teganya Vania membocorkan aibnya pada orang lain. ‘’
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu