Ketika Asha membuka matanya kembali, ia sudah berada di kamar rawatnya. Asha segera ingat kalau ia sempat pingsan setelah melahirkan, tanpa melihat bayinya terlebih dahulu.
Samar-samar Asha mencoba mengingat saat-saat sebelum ia tidak sadarkan diri. Ia merasakan betul, setelah ia mengejan sekuat tenaga, bayi itu berhasil keluar, namun ... kenapa Asha tidak mendengar suara tangis bayi pecah?
Hati Asha mendadak risau.
Suara pintu kamar yang terbuka membuat Asha langsung menoleh dan mendapati ibu mertuanya masuk. Ekspresi wanita paruh baya itu mengeras saat melihat Asha.
“Bu di mana anak aku?” tanya Asha lirih.
“Anak? Kamu masih bisa menanyakan di mana anak kamu?” Bukan jawaban yang diterima Asha, ia malah bentakan dan lemparan sorot mata tajam dari ibu mertuanya. “Perempuan gagal!”
“Bu?” Asha tidak mengerti.
Apa yang terjadi? Kenapa perempuan itu nampak marah sekali?
Bukankah Asha sudah melahirkan normal seperti yang beliau inginkan?
Tanpa Asha duga, Darmi kemudian menghampiri Asya dan menjambak rambut wanita itu hingga Asha terhuyung jatuh dari tempat tidur pasien.
Wanita itu sontak memekik, merasakan rasa nyeri di organ intimnya makin tak tertahankan.
Tidak hanya itu, perbuatan Darmi membuat jarum infus Asha tercabut, otomatis darah Asha berceceran di lantai. Perempuan yang baru saja melahirkan itu berusaha meloloskan diri dari cekalan ibu mertuanya.
“I-Ibu–”
“Kamu benar-benar perempuan tidak tahu diuntung! Apa sih susahnya melahirkan? Begini saja kamu tidak becus! Seandainya putraku tidak menikahi kamu, cucuku tidak akan mati!” teriak Darmi membuat tubuh Asha lemas seketika.
Mati? Anak yang baru saja ia lahirkan sudah meninggal?
“Bu! Sudah, ini di rumah sakit! Malu dilihat orang.” Suara Dimas tiba-tiba terdengar. Pria yang sepertinya baru saja masuk itu sekuat tenaga menarik sang ibu dari Asha, sembari matanya bergerak gelisah ke sana kemari, khawatir kalau-kalau ia akan ditegur wali pasien lain atau suster di sana.
Sementara Asha masih tidak memercayai pendengarannya dan jatuh terduduk di atas lantai.
Anaknya meninggal?
"Urus tuh perempuan pembawa sial, ibu nggak sudi!" ucap Darmi. Ia menyambar tasnya yang ada di kursi dan melangkah keluar kemudian.
“Anak kita nggak meninggal, kan, Mas?” tanya Asha yang berharap kejadian buruk itu tidak terjadi. “Ibu salah, kan?”
Namun, bukannya memeluk Asha yang masih lemas dan kondisinya memprihatinkan, Dimas malah hanya diam berdiri di tempatnya sembari menatap lurus ke arah Asha, sama sekali tidak berniat membantu istrinya itu berdiri.
“Anak kita nggak akan meninggal kalau kamu becus melahirkan, Sha.” jawab Dimas dingin.
Hati Asha mencelos. "Ja-jadi benar? Anak kita meninggal?"
"Iya, gara-gara kamu!” sergah Dimas kasar. “Bisa nggak sih kamu bener ngelakuin sesuatu, sekali ini saja, Sha!"
Asha mulai terisak. Anaknya … anak yang dikandungnya selama 9 bulan ….
Proses persalinannya dua hari ini langsung membayang di kepalanya. Bagaimana saat kontraksi pertama datang, hingga ia rasakan lebih sering. Tentang rasa sakitnya, juga dengan penolakan-penolakan ibu mertua dan suaminya.
