Suatu malam, ketika Alena sedang bekerja lembur, Adrian datang ke kantornya untuk mengecek beberapa laporan. Tanpa disangka, Adrian duduk di meja Alena dan mulai berbicara dengan cara yang sangat pribadi, jauh dari kesan dingin yang biasanya ia tunjukkan."Kamu tidak harus melakukan semua ini sendiri, Alena," kata Adrian dengan lembut. "Aku tahu, kadang-kadang pekerjaan ini bisa sangat membebani. Tapi kamu tidak sendirian."Kata-kata Adrian membuat Alena merasa begitu dihargai. Namun, dalam hatinya, ia merasa semakin terikat padanya. "Mungkin aku hanya ingin dia merasa diterima," pikir Alena, namun ia tahu bahwa perasaan ini telah melampaui sekadar simpati.Saat Alena melangkah pulang malam itu, perasaan yang ada dalam dirinya semakin sulit dipahami. Ia terjebak antara simpati, rasa ingin melindungi, dan keterikatan yang semakin mendalam. Ia menyadari bahwa semakin banyak waktu yang ia habiskan bersama Adrian, semakin sulit bagi dirinya untuk menjaga jarak. Perasaan itu mulai berkemban
Reno mulai merasa ada yang tidak beres. Alena, yang dulu sangat terbuka, kini tampak lebih tertutup dan sering kali menghindar darinya. Perubahan sikap ini memunculkan kecurigaan yang semakin besar. Satu malam, Reno memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam, mencari tahu apakah ada yang sedang disembunyikan oleh Alena. Dengan hati-hati, ia mulai mengumpulkan informasi dari rekan-rekan kerja Alena dan juga menyelidiki riwayat pekerjaan Alena di perusahaan Adrian. Meskipun ia belum menemukan bukti yang jelas, perasaan curiganya semakin berkembang.Hujan pertama di bulan Oktober mengguyur Jakarta malam itu. Reno duduk sendirian di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Segelas kopi yang mulai mendingin tergeletak di meja, tepat di samping ponselnya yang berulang kali ia periksa, berharap ada pesan dari Alena.Sudah hampir dua minggu sejak terakhir kali mereka berbicara dengan benar-benar terbuka. Alena selalu memiliki alasan—terlalu sibuk, terlalu lelah,
Sementara itu, Sophia—wanita ambisius yang bekerja di perusahaan Adrian—mulai melihat adanya celah untuk memanfaatkan situasi. Ia sudah lama merasa bahwa Adrian memiliki perhatian lebih kepada Alena, dan kini ia melihat peluang untuk menyingkirkan Alena dari persaingan. Sophia mulai mendekati Reno, berpura-pura menjadi teman yang peduli dan menawarkan informasi yang bisa memicu keraguan lebih lanjut. Sophia tahu bahwa jika ia bisa memecah hubungan antara Alena dan Adrian, ia bisa mengambil alih posisi Alena di perusahaan dan mendapatkan perhatian Adrian.Sophia Greene mematut dirinya di cermin toilet kantor, memastikan tidak ada sedikit pun lipstik merah marunnya yang luntur. Sempurna, seperti biasa. Ia merapikan blazer hitamnya yang sudah disetrika rapi dan menarik napas dalam-dalam."Hari ini harus berhasil," bisiknya pada bayangan di cermin.Sudah tiga tahun Sophia bekerja di divisi pemasaran perusahaan Adrian. Tiga tahun pula ia berusaha mendapatkan perhatian lebih dari Adrian McK
Reno menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Di depan matanya, sebuah email yang tak seharusnya ia baca terpampang jelas—sebuah pertukaran pesan antara Alena dan Adrian. Jemarinya bergetar saat ia mengusap wajahnya yang lelah. Sudah berminggu-minggu ia merasakan ada yang tidak beres, dan kini bukti itu terpampang di hadapannya."Aku rindu padamu. Kapan kita bisa bertemu lagi tanpa harus khawatir?" tulis Adrian dalam email tersebut.Balasan Alena tak kalah menyakitkan: "Aku juga. Ini sulit, tapi aku harus berhati-hati. Reno mulai mencurigai sesuatu."Reno menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak karuan. Ia tidak pernah membayangkan akan melakukan hal seperti ini—mengakses email kekasihnya secara diam-diam. Tetapi keputusasaan telah mendorongnya ke titik ini.Hubungan mereka yang dulunya penuh kehangatan kini berubah menjadi lautan ketegangan yang tidak terucapkan. Setiap pesan yang tidak dibalas, setiap panggilan yang tidak dijawab, semuanya ha
Sophia merapikan blazernya dengan gerakan anggun sembari melirik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Dari balik jendela kantornya di lantai 35, Jakarta terlihat seperti miniatur kota yang dihiasi lampu-lampu gemerlap. Senyum tipis tersungging di bibirnya ketika ponselnya bergetar—pesan dari Reno yang mengkonfirmasi pertemuan mereka sore ini.Sempurna, pikirnya. Semuanya berjalan sesuai rencana. Masalah antara Reno dan Alena adalah peluang emas yang tak boleh ia sia-siakan.Sophia telah mengincar posisi direktur pemasaran yang kini dipegang Alena selama bertahun-tahun. Persaingan ketat di antara mereka bukanlah rahasia bagi siapapun di kantor. Namun, bagi Sophia, ini lebih dari sekadar ambisi profesional—ini tentang pembuktian diri. Selalu berada di bayang-bayang kesuksesan Alena telah menjadi duri yang menggores hatinya setiap hari."Kau terlalu terobsesi," begitu Adrian pernah memperingatkannya. "Fokus saja pada pekerjaanmu sendiri."Ironisnya, justru Adrian yan
Cahaya senja menerobos masuk melalui jendela apartemen Reno, menciptakan bayangan panjang yang seolah menegaskan keheningan mencekam antara dua orang yang kini duduk berhadapan. Reno dengan tatapan tajamnya, dan Alena dengan wajah yang diliputi kecemasan."Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Adrian?" tanya Reno akhirnya, nada suaranya tajam memecah keheningan.Alena tersentak, meskipun ia sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan ini. Di sudut hatinya, ia tahu cepat atau lambat Reno akan mengonfrontasinya secara langsung. Namun, kenyataannya tetap terasa berat."Reno, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," jawabnya dengan suara bergetar, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang.Reno mendengus, tergelak pahit. "Kamu selalu menghindar, Alena! Selalu ada saja alasan, selalu ada saja penjelasan yang kabur." Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangan dengan frustrasi yang tak bisa disembunyikan. "Aku mulai merasa bahwa kamu lebih memilih dia daripad
Alena menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Tiga jam berlalu sejak konfrontasinya dengan Reno, tetapi jantungnya masih berdebar kencang. Kata-kata pria itu terus terngiang di telinganya."Kau pikir Adrian benar-benar peduli padamu? Kau hanya mainan baginya, Alena. Seperti semua perempuan sebelummu."Alena memijat pelipisnya yang berdenyut. Ia sudah mencoba segalanya untuk mengalihkan pikirannya—membaca buku, menonton film, bahkan mencoba memasak meskipun dapur bukanlah wilayah keahliannya. Namun, tidak ada yang berhasil. Pikirannya selalu kembali pada Adrian, pada hubungan mereka yang rumit, dan pada semua keputusan yang telah ia ambil dalam beberapa bulan terakhir.Dulu, hidupnya sederhana namun teratur. Sebagai karyawan biasa di perusahaan multinasional, Alena menjalani rutinitas yang hampir sama setiap harinya. Bangun pagi, berangkat kerja, menyelesaikan tugas, pulang, dan sesekali bertemu teman. Tetapi semua berubah sejak Adrian Raditya masuk ke kehidupannya. CEO tam
Malam semakin larut. Di luar jendela besar penthouse, gemerlap Jakarta terlihat seperti hamparan permata yang berkilauan dalam kegelapan. Adrian duduk di sofa panjang, bersandar dengan posisi yang jarang Alena lihat—bahu sedikit lunglai dan tatapan menerawang. Gelas whisky masih tergenggam di tangannya, setengah kosong, sementara botolnya kini telah habis.Alena memperhatikan setiap detail perubahan pada pria yang biasanya tampil sempurna ini. Rambut hitam yang biasanya tersisir rapi kini jatuh berantakan menutupi sebagian dahinya. Garis-garis lelah di wajahnya yang biasanya tersembunyi di balik ekspresi tegas kini terekspos jelas di bawah cahaya lampu yang temaram."Kau tidak perlu tinggal kalau tidak ingin," ucap Adrian, memecah keheningan. "Aku baik-baik saja."Alena tersenyum tipis. "Kita berdua tahu itu tidak benar."Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan gelasnya di meja. "Maaf, aku tidak bermaksud mengacaukan malammu dengan drama pribadiku.""Tidak apa-apa," jawab Alena
Dengan cepat, ia mengetik pesan untuk Alena: "Aku dengar kau tidak masuk hari ini. Ada apa? Kau baik-baik saja?"Pesan itu terkirim, tapi tidak ada tanda dibaca. Adrian menghela napas panjang, pikirannya berkecamuk. Ia tahu hubungannya dengan Alena mulai menjadi bahan pembicaraan di kantor. Meski selama ini mereka berusaha profesional dan menjaga jarak selama jam kerja, namun mata tajam Sophia dan beberapa karyawan lain tampaknya mulai menyadari perubahan dalam interaksi mereka.Yang lebih mengkhawatirkan adalah kabar tentang Reno. Adrian tahu Alena masih dalam proses mengakhiri hubungannya dengan pria itu, sesuatu yang tidak mudah setelah bersama selama sembilan tahun. Adrian selalu berusaha mengerti dan memberikan Alena ruang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, meski kadang ia tidak bisa menahan rasa cemburu membayangkan Alena masih terikat dengan pria lain.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Adrian. Ia berdeham untuk menjernihkan pikirannya. "Masuk," ucapnya.Pintu terb
"Aku selalu tahu ada yang tidak beres dalam beberapa bulan terakhir," kata Alena. "Tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya. Aku berpura-pura semuanya baik-baik saja, berharap apapun yang terjadi hanyalah fase yang akan segera berlalu.""Kau tidak melakukan kesalahan apapun, Kak," Mira mencoba menghibur. "Kadang, seseorang pergi bukan karena kita melakukan kesalahan, tapi karena mereka memutuskan untuk mencari jalan yang berbeda."Alena tersenyum getir. "Sembilan tahun, Mira. Sembilan tahun dan dia bisa dengan mudah mengakhirinya seperti ini.""Aku tahu, Kak. Ini berat, sangat berat. Tapi kau harus percaya bahwa suatu saat nanti, sakit ini akan mereda. Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi suatu saat nanti, kau akan menemukan kekuatan untuk melangkah maju."Alena menatap adiknya, kagum dengan kebijaksanaan yang dimiliki Mira meski usianya masih muda. Ia mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia tak yakin akan pernah bisa sepenuhnya pulih dari luka ini."Ayo pula
Dengan berat hati, Alena melangkah pergi. Air mata mengalir di pipinya, tetapi ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah keadaan. Ia telah kehilangan Reno—seseorang yang telah menemaninya begitu lama.Langkahnya terasa berat, seolah seluruh beban dunia menindih bahunya. Jalanan kota di sore itu dipenuhi lalu lalang orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tidak seorang pun menyadari kepedihan yang tengah menghantam hati seorang wanita di antara mereka. Alena berjalan tanpa arah, membiarkan kakinya membawanya entah ke mana. Yang ia tahu, ia harus pergi sejauh mungkin dari tempat yang baru saja menjadi saksi bisu kehancuran hatinya."Sembilan tahun," bisiknya pada diri sendiri. Sembilan tahun bersama Reno, tertawa bersama, menangis bersama, merencanakan masa depan yang kini tak lagi mungkin terwujud. Sembilan tahun kenangan yang kini harus diikhlaskan dalam sekejap mata.Langit mulai menggelap ketika Alena sampai di taman kota. Ia mendudukkan diri di bangku
Alena akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menemui Reno di rumahnya. Namun, ketika ia sampai, Reno menolak membukakan pintu. Dari dalam, suaranya terdengar dingin. "Aku tidak butuh penjelasan, Alena. Aku hanya butuh kau untuk pergi."Pagi itu, Alena bangun dengan tekad baru. Sudah seminggu sejak insiden itu terjadi, dan ia tidak bisa lagi menunda-nunda. Ia harus menemui Reno, berbicara dengannya secara langsung, menjelaskan semuanya. Atau setidaknya, mencoba.Adrian, yang masih setia menemaninya selama ini, tampak khawatir ketika Alena memberitahukan rencananya."Kau yakin sudah siap?" tanyanya saat mereka duduk di ruang makan untuk sarapan.Alena mengangguk, menyesap kopi hangatnya. "Aku harus melakukannya, Adrian. Ini sudah terlalu lama.""Baiklah," Adrian menghela napas. "Mau kuantar?""Tidak perlu," tolak Alena lembut. "Ini sesuatu yang harus kuhadapi sendiri."Adrian mengangguk paham. Ia meraih tangan Alena di atas meja, meremasnya lembut sebagai bentuk dukungan. "Apapun yang t
Di sisi lain, Adrian tetap berada di sampingnya. Ia tidak memaksa Alena untuk cepat pulih, tetapi kehadirannya membuat Alena merasa sedikit lebih tenang. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa dirinya masih dipenuhi kebingungan.Sore itu, langit Jakarta tampak kelabu. Hujan rintik-rintik jatuh membasahi jendela kamar Alena yang masih tertutup rapat. Tiga hari telah berlalu sejak kejadian yang mengubah segalanya. Tiga hari yang terasa seperti selamanya.Adrian duduk di kursi samping tempat tidur, sesekali melirik ke arah Alena yang berbaring memandang langit-langit. Tangannya dengan telaten mengupas apel, kebiasaan yang selalu ia lakukan sejak mereka kecil. Alena masih ingat bagaimana Adrian selalu membawa buah untuk dirinya setiap kali ia sakit."Kau harus makan sesuatu," ujar Adrian lembut, menyodorkan sepotong apel. Alena melirik sebentar sebelum menggeleng lemah."Aku tidak lapar."Adrian menghela napas panjang, meletakkan piring berisi potongan apel di meja samping tempat tid
"Aku tahu. Hanya ingin memberitahumu agar kau tidak terkejut jika dia muncul." "Terima kasih, Adrian," ucap Alena tulus. "Untuk segalanya." Setelah menutup telepon, Alena berdiri diam di tengah kesibukan galeri. Pikiran bahwa Reno mungkin akan datang ke pamerannya membawa perasaan campur aduk—harapan, ketakutan, antisipasi, dan kekhawatiran bercampur menjadi satu. Sofia mendekatinya, mengamati ekspresi wajahnya dengan seksama. "Ada kabar?" "Reno mungkin akan datang ke pembukaan pameran," jawab Alena pelan. Sofia mengangguk, senyum kecil terbentuk di bibirnya. "Maka kita harus memastikan ini adalah pameran terbaikmu." Malam pembukaan pameran tiba dengan cepat. Galeri telah disulap menjadi ruang yang elegan namun intim, dengan pencahayaan yang sempurna untuk menyoroti setiap karya seni. Para tamu mulai berdatangan—kolektor, kritikus seni, seniman, dan pecinta seni yang penasaran. Alena berdiri di dekat pintu masuk, mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan. Matanya tidak bisa
Reno tidak menjawab telepon atau pesan dari Alena. Ia benar-benar menghilang dari hidupnya, dan itu membuat Alena merasa bersalah sekaligus kosong. Ia mencoba menghibur dirinya dengan berpikir bahwa ini adalah konsekuensi dari pilihannya, tetapi hatinya tetap terasa berat.Sudah seminggu berlalu sejak pertengkaran mereka. Tujuh hari yang terasa seperti tujuh tahun bagi Alena. Setiap dering telepon, setiap notifikasi ponsel, membuat jantungnya berdebar dengan harapan bahwa itu adalah Reno. Namun setiap kali, harapan itu pupus, digantikan oleh rasa hampa yang semakin dalam."Mungkin sudah waktunya berhenti menghubunginya," ucap Sofia sambil menyesap kopinya.Mereka sedang duduk di kafe kecil dekat galeri, menikmati istirahat singkat di tengah persiapan pameran. Alena menatap layar ponselnya yang menampilkan daftar panggilan tak terjawab—semua untuk Reno."Aku hanya ingin kesempatan untuk menjelaskan," Alena menjawab pelan. "Dia berhak tahu seluruh ceritanya."Sofia menghela napas, menya
Alena duduk di apartemennya, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya penuh dengan apa yang terjadi tadi malam. Reno pergi dengan kemarahan yang tak tertahankan, dan ia tahu bahwa perpisahan itu tidak akan mudah. Ia ingin menjelaskan segalanya, tetapi apakah Reno akan mau mendengarnya?Sudah hampir dua jam ia duduk di posisi yang sama, secangkir teh dingin terabaikan di meja kecil di sampingnya. Cahaya fajar perlahan merangkak masuk melalui jendela, menyinari apartemen yang berantakan—bukti nyata dari pertengkaran malam sebelumnya. Sebuah pigura foto tergeletak di lantai dengan kaca retak, dan beberapa buku tersebar tidak beraturan, terlempar dalam luapan emosi yang tak terkendali."Kau menyembunyikan ini dariku selama tiga bulan!" Teriakan Reno masih bergema di telinganya. "Tiga bulan, Alena! Dan aku harus mengetahuinya dari orang lain!"Alena memejamkan mata, berusaha menelan rasa sakit yang menghimpit dadanya. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa keputusannya untuk tidak bercerita
Alena merasa hatinya hancur, tetapi ia tahu bahwa semua ini adalah konsekuensi dari pilihannya. Adrian mendekatinya dan menyentuh bahunya. "Kau baik-baik saja?" Alena menatapnya dengan mata penuh air mata, tetapi ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Gerimis mulai turun di luar kafe, menciptakan tirai air yang mengaburkan dunia luar. Suasana kafe yang biasanya hangat terasa dingin bagi Alena. Aroma kopi yang mengepul dari cangkir di depannya tak mampu menghibur. Ia menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Adrian. Tidak, ia tidak baik-baik saja."Aku tidak tahu harus berkata apa," ucap Adrian lembut, menarik kursi di samping Alena. "Tapi kau tidak sendirian dalam hal ini."Alena mengusap air matanya dengan tisu yang sudah kusut di genggamannya. Tubuhnya terasa lelah setelah tiga hari tanpa tidur nyenyak. Keputusan yang ia ambil empat bulan lalu kini menghantam balik dengan kekuatan yang menghancurkan."Seharusnya aku tidak pergi malam itu," bisik Alena, suaranya bergeta