Asha harus kehilangan bayinya karena ibu mertua dan suaminya menolak tindakan operasi hanya karena tuntutan agar Asha melahirkan secara normal. Tidak hanya itu, setelah bayinya meninggal, Asha diceraikan oleh sang suami yang menolak membayar biaya rumah sakit padahal Asha tidak punya uang sepeser pun. Satu-satunya yang ia miliki hanyalah ASI yang terus keluar meski banyaknya cobaan yang ada. Di sisi lain, Jonathan, direktur rumah sakit tempat Asha dirawat sedang membutuhkan ibu susu untuk anaknya yang saat ini berada di NICU. Ia kemudian menawarkan Asha menjadi ibu susu putrinya dengan bayaran yang fantastis. Namun, apakah status Asha hanyalah sekadar ibu susu biasa saja?
Lihat lebih banyakPertanyaan sang mama tidak langsung mendapatkan jawaban dari Jonathan. Pikiran Jonathan sedang tidak berada di sini, banyak hal-hal yang berkecamuk di kepalanya sekarang, bergantian dengan kepingan-kepingan kabar buruk yang memporak-porandakan hidup Jonathan dalam waktu yang cukup singkat. Kembali ke persoalan donor ASI, bukan apa-apa, mencari donor ASI tidak semudah itu. Ia perlu memastikan calon pendonor memiliki anak yang usianya tidak jauh dari putrinya, Sabrina. Selain itu dia harus melalui proses screening yang ketat. Jonathan tentu harus pastikan kesehatan calon pendonor, makanan apa saja yang dia makan, dan banyak lagi. Belum kebersihan dan sterilisasi prosesi pumping dan pendistribusian ASIP sampai siap untuk dikonsumsi oleh Sabrina. Semua lebih rumit dibandingkan dengan proses menyusui secara langsung. Jonathan sudah berusaha keras mencari calon pendonor ASI yang pas, tapi belum kunjung ketemu. Seandainya saja istrinya masih ada di sisi Jonathan, ia dan Sabrina tidak a
Asha mendapati Dimas sudah kembali berdiri di dalam ruangan, membuat seketika bulu kuduk Asha meremang. Bayangan saat Dimas menamparnya tadi langsung terlintas.Jangan bilang kalau–"Ma-mau apa kamu?" tanya Asha dengan waspada. Ia mencoba meraih bel untuk memanggil perawat kalau-kalau Dimas kembali nekad.Sementara itu, mendengar pertanyaan Asha, sosok itu tertawa sumbang. Ia lantas melemparkan map fotokopi berisi beberapa dokumen di dalamnya. "Milikmu. Kamu pasti perlu untuk mengurus biaya rumah sakit, kan?"Asha seketika membelalak. Biaya rumah sakit? Bukankah dia masuk dalam anggota BPJS yang diberikan kantor Dimas sebagai fasilitas? "Bi-biaya rumah sakit?" tanya Asha dengan suara terbata. Pikirannya seketika penuh. Tampak wajah itu menyeringai, tatapan tajam penuh dendam terbaca di sorot mata, membuat Asha segera menelan ludah diliputi rasa takut. Dimas bergerak mendekati ranjang Asha, setiap langkahnya bagai mimpi buruk. "Pikirmu, aku akan membayar biaya rumah sakit? Untukmu?