"Tapi aku udah ikutin semua mau kamu dan Ibu, Mas,” ucap Asha lirih. “Kamu selalu bilang kalau Ibu tahu yang paling baik soal melahir–”
“Kamu mau menyalahkan Ibu!?” tukas Dimas, tidak terima. Wajahnya memerah marah. “Nggak usah bawa-bawa Ibu! Ibuku sudah baik mau bantu kamu. Kamunya saja yang ngeyel! Bukaan kamu macet sampai harus induksi itu karena kamu selama hamil malas, bener kata Ibu. Aku saja yang salah sudah terlalu memanjakan kamu!"
Air mata Asha banjir. Ada nyeri di dadanya akibat kata-kata dan tuduhan Dimas yang menusuk.
Asha setengah mati menahan mual dan muntah sampai tidak bisa makan, kepalanya sakit sampai tidak bisa turun dari kasur demi berjuang memberi Dimas keturunan.
Tapi sekarang Dimas mengatai dia malas?
"Mas, mungkin memang tadi seharusnya aku operasi,” ucap Asha. “Dokter menjelaskan–"
"Oh, sekarang kamu nyalahin aku?" potong Dimas dengan nada ketus, suaranya sedikit lebih tinggi, membuat Asha sampai melonjak kaget. "Kamu yang nggak becus lahiran, sekarang malah nyalahin aku yang nggak setuju operasi!?"
Lidah Asha mendadak kelu. Dibanding rasa nyeri di organ intim dan punggung telapak tangannya, hati Asha beribu-ribu kali lebih sakit.
Ia menatap sang suami yang menatapnya dengan pandangan jijik. Asha sama sekali tidak menemukan cinta yang dulu ada dalam mata Dimas saat pria itu memandangnya. Sang suami sudah menjadi sosok yang sama sekali tidak Asha kenali.
Dan Asha baru menyadarinya.
Seketika Asha mengingat semua hinaan dan cacian yang pernah ia dengar. Wanita miskin, perempuan malas, manja, dan lain sebagainya. Semua itu Asha terima karena berpikir bahwa ia bisa bertahan asalkan bersama Dimas dan anak mereka. Tekad Asha kuat sebagai istri dan ibu dalam pernikahan ini.
Tapi kini Asha sadar. Sebagai suami, Dimas melupakan tugasnya untuk melindungi Asha. Pria itu tidak pernah ada di pihak Asha ataupun membelanya. Bahkan satu kali pun.
Dan kini ... setelah anaknya meninggal, Asha kehilangan alasan untuk bertahan.
“Aku mau kamu minta maaf ke Ibu setelah ini,” ucap Dimas kemudian. “Gara-gara kamu, Ibu tidak jadi dapat cucu. Aku kehilangan anak! Pokoknya kamu harus tanggung jawab, Sha.”
Asha membuang muka, mengatur napasnya yang mulai berat.
“... Kalau aku tidak mau?” gumam perempuan itu lirih.
Dimas tampak tidak percaya dengan pendengarannya. “Apa?” tanyanya.
“Bagaimana kalau aku tidak mau?” Asha kembali menatap Dimas. “Ibumu kehilangan cucu dan kamu kehilangan anak. Tapi aku juga, Mas. Apa kamu pikir, aku tidak merasa kehilangan? Aku yang mengandungnya selama sembilan bulan. Aku yang berjuang melahirkannya. Aku yang–”
“Tapi kamu gagal! Bukannya introspeksi, kamu mau nyalahin orang?” potong Dimas. Matanya berkilat penuh amarah. “Kamulah yang tidak becus, Sha. Tidak ada gunanya sebagai perempuan!”
Asha kehilangan kata-kata.
Pria ini sama sekali tidak bersimpati padanya.
“Kalau memang bagimu aku perempuan tidak ada gunanya, mungkin kamu bisa cari perempuan lain, Mas,” ucap Asha dengan getir. Wajahnya penuh air mata dan suaranya bergetar. Tapi ekspresinya tampak tegas. “Kita pisah saja.”
Mendengar itu, mata Dimas membelalak. Sorot amarah itu semakin berkobar. Tiba-tiba tangan pria itu terulur dan menjambak rambut Asha dengan cepat.
“Mas!” Asha sontak berteriak. Suaranya makin keras saat Dimas menarik rambutnya hingga tubuh Asha sedikit terangkat dari lantai yang sudah digenangi darah. “Sakit!”
“Coba ulang! Kamu bilang apa tadi?” tanya Dimas dingin.
Air mata Asha kembali turun. “A-aku mau cerai! Aku udah nggak mau hidup sama kamu!” ucap Asha sambil menahan sakit.
“HAH!”
Dimas menghempaskan Asha sampai ia kembali tersungkur di lantai.
Ketika Asha bersusah payah hendak menjauh, Dimas kembali menarik rambut Asha dengan kasar, satu tangannya mencengkeram rahang Asha, menengadahkan wajah itu agar menatap ke dalam matanya.
“Kamu perempuan miskin tidak tahu diri! Sudah baik aku mau menikahimu dan menampungmu selama ini. Kamu sudah bikin mati anakku dan sekarang kamu mau pergi begitu saja!?”
“Bukan aku yang menolak tindakan–”
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Asha, tubuh Asha sampai kembali tersungkur. Pipi itu terasa begitu panas, ditambah rasa sakit di sudut bibir Asha. Ketika jemarinya mengusap sudut bibir, bisa Asha lihat ada bekas darah.
Asha tersenyum getir, ia mengangkat wajah dan mendapati tangan Dimas kembali meraih rambutnya sementara tangan yang lainnya terayun.
Ia refleks menutup mata.
Namun, tidak ada tamparan keras seperti yang ia duga.
“Apa ini cara memperlakukan istri Anda yang baru selesai melahirkan, Pak?”
Suara dalam yang terdengar dingin itu membuat Asha membuka mata dan melihat seorang pria tegap tengah mencekal tangan suaminya.
"Jangan ikut campur! Ini urusan rumah tangga saya!" salak Dimas tampak tak suka pada sosok itu. "Memang. Tapi selama istri Anda masih berstatus pasien di rumah sakit ini, keselamatan nyawanya menjadi tanggung jawab kami." Sosok asing itu merespons dengan suaranya yang dingin dan tegas. "Kami bisa bertindak lebih jauh apabila Anda tetap tidak kooperatif. Termasuk melaporkan Anda ke pihak berwajib, tidak peduli Bapak adalah suaminya sendiri." Dimas tercekat. Segera ia mengibaskan tangan yang mencekalnya tersebut dan mengambil langkah mundur. Wajahnya masih menampakkan raut kesal dan tak suka. Lalu pergi dari sana. Asha menghela napas lega, setidaknya dia— "Kenapa kamu cuma diam diperlakukan seperti itu? Kamu ingin mati terbunuh oleh suamimu sendiri?" Asha kembali mendongak menatap pria yang baru saja menolongnya tersebut. Namun, sepertinya sosok itu tidak mengharapkan jawaban, karena setelah mengucapkan itu, pria tersebut membantu Asha berdiri. "Astaga–" Asha mengernyit mendengar
Asha mendapati Dimas sudah kembali berdiri di dalam ruangan, membuat seketika bulu kuduk Asha meremang. Bayangan saat Dimas menamparnya tadi langsung terlintas.Jangan bilang kalau–"Ma-mau apa kamu?" tanya Asha dengan waspada. Ia mencoba meraih bel untuk memanggil perawat kalau-kalau Dimas kembali nekad.Sementara itu, mendengar pertanyaan Asha, sosok itu tertawa sumbang. Ia lantas melemparkan map fotokopi berisi beberapa dokumen di dalamnya. "Milikmu. Kamu pasti perlu untuk mengurus biaya rumah sakit, kan?"Asha seketika membelalak. Biaya rumah sakit? Bukankah dia masuk dalam anggota BPJS yang diberikan kantor Dimas sebagai fasilitas? "Bi-biaya rumah sakit?" tanya Asha dengan suara terbata. Pikirannya seketika penuh. Tampak wajah itu menyeringai, tatapan tajam penuh dendam terbaca di sorot mata, membuat Asha segera menelan ludah diliputi rasa takut. Dimas bergerak mendekati ranjang Asha, setiap langkahnya bagai mimpi buruk. "Pikirmu, aku akan membayar biaya rumah sakit? Untukmu?
“Kamu sudah dapat calon donor ASI buat Sabrina?”Pertanyaan sang mama tidak langsung mendapatkan jawaban dari Jonathan. Pikiran pria itu sedang ramai. Ada banyak hal-hal yang berkecamuk di kepalanya sekarang, bergantian dengan kepingan kabar buruk yang memporak-porandakan hidup Jonathan dalam waktu yang singkat. Salah satunya memang persoalan donor ASI untuk putrinya.Bukan apa-apa, mencari donor ASI tidak semudah itu. Jonathan perlu memastikan calon pendonor memiliki anak yang usianya tidak jauh dari putri kecilnya, Sabrina. Selain itu dia harus melalui proses seleksi yang ketat. Jonathan tentu harus memastikan kesehatan calon pendonor ASI juga, makanan apa saja yang dia makan, dan banyak lagi. Belum kebersihan dan sterilisasi prosesi pumping dan pendistribusian ASIP sampai siap untuk dikonsumsi oleh Sabrina. Semua lebih rumit dibandingkan dengan proses menyusui secara langsung, otomatis membuatnya sakit kepala. Jonathan sendiri sudah berusaha keras mencari calon pendonor ASI, t
"Kamu serius?"“Iya. Aku dengar kamu sempat menolongnya kemarin.”Jonathan menatap Ferdi dengan tatapan tak percaya. Jadi ASI 'emas' ini milik Asha? Wanita yang dipukuli suaminya tempo hari?Bukan salah Jonathan kalau dia sampai tidak percaya, Asha tengah dirundung permasalahan hidup yang cukup berat. Padahal dalam kamus menyusui, hal utama yang harus dihindari para ibu menyusui agar ASI-nya lancar adalah stres. Tidak boleh banyak pikiran dan bersedih. Lalu Asha? Bagaimana bisa?Perempuan itu sedang hancur. Tidak cukup ditinggal bayi yang sudah dia perjuangkan dengan separuh nyawa, suami dan mertuanya justru menyalahkan dirinya. Bahkan mencaci maki hingga memukuli.Apalagi kalau memang benar dia adalah orang yang sama dengan yang dibicarakan oleh para perawat, bukankah wanita itu justru baru saja diceraikan suaminya?Lengkap sudah, kan, penderitaan perempuan muda itu? Dengan tekanan dan kesedihan yang bertubi-tubi seperti itu, bagaimana bisa Asha masih mampu memproduksi ASI bahkan d
“Sebentar, Dok–”“Jadilah ibu susu untuk putri saya.”Asha berkedip. Setelah uraian panjang lebar yang tidak baik untuk kewarasannya itu, akhirnya Asha mendapatkan inti ucapan Jonathan.“Ibu susu?” tanya Asha, meyakinkan pendengarannya.Jonathan mengangguk. "Saya butuh ASI kamu, Nona Asha. ASI seperti yang kamu sumbangkan untuk NICU," ujar Jonathan. “Bayi saya lahir prematur. Kurang bulan, kurang berat badan. Jadi sangat butuh ASI.""Apakah … ASI ibunya tidak keluar, Dok?” tanya Asha hati-hati.Jonathan tersenyum getir. “Tidak akan pernah keluar sampai kapan pun,” jawab pria itu pelan, membuat Asha kembali bingung. Apalagi, wanita itu lalu melihat sepasang mata Jonathan berkaca-kaca seperti tengah menahan tangis, sebelum kemudian menunduk."Istri saya kecelakaan,” jelas Jonathan kemudian, setelah diam selama beberapa saat. “Hanya bayi kami yang selamat.”Jonathan mengangkat wajahnya, ia mendapati wajah itu tercengang dengan mulut terbuka yang segera ditutupi dengan tangan. Jonathan me
“Ta-tapi, Dok ….” “Selama Sabrina masih harus dirawat, kamu lebih baik di sini lebih dulu,” sela Jonathan. Pria itu kemudian menambahkan, “Jangan khawatir untuk kebutuhanmu, saya sudah atur semua. Untuk biaya pun sudah saya urus."Asha terkejut. Wanita itu menatap Jonathan dan hendak mengatakan sesuatu. Namun, belum sempat dia bersuara, Jonathan kembali berujar: "Mungkin terdengar egois, tapi saya harap kamu fokus pada Sabrina saja.” Jonathan tampak serius. “Kontrol mood dan emosi kamu. Jangan terlalu memikirkan hal-hal negatif dan sedih. Apakah bisa dipahami?”Asha mengangguk. “Baik, Dok.” “Kalau ada masalah, segera katakan pada saya. Ini bersangkutan dengan anak saya.”Senyum sopan tersungging di bibir Asha saat ia mengangguk. Ia tidak bisa berkata-kata lagi.Seperti inikah rasanya diperhatikan dan diberikan segalanya? Betapa beruntungnya ibu dari bayi Sabrina ini. Jika beliau masih hidup, pasti beliau adalah wanita yang paling berbahagia.Tiba-tiba mata Asha memanas sampai ia ha
"Ta … apa aku bisa minta tolong?" ucap Asha sembari menatap lurus ke jendela. Ia baru saja mendengarkan penuturan sepupunya dan memberikan penjelasan akibat cerita tidak benar dari Dimas.Rupanya pria itu baru saja ke rumah sepupu Asha yang tinggal di kota yang sama untuk mengangsurkan barang-barang Asha karena mereka sudah bercerai. Dimas melakukannya sambil marah-marah, menjelek-jelekkan Asha dengan cerita karangannya yang harus segera diluruskan oleh Asha.Karena di sana ia tampil sebagai ibu jahat yang telah menyebabkan anaknya meninggal."Apa? Katakan saja, Sha. Sebisa mungkin aku bakalan tolongin kamu." ucap Ista tulus. Asha tersenyum, matanya sontak memanas. Satu-satunya keluarga yang masih mau berhubungan dengan Asha hanya Ista seorang. Lainnya? Mereka lebih memilih pro dengan orang tua Asha dan mengasingkan Asha ketika memutuskan untuk nekat menikah dengan Dimas. "Jangan sampai orang tuaku dan keluarga yang lain tahu soal ini, ya? Kamu belum cerita sama mereka, kan?" tanya
“Ah, iya, Dok.” Asha menatap ke arah Reni dan hendak berdiri untuk menyapa.Buru-buru Reni mendekat dan menahannya. "Sudah duduk saja!" titah Reni sembari mendudukkan kembali Asha di sofa. "Saya mamanya Jonathan, Sha. Jona sudah cerita banyak soal kamu. Kamu yang sabar, ya. Ikhlaskan semua yang sudah terjadi."Asha nampak terkejut, hanya sesaat karena kemudian ia menganggukkan kepalanya sembari tersenyum getir. "Terimakasih banyak, Ibu." hanya itu yang mampu Asha ucapkan, selain merasa gugup, ia tidak mau harus kembali menangis hari ini. "Saya mohon sekali pertolongan kamu, Sha, untuk cucu saya. Dia sangat butuh ibu susu, meskipun kami mampu beli sufor merek apapun, harga berapapun, tapi kami tetap berharap Sabrina bisa full ASI sampai nanti disapih." mohon Reni sembari menatap Asha lekat-lekat. Asha mengangguk pelan, "Ibu jangan khawatir. Saya sudah berjanji pada dokter Jonathan, saya akan lakukan tugas saya sebaik mungkin."Reni mengangguk, ia menatap beberapa kantong ASI di ata
"Loh gimana sih, Jo? Kalian nggak jadi pergi?"Jonathan merebahkan tubuh di atas kasur, ia langsung menghubungi Reni, membatalkan permintaan Jonathan yang meminta Reni kemari sepulang praktek. "Nggak jadi, Ma. Bina lagi nggak mau ditinggal. Lagi mode nempel terus sama Asha." jawab Jonathan sambil memejamkan mata. "Bina kenapa, Jo? Sakit?" tanya suara itu langsung berubah panik. "Aman, Ma. Bina nggak sakit. Dia sehat, cuma kata Ferdi lagi di fase wonder week."Wonder week. Entah dulu Jonathan yang tidak memperhatikan atau bagaimana, ia malah lupa ada istilah itu di ilmu pediatri."Oalah, rewel terus berarti? Perlu mama ke sana, Jo?""Agak sih, Ma. Cuma masih bisa Asha handle. Mama istirahat saja di rumah, nanti semisal Jo perlu bantuan, pasti Jo udah telpon Mama. Tapi semoga tidak, Ma. Bantu doa saja." ucap Jonathan mencoba menenangkan sang ibu. "Ya sudah kalau begitu. Kamu juga jangan cuma diem, Jo. Bantuin Asha gendong atau apa." perintah Reni yang seketika direspon dengan bibir
“Bina kenapa?”Nafas Jonathan sedikit terenggah, bagaimana tidak? Ia sangat panik tadi, ketika membaca chat yang Asha kirimkan mengenai kodisi Sabrina yang rewel.“Rewel terus, Pak. Maunya digendong terus.” Lapor Asha yang nampak kewalahan.“Coba baringkan, biar saya periksa.”Jonathan mengeluarkan stetoskop, benar saja! Begitu Bina turun dari gendongan Asha, ia langsung menangis keras sampai kulit wajahnya memerah. Jonathan menghela nafas panjang, ia berusaha untuk tetap tenang meskipun jujur ia sangat panik mendengar Sabrina menangis begini.Meskipun bukan spesialisasinya, Jonathan masih bisa membedakan tanda-tanda vital yang normal dan tidak itu yang seperti apa dengan bantuan stetoskop. Jonathan tidak menemukan hal aneh, semua normal dan baik.“Coba ambilin termometer, Sha!” perintah Jonathan seraya melepaskan stetoskop.Dengan segera, Asha melangkah ke rak yang ada di dekat box Sabrina, ia segera kembali dengan benda yang diminta oleh Jonathan.“Normal. Tidak ada demam.” Ucap Jon
"Pak!"Jonathan menghentikan langkah, ia segera membalikkan tubuh dan mendapati sosok itu tengah melangkah dengan sedikit tergesa ke arahnya. Jonathan melirik arloji di pergelangan tangan, masih ada waktu dua puluh menit sebelum ia harus visite pasien. "Gimana?" tanya Jonathan dengan nada serius. "Saya udah dapat, Pak. Kapan Bapak mau diantar kesana?" tanya suara itu dengan nada serius. Kening Jonathan berkerut, ia tidak menyangka bahwa orang satu ini bisa dengan begitu cepat mendapatkan informasi yang dia minta. "Serius? Kamu nggak lagi bercanda, kan?" Bukan salah Jonathan kalau dia tidak percaya, ia baru saja memberikan tugas itu pada Adit kemarin malam dan sepagi ini Adit sudah mengatakan bahwa semua informasi yang Jonathan minta sudah dia dapatkan! "Saya bercanda juga buat apa sih, Pak? Saya serius!" ujar Adit menyakinkan Jonathan. Jonathan tercengang barang beberapa menit, ia kemudian menatap Adit dengan saksama, mengangguk kepala sembari menghela napas panjang. "Tidak sek
