"Coba dulu, jangan apa-apa langsung operasi! Kamu kan sehat. Apa susahnya sih lahiran normal?"
"Tapi bukaan aku udah nggak nambah lagi dari tadi pagi, Mas. Rasanya udah sakit banget," mohon Asha dengan wajah pucat. Bukan salah Asha kalau ia sampai mengemis seperti ini pada Dimas. Ia kesakitan sejak kemarin dan proses persalinannya bisa dikatakan tidak ada kemajuan apa-apa sejak pagi tadi. Pembukaan tidak bertambah, masih mentok di angka lima dan itu sangat menyiksa. Namun, suaminya itu menolak saran tindakan operasi yang disarankan oleh pihak rumah sakit. "Alah jangan manja! Ibu delapan kali lahiran normal, memang sakit, tapi itu udah kodratnya wanita. Nggak usah banyak alasan!" Darmi ikut bersuara, membuat Asha menoleh dan menatap ke arah perempuan itu dengan tatapan tak mengerti. "Bu, tapi–" "Udah tunggu dulu. Daripada males-malesan, mending, sana kamu bangun, dipakai jalan biar nambah itu bukaan kamu. Bukan malah apa-apa minta operasi, manja banget sih!" potong Darmi dengan nada ketus. Asha menoleh, menatap Dimas dengan sorot mata memohon karena rasanya sakit dan ia seperti tidak sanggup lagi. "Bener kata Ibu, ayo bangun! Jangan dipake manja!" Hati Asha mencelos. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa laki-laki yang dulu katanya begitu mencintai Asha, tega membiarkan dia kesakitan seperti ini. Apakah Dimas tidak merasa sedih atau setidaknya tersentuh saat melihatnya kesakitan seperti ini? Dipaksakannya diri untuk bangkit setelah melihat tatapan dingin dari suaminya. "Pokoknya kamu harus bisa lahiran normal! Malu sama tetangga, lahiran aja kudu dioperasi, nggak guna kamu jadi perempuan!" Kembali makian itu Asha terima, membuat wajahnya seketika menatap Darmi. Bukan hanya tubuh Asha kesakitan, hati Asha rasanya seperti diremas-remas. Harusnya sesama perempuan saling menguatkan dan memberi semangat, tapi apa yang terjadi? Ibu mertuanya juga perempuan, kenapa harus memakinya sedemikian rupa? Bukankah seharusnya sesama perempuan saling menguatkan dan memberi semangat? Kenapa beliau justru seolah-olah meremehkan rasa sakit yang dirasakan Asha saat ini? Akan tetapi, Asha menurut saja. Perlahan tapi pasti, kakinya mulai melangkah. Tak peduli sakit itu menyiksanya, ini lebih baik daripada mendengar cacian dan makian dari Darmi. Saat sudah beberapa langkah, Asha mendengar suara seperti letusan kecil, diikuti lelehan cairan hangat yang cukup banyak dari organ intimnya. "Mas ... ketuban aku kayaknya pecah!" ucap Asha dengan tubuh bergetar. "Bu, ini udah pecah, gimana?" Bukannya langsung bertindak, Dimas malah lebih dulu laporan pada Darmi. "Hah? Udah pecah ketubannya? Udah mau lahir berarti, Dim. Bawa ke atas kasur biar ibu panggilkan perawat." Asha tertegun atas kepasifan suaminya. Tapi ia tidak berkomentar untuk meminimalisir konflik. Asha hanya diam membisu dan pasrah dibawa ke tempat tidur pasien, berbaring di sana sembari mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang dia punya. Ia akan segera melahirkan! Akhirnya! Atau itulah yang ia pikirkan. Kenyataan berkata lain. "Rum, ini belum nambah lagi. Masih stuck. Coba lapor gih ke dokter." ucap bidan itu sembari menarik jarinya keluar, usai memeriksa bukaan Asha. Asha tertegun. Belum nambah? Itu artinya Asha masih harus menunggu? Tapi ketubannya sudah pecah, dan bukan kah itu berbahaya untuk anaknya kalau masih tetap di dalam sana? *** "Bapak sama Ibu tahu kan apa bahayanya kalau ketuban sudah habis tapi anaknya belum lahir?" tanya dokter itu dengan nada emosi. "Ini sudah hampir habis ketubannya, bukaan masih belum nambah dan Bapak masih ingin diam menunggu seperti ini?" Bukan Dimas yang bersuara, malah Darmi yang lebih vokal menginterupsi. "Diinduksi aja dulu, Dok. Biarin dia lahiran normal, jangan mau enaknya aja." Dokter itu menoleh, menatap Darmi dengan mata tajam. "Bu, yang bilang lahiran metode Caesar itu enak siapa? Ibu belum pernah kan disayat-sayat sampai tujuh lapisan perutnya? Mau normal apa Caesar itu sama-sama sakit, Bu." "Tapi saya aja delapan kali lahiran normal, lancar semua, Dok. Masa dia nggak bisa?" Asha menutup matanya rapat-rapat. Ia benar-benar malu, sungkan dan entah bagaimana lagi harus dia katakan melihat kelakuan ibu mertuanya itu. "Itukan Ibu, kasus menantu Ibu ini beda. Lagi pun ini lahiran yang pertama kali buat dia dengan berat badan janin yang bisa dikatakan besar, Bu." "Terserah, Dok! Pokoknya saya mau dia lahiran normal. Enak aja minta operasi. Biar dia rasakan gimana rasanya lahiran normal." Kekeuh wanita itu yang membuat beberapa perawat geleng-geleng kepala. Asha melirik Dimas, sia-sia dia berharap Dimas akan membela dan berada di sisinya, lelaki itu malah hanya diam membisu, padahal yang tengah Asha perjuangkan sekarang ini adalah darah dagingnya! "Baik kalau Ibu mintanya begitu, silahkan tanda tangan surat penolakan yang nanti dihantarkan kemari. Intinya kalau sampai terjadi apa-apa, itu sudah bukan lagi tanggungjawab kami. Ibu dan keluarga yang menolak prosedurnya, kan?" *** "Aarrggghhh!" Rasanya Asha sudah tidak sanggup lagi. Setelah dua kali diinduksi, akhirnya bukaan sudah lengkap. Jangan ditanya bagaimana sakit yang Asha rasakan, namun mengeluh pun untuk apa? Tidak akan ada yang iba padanya termasuk suaminya sendiri! "Tahan dulu, Bu. Jangan mengejan dulu, tunggu aba-aba dari saya, ya?" bidan itu yang membantu Asha melahirkan. Dokter Endah, entah sejak berdebat dengan Darmi tadi, beliau tidak lagi terlihat. Asha malah merasa tidak enak dan malu sekali. Tapi apa boleh buat? Semua keputusan ada di tangan Darmi, jangankan Asha, Dimas pun tidak bisa membantahnya sama sekali. "Ayo Bu, dorong lagi, ya!" Kembali Asha sekuat tenaga mengejan, ia berharap semua ini segera usai. Tubuhnya sudah terlampau sakit. Bayangan segala macam cacian, hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan yang Asha terima selama dua tahun ini berkelebat dalam pikiran. Bagaimana bisa dia tidak menyadari itu semua selama berpacaran dengan Dimas dulu? Segala macam dendam dan sakit hati mendidihkan darah Asha, ia terus mendorong sekuat tenaga hingga kemudian ia merasakan ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya di bawah sana. Hening, tidak terdengar apapun, pandangan Asha pun mulai berkabut sampai kemudian semuanya menggelap. "Ibu ... Bu, bisa dengar saya? Ibu ....."Ketika Asha membuka matanya kembali, ia sudah berada di kamar rawatnya. Asha segera ingat kalau ia sempat pingsan setelah melahirkan, tanpa melihat bayinya terlebih dahulu. Samar-samar Asha mencoba mengingat saat-saat sebelum ia tidak sadarkan diri. Ia merasakan betul, setelah ia mengejan sekuat tenaga, bayi itu berhasil keluar, namun ... kenapa Asha tidak mendengar suara tangis bayi pecah?Hati Asha mendadak risau.Suara pintu kamar yang terbuka membuat Asha langsung menoleh dan mendapati ibu mertuanya masuk. Ekspresi wanita paruh baya itu mengeras saat melihat Asha.“Bu di mana anak aku?” tanya Asha lirih.“Anak? Kamu masih bisa menanyakan di mana anak kamu?” Bukan jawaban yang diterima Asha, ia malah bentakan dan lemparan sorot mata tajam dari ibu mertuanya. “Perempuan gagal!”“Bu?” Asha tidak mengerti. Apa yang terjadi? Kenapa perempuan itu nampak marah sekali?Bukankah Asha sudah melahirkan normal seperti yang beliau inginkan?Tanpa Asha duga, Darmi kemudian menghampiri Asya da
"Jangan ikut campur! Ini urusan rumah tangga saya!" salak Dimas tampak tak suka pada sosok itu. "Memang. Tapi selama istri Anda masih berstatus pasien di rumah sakit ini, keselamatan nyawanya menjadi tanggung jawab kami." Sosok asing itu merespons dengan suaranya yang dingin dan tegas. "Kami bisa bertindak lebih jauh apabila Anda tetap tidak kooperatif. Termasuk melaporkan Anda ke pihak berwajib, tidak peduli Bapak adalah suaminya sendiri." Dimas tercekat. Segera ia mengibaskan tangan yang mencekalnya tersebut dan mengambil langkah mundur. Wajahnya masih menampakkan raut kesal dan tak suka. Lalu pergi dari sana. Asha menghela napas lega, setidaknya dia— "Kenapa kamu cuma diam diperlakukan seperti itu? Kamu ingin mati terbunuh oleh suamimu sendiri?" Asha kembali mendongak menatap pria yang baru saja menolongnya tersebut. Namun, sepertinya sosok itu tidak mengharapkan jawaban, karena setelah mengucapkan itu, pria tersebut membantu Asha berdiri. "Astaga–" Asha mengernyit m
Asha mendapati Dimas sudah kembali berdiri di dalam ruangan, membuat seketika bulu kuduk Asha meremang. Bayangan saat Dimas menamparnya tadi langsung terlintas.Jangan bilang kalau–"Ma-mau apa kamu?" tanya Asha dengan waspada. Ia mencoba meraih bel untuk memanggil perawat kalau-kalau Dimas kembali nekad.Sementara itu, mendengar pertanyaan Asha, sosok itu tertawa sumbang. Ia lantas melemparkan map fotokopi berisi beberapa dokumen di dalamnya. "Milikmu. Kamu pasti perlu untuk mengurus biaya rumah sakit, kan?"Asha seketika membelalak. Biaya rumah sakit? Bukankah dia masuk dalam anggota BPJS yang diberikan kantor Dimas sebagai fasilitas? "Bi-biaya rumah sakit?" tanya Asha dengan suara terbata. Pikirannya seketika penuh. Tampak wajah itu menyeringai, tatapan tajam penuh dendam terbaca di sorot mata, membuat Asha segera menelan ludah diliputi rasa takut. Dimas bergerak mendekati ranjang Asha, setiap langkahnya bagai mimpi buruk. "Pikirmu, aku akan membayar biaya rumah sakit? Untukmu?
Pertanyaan sang mama tidak langsung mendapatkan jawaban dari Jonathan. Pikiran Jonathan sedang tidak berada di sini, banyak hal-hal yang berkecamuk di kepalanya sekarang, bergantian dengan kepingan-kepingan kabar buruk yang memporak-porandakan hidup Jonathan dalam waktu yang cukup singkat. Kembali ke persoalan donor ASI, bukan apa-apa, mencari donor ASI tidak semudah itu. Ia perlu memastikan calon pendonor memiliki anak yang usianya tidak jauh dari putrinya, Sabrina. Selain itu dia harus melalui proses screening yang ketat. Jonathan tentu harus pastikan kesehatan calon pendonor, makanan apa saja yang dia makan, dan banyak lagi. Belum kebersihan dan sterilisasi prosesi pumping dan pendistribusian ASIP sampai siap untuk dikonsumsi oleh Sabrina. Semua lebih rumit dibandingkan dengan proses menyusui secara langsung. Jonathan sudah berusaha keras mencari calon pendonor ASI yang pas, tapi belum kunjung ketemu. Seandainya saja istrinya masih ada di sisi Jonathan, ia dan Sabrina tidak a
Pertanyaan sang mama tidak langsung mendapatkan jawaban dari Jonathan. Pikiran Jonathan sedang tidak berada di sini, banyak hal-hal yang berkecamuk di kepalanya sekarang, bergantian dengan kepingan-kepingan kabar buruk yang memporak-porandakan hidup Jonathan dalam waktu yang cukup singkat. Kembali ke persoalan donor ASI, bukan apa-apa, mencari donor ASI tidak semudah itu. Ia perlu memastikan calon pendonor memiliki anak yang usianya tidak jauh dari putrinya, Sabrina. Selain itu dia harus melalui proses screening yang ketat. Jonathan tentu harus pastikan kesehatan calon pendonor, makanan apa saja yang dia makan, dan banyak lagi. Belum kebersihan dan sterilisasi prosesi pumping dan pendistribusian ASIP sampai siap untuk dikonsumsi oleh Sabrina. Semua lebih rumit dibandingkan dengan proses menyusui secara langsung. Jonathan sudah berusaha keras mencari calon pendonor ASI yang pas, tapi belum kunjung ketemu. Seandainya saja istrinya masih ada di sisi Jonathan, ia dan Sabrina tidak a
Asha mendapati Dimas sudah kembali berdiri di dalam ruangan, membuat seketika bulu kuduk Asha meremang. Bayangan saat Dimas menamparnya tadi langsung terlintas.Jangan bilang kalau–"Ma-mau apa kamu?" tanya Asha dengan waspada. Ia mencoba meraih bel untuk memanggil perawat kalau-kalau Dimas kembali nekad.Sementara itu, mendengar pertanyaan Asha, sosok itu tertawa sumbang. Ia lantas melemparkan map fotokopi berisi beberapa dokumen di dalamnya. "Milikmu. Kamu pasti perlu untuk mengurus biaya rumah sakit, kan?"Asha seketika membelalak. Biaya rumah sakit? Bukankah dia masuk dalam anggota BPJS yang diberikan kantor Dimas sebagai fasilitas? "Bi-biaya rumah sakit?" tanya Asha dengan suara terbata. Pikirannya seketika penuh. Tampak wajah itu menyeringai, tatapan tajam penuh dendam terbaca di sorot mata, membuat Asha segera menelan ludah diliputi rasa takut. Dimas bergerak mendekati ranjang Asha, setiap langkahnya bagai mimpi buruk. "Pikirmu, aku akan membayar biaya rumah sakit? Untukmu?
"Jangan ikut campur! Ini urusan rumah tangga saya!" salak Dimas tampak tak suka pada sosok itu. "Memang. Tapi selama istri Anda masih berstatus pasien di rumah sakit ini, keselamatan nyawanya menjadi tanggung jawab kami." Sosok asing itu merespons dengan suaranya yang dingin dan tegas. "Kami bisa bertindak lebih jauh apabila Anda tetap tidak kooperatif. Termasuk melaporkan Anda ke pihak berwajib, tidak peduli Bapak adalah suaminya sendiri." Dimas tercekat. Segera ia mengibaskan tangan yang mencekalnya tersebut dan mengambil langkah mundur. Wajahnya masih menampakkan raut kesal dan tak suka. Lalu pergi dari sana. Asha menghela napas lega, setidaknya dia— "Kenapa kamu cuma diam diperlakukan seperti itu? Kamu ingin mati terbunuh oleh suamimu sendiri?" Asha kembali mendongak menatap pria yang baru saja menolongnya tersebut. Namun, sepertinya sosok itu tidak mengharapkan jawaban, karena setelah mengucapkan itu, pria tersebut membantu Asha berdiri. "Astaga–" Asha mengernyit m
Ketika Asha membuka matanya kembali, ia sudah berada di kamar rawatnya. Asha segera ingat kalau ia sempat pingsan setelah melahirkan, tanpa melihat bayinya terlebih dahulu. Samar-samar Asha mencoba mengingat saat-saat sebelum ia tidak sadarkan diri. Ia merasakan betul, setelah ia mengejan sekuat tenaga, bayi itu berhasil keluar, namun ... kenapa Asha tidak mendengar suara tangis bayi pecah?Hati Asha mendadak risau.Suara pintu kamar yang terbuka membuat Asha langsung menoleh dan mendapati ibu mertuanya masuk. Ekspresi wanita paruh baya itu mengeras saat melihat Asha.“Bu di mana anak aku?” tanya Asha lirih.“Anak? Kamu masih bisa menanyakan di mana anak kamu?” Bukan jawaban yang diterima Asha, ia malah bentakan dan lemparan sorot mata tajam dari ibu mertuanya. “Perempuan gagal!”“Bu?” Asha tidak mengerti. Apa yang terjadi? Kenapa perempuan itu nampak marah sekali?Bukankah Asha sudah melahirkan normal seperti yang beliau inginkan?Tanpa Asha duga, Darmi kemudian menghampiri Asya da
"Coba dulu, jangan apa-apa langsung operasi! Kamu kan sehat. Apa susahnya sih lahiran normal?" "Tapi bukaan aku udah nggak nambah lagi dari tadi pagi, Mas. Rasanya udah sakit banget," mohon Asha dengan wajah pucat. Bukan salah Asha kalau ia sampai mengemis seperti ini pada Dimas. Ia kesakitan sejak kemarin dan proses persalinannya bisa dikatakan tidak ada kemajuan apa-apa sejak pagi tadi. Pembukaan tidak bertambah, masih mentok di angka lima dan itu sangat menyiksa. Namun, suaminya itu menolak saran tindakan operasi yang disarankan oleh pihak rumah sakit. "Alah jangan manja! Ibu delapan kali lahiran normal, memang sakit, tapi itu udah kodratnya wanita. Nggak usah banyak alasan!" Darmi ikut bersuara, membuat Asha menoleh dan menatap ke arah perempuan itu dengan tatapan tak mengerti. "Bu, tapi–" "Udah tunggu dulu. Daripada males-malesan, mending, sana kamu bangun, dipakai jalan biar nambah itu bukaan kamu. Bukan malah apa-apa minta operasi, manja banget sih!" potong Darmi denga