"Tidak," Adrian menyela. "Kami memang berbicara banyak. Tentang Alena, tentang kau, tentang hubungan kalian. Dan saat itulah Alena mulai menyadari bahwa mungkin kalian tidak cocok satu sama lain."Ekspresi Reno mengeras. "Jadi ini semua karena hasutanmu?""Bukan seperti itu!" Alena cepat-cepat menjelaskan. "Adrian hanya membantuku melihat hal-hal yang selama ini kuabaikan—bahwa kita berdua menginginkan hal yang berbeda dalam hidup, Reno.""Dan kebetulan sekali, apa yang kau inginkan sekarang lebih mirip dengan apa yang Adrian inginkan, begitu?" Reno tertawa hambar. "Alena, aku mengenalmu selama tiga tahun. Kita bersama-sama melewati masa-masa sulit. Apa itu semua tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan tiga minggu bersama dia?"Pertanyaan itu menohok Alena. Ia menunduk, menatap cincin di jarinya. Cincin yang selama tiga minggu terakhir sering ia lepas dan pasang kembali dalam kebimbangan."Tentu saja berarti, Reno. Itu sebabnya ini sangat sulit untukku." Alena mendongak, menatap mat
Alena akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "Reno, aku... aku tidak berniat menyakitimu. Tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri," suaranya hampir berbisik, tetapi cukup jelas untuk membuat hati Reno hancur.Reno menatap wanita yang dulu ia yakini akan menjadi pendamping hidupnya itu dengan pandangan nanar. Ekspresinya berubah dari kemarahan menjadi kepedihan yang mendalam. Untuk sesaat, ia hanya diam, mencoba mencerna kata-kata Alena."Membohongi dirimu sendiri?" Reno akhirnya bersuara, suaranya parau. "Artinya selama ini kau terpaksa bersamaku? Begitu?"Adrian mengepalkan tangannya, ingin menyela tapi memutuskan untuk tetap diam. Ini adalah percakapan yang harus diselesaikan oleh Alena dan Reno."Bukan begitu," Alena menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Aku mencintaimu, Reno. Sungguh. Tapi mungkin... mungkin bukan dengan cara yang kita berdua butuhkan."Angin sore berembus lembut, membawa keheningan yang menyesakkan di antara mereka. Di kejauhan, Kayla masih men
"Tidak perlu," potong Kayla. "Aku sudah cukup dengar." Ia berpaling pada kakaknya. "Reno, ayo pulang. Kau tidak seharusnya berada di sini."Reno mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya sejak pembicaraan ini dimulai, ia tampak lega—lega karena ada orang lain yang memahami rasa sakitnya, yang berpihak padanya."Tunggu," Adrian mencoba menghentikan mereka. "Kayla, kau juga sahabatku. Setidaknya dengarkan penjelasan kami.""Sahabat?" Kayla berbalik, matanya nyalang. "Sahabat tidak menikam sahabatnya dari belakang, Adrian. Dan kau," ia menatap Alena, "kau seperti kakak perempuan bagiku. Aku mempercayaimu dengan seluruh rahasiaku. Bagaimana mungkin kau melakukan ini pada kami?"Alena berusaha menjawab, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya yang bergetar. Adrian melangkah maju, berniat untuk merangkul Alena yang tampak akan ambruk kapan saja, tetapi Kayla menghentikannya."Jangan sentuh dia!" serunya. "Kalian berdua suda
Reno menghela napas panjang. Ia menatap Alena dengan kecewa. "Jadi, kau memilih dia?" tanyanya. Alena tidak bisa menjawab dengan langsung. Ia tahu bahwa keputusannya akan menyakitkan, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya pada Adrian.Keheningan yang menggantung di udara terasa begitu menyesakkan. Suara-suara kota yang biasanya bising kini seolah teredam oleh ketegangan di antara mereka bertiga. Angin sore berembus lembut, membawa aroma hujan yang sebentar lagi akan turun—seolah langit pun bersiap menangisi drama yang sedang berlangsung."Reno," Alena akhirnya berbicara, suaranya nyaris berbisik. "Ini bukan tentang memilih. Ini tentang... tentang menjadi jujur pada diri sendiri.""Jujur?" Reno tertawa pahit. "Jujur adalah ketika kau mengatakannya sejak awal, bukan menunggu sampai aku memergoki kalian berdua."Adrian, yang sedari tadi diam, mencoba menyela. "Reno, ini bukan sepenuhnya salah Alena—""Diam!" bentak Ren
"Reno, jangan seperti itu," pinta Alena. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun.""Betul," Reno mengangguk. "Kau bukan barang. Kau manusia dengan kehendak bebas. Dan kau telah menggunakan kehendak bebasmu untuk memilih dia daripada aku."Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kunci. "Ini kunci apartemen kita—maksudku, apartemenku. Kau bisa datang mengambil barang-barangmu kapan saja. Aku akan memastikan tidak ada di rumah saat kau datang."Alena menerima kunci itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih.""Jangan berterima kasih padaku," kata Reno datar. "Aku tidak melakukannya untukmu. Aku melakukannya agar bisa cepat-cepat memulai hidup baru—hidup tanpa kalian berdua di dalamnya."Kata-kata itu menusuk hati Alena seperti ribuan jarum. Ia tahu Reno berhak marah, berhak membencinya, tapi tetap saja rasanya menyakitkan."Aku harap suatu hari nanti kau bisa memaafkan kami," kata Adrian pelan."Jangan terlalu berharap," bala
Adrian, yang selama ini hanya diam dan mengamati, akhirnya membuka suara. "Dia tidak memilih siapa pun, Reno. Tapi aku tidak akan mundur," katanya dengan nada penuh kepastian. Reno mengepalkan tangannya.Udara di sekitar mereka terasa berat. Angin sore yang berhembus pelan tidak mampu meredakan ketegangan yang mengental di antara kedua pria itu. Mereka berdiri berhadapan di taman belakang rumah Laras—perempuan yang tanpa disadari telah menjadi pusat gravitasi dalam kehidupan mereka."Kau pikir ini semacam permainan?" Reno mendesis, matanya menatap tajam. "Tiga tahun, Adrian. Tiga tahun aku mengenalnya, melindunginya, berada di sisinya saat dunianya hancur. Lalu kau—" ia menunjuk dengan jari yang gemetar, "—datang begitu saja dan berpikir bisa mengambilnya?"Adrian tetap tenang meski badai emosi Reno nyaris terasa menyentuh kulitnya. "Aku tidak datang untuk mengambil siapa pun. Aku datang karena hatiku sendiri," balasnya. "Dan Laras bukan hadiah yang bisa diperebutkan. Dia manusia deng
Konfrontasi semakin memanas. Reno kehilangan kendali dan akhirnya melayangkan pukulan ke wajah Adrian. Adrian tersentak ke belakang, tetapi ia tidak membalas. Alena menjerit dan langsung berdiri di antara mereka. "Hentikan! Ini tidak akan mengubah apa pun!"Suasana ruangan itu membeku. Darah menetes dari sudut bibir Adrian, menciptakan noda merah pada kemeja putihnya yang rapi. Matanya tetap tenang, kontras dengan amarah yang berkobar di mata Reno."Kau pikir dengan diam seperti ini kau terlihat mulia?" desis Reno, napasnya memburu. Kedua tangannya masih terkepal erat. "Selalu begitu, kan? Adrian yang tenang, Adrian yang bijaksana, Adrian yang tidak pernah salah!"Laras masih terpaku di sudut ruangan, wajahnya pucat pasi menyaksikan konfrontasi yang terjadi begitu cepat. Dokumen-dokumen penting yang seharusnya mereka diskusikan berserakan di lantai, terinjak dalam kekacauan.Adrian mengusap darah di bibirnya dengan punggung tangan. "Membalasmu tidak akan menyelesaikan masalah," ucapny
Suasana semakin tegang, tetapi akhirnya Reno mundur. Ia menatap Alena untuk terakhir kalinya sebelum berkata, "Kau yang akan menyesali semua ini, Alena." Kemudian, ia pergi tanpa menoleh lagi.Pintu tertutup dengan debaman keras, meninggalkan keheningan mencekam dalam ruangan. Alena masih berdiri membeku, matanya tertuju pada pintu yang baru saja dibanting. Ucapan terakhir Reno terngiang di telinganya, lebih seperti ancaman daripada peringatan.Adrian menghampiri Alena dan menyentuh bahunya pelan. "Kau tidak apa-apa?"Alena menggeleng lemah. "Aku tidak pernah melihatnya seperti itu," ucapnya dengan suara bergetar. "Selama tujuh tahun mengenalnya, ini pertama kalinya aku melihat Reno... kehilangan dirinya."Laras yang sedari tadi hanya mengamati kini beranjak dari kursinya. "Dia perlu waktu untuk menenangkan diri," ujarnya, meski nadanya tidak sepenuhnya yakin. "Besok pagi, semua akan kembali normal.""Tidak," timpal Adrian cepat. "Kau tidak mengerti. Reno tidak akan kembali." Ia mengu
Alena akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menemui Reno di rumahnya. Namun, ketika ia sampai, Reno menolak membukakan pintu. Dari dalam, suaranya terdengar dingin. "Aku tidak butuh penjelasan, Alena. Aku hanya butuh kau untuk pergi."Pagi itu, Alena bangun dengan tekad baru. Sudah seminggu sejak insiden itu terjadi, dan ia tidak bisa lagi menunda-nunda. Ia harus menemui Reno, berbicara dengannya secara langsung, menjelaskan semuanya. Atau setidaknya, mencoba.Adrian, yang masih setia menemaninya selama ini, tampak khawatir ketika Alena memberitahukan rencananya."Kau yakin sudah siap?" tanyanya saat mereka duduk di ruang makan untuk sarapan.Alena mengangguk, menyesap kopi hangatnya. "Aku harus melakukannya, Adrian. Ini sudah terlalu lama.""Baiklah," Adrian menghela napas. "Mau kuantar?""Tidak perlu," tolak Alena lembut. "Ini sesuatu yang harus kuhadapi sendiri."Adrian mengangguk paham. Ia meraih tangan Alena di atas meja, meremasnya lembut sebagai bentuk dukungan. "Apapun yang t
Di sisi lain, Adrian tetap berada di sampingnya. Ia tidak memaksa Alena untuk cepat pulih, tetapi kehadirannya membuat Alena merasa sedikit lebih tenang. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa dirinya masih dipenuhi kebingungan.Sore itu, langit Jakarta tampak kelabu. Hujan rintik-rintik jatuh membasahi jendela kamar Alena yang masih tertutup rapat. Tiga hari telah berlalu sejak kejadian yang mengubah segalanya. Tiga hari yang terasa seperti selamanya.Adrian duduk di kursi samping tempat tidur, sesekali melirik ke arah Alena yang berbaring memandang langit-langit. Tangannya dengan telaten mengupas apel, kebiasaan yang selalu ia lakukan sejak mereka kecil. Alena masih ingat bagaimana Adrian selalu membawa buah untuk dirinya setiap kali ia sakit."Kau harus makan sesuatu," ujar Adrian lembut, menyodorkan sepotong apel. Alena melirik sebentar sebelum menggeleng lemah."Aku tidak lapar."Adrian menghela napas panjang, meletakkan piring berisi potongan apel di meja samping tempat tid
"Aku tahu. Hanya ingin memberitahumu agar kau tidak terkejut jika dia muncul." "Terima kasih, Adrian," ucap Alena tulus. "Untuk segalanya." Setelah menutup telepon, Alena berdiri diam di tengah kesibukan galeri. Pikiran bahwa Reno mungkin akan datang ke pamerannya membawa perasaan campur aduk—harapan, ketakutan, antisipasi, dan kekhawatiran bercampur menjadi satu. Sofia mendekatinya, mengamati ekspresi wajahnya dengan seksama. "Ada kabar?" "Reno mungkin akan datang ke pembukaan pameran," jawab Alena pelan. Sofia mengangguk, senyum kecil terbentuk di bibirnya. "Maka kita harus memastikan ini adalah pameran terbaikmu." Malam pembukaan pameran tiba dengan cepat. Galeri telah disulap menjadi ruang yang elegan namun intim, dengan pencahayaan yang sempurna untuk menyoroti setiap karya seni. Para tamu mulai berdatangan—kolektor, kritikus seni, seniman, dan pecinta seni yang penasaran. Alena berdiri di dekat pintu masuk, mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan. Matanya tidak bisa
Reno tidak menjawab telepon atau pesan dari Alena. Ia benar-benar menghilang dari hidupnya, dan itu membuat Alena merasa bersalah sekaligus kosong. Ia mencoba menghibur dirinya dengan berpikir bahwa ini adalah konsekuensi dari pilihannya, tetapi hatinya tetap terasa berat.Sudah seminggu berlalu sejak pertengkaran mereka. Tujuh hari yang terasa seperti tujuh tahun bagi Alena. Setiap dering telepon, setiap notifikasi ponsel, membuat jantungnya berdebar dengan harapan bahwa itu adalah Reno. Namun setiap kali, harapan itu pupus, digantikan oleh rasa hampa yang semakin dalam."Mungkin sudah waktunya berhenti menghubunginya," ucap Sofia sambil menyesap kopinya.Mereka sedang duduk di kafe kecil dekat galeri, menikmati istirahat singkat di tengah persiapan pameran. Alena menatap layar ponselnya yang menampilkan daftar panggilan tak terjawab—semua untuk Reno."Aku hanya ingin kesempatan untuk menjelaskan," Alena menjawab pelan. "Dia berhak tahu seluruh ceritanya."Sofia menghela napas, menya
Alena duduk di apartemennya, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya penuh dengan apa yang terjadi tadi malam. Reno pergi dengan kemarahan yang tak tertahankan, dan ia tahu bahwa perpisahan itu tidak akan mudah. Ia ingin menjelaskan segalanya, tetapi apakah Reno akan mau mendengarnya?Sudah hampir dua jam ia duduk di posisi yang sama, secangkir teh dingin terabaikan di meja kecil di sampingnya. Cahaya fajar perlahan merangkak masuk melalui jendela, menyinari apartemen yang berantakan—bukti nyata dari pertengkaran malam sebelumnya. Sebuah pigura foto tergeletak di lantai dengan kaca retak, dan beberapa buku tersebar tidak beraturan, terlempar dalam luapan emosi yang tak terkendali."Kau menyembunyikan ini dariku selama tiga bulan!" Teriakan Reno masih bergema di telinganya. "Tiga bulan, Alena! Dan aku harus mengetahuinya dari orang lain!"Alena memejamkan mata, berusaha menelan rasa sakit yang menghimpit dadanya. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa keputusannya untuk tidak bercerita
Alena merasa hatinya hancur, tetapi ia tahu bahwa semua ini adalah konsekuensi dari pilihannya. Adrian mendekatinya dan menyentuh bahunya. "Kau baik-baik saja?" Alena menatapnya dengan mata penuh air mata, tetapi ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Gerimis mulai turun di luar kafe, menciptakan tirai air yang mengaburkan dunia luar. Suasana kafe yang biasanya hangat terasa dingin bagi Alena. Aroma kopi yang mengepul dari cangkir di depannya tak mampu menghibur. Ia menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Adrian. Tidak, ia tidak baik-baik saja."Aku tidak tahu harus berkata apa," ucap Adrian lembut, menarik kursi di samping Alena. "Tapi kau tidak sendirian dalam hal ini."Alena mengusap air matanya dengan tisu yang sudah kusut di genggamannya. Tubuhnya terasa lelah setelah tiga hari tanpa tidur nyenyak. Keputusan yang ia ambil empat bulan lalu kini menghantam balik dengan kekuatan yang menghancurkan."Seharusnya aku tidak pergi malam itu," bisik Alena, suaranya bergeta
Suasana semakin tegang, tetapi akhirnya Reno mundur. Ia menatap Alena untuk terakhir kalinya sebelum berkata, "Kau yang akan menyesali semua ini, Alena." Kemudian, ia pergi tanpa menoleh lagi.Pintu tertutup dengan debaman keras, meninggalkan keheningan mencekam dalam ruangan. Alena masih berdiri membeku, matanya tertuju pada pintu yang baru saja dibanting. Ucapan terakhir Reno terngiang di telinganya, lebih seperti ancaman daripada peringatan.Adrian menghampiri Alena dan menyentuh bahunya pelan. "Kau tidak apa-apa?"Alena menggeleng lemah. "Aku tidak pernah melihatnya seperti itu," ucapnya dengan suara bergetar. "Selama tujuh tahun mengenalnya, ini pertama kalinya aku melihat Reno... kehilangan dirinya."Laras yang sedari tadi hanya mengamati kini beranjak dari kursinya. "Dia perlu waktu untuk menenangkan diri," ujarnya, meski nadanya tidak sepenuhnya yakin. "Besok pagi, semua akan kembali normal.""Tidak," timpal Adrian cepat. "Kau tidak mengerti. Reno tidak akan kembali." Ia mengu
Konfrontasi semakin memanas. Reno kehilangan kendali dan akhirnya melayangkan pukulan ke wajah Adrian. Adrian tersentak ke belakang, tetapi ia tidak membalas. Alena menjerit dan langsung berdiri di antara mereka. "Hentikan! Ini tidak akan mengubah apa pun!"Suasana ruangan itu membeku. Darah menetes dari sudut bibir Adrian, menciptakan noda merah pada kemeja putihnya yang rapi. Matanya tetap tenang, kontras dengan amarah yang berkobar di mata Reno."Kau pikir dengan diam seperti ini kau terlihat mulia?" desis Reno, napasnya memburu. Kedua tangannya masih terkepal erat. "Selalu begitu, kan? Adrian yang tenang, Adrian yang bijaksana, Adrian yang tidak pernah salah!"Laras masih terpaku di sudut ruangan, wajahnya pucat pasi menyaksikan konfrontasi yang terjadi begitu cepat. Dokumen-dokumen penting yang seharusnya mereka diskusikan berserakan di lantai, terinjak dalam kekacauan.Adrian mengusap darah di bibirnya dengan punggung tangan. "Membalasmu tidak akan menyelesaikan masalah," ucapny
Adrian, yang selama ini hanya diam dan mengamati, akhirnya membuka suara. "Dia tidak memilih siapa pun, Reno. Tapi aku tidak akan mundur," katanya dengan nada penuh kepastian. Reno mengepalkan tangannya.Udara di sekitar mereka terasa berat. Angin sore yang berhembus pelan tidak mampu meredakan ketegangan yang mengental di antara kedua pria itu. Mereka berdiri berhadapan di taman belakang rumah Laras—perempuan yang tanpa disadari telah menjadi pusat gravitasi dalam kehidupan mereka."Kau pikir ini semacam permainan?" Reno mendesis, matanya menatap tajam. "Tiga tahun, Adrian. Tiga tahun aku mengenalnya, melindunginya, berada di sisinya saat dunianya hancur. Lalu kau—" ia menunjuk dengan jari yang gemetar, "—datang begitu saja dan berpikir bisa mengambilnya?"Adrian tetap tenang meski badai emosi Reno nyaris terasa menyentuh kulitnya. "Aku tidak datang untuk mengambil siapa pun. Aku datang karena hatiku sendiri," balasnya. "Dan Laras bukan hadiah yang bisa diperebutkan. Dia manusia deng