Dua hari setelah pindah ke rumah baru, Mariana mulai merasa ada sesuatu yang tak beres. Mungkin karena ia masih beradaptasi dengan lingkungan baru atau mungkin karena lelah setelah seharian bekerja, pikirannya mulai berlarian tanpa arah yang jelas.Ini bukan kali pertama ia tinggal sendiri. Dulu, setelah perceraian dengan Bara—meski hanya sebentar—ia sempat menjalani hidup sendiri. Tapi kali ini berbeda.Ada sesuatu yang mengganjal, seolah ada yang tidak tepat.Kadang, ia merasa seperti ada orang lain di rumah ini selain dirinya.Pagi itu, Mariana bangun lebih pagi. Ia pergi ke ruang jemur untuk mengambil pakaian dalam yang ia cuci kemarin sebelum bersiap untuk bekerja. Tapi begitu ia melangkah ke ruang jemur, ia dikejutkan oleh sesuatu.Seharusnya pakaian dalam yang ia cuci kemarin masih ada di sana. Namun ketika matanya menyapu ruang itu, pakaian dalam yang dimaksud tidak ada. Tampak jelas bahwa pakaian lainnya ada, tapi pakaian itu hilang begitu saja.“Lho, kenapa bisa nggak ada?”
Suara Nate masih terngiang di kepala Mariana bahkan ketika pria itu sudah pergi dari rumah. Pintu yang dibanting beberapa jam lalu seolah masih memantulkan gaung amarahnya di seluruh sudut ruangan.Ponsel Mariana tergeletak di pangkuan dengan layar gelap. Tangannya menggenggam ujung selimut, entah untuk apa. Mungkin sekadar menahan diri agar tidak gemetarSetelah CCTV dipasang atas desakan Nate, Mariana mulai merasa rumahnya lebih aman. Lima kamera pengawas terpasang di beberapa titik rumah, dan semuanya atas perintah Nate tanpa bisa dibantah.‘Kamu tidak mengizinkanku untuk melaporkan kejadian ini ke pihak keamanan. Jadi, satu-satunya cara agar aku bisa tenang malam ini adalah memasang kamera pengawas.’ Itu adalah kata-kata Nate setelah ia berbicara tentang memasang kamera pengawas.Pada akhirnya, semua kamera itu terpasang di beberapa sudut.‘Aku ini siapa kamu?’ Suara Nate saat mempertanyakan itu kembali terngiang di telinga Mariana.Perasaannya begitu campur aduk. Bingung, menyesal
Wajah Mariana pucat pasi. Matanya sedikit membesar dan bibirnya bergetar tanpa suara. Ketakutan terlihat jelas di wajah cantiknya hingga membuat Nate segera mengambil alih situasi.Nate melangkah cepat, mengunci pintu belakang rapat-rapat, lalu kembali menghampiri Mariana dan menggiringnya ke ruang tengah tanpa berkata sepatah kata pun. Begitu wanita itu duduk di sofa, Nate berdiri di depannya sambil menatapnya lekat.“Malam ini kamu tidur di rumahku,” ucap Nate mantap. “Tidak ada penolakan.”Mariana lantas mendongak. “Aku—”“Jangan membantah, Mariana,” potong Nate cepat dan tegas, seperti keputusan yang tak bisa ditawar lagi.Nate menarik napas perlahan, kemudian mencoba menjelaskan dengan tenang. “Aku sendiri yang mengunci pintu belakang saat hari pertama kamu pindah. Aku ingat betul karena aku sempat keluar untuk memeriksa teras belakang.”Mariana terdiam. Tubuhnya langsung kaku dan bulu kuduknya berdiri tanpa permisi. Perasaannya memburuk seiring dengan ucapan Nate barusan.“Kalau
“Astaghfirullah! Apa yang kalian berdua lakukan?!”Suara jeritan Mariana menggema di kamar tidur yang dulu menjadi saksi cintanya dengan sang suami. Namun kini, pemandangan di hadapannya menghancurkan segalanya.Tubuh Mariana limbung, tapi ia memaksa dirinya tetap berdiri. Napasnya tersengal sementara dadanya mulai terasa sesak.Di atas ranjang mereka, suaminya berbaring tanpa busana. Dan yang lebih menghancurkan hatinya, wanita yang bersamanya adalah Bianca—adik kandung Mariana sendiri.Mariana menatap mereka dengan mata yang bergetar, berusaha mencari penjelasan yang sebenarnya tak lagi diperlukan. Segala sesuatu sudah terpampang jelas di hadapannya.“Kalian … bagaimana bisa?” suaranya nyaris tak terdengar.Darah di tubuhnya terasa beku. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah dunia yang selama ini ia kenal runtuh begitu saja. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan mengaburkan pandangannya.“Ka-kak ….” Bia tergagap, wajahnya pucat pasi saat buru-buru meraih selimut untuk menutupi
Keesokan harinya,Langit kelabu menaungi pemakaman kecil itu, seolah turut berduka atas kehilangan Mariana. Rintik hujan jatuh perlahan, membasahi tanah merah yang masih basah oleh galian segar. Udara dingin menusuk, tapi tak sebanding dengan kehampaan yang menggerogoti hatinya.Meski rasa sakit pasca operasi masih terasa, tetapi Mariana meneguhkan hatinya untuk mengantar bayinya ke peristirahatan terakhir.Wanita itu duduk kaku di samping batu nisan, kedua tangannya saling mencengkeram erat di atas pangkuan. Mata sembabnya menatap kosong ke gundukan tanah merah yang baru saja ditutup.Di sanalah, di dalam bumi yang dingin itu, bayi yang seharusnya lahir dalam hitungan hari kini tertidur selamanya.Suara ustaz terdengar khidmat saat ia membacakan ayat-ayat suci. Isak tangis pecah di antara keluarga yang hadir, tetapi Mariana sendiri hanya terdiam, tak mampu mengeluarkan suara.‘Sayang … maafkan Mama.’ Suara itu hanya terucap dalam hati Mariana.Tidak ada air mata lagi yang bisa Marian
“Aku ingin bercerai, Bara. Aku nggak bisa lagi melihatmu tanpa merasa hancur.”Seisi ruangan seketika sunyi.Bara menegang, wajahnya langsung pucat saat menatap Mariana yang berdