Mariana duduk diam di sisi ranjang, jari-jarinya gemetar saat ia membawa botol minyak kayu putih ke dekat hidung ibunya. Harapannya hanya satu—ibunya segera sadar.
“Ibu ...,” gumamnya lirih.
Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan menambah ketakutan yang menggelayuti hatinya. Mariana tidak pernah melihat ibunya jatuh pingsan seperti ini sebelumnya. Dan itu membuatnya begitu takut.
Saat Mariana hampir kehilangan harapan, tubuh ibunya sedikit bergerak. Kelopak mata wanita paruh baya itu bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan.
“Ibu!” seru Mariana dengan mata berkaca-kaca. Ia buru-buru menurunkan minyak kayu putih dan meraih tangan ibunya.
Ratna menatap putrinya dengan sorot mata sendu, penuh penyesalan yang begitu dalam.
“Maafin Ibu ya, Sayang ...,” suaranya terdengar lemah, tapi setiap kata yang keluar membawa luka di hatinya. “Ibu gagal mendidik Bianca sampai dia berbuat seperti ini ke kamu.”
Mariana mengatupkan bibirnya dengan rapat. Ia ingin berkata banyak hal, ingin mengungkapkan sakit hatinya, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah, “Iya, Bu.”
Ratna mengangkat tangannya yang lemah, jemarinya menyentuh pipi Mariana yang basah oleh air mata. Sentuhan itu lembut, penuh kasih sayang, namun juga dipenuhi rasa bersalah yang begitu dalam.
“Ibu tahu kamu pasti sakit hati,” bisik Ratna dengan suara serak. “Tapi tolong jangan benci adikmu, Nak.”
Mariana terdiam. Dadanya terasa sesak, hatinya berkecamuk antara sakit hati dan rasa tanggung jawab sebagai kakak.
Bagaimana mungkin ia tidak membenci Bianca setelah semua yang terjadi? Setelah pengkhianatan yang begitu keji?
Namun, melihat ibunya seperti ini—terbaring lemah dengan wajah penuh penyesalan—membuat Mariana semakin tersiksa.
“Ibu tahu ini nggak adil buat kamu,” lanjut Ratna begitu lirih. “Tapi Bianca tetap adikmu. Ibu nggak mau kalian jadi musuh seumur hidup.”
Mariana menunduk seraya menggigit bibirnya yang bergetar. Rasanya ingin berteriak bahwa semua ini tidak semudah itu. Namun di saat yang sama, ia juga tidak sanggup menambah kesedihan ibunya.
“Ibu istirahat saja dulu,” kata Mariana akhirnya.
Ratna menatap putri sulungnya itu cukup lama sebelum akhirnya menghela napas pelan. Ia tahu, luka ini terlalu dalam untuk sembuh dalam semalam.
Sementara itu di luar kamar, suara langkah seseorang terdengar mendekat. Mariana menoleh ke arah pintu dan jantungnya seketika mencelos saat melihat sosok yang muncul di ambang pintu.
Bianca.
Mariana mengeratkan genggamannya pada selimut ibunya, sorot matanya seketika menjadi dingin saat melihat adiknya itu. “Ngapain kamu di sini?” tanyanya ketus.
Bianca mengepalkan tangannya dengan erat. “Aku cuma mau lihat ibu,” ucapnya tanpa merasa bersalah.
Mariana tertawa sinis. “Setelah apa yang kamu lakukan, kamu pikir kamu punya hak untuk peduli?”
Ratna yang sedari tadi diam, akhirnya menghela napas berat. Ia menatap Bianca, bukan dengan kemarahan, melainkan kekecewaan yang begitu dalam.
“Bianca,” suara ibunya lemah tapi tajam. “Apa yang kamu lakukan bukan sekadar salah. Itu pengkhianatan.”
Mata Bianca berkilat. “Jadi sekarang Ibu juga membela Kak Mariana?” nadanya penuh tuduhan. “Kenapa? Karena dia anak kebanggaan Ibu? Karena dia selalu lebih baik dari Bia?”
Ratna menatap gadis itu dengan luka yang jelas terpampang di matanya. “Bukan masalah siapa yang lebih baik, Bianca!” Ia menegaskan suaranya. “Ini tentang benar dan salah.”
Bianca mendengus, lalu melipat tangannya di dada. “Lucu! Ibu bicara seolah-olah selama ini memperlakukan Bia dengan adil. Tapi kenyataannya? Ibu dan Ayah nggak pernah memandang Bia seperti Kak Mariana.”
Ratna menutup matanya sesaat, berusaha mengatur napasnya yang terasa berat. “Kamu pikir itu alasan yang cukup untuk menghancurkan hidup kakakmu?” tanyanya dengan suara bergetar.
Bianca tidak menjawab, tapi tatapan matanya penuh pembelaan. Seolah-olah apa yang ia lakukan hanyalah bentuk pembalasan dari semua ketidakadilan yang ia rasakan.
“Bianca,” suara Ratna kali ini melemah. “Ibu mungkin bukan ibu yang sempurna, tapi apa itu cukup untuk membuatmu jadi seperti ini?”
Bianca terdiam.
Mariana yang sejak tadi mendengarkan, akhirnya menghela napas kasar. “Aku nggak mau dengar lagi,” katanya dingin. “Kalau kamu cuma datang untuk menyalahkan orang lain atas apa yang sudah kamu lakukan, lebih baik pergi!” usirnya.
Tatapan Bianca semakin tajam menatap Mariana. “Bia nggak datang untuk minta maaf. Bia cuma ingin melihat Ibu!” tegasnya tak tahu malu.
Mariana tersenyum sinis. “Dan setelah ini, apa? Kamu kembali ke suamiku dan pura-pura tidak ada yang salah?”
Kali ini, Bianca tidak menjawab. Gadis itu hanya mengerjap seraya mengepalkan tangan.
Mariana menatap adiknya itu cukup lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau itu keputusanmu, aku juga sudah mengambil keputusanku.”
Ia menunduk, mencium punggung tangan ibunya dengan lembut, lalu berbalik menuju pintu. Saat melewati Bianca, Mariana berhenti sejenak dan menatapnya dengan tatapan yang penuh dengan campuran emosi.
“Aku nggak akan membencimu, Bianca,” katanya pelan. “Tapi mulai sekarang, kamu bukan adikku lagi.”
Sepeninggal Mariana, Ratna menatap putri bungsunya dengan sorot mata yang semakin suram. Tangannya gemetar saat ia mencoba mengangkat tubuhnya sedikit.
“Kamu benar-benar nggak menyesal, Bianca?” Suaranya lirih. “Setelah semua yang kamu lakukan?”
Bianca tetap berdiri di tempatnya, dagunya terangkat dengan angkuh meskipun sorot matanya sekilas bergetar.
“Aku nggak menyesal, Bu.”
Ratna mengatupkan bibirnya rapat-rapat, berusaha menahan gemuruh di dadanya.
“Ibu nggak habis pikir, bagaimana bisa aku melahirkan anak yang tega menghancurkan hidup kakaknya sendiri?”
Bianca menggenggam tangannya dengan kuat. “Ibu selalu menyalahkan Bia,” desisnya dengan mata berkaca-kaca. “Dari dulu, Ibu dan Ayah cuma melihat Kak Mariana. Apa Bia pernah benar-benar dianggap?”
Ratna menghela napas panjang. “Itu hanya pemikiranmu, Bianca! Kami nggak pernah memperlakukan kalian dengan berbeda. Terlepas dari semua itu, kamu pikir itu cukup jadi alasan untuk merebut suami kakakmu?”
Bianca menegang. “Dia bukan hanya milik Kak Mariana!” jawabnya dengan suara yang lebih tinggi. “Dia juga mencintai Bia!”
Tamparan keras mendarat di pipi Bianca. Ratna yang nyaris tidak memiliki tenaga tadi, kini menatapnya dengan mata yang dipenuhi kemarahan dan kesedihan.
“Cinta?” Ratna mengulang kata itu dengan suara bergetar. “Cinta macam apa yang menghancurkan keluarga?”
Bianca menutup matanya erat, tangannya menyentuh pipinya yang memerah. Ia mengepalkan jemarinya, berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh.
Ratna menegakkan tubuhnya sedikit, berusaha mengumpulkan semua sisa tenaganya. “Ibu sangat kecewa, Bianca.”
“Ibu nggak mengerti—”
“Apa yang harus Ibu mengerti, Bianca?” potong Ratna tajam. “Bahwa kamu merasa kurang diperhatikan? Bahwa kamu iri pada kakakmu? Lalu itu membuat semua yang kamu lakukan bisa dibenarkan?”
Bianca terdiam.
“Kami mungkin bukan orang tua yang sempurna,” lanjut Ratna dengan suara yang mulai melemah. “Tapi Ibu nggak pernah mengajarkanmu untuk menjadi orang sekejam ini. Kamu tahu itu, Bianca!”
Mariana menarik napas panjang, berusaha menahan sesak yang menggelayuti dadanya. Dengan langkah mantap, Mariana berbalik dan berjalan menuju pintu. Setiap langkah yang diambil terasa berat, seolah ada beban yang menahan pergelangan kakinya.Namun, ia tidak berhenti. Ia sudah membuat keputusan, dan kali ini, ia tidak akan goyah.Tangannya baru saja menyentuh kenop pintu ketika suara berat Armand menggema di ruangan itu.“Mariana, jangan pergi,” ucapnya tegas.Tubuh Mariana menegang. Perlahan, ia menoleh ke belakang dan mendapati ayahnya berdiri dengan tatapan yang begitu tegas.“Bara dalam perjalanan ke sini,” lanjut Armand. “Kita selesaikan semuanya sekarang juga.”Tatapan Mariana tidak berubah. Luka di matanya masih begitu jelas, tapi tidak ada lagi api kemarahan di sana. Ia tidak menolak, juga tidak menyetujui.Armand mendesah pelan, lalu melangkah mendekati putrinya yang masih terluka.“Ayah minta maaf jika kamu merasa ayah terlalu ikut campur. Tapi, ayah merasa ini adalah keputusa
Suasana ruangan seketika hening. Bianca menatap Bara dengan ekspresi terkejut, meski di dalam hatinya ada kepuasan yang sulit ia sembunyikan. Sementara itu, Mariana tetap berdiri tegak, matanya dingin tanpa ekspresi.Rumah tangga yang ia bina bertahun-tahun akhirnya karam. Namun bukannya merasa hancur, Mariana justru merasakan sesuatu yang berbeda—ia merasa ringan.Beban yang selama ini menghimpit dadanya seperti dicabut paksa. Luka itu masih ada, tetapi di baliknya ada kelegaan yang sulit dijelaskan.Mariana telah memberikan segalanya demi pernikahan ini. Bekerja tanpa mengenal lelah, menekan dirinya sendiri, menutup mata terhadap berbagai tanda yang seharusnya sudah ia sadari sejak lama. Namun pada akhirnya, semua pengorbanannya hanya dibalas dengan pengkhianatan.‘Aku kehilangan suami, anak, dan adikku sekaligus. Betapa ironisnya,’ batin Mariana.Mariana menarik napas dalam, mencoba meredam guncangan di hatinya.Ia menatap Bara, pria yang pernah ia cintai dan perjuangkan.Dulu ia b
“Bella-ku yang malang!” tangis Mariana pecah.Bahunya terguncang hebat saat ia mencengkeram jemari Bella, seolah berharap ada kehangatan yang tersisa. Namun, tidak ada.“Kenapa? Kenapa harus begini?” Air mata Mariana jatuh membasahi tangan Bella yang sudah tak bernyawa.Nate hanya berdiri di sudut ruangan. Tidak ada kata yang bisa ia ucapkan. Hanya keheningan yang menyelimuti kedukaan mereka.Mariana mengangkat kepalanya dan menatap Nate yang masih berdiri di sudut ruangan.“B-Bayinya,” suaranya serak dan gemetar. “Di mana bayi Bella?”Nate mengalihkan pandangannya. “Dia selamat,” jawabnya pelan.Mata Mariana melebar, sedikit kelegaan muncul di antara kesedihannya.“Di mana dia sekarang? Aku ingin melihatnya.”Nate mengangguk, lalu tanpa banyak bicara, ia melangkah keluar ruangan. Mariana buru-buru menyeka air matanya dan mengikuti Nate dengan langkah tergesa.Setibanya di ruang perawatan bayi, Mariana melihat seorang perawat sedang menggendong seorang bayi mungil yang dibungkus selim
Beberapa hari setelah bayi Bella diperbolehkan pulang, Mariana berusaha menikmati cutinya dan fokus pada pemulihan pasca operasi. Namun ia tidak benar-benar bisa menikmatinya. Setiap detik, kenangan tentang mendiang anaknya menghantamnya dengan keras, membuat air matanya jatuh tanpa sadar.Tadi pagi, Nate mengirimkan pesan singkat yang meminta Mariana untuk datang ke kediamannya setelah jam kerja. Ada sesuatu yang perlu mereka bahas. Katanya tentang kontrak.Saat Mariana tiba di depan rumah Nate, ia menarik napas dalam sebelum menekan bel. Tak butuh waktu lama, seorang ART membukakan pintu dan mempersilakannya masuk.Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah ruang tengah. Nate muncul dari lorong mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung hingga siku. Matanya menatap Mariana dengan ekspresi serius, lalu ia memberi isyarat agar Mariana mengikutinya ke ruang kerja.“Terima kasih sudah datang,” ucap Nate begitu mereka memasuki ruang kerja. Ia berjalan menuju meja kerjanya dan berhe
Mariana baru saja selesai menata bantal di sofa ketika ponselnya bergetar. Ia meraihnya dari meja dan membaca pesan singkat dari Nate.[Aku di depan. Bisa bukakan pintu?]Jantung Mariana berdebar ringan. Ia menarik napas dalam, lalu mengusap telapak tangannya yang sedikit berkeringat sebelum berjalan ke pintu. Saat ia membukanya, Nate sudah berdiri di sana dengan mengenakan kemeja abu-abu muda santai. Namun yang langsung menarik perhatian Mariana adalah kereta bayi di sampingnya.Bayi itu terbungkus selimut biru lembut, tampak tenang di dalam stroller. Di samping Nate, seorang wanita berseragam rapi berdiri dengan sikap profesional dan tampak siap siaga.“Selamat pagi,” sapa Nate. “Bolehkah kami masuk?”Mariana segera menyingkir dari pintu, lalu mempersilakan mereka masuk.Nate mendorong stroller dengan hati-hati, sementara pengasuh wanita itu mengikutinya dengan langkah tertata.“Elhan tidur?” tanyanya pelan.Nate mengangguk. “Dia baru saja selesai kontrol, jadi masih terlelap. Kami
Keesokan paginya,Nate kembali datang mengantar Elhan ke kontrakan Mariana. Dengan ekspresi tenang, ia menyerahkan bayi mungil itu ke dalam pelukan Mariana sebelum pergi tanpa banyak bicara.Mariana membawa Elhan masuk dan segera menuju sofa, ia mulai menyusui bayi itu yang kebetulan menangis begitu ayahnya pergi.Nadia duduk di kursi seberangnya, wanita itu tersenyum melihat pemandangan tersebut. “Anda semakin terbiasa, Bu,” komentarnya lembut.Mariana mengusap punggung Elhan perlahan. Jujur saja, ia merasa sedikit lebih nyaman dibanding hari-hari sebelumnya.“Ya … meski terkadang masih ada perasaan aneh yang sulit kujelaskan.”Nadia mengangguk mengerti. “Itu wajar. Tapi Anda sudah melakukan yang terbaik.”Namun, momen tenang itu tiba-tiba terpecah oleh suara gedoran keras dari pintu depan.BRAK! BRAK! BRAK!Mariana tersentak. Tubuhnya menegang seketika sementara tangannya refleks menarik Elhan lebih dekat ke dadanya.“Siapa itu?” Nadia bertanya dengan kening berkerut.Mariana mengge
“Astaghfirullah! Apa yang kalian berdua lakukan?!”Suara jeritan Mariana menggema di kamar tidur yang dulu menjadi saksi cintanya dengan sang suami. Namun kini, pemandangan di hadapannya menghancurkan segalanya.Tubuh Mariana limbung, tapi ia memaksa dirinya tetap berdiri. Napasnya tersengal sementara dadanya mulai terasa sesak.Di atas ranjang mereka, suaminya berbaring tanpa busana. Dan yang lebih menghancurkan hatinya, wanita yang bersamanya adalah Bianca—adik kandung Mariana sendiri.Mariana menatap mereka dengan mata yang bergetar, berusaha mencari penjelasan yang sebenarnya tak lagi diperlukan. Segala sesuatu sudah terpampang jelas di hadapannya.“Kalian … bagaimana bisa?” suaranya nyaris tak terdengar.Darah di tubuhnya terasa beku. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah dunia yang selama ini ia kenal runtuh begitu saja. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan mengaburkan pandangannya.“Ka-kak ….” Bia tergagap, wajahnya pucat pasi saat buru-buru meraih selimut untuk menutupi
Keesokan harinya,Langit kelabu menaungi pemakaman kecil itu, seolah turut berduka atas kehilangan Mariana. Rintik hujan jatuh perlahan, membasahi tanah merah yang masih basah oleh galian segar. Udara dingin menusuk, tapi tak sebanding dengan kehampaan yang menggerogoti hatinya.Meski rasa sakit pasca operasi masih terasa, tetapi Mariana meneguhkan hatinya untuk mengantar bayinya ke peristirahatan terakhir.Wanita itu duduk kaku di samping batu nisan, kedua tangannya saling mencengkeram erat di atas pangkuan. Mata sembabnya menatap kosong ke gundukan tanah merah yang baru saja ditutup.Di sanalah, di dalam bumi yang dingin itu, bayi yang seharusnya lahir dalam hitungan hari kini tertidur selamanya.Suara ustaz terdengar khidmat saat ia membacakan ayat-ayat suci. Isak tangis pecah di antara keluarga yang hadir, tetapi Mariana sendiri hanya terdiam, tak mampu mengeluarkan suara.‘Sayang … maafkan Mama.’ Suara itu hanya terucap dalam hati Mariana.Tidak ada air mata lagi yang bisa Marian
Keesokan paginya,Nate kembali datang mengantar Elhan ke kontrakan Mariana. Dengan ekspresi tenang, ia menyerahkan bayi mungil itu ke dalam pelukan Mariana sebelum pergi tanpa banyak bicara.Mariana membawa Elhan masuk dan segera menuju sofa, ia mulai menyusui bayi itu yang kebetulan menangis begitu ayahnya pergi.Nadia duduk di kursi seberangnya, wanita itu tersenyum melihat pemandangan tersebut. “Anda semakin terbiasa, Bu,” komentarnya lembut.Mariana mengusap punggung Elhan perlahan. Jujur saja, ia merasa sedikit lebih nyaman dibanding hari-hari sebelumnya.“Ya … meski terkadang masih ada perasaan aneh yang sulit kujelaskan.”Nadia mengangguk mengerti. “Itu wajar. Tapi Anda sudah melakukan yang terbaik.”Namun, momen tenang itu tiba-tiba terpecah oleh suara gedoran keras dari pintu depan.BRAK! BRAK! BRAK!Mariana tersentak. Tubuhnya menegang seketika sementara tangannya refleks menarik Elhan lebih dekat ke dadanya.“Siapa itu?” Nadia bertanya dengan kening berkerut.Mariana mengge
Mariana baru saja selesai menata bantal di sofa ketika ponselnya bergetar. Ia meraihnya dari meja dan membaca pesan singkat dari Nate.[Aku di depan. Bisa bukakan pintu?]Jantung Mariana berdebar ringan. Ia menarik napas dalam, lalu mengusap telapak tangannya yang sedikit berkeringat sebelum berjalan ke pintu. Saat ia membukanya, Nate sudah berdiri di sana dengan mengenakan kemeja abu-abu muda santai. Namun yang langsung menarik perhatian Mariana adalah kereta bayi di sampingnya.Bayi itu terbungkus selimut biru lembut, tampak tenang di dalam stroller. Di samping Nate, seorang wanita berseragam rapi berdiri dengan sikap profesional dan tampak siap siaga.“Selamat pagi,” sapa Nate. “Bolehkah kami masuk?”Mariana segera menyingkir dari pintu, lalu mempersilakan mereka masuk.Nate mendorong stroller dengan hati-hati, sementara pengasuh wanita itu mengikutinya dengan langkah tertata.“Elhan tidur?” tanyanya pelan.Nate mengangguk. “Dia baru saja selesai kontrol, jadi masih terlelap. Kami
Beberapa hari setelah bayi Bella diperbolehkan pulang, Mariana berusaha menikmati cutinya dan fokus pada pemulihan pasca operasi. Namun ia tidak benar-benar bisa menikmatinya. Setiap detik, kenangan tentang mendiang anaknya menghantamnya dengan keras, membuat air matanya jatuh tanpa sadar.Tadi pagi, Nate mengirimkan pesan singkat yang meminta Mariana untuk datang ke kediamannya setelah jam kerja. Ada sesuatu yang perlu mereka bahas. Katanya tentang kontrak.Saat Mariana tiba di depan rumah Nate, ia menarik napas dalam sebelum menekan bel. Tak butuh waktu lama, seorang ART membukakan pintu dan mempersilakannya masuk.Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah ruang tengah. Nate muncul dari lorong mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung hingga siku. Matanya menatap Mariana dengan ekspresi serius, lalu ia memberi isyarat agar Mariana mengikutinya ke ruang kerja.“Terima kasih sudah datang,” ucap Nate begitu mereka memasuki ruang kerja. Ia berjalan menuju meja kerjanya dan berhe
“Bella-ku yang malang!” tangis Mariana pecah.Bahunya terguncang hebat saat ia mencengkeram jemari Bella, seolah berharap ada kehangatan yang tersisa. Namun, tidak ada.“Kenapa? Kenapa harus begini?” Air mata Mariana jatuh membasahi tangan Bella yang sudah tak bernyawa.Nate hanya berdiri di sudut ruangan. Tidak ada kata yang bisa ia ucapkan. Hanya keheningan yang menyelimuti kedukaan mereka.Mariana mengangkat kepalanya dan menatap Nate yang masih berdiri di sudut ruangan.“B-Bayinya,” suaranya serak dan gemetar. “Di mana bayi Bella?”Nate mengalihkan pandangannya. “Dia selamat,” jawabnya pelan.Mata Mariana melebar, sedikit kelegaan muncul di antara kesedihannya.“Di mana dia sekarang? Aku ingin melihatnya.”Nate mengangguk, lalu tanpa banyak bicara, ia melangkah keluar ruangan. Mariana buru-buru menyeka air matanya dan mengikuti Nate dengan langkah tergesa.Setibanya di ruang perawatan bayi, Mariana melihat seorang perawat sedang menggendong seorang bayi mungil yang dibungkus selim
Suasana ruangan seketika hening. Bianca menatap Bara dengan ekspresi terkejut, meski di dalam hatinya ada kepuasan yang sulit ia sembunyikan. Sementara itu, Mariana tetap berdiri tegak, matanya dingin tanpa ekspresi.Rumah tangga yang ia bina bertahun-tahun akhirnya karam. Namun bukannya merasa hancur, Mariana justru merasakan sesuatu yang berbeda—ia merasa ringan.Beban yang selama ini menghimpit dadanya seperti dicabut paksa. Luka itu masih ada, tetapi di baliknya ada kelegaan yang sulit dijelaskan.Mariana telah memberikan segalanya demi pernikahan ini. Bekerja tanpa mengenal lelah, menekan dirinya sendiri, menutup mata terhadap berbagai tanda yang seharusnya sudah ia sadari sejak lama. Namun pada akhirnya, semua pengorbanannya hanya dibalas dengan pengkhianatan.‘Aku kehilangan suami, anak, dan adikku sekaligus. Betapa ironisnya,’ batin Mariana.Mariana menarik napas dalam, mencoba meredam guncangan di hatinya.Ia menatap Bara, pria yang pernah ia cintai dan perjuangkan.Dulu ia b
Mariana menarik napas panjang, berusaha menahan sesak yang menggelayuti dadanya. Dengan langkah mantap, Mariana berbalik dan berjalan menuju pintu. Setiap langkah yang diambil terasa berat, seolah ada beban yang menahan pergelangan kakinya.Namun, ia tidak berhenti. Ia sudah membuat keputusan, dan kali ini, ia tidak akan goyah.Tangannya baru saja menyentuh kenop pintu ketika suara berat Armand menggema di ruangan itu.“Mariana, jangan pergi,” ucapnya tegas.Tubuh Mariana menegang. Perlahan, ia menoleh ke belakang dan mendapati ayahnya berdiri dengan tatapan yang begitu tegas.“Bara dalam perjalanan ke sini,” lanjut Armand. “Kita selesaikan semuanya sekarang juga.”Tatapan Mariana tidak berubah. Luka di matanya masih begitu jelas, tapi tidak ada lagi api kemarahan di sana. Ia tidak menolak, juga tidak menyetujui.Armand mendesah pelan, lalu melangkah mendekati putrinya yang masih terluka.“Ayah minta maaf jika kamu merasa ayah terlalu ikut campur. Tapi, ayah merasa ini adalah keputusa
Mariana duduk diam di sisi ranjang, jari-jarinya gemetar saat ia membawa botol minyak kayu putih ke dekat hidung ibunya. Harapannya hanya satu—ibunya segera sadar.“Ibu ...,” gumamnya lirih.Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan menambah ketakutan yang menggelayuti hatinya. Mariana tidak pernah melihat ibunya jatuh pingsan seperti ini sebelumnya. Dan itu membuatnya begitu takut.Saat Mariana hampir kehilangan harapan, tubuh ibunya sedikit bergerak. Kelopak mata wanita paruh baya itu bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan.“Ibu!” seru Mariana dengan mata berkaca-kaca. Ia buru-buru menurunkan minyak kayu putih dan meraih tangan ibunya.Ratna menatap putrinya dengan sorot mata sendu, penuh penyesalan yang begitu dalam.“Maafin Ibu ya, Sayang ...,” suaranya terdengar lemah, tapi setiap kata yang keluar membawa luka di hatinya. “Ibu gagal mendidik Bianca sampai dia berbuat seperti ini ke kamu.”Mariana mengatupkan bibirnya dengan rapat. Ia ingin berkata banyak hal, ingin mengungk
Ratna—ibu Mariana—keluar dari kamar putrinya dengan langkah gontai. Matanya yang basah masih menyiratkan keterkejutan dan kesedihan yang mendalam. Saat pintu tertutup di belakangnya, ia mendapati suaminya, Armand, berdiri tak jauh dari sana.Pria tua itu mengernyit saat melihat wajah istrinya yang tampak terguncang. Dengan sigap, ia melangkah mendekat.“Ada apa, Bu? Apa kata Mariana?” tanya Armand, suara dan raut wajahnya menunjukkan kegelisahan.Ratna menatap suaminya, tetapi tak langsung menjawab. Air matanya kembali jatuh tanpa bisa ditahan. Kedua tangannya mengepal erat, berusaha menahan emosi yang begitu meluap-luap.“Sekarang di mana pria kurang ajar itu?” Suara Ratna terdengar parau, tetapi penuh amarah yang tertahan. Matanya celingukan menatap di belakang Armand, seolah-olah sedang mencari seseorang di sana.Armand semakin kebingungan. Keningnya berkerut. “Maksud Ibu, Bara?” tanyanya ragu.Ratna mengangguk tegas. Tarikan napasnya terdengar berat. “Iya, Mas. Sekarang di mana pr
“Aku ingin bercerai, Bara. Aku nggak bisa lagi melihatmu tanpa merasa hancur.”Seisi ruangan seketika sunyi.Bara menegang, wajahnya langsung pucat saat menatap Mariana yang berdiri dengan ekspresi kosong. Kedua orang tua Mariana pun tak kalah terkejut mendengar perkataan putri sulung mereka itu.“Mariana,” gumam Bara tak percaya. “Kita bisa membicarakan ini. Tolong jangan buat keputusan ceroboh seperti itu sekarang.”Mariana tidak bergeming. Matanya tetap menatap lurus ke arah pria yang telah mengkhianatinya dan membuatnya terluka lebih dari apa pun.“Aku sudah memutuskan.” Suara Mariana terdengar tenang, tetapi di baliknya ada luka yang begitu dalam. “Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan.”Bara melangkah maju, tetapi ayah Mariana langsung mengangkat tangan untuk menghentikannya. Tatapan tajam pria tua itu penuh peringatan saat menatap menantunya.“Meski kami tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, sepertinya Mariana butuh waktu,” katanya tegas. “Jika kamu benar-benar peduli padanya, kam