"Jangan ikut campur! Ini urusan rumah tangga saya!" salak Dimas tampak tak suka pada sosok itu. "Memang. Tapi selama istri Anda masih berstatus pasien di rumah sakit ini, keselamatan nyawanya menjadi tanggung jawab kami." Sosok asing itu merespons dengan suaranya yang dingin dan tegas. "Kami bisa bertindak lebih jauh apabila Anda tetap tidak kooperatif. Termasuk melaporkan Anda ke pihak berwajib, tidak peduli Bapak adalah suaminya sendiri." Dimas tercekat. Segera ia mengibaskan tangan yang mencekalnya tersebut dan mengambil langkah mundur. Wajahnya masih menampakkan raut kesal dan tak suka. Lalu pergi dari sana. Asha menghela napas lega, setidaknya dia— "Kenapa kamu cuma diam diperlakukan seperti itu? Kamu ingin mati terbunuh oleh suamimu sendiri?" Asha kembali mendongak menatap pria yang baru saja menolongnya tersebut. Namun, sepertinya sosok itu tidak mengharapkan jawaban, karena setelah mengucapkan itu, pria tersebut membantu Asha berdiri. "Astaga–" Asha mengernyit m
Ketika Asha membuka matanya kembali, ia sudah berada di kamar rawatnya. Asha segera ingat kalau ia sempat pingsan setelah melahirkan, tanpa melihat bayinya terlebih dahulu. Samar-samar Asha mencoba mengingat saat-saat sebelum ia tidak sadarkan diri. Ia merasakan betul, setelah ia mengejan sekuat tenaga, bayi itu berhasil keluar, namun ... kenapa Asha tidak mendengar suara tangis bayi pecah?Hati Asha mendadak risau.Suara pintu kamar yang terbuka membuat Asha langsung menoleh dan mendapati ibu mertuanya masuk. Ekspresi wanita paruh baya itu mengeras saat melihat Asha.“Bu di mana anak aku?” tanya Asha lirih.“Anak? Kamu masih bisa menanyakan di mana anak kamu?” Bukan jawaban yang diterima Asha, ia malah bentakan dan lemparan sorot mata tajam dari ibu mertuanya. “Perempuan gagal!”“Bu?” Asha tidak mengerti. Apa yang terjadi? Kenapa perempuan itu nampak marah sekali?Bukankah Asha sudah melahirkan normal seperti yang beliau inginkan?Tanpa Asha duga, Darmi kemudian menghampiri Asya da
"Coba dulu, jangan apa-apa langsung operasi! Kamu kan sehat. Apa susahnya sih lahiran normal?" "Tapi bukaan aku udah nggak nambah lagi dari tadi pagi, Mas. Rasanya udah sakit banget," mohon Asha dengan wajah pucat. Bukan salah Asha kalau ia sampai mengemis seperti ini pada Dimas. Ia kesakitan sejak kemarin dan proses persalinannya bisa dikatakan tidak ada kemajuan apa-apa sejak pagi tadi. Pembukaan tidak bertambah, masih mentok di angka lima dan itu sangat menyiksa. Namun, suaminya itu menolak saran tindakan operasi yang disarankan oleh pihak rumah sakit. "Alah jangan manja! Ibu delapan kali lahiran normal, memang sakit, tapi itu udah kodratnya wanita. Nggak usah banyak alasan!" Darmi ikut bersuara, membuat Asha menoleh dan menatap ke arah perempuan itu dengan tatapan tak mengerti. "Bu, tapi–" "Udah tunggu dulu. Daripada males-malesan, mending, sana kamu bangun, dipakai jalan biar nambah itu bukaan kamu. Bukan malah apa-apa minta operasi, manja banget sih!" potong Darmi denga
"Coba dulu, jangan apa-apa langsung operasi! Kamu kan sehat. Apa susahnya sih lahiran normal?" "Tapi bukaan aku udah nggak nambah lagi dari tadi pagi, Mas. Rasanya udah sakit banget," mohon Asha dengan wajah pucat. Bukan salah Asha kalau ia sampai mengemis seperti ini pada Dimas. Ia kesakitan sejak kemarin dan proses persalinannya bisa dikatakan tidak ada kemajuan apa-apa sejak pagi tadi. Pembukaan tidak bertambah, masih mentok di angka lima dan itu sangat menyiksa. Namun, suaminya itu menolak saran tindakan operasi yang disarankan oleh pihak rumah sakit. "Alah jangan manja! Ibu delapan kali lahiran normal, memang sakit, tapi itu udah kodratnya wanita. Nggak usah banyak alasan!" Darmi ikut bersuara, membuat Asha menoleh dan menatap ke arah perempuan itu dengan tatapan tak mengerti. "Bu, tapi–" "Udah tunggu dulu. Daripada males-malesan, mending, sana kamu bangun, dipakai jalan biar nambah itu bukaan kamu. Bukan malah apa-apa minta operasi, manja banget sih!" potong Darmi denga...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen