Suatu sore, ketika Alena sedang bersiap-siap untuk pulang, ia menerima pesan dari sekretaris Adrian yang memintanya mengantarkan laporan mendesak ke ruang rapat. Dengan cepat, ia membawa dokumen yang diminta dan menuju lantai atas.Saat ia sampai, ruang rapat sudah hampir kosong. Hanya ada Adrian yang masih duduk di kursinya, membaca sesuatu di layar laptopnya.Alena ragu-ragu sejenak sebelum mengetuk pintu. “Permisi, Pak. Ini laporan yang diminta.”Adrian mengangkat kepalanya, menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. Lalu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia berbicara lebih dari sekadar satu atau dua kata.“Kamu yang mengetik laporan ini?” tanyanya sambil mengambil berkas dari tangan Alena.Alena mengangguk. “Ya, Pak. Saya mencoba menyusunnya sejelas mungkin.”Adrian membaca laporan itu sebentar, lalu mengangguk kecil. “Bagus. Kamu teliti.”Itu hanya pujian singkat, tetapi entah kenapa dada Alena terasa hangat mendengarnya.Namun, sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Adri
Hari itu, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Alena duduk di mejanya, fokus menyelesaikan laporan keuangan yang diminta oleh atasannya. Sejak hari pertama bekerja, ia telah berusaha sebaik mungkin untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Nadine, rekan kerja yang ramah, telah banyak membantunya dalam memahami budaya perusahaan.Salah satu tugas yang diberikan kepadanya adalah menyusun laporan anggaran bulanan untuk Adrian, sang CEO. Meski awalnya merasa gugup, Alena tetap berusaha memberikan yang terbaik. Ia membaca kembali data yang dikumpulkannya, memastikan setiap angka dan detail tersusun rapi sebelum akhirnya mengirimkannya ke meja Adrian.Tak lama setelah itu, telepon di mejanya berdering. Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya."Alena, bisa ke ruangan saya sekarang?" Suara berat Adrian terdengar di ujung telepon, tegas dan tak terbaca emosinya.Jantung Alena berdebar. Ini pertama kalinya ia dipanggil langsung oleh Adrian setela
Hari-hari berlalu dengan cepat sejak Alena mulai bekerja di perusahaan Adrian. Seiring waktu, ia mulai memahami ritme kerja di kantor, menyelesaikan tugasnya dengan lebih cepat, dan membiasakan diri dengan ekspektasi tinggi yang selalu diterapkan oleh atasannya. Namun, ada satu hal yang terus menghantuinya—hubungannya dengan Adrian yang terasa semakin rumit.Adrian, CEO yang dikenal dingin dan tidak mudah didekati, sering kali berbicara dengan nada tajam kepada Alena. Ia tidak pernah berbasa-basi dan selalu langsung ke inti masalah. Meskipun awalnya Alena hanya menganggapnya sebagai bagian dari profesionalisme Adrian, lambat laun ia mulai merasakan ketegangan yang berbeda dalam interaksi mereka.Pagi itu, Alena tengah sibuk mempersiapkan materi presentasi untuk rapat penting Adrian dengan para investor. Ia telah menghabiskan semalaman untuk memastikan semua dokumen dalam keadaan sempurna. Saat rapat dimulai, ia duduk di kursinya, mencatat setiap poin yang dibahas
Alena menatapnya dengan kaget. “Bukankah Anda yang mengatakan bahwa saya harus memastikan semuanya sempurna?”Adrian tersenyum tipis. “Benar. Tapi aku tidak pernah bilang kamu harus menyiksa diri sendiri.”Untuk pertama kalinya, Alena melihat sesuatu yang berbeda dalam tatapan Adrian—sesuatu yang lebih dari sekadar atasan yang menuntut kesempurnaan dari bawahannya. Ia melihat ketulusan, meskipun hanya sekejap.Ketegangan di antara mereka tetap ada, tapi kini ada sesuatu yang lain menyelinap di dalamnya. Sebuah ketertarikan yang perlahan mulai tumbuh, meskipun mereka berdua belum sepenuhnya menyadarinya.Hari-hari Alena di perusahaan Adrian semakin sibuk. Ia mulai mendapatkan lebih banyak tanggung jawab, sering kali harus pulang larut malam. Reno, yang sebelumnya selalu mendukungnya, mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Ia merindukan Alena yang dulu selalu ada untuknya, tetapi kini seolah-olah waktu dan perhatian istrinya le
Sejak awal, Adrian adalah sosok yang tidak mudah dipahami. Ia bukan hanya seorang CEO yang sukses, tetapi juga pria yang penuh perhitungan. Setiap keputusan yang ia buat selalu memiliki tujuan tersembunyi. Alena, meskipun masih baru di perusahaan itu, mulai merasakan tekanan yang semakin besar dari Adrian.Suatu pagi, Alena menerima email dari sekretaris Adrian. Ia diminta untuk menghadap ke ruangannya segera setelah tiba di kantor. Jantungnya berdebar, mencoba menebak alasan panggilan itu.Saat memasuki ruangan Adrian, Alena melihat pria itu sedang berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Tangannya bersedekap, matanya tajam menatap keluar seakan sedang menimbang sesuatu yang besar."Duduk," kata Adrian tanpa menoleh.Alena menurut, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam pertemuan ini. Biasanya, komunikasi mereka bersifat profesional, tetapi kali ini suasana terasa lebih intens."Kau telah bekerja di sini
Hari itu, suasana di kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Alena merasa ada yang berbeda, seperti ada sebuah ketegangan yang mengambang di udara. Proyek besar yang ia tangani bersama Adrian sudah mulai mencapai puncaknya, dan meskipun ia berusaha keras untuk mempertahankan fokus, pikirannya sering teralihkan oleh perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Di satu sisi, ia merasa bangga dengan pencapaiannya, tetapi di sisi lain, ada rasa cemas yang terus mengganggu—terutama terkait dengan hubungan profesionalnya dengan Adrian.Pagi itu, setelah rapat penting dengan klien, Adrian mengundangnya untuk berbicara sejenak di ruangannya. Biasanya, pertemuan mereka hanya membahas hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan, namun hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Alena merasa sedikit gugup saat memasuki ruangan Adrian. Pria itu sedang berdiri di depan meja kerjanya, dengan mata yang tajam namun ekspresi yang lebih lembut dari biasanya."Alena," kata Adrian, memecah keheningan di antara mereka. "A
Di kantor, suasana mulai berubah. Meskipun Alena berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaannya, ia tak bisa menutup mata terhadap perubahan yang perlahan terjadi di sekitarnya. Rumor mulai menyebar, dari meja ke meja, dari rekan kerja ke rekan kerja. Ada bisik-bisik yang semakin jelas terdengar saat ia melintas di lorong atau memasuki ruang rapat. Orang-orang mulai berbicara, dan meskipun Alena berusaha untuk tidak memperdulikannya, hatinya mulai resah.Segalanya berawal dari kebiasaan Adrian yang semakin sering meminta Alena untuk menangani tugas-tugasnya secara langsung. Alena yang sebelumnya hanya bertanggung jawab untuk beberapa laporan dan koordinasi kecil, kini lebih sering terlibat dalam rapat-rapat penting bersama Adrian, bahkan menjadi tangan kanan untuk sejumlah keputusan strategis. Perhatian yang diberikan Adrian padanya, walaupun mungkin hanya berfokus pada pekerjaannya, mulai menimbulkan perasaan tidak nyaman di kalangan rekan-rekan lainnya.Vanessa, salah satu rekan
Hari-hari setelah gosip itu mulai menyebar, Alena merasa semakin terjebak dalam perasaan canggung yang sulit dijelaskan. Setiap kali ia melewati meja rekan-rekannya, ia bisa merasakan tatapan yang penuh pertanyaan dan kadang-kadang ada bisikan pelan di belakangnya. Meskipun ia mencoba tetap fokus pada pekerjaannya, Alena tak bisa menghindari kenyataan bahwa perhatian yang tiba-tiba tertuju padanya membuatnya merasa lebih terasing.Namun, ada satu hal yang aneh—Adrian tampaknya tidak terpengaruh oleh semua itu. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa gosip-gosip yang beredar di kantor memengaruhinya sedikit pun. Bahkan, Adrian tetap memperlakukannya dengan cara yang sama, penuh profesionalisme, seperti yang selalu ia lakukan sejak pertama kali Alena bergabung dengan perusahaan itu. Tidak ada sikap yang berubah, tidak ada penilaian atau perlakuan yang berbeda. Jika ada, Adrian justru semakin sering memberinya tantangan lebih besar dalam pekerjaannya.Namun, pada suatu hari, semuanya beru
Cahaya senja menerobos masuk melalui jendela apartemen Reno, menciptakan bayangan panjang yang seolah menegaskan keheningan mencekam antara dua orang yang kini duduk berhadapan. Reno dengan tatapan tajamnya, dan Alena dengan wajah yang diliputi kecemasan."Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Adrian?" tanya Reno akhirnya, nada suaranya tajam memecah keheningan.Alena tersentak, meskipun ia sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan ini. Di sudut hatinya, ia tahu cepat atau lambat Reno akan mengonfrontasinya secara langsung. Namun, kenyataannya tetap terasa berat."Reno, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," jawabnya dengan suara bergetar, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang.Reno mendengus, tergelak pahit. "Kamu selalu menghindar, Alena! Selalu ada saja alasan, selalu ada saja penjelasan yang kabur." Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangan dengan frustrasi yang tak bisa disembunyikan. "Aku mulai merasa bahwa kamu lebih memilih dia daripad
Sophia merapikan blazernya dengan gerakan anggun sembari melirik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Dari balik jendela kantornya di lantai 35, Jakarta terlihat seperti miniatur kota yang dihiasi lampu-lampu gemerlap. Senyum tipis tersungging di bibirnya ketika ponselnya bergetar—pesan dari Reno yang mengkonfirmasi pertemuan mereka sore ini.Sempurna, pikirnya. Semuanya berjalan sesuai rencana. Masalah antara Reno dan Alena adalah peluang emas yang tak boleh ia sia-siakan.Sophia telah mengincar posisi direktur pemasaran yang kini dipegang Alena selama bertahun-tahun. Persaingan ketat di antara mereka bukanlah rahasia bagi siapapun di kantor. Namun, bagi Sophia, ini lebih dari sekadar ambisi profesional—ini tentang pembuktian diri. Selalu berada di bayang-bayang kesuksesan Alena telah menjadi duri yang menggores hatinya setiap hari."Kau terlalu terobsesi," begitu Adrian pernah memperingatkannya. "Fokus saja pada pekerjaanmu sendiri."Ironisnya, justru Adrian yan
Reno menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Di depan matanya, sebuah email yang tak seharusnya ia baca terpampang jelas—sebuah pertukaran pesan antara Alena dan Adrian. Jemarinya bergetar saat ia mengusap wajahnya yang lelah. Sudah berminggu-minggu ia merasakan ada yang tidak beres, dan kini bukti itu terpampang di hadapannya."Aku rindu padamu. Kapan kita bisa bertemu lagi tanpa harus khawatir?" tulis Adrian dalam email tersebut.Balasan Alena tak kalah menyakitkan: "Aku juga. Ini sulit, tapi aku harus berhati-hati. Reno mulai mencurigai sesuatu."Reno menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak karuan. Ia tidak pernah membayangkan akan melakukan hal seperti ini—mengakses email kekasihnya secara diam-diam. Tetapi keputusasaan telah mendorongnya ke titik ini.Hubungan mereka yang dulunya penuh kehangatan kini berubah menjadi lautan ketegangan yang tidak terucapkan. Setiap pesan yang tidak dibalas, setiap panggilan yang tidak dijawab, semuanya ha
Sementara itu, Sophia—wanita ambisius yang bekerja di perusahaan Adrian—mulai melihat adanya celah untuk memanfaatkan situasi. Ia sudah lama merasa bahwa Adrian memiliki perhatian lebih kepada Alena, dan kini ia melihat peluang untuk menyingkirkan Alena dari persaingan. Sophia mulai mendekati Reno, berpura-pura menjadi teman yang peduli dan menawarkan informasi yang bisa memicu keraguan lebih lanjut. Sophia tahu bahwa jika ia bisa memecah hubungan antara Alena dan Adrian, ia bisa mengambil alih posisi Alena di perusahaan dan mendapatkan perhatian Adrian.Sophia Greene mematut dirinya di cermin toilet kantor, memastikan tidak ada sedikit pun lipstik merah marunnya yang luntur. Sempurna, seperti biasa. Ia merapikan blazer hitamnya yang sudah disetrika rapi dan menarik napas dalam-dalam."Hari ini harus berhasil," bisiknya pada bayangan di cermin.Sudah tiga tahun Sophia bekerja di divisi pemasaran perusahaan Adrian. Tiga tahun pula ia berusaha mendapatkan perhatian lebih dari Adrian McK
Reno mulai merasa ada yang tidak beres. Alena, yang dulu sangat terbuka, kini tampak lebih tertutup dan sering kali menghindar darinya. Perubahan sikap ini memunculkan kecurigaan yang semakin besar. Satu malam, Reno memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam, mencari tahu apakah ada yang sedang disembunyikan oleh Alena. Dengan hati-hati, ia mulai mengumpulkan informasi dari rekan-rekan kerja Alena dan juga menyelidiki riwayat pekerjaan Alena di perusahaan Adrian. Meskipun ia belum menemukan bukti yang jelas, perasaan curiganya semakin berkembang.Hujan pertama di bulan Oktober mengguyur Jakarta malam itu. Reno duduk sendirian di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Segelas kopi yang mulai mendingin tergeletak di meja, tepat di samping ponselnya yang berulang kali ia periksa, berharap ada pesan dari Alena.Sudah hampir dua minggu sejak terakhir kali mereka berbicara dengan benar-benar terbuka. Alena selalu memiliki alasan—terlalu sibuk, terlalu lelah,
Suatu malam, ketika Alena sedang bekerja lembur, Adrian datang ke kantornya untuk mengecek beberapa laporan. Tanpa disangka, Adrian duduk di meja Alena dan mulai berbicara dengan cara yang sangat pribadi, jauh dari kesan dingin yang biasanya ia tunjukkan."Kamu tidak harus melakukan semua ini sendiri, Alena," kata Adrian dengan lembut. "Aku tahu, kadang-kadang pekerjaan ini bisa sangat membebani. Tapi kamu tidak sendirian."Kata-kata Adrian membuat Alena merasa begitu dihargai. Namun, dalam hatinya, ia merasa semakin terikat padanya. "Mungkin aku hanya ingin dia merasa diterima," pikir Alena, namun ia tahu bahwa perasaan ini telah melampaui sekadar simpati.Saat Alena melangkah pulang malam itu, perasaan yang ada dalam dirinya semakin sulit dipahami. Ia terjebak antara simpati, rasa ingin melindungi, dan keterikatan yang semakin mendalam. Ia menyadari bahwa semakin banyak waktu yang ia habiskan bersama Adrian, semakin sulit bagi dirinya untuk menjaga jarak. Perasaan itu mulai berkemban
Dalam sebuah pertemuan bisnis, Adrian memberikan perhatian yang lebih pribadi pada Alena. Ia memastikan untuk memberi pengakuan atas kerja kerasnya, dan meskipun tidak mengungkapkan perasaan secara langsung, Alena merasa ada kehangatan dalam sikap Adrian. Ia sering kali merasakan perhatian yang lebih dari sekadar profesionalisme, dan itu membuatnya semakin terikat. "Apakah ini hanya perasaan simpati?" Alena bertanya pada dirinya sendiri. "Atau ada sesuatu yang lebih dalam?" Ia mulai merasa bingung tentang perasaannya yang berkembang lebih jauh dari sekadar rasa kasihan atau simpati.Ruang rapat di lantai 15 gedung Elysium Corp itu dipenuhi dengan eksekutif dari berbagai divisi. Suasana formal terasa kental dengan presentasi dan laporan yang silih berganti dipaparkan. Di tengah atmosfer profesional ini, Alena duduk di samping Adrian, sadar akan kehadirannya yang terasa begitu dekat."Selanjutnya, Ibu Alena akan mempresentasikan laporan keuangan kuartal ini," kata Direktur Utama, member
Alena merasa bahwa simpati yang tumbuh dalam dirinya mulai membuatnya semakin terikat pada Adrian. Setiap kali ia melihatnya, hatinya berdebar. Meskipun ia berusaha keras untuk tetap menjaga batas-batas profesional, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kedekatan mereka semakin kuat. Adrian, meskipun masih menjaga jarak emosionalnya, mulai lebih sering mendekati Alena, baik di kantor maupun dalam pertemuan pribadi. Setiap kali mereka berinteraksi, Alena merasakan semacam koneksi yang lebih dari sekadar hubungan atasan dan bawahan.Minggu-minggu berlalu sejak pembicaraan mereka di taman belakang kantor. Musim semi mulai berganti dengan kehangatan musim panas yang menyenangkan. Dedaunan hijau menaungi jalanan kota, menciptakan bayangan yang menyejukkan di tengah teriknya matahari. Alena mengamati perubahan ini dari balik jendela ruang kerjanya, seraya merenungkan perubahan dalam hidupnya sendiri."Sedang melamun?" Suara Adrian membuyarkan lamunannya.Alena berbalik, mendapati Adrian
Beberapa hari setelah percakapan mereka, Alena merasa gelisah. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terus memikirkan Adrian. Tentu saja, dia merasa kasihan pada Adrian, tetapi sekarang ada sesuatu yang lebih—sesuatu yang membuatnya merasa ingin melindungi pria itu, meskipun ia tahu bahwa hal itu bisa membawanya ke dalam hubungan yang rumit. Ia bahkan merasa cemas setiap kali Adrian datang untuk bekerja, khawatir akan perasaan yang semakin mendalam ini. "Apa aku bisa terus bekerja dengannya seperti ini?" tanyanya pada dirinya sendiri.Pagi itu, Alena sengaja datang lebih awal ke kantor. Ia berharap bisa menenangkan pikirannya sebelum bertemu Adrian. Kantor yang sunyi memberikannya kesempatan untuk berpikir jernih. Alena duduk di kursinya, menatap tumpukan dokumen yang belum selesai, tapi pikirannya melayang jauh.Sejak Adrian menceritakan tentang masa lalunya, ada sesuatu yang berubah dalam diri Alena. Bukan hanya rasa simpati, tapi juga kekaguman atas ketangguhan pria itu. Adrian te