"Mikir apa?"Jonathan benar-benar tidak bisa hanya diam, semenjak masuk ke dalam mobil, Asha hanya merenung dengan tatapan kosong. Meskipun matanya fokus ke depan, namun beberapa kali Jonathan bisa lihat Asha sibuk menyeka air mata. "Oh ti-tidak ada, Pak. Tidak mikir apa-apa." Sahut suara itu nampak gugup. Dengan tatapan yang masih lurus ke depan, Jonathan mendengus kasar. Ia melirik Asha sekilas, nampak ia tidak tenang di joknya. "Kamu nggak bisa bohongin saya, Sha." ucap Jonathan lirih. Asha tidak langsung menjawab. Perempuan itu malah menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tidak terdengar isak tangis, namun Jonathan yakin dia tengah menangis sekarang. "Nangis aja dulu, Sha. Biar lega." ucap Jonathan lirih. Susah memang berurusan dengan perempuan, mereka lebih mengedepankan perasaan. Cukup lama wajah itu tertutup dengan tangan, sampai kemudian tangan itu berangsur turun dari wajah, jemari-jemari Asha sibuk menyeka air mata, membuat Jonathan meraih kotak tisu di dashboard, meny
"Ma-Mas?"Asha tercekat, bayangan segala perkataan dan perlakuan kasar lelaki itu kembali berkelebat. Tubuh Asha bergetar, ia mengigil dengah keringat dingin yang seketika mengucur membasahi dahi. Asha ingin lari, namun entah mengapa langkah kakinya terasa begitu berat. "Kamu benar masih hidup? Aku pikir kamu sudah mati bunuh diri." ejek suara itu yang perlahan memunculkan keberanian dalam diri Asha. "Kenapa aku harus melakukan hal gila itu?"Dimas tertawa, ia melipat kedua tangan di dada sembari menatap Asha dengan tatapan yang begitu merendahkan. "Malang banget nasib anakku harus punya ibu nggak becus macam kamu. Kenapa bukan kamu saja yang mati waktu itu?" Keberanian yang semula membara, kontan lenyap seketika saat kata 'anak' keluar dari mulut Dimas. Rasa sakit yang sudah berangsur sembuh, kini kembali terasa mencekik Asha dengan begitu kuat. Kenangan saat bayi itu masih dalam kandungan, berkelebat dalam benak Asha. Bagaimana kaki kecil itu sering menendang-nendang perut Asha,
"Biar Asha yang beli, Mbok."Asha muncul ketika mbok Iin kebingungan, beberapa bumbu dapur ternyata habis, padahal ia masih harus masak beberapa hidangan. "Non Bina?" tanya mbok Iin dengan wajah yang masih panik. "Kan ada ibu, itu lagi sama ibu. Jadi nggak apa-apa biar Asha yang belikan."Wajah tegang itu berangsur tenang, ia tersenyum sembari melangkah menuju pintu yang tak jauh dari dapur. Tak beberapa lama, sosok itu kembali muncul dengan membawa dompet. "Apa-apa yang harus dibeli, simbok chat aja, ya?" ujarnya sembari menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan. "Siap kalau gitu, Mbok. Asha pamit sama ibu dulu." ucap Asha sembari membalikkan badan. "Kunci motor ada di dekat pintu garasi, ya!"Asha menoleh, menganggukan kepala sembari tersenyum. Ia segera menapaki anak tangga, mencari keberadaan Reni yang sedari tadi tidak terlihat. Samar-samar Asha mendengar percakapan yang berasal dari kamar Jonathan, dengan segera Asha mendekat, mengetuk pintu yang terbuka sedikit dan menun
"Halo, mana ini cucu oma?"Asha menoleh, ia tersenyum begitu melihat Reni muncul dari balik pintu. Nampak ia datang masih dengan seragam rumah sakit, dengan paper pag yang ada di tangan sebuah paper bag dengan brand pattiserie kenamaan yang terkenal ekslusif dan mahal. "Tuh Oma datang, Bina!" ucap Asha sembari bangkit dari sofa menyusui. "Kata Jonathan, tadi dokter Ferdi ke sini? Gimana hasil pemeriksaan Bina tadi?" Reni meletakkan paper bag di meja, ia melangkah ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. "Baik, Bu. BB Bina juga sudah di garis hijau. Semua aman." lapor Asha dengan senyum lebar. "Hebat cucu oma, ya? Sini gendong oma, Sayang!"Asha tersenyum, ia menyerahkan Bina ke gendongan Reni. Wajah perempuan itu nampak begitu gembira, menimang Bina lalu mencium lembut pipi gembul bayi itu. Ada rasa bahagia dan bangga melihat interaksi itu, terlebih saat tadi Asha melaporkan perkembangan Bina pada sang nenek. Melihat bayi yang awalnya sangat kecil, bisa tumbuh sesuai kurva Bina su
"Nah sudah tidur!"Asha menghela napas panjang, ia menatap Sabrina dengan senyum di wajah. Bayi itu sudah mandi, menyusu sampai kenyang dan sekarang tertidur dengan begitu pulas. Ia membetulkan rambut Sabrina yang berantakan, lalu teringat bahwa ia harus mengambil peralatan Sabrina yang berada di kamar Jonathan. "Mbak, makan dulu!" Secara kebetulan, mbok Iin muncul dan masuk ke dalam kamar. Perempuan paruh baya itu membawa nampan, berisi sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk dan semangkuk sayur di mangkuk. "Nah kebetulan Simbok datang. Nitip Bina sebentar, Mbok." pinta Asha sembari menghampiri mbok Iin. Kening perempuan itu berkerut, ia menatap Asha dengan penuh penasaran."Loh, mbak Asha mau kemana?" "Cuma ambil peralatan Bina di kamar bapak, Mbok. Kemarin Bina dibawa ke kamar bapak." jawab Asha apa adanya. "Oh pantes tadi bapak kayak kurang tidur. Yaudah buruan gih, biar Bina simbok jagain dulu." Asha mengangguk pelan, ia segera melangkah keluar kamar begitu mbok Iin setuju
Asha mengerjapkan mata, ia melirik jam dinding dan bergegas bangun ketika menyadari jarumnya sudah berada di angka lima. Sejenak Asha tertegun, ketika matanya menatap box bayi yang kosong. "Ah! Lagi sama papanya." ucap Asha lega ketika ingat Sabrina tengah diasuh oleh Jonathan. Asha hendak turun dari kasur, sejenak ia kembali tertegun ketika mendapati meja ganti popok Sabrina sudah bersih. Padahal semalam ia meninggalkan begitu saja beberapa peralatan pendukung pumping di atas sana. Dan tak lupa, ia menyadari bahwa kotak martabak telor itu juga sudah berpindah tempat. "Mungkin bapak masuk, ya?" gumam Asha ketika ingat Jonathan meminta izin padanya kemarin. Dengan segera Asha bangkit, ia merasakan payudaranya sudah penuh. Tangannya bergegas mengambil satu set pompa ASI bersih dari dalam mesin sterilisasi, tak lupa mesin pompanya. Dan benar saja baru beberapa detik Asha menghidupkan mesin, kucuran demi kucuran ASI itu sudah tumpah ruah memenuhi botol penampung. Asha tersenyum melih