Mariana kehilangan segalanya dalam sekejap. Suaminya berselingkuh dengan saudara kandungnya sendiri. Bayi yang sangat dinantikannya meninggal dunia. Dan Bella, sahabat baiknya, pergi untuk selamanya setelah melahirkan. Di tengah duka yang belum usai, suami Bella yang sekaligus atasannya datang dengan sebuah tawaran mengejutkan. “Kamu sahabatnya, dan kamu juga baru kehilangan anakmu. Aku tahu ini sulit, tapi bayi ini membutuhkanmu. Hanya kamu satu-satunya yang bisa kupercaya.” Mariana tidak tahu apakah itu jalan keluar atau justru awal dari kehancuran baru. Apa yang awalnya hanya tentang mengisi kekosongan perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Kehangatan yang tidak seharusnya ada, tatapan yang bertahan terlalu lama, dan perasaan yang terus tumbuh di tempat yang salah. Tapi bisakah cinta bertahan jika sejak awal ia hadir dalam situasi yang begitu keliru?
Lihat lebih banyakAtas permintaan Mariana, hubungan mereka saat ini tidak hanya disembunyikan dari publik, tapi juga dari keluarga masing-masing. Bukan karena Mariana tidak serius, hanya saja dia belum siap menghadapi reaksi dari orang-orang terdekatnya. Terutama dari pihak keluarganya sendiri.Dia tahu, dari pihak orang tua Nate, kemungkinan besar kabar ini akan disambut dengan hangat. Tapi dari orang tuanya, Mariana tidak yakin.Beruntung, Nate tidak mempermasalahkan. Dia hanya bertanya alasan Mariana meminta hubungan ini tetap menjadi rahasia, lalu menyetujuinya setelah mendengar penjelasan Mariana yang terdengar masuk akal baginya.“Dalam hubungan ini, aku hanya ingin fokus pada kenyamananmu saja, Na. Kalau kamu merasa lebih tenang kalau kita pacaran diam-diam—meski aku sangat ingin memamerkan hubungan kita ke seluruh dunia—aku tidak akan menyangkal,” ucap Nate sambil tersenyum. Tangannya terangkat, mengusap lembut pipi Mariana.Mariana membetulkan posisi duduknya, lalu mengangkat satu tangannya me
Hari itu, suasana kantor pusat terasa begitu tenang. Mariana tengah duduk di balik meja kerjanya yang berada tepat di luar ruangan CEO. Pandangannya sibuk menatap layar laptop, memeriksa ulang dokumen perjanjian kerja sama untuk diserahkan ke Nate sore nanti.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan rok pensil abu-abu yang rapi. Sederhana, tapi itulah yang membuatnya menonjol tanpa berusaha lebih.Pintu ruang CEO terbuka sedikit dari dalam, dan suara berat Nate memanggilnya pelan, “Mariana, bisa masuk sebentar?” tanya pria itu.Mariana mengangguk pelan, kemudian bangkit sambil membawa sembarang map yang tergeletak di meja kerjanya. Wajahnya tetap netral saat melangkah masuk.Begitu pintu tertutup dan hanya mereka berdua di dalam ruangan luas bernuansa modern itu, suasananya langsung berubah. Mata Nate yang semula tajam, kini melunak saat menatapnya.“Ruang meeting kosong?” tanya Nate, seolah masih bermain peran sebagai atasan.“Sudah. Semua file yang Bapak minta juga sudah aku siapkan
Setelah kejadian itu, hubungan Bara dan Bianca semakin memburuk. Pertengkaran demi pertengkaran terus mewarnai hari-hari mereka. Hal-hal sepele pun bisa meledak menjadi besar karena tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah.Pagi itu, Bara baru saja bangun tidur. Perutnya terasa melilit karena semalaman tak menyentuh makanan apa pun. Dengan wajah kusut dan langkah gontai, ia menuju dapur.Begitu duduk di kursi dan membuka tudung saji, yang terlihat hanya meja kosong.Ia menutup tudung saji dengan kasar. Suara dentuman penutup logam itu menggema di seluruh dapur.“Dasar perempuan malas! Suami bangun pagi, bukannya menyuguhkan sarapan. Apa yang dia lakukan?!” geramnya penuh amarah.Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari duduknya dan mulai berteriak-teriak.“Bianca! Di mana kamu, hah?!”Tidak ada jawaban. Bara berkeliling rumah dengan kesal, menyusuri setiap sudut sambil terus memanggil-manggil nama istrinya itu. Tapi tetap tak ada tanda-tanda kehadirannya.Beberapa menit kemudian, pi
Mariana baru saja tiba di kediaman orang tuanya. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri diam di depan pintu pagar rumah yang berdiri kokoh. Tiga puluh menit yang lalu, ia menerima pesan singkat dari nomor sang ayah yang memintanya untuk datang sendiri.Mariana mendorong pintu pagar yang tak terkunci. Daun pintu rumah pun terbuka begitu saja saat ia menyentuhnya. Tidak dikunci.Mariana masuk dengan langkah hati-hati, rasa heran menyelip di dadanya, namun belum cukup kuat menjadi kecurigaan.“Ayah?” panggilnya lembut.Kakinya melangkah masuk, melewati ruang tamu yang sunyi. Tidak ada suara televisi menyala. Tidak ada aroma masakan ibunya. Tidak ada gemerisik langkah kaki siapa pun.Langkah Mariana terhenti di ruang tengah. Jam dinding yang berdetak pelan menjadi satu-satunya suara yang terdengar di antara keheningan itu. Ia menoleh ke kiri dan kanan, berharap mendengar sahutan atau mendapati seseorang keluar dari salah satu kamar.Tapi, tidak ada.Saat ia sampai di depan kamar orang tuan
Lebih dari tiga puluh menit kemudian, hujan akhirnya benar-benar reda. Baik rambut maupun pakaian Mariana sudah tidak basah lagi. Begitu pula dengan Nate.Setelah pria itu tiba-tiba memeluknya tadi, Mariana membiarkannya selama beberapa saat. Meski sempat hampir terlena karena terasa hangat dan nyaman, ia buru-buru menarik diri sebelum dirinya merasa enggan untuk dilepaskan.Perjalanan kembali ke mobil berlangsung tanpa banyak kata. Nate kembali menggendong Mariana di punggungnya seperti sebelumnya.Sesampainya di mobil, ia dengan sabar membukakan pintu, membantu Mariana masuk, lalu menyelimuti tubuhnya dengan jaket yang tadi sempat disimpan di jok belakang.“Kita kembali ke hotel dulu,” kata Nate sambil menyalakan mesin. “Kakimu harus dikompres sebelum makin bengkak.”Mariana hanya mengangguk kecil. Kepalanya terasa sedikit berat, dan suhu tubuhnya mulai terasa aneh—panas dari dalam, tapi dingin di permukaan kulit.***Setelah menempuh penerbangan sekitar satu jam tiga puluh menit, p
Hari ketiga seharusnya menjadi hari terakhir mereka di kota ini. Namun pagi itu, saat Mariana baru selesai mengemas barang-barangnya, Nate mengetuk pintu kamarnya.Mariana membuka pintu dengan dahi berkerut. “Sudah siap ke bandara?”Nate menggeleng sambil menyelipkan tangan ke saku celananya. “Kita tidak jadi pulang hari ini.”Mariana memiringkan kepala, bingung. “Kenapa?”“Aku extend satu hari. Ada tempat-tempat yang ingin aku kunjungi,” ujar Nate santai.Mariana terdiam. “Tempat apa?” tanyanya akhirnya.Nate hanya tersenyum misterius. “Ganti baju yang santai. Aku tunggu di bawah.”***Perjalanan hari itu dimulai dari wisata kuliner. Mereka mencicipi rawon khas, tahu petis, hingga menikmati kopi lokal di kedai kecil tersembunyi yang terkenal karena cita rasa khasnya.Setelah makan siang, Nate mengajak Mariana ke sebuah kebun teh di dataran tinggi. Tempat itu sepi, hanya ada beberapa wisatawan lain yang tampak berjalan-jalan santai. Udara sejuk menggigit kulit, tapi pemandangan hijaun
Setelah kejadian itu, Mariana kehilangan minat untuk melanjutkan jalan-jalan. Suasana hatinya mendadak buruk, dan langkahnya terasa berat saat ia memutar arah kembali ke penginapan.Sesampainya di kamar, ia langsung mengunci pintu dan merebahkan diri di tempat tidur.Dalam diam, pikirannya tiba-tiba melayang ke Elhan.Mariana bergegas duduk dan meraih ponsel, membuka kontak Nadia, lalu menekan ikon video call. Butuh beberapa detik sebelum wajah Nadia muncul di layar, wanita itu tersenyum cerah seperti biasa.“Hallo, Bu Mariana!” sapa Nadia sopan sekaligus antusias.Mariana tersenyum. “Hallo, Nad. Elhan bangun?”“Iya, Bu. Lagi main. Mau lihat?” tanyanya, dan Mariana langsung mengangguk.Nadia memiringkan kamera, memperlihatkan Elhan yang sedang duduk di karpet dengan boneka gajah kecil di tangannya. Bayi lucu itu tertawa kecil dengan mata berbinar.Seketika, mood Mariana kembali.“Elhan …,” panggilnya pelan.Bayi lucu itu menoleh, lalu tersenyum lebar begitu melihat wajah Mariana di lay
Keesokan harinya ….Pagi datang dengan kabut tipis yang menyelimuti area sekitar penginapan. Udara masih dingin saat Mariana membuka pintu kamar, berniat ke ruang makan untuk mencari teh hangat.Namun langkahnya terhenti.Di depan pintunya, ada termos kecil dengan sticky note menempel di permukaannya.[Minum ini sebelum turun. Teh jahe dan madu. – Nate.]Mariana terpaku. Hanya beberapa baris kalimat, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak tidak karuan.Ia mengangkat termos itu dengan dua tangan. Uapnya mengepul dan aroma jahe menyusup ke hidungnya.Setelah meneguk satu kali, Mariana menatap keluar lorong. Kosong. Tidak ada siapa pun.Ia tidak bisa menebak niat di balik Nate melakukan ini untuknya.Mariana ingin berpikir bahwa tindakan Nate hanyalah bentuk perhatian seorang atasan terhadap bawahannya. Tapi, ayolah! Mariana tidak cukup lugu untuk berpikir demikian.Lagi pula, sejak kapan seorang CEO mau repot-repot melakukan hal semacam ini untuk sekretarisnya?Tapi jika ia harus b
Sudah lewat seminggu sejak makan malam itu. Mariana mengira semuanya akan kembali seperti biasa.Tapi pagi ini, ia menerima email dengan subject:‘Kunjungan Proyek – Zona Surya 2 (Site Banyu Arta)’Pengirim: Nathaniel Adikara.Isi pesannya singkat.[Siapkan dokumen lapangan dan ringkasan progres. Kita berangkat besok pagi.]Mariana menatap layar monitornya beberapa detik tanpa berkedip. Bahkan belum sempat menarik napas panjang, otaknya langsung memutar ulang satu kalimat tertentu.‘Kalau tiba-tiba kamu disuruh ikut kunjungan kerja ke proyek energi surya minggu depan, jangan kaget, ya.’Ucapan Rani, dengan senyum nakalnya itu, seolah tiba-tiba relevan.Keesokan harinya ….Sekitar pukul sembilan pagi, mobil yang mereka tumpangi akhirnya keluar dari jalan utama dan masuk ke area proyek. Tanah terbuka membentang luas, dihiasi panel-panel surya yang berbaris rapi. Di kejauhan, tampak beberapa pekerja dengan rompi oranye sibuk memeriksa sambungan kabel.Mobil berhenti di dekat pos semi perm
“Astaghfirullah! Apa yang kalian berdua lakukan?!”Suara jeritan Mariana menggema di kamar tidur yang dulu menjadi saksi cintanya dengan sang suami. Namun kini, pemandangan di hadapannya menghancurkan segalanya.Tubuh Mariana limbung, tapi ia memaksa dirinya tetap berdiri. Napasnya tersengal sementara dadanya mulai terasa sesak.Di atas ranjang mereka, suaminya berbaring tanpa busana. Dan yang lebih menghancurkan hatinya, wanita yang bersamanya adalah Bianca—adik kandung Mariana sendiri.Mariana menatap mereka dengan mata yang bergetar, berusaha mencari penjelasan yang sebenarnya tak lagi diperlukan. Segala sesuatu sudah terpampang jelas di hadapannya.“Kalian … bagaimana bisa?” suaranya nyaris tak terdengar.Darah di tubuhnya terasa beku. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah dunia yang selama ini ia kenal runtuh begitu saja. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan mengaburkan pandangannya.“Ka-kak ….” Bia tergagap, wajahnya pucat pasi saat buru-buru meraih selimut untuk menutupi...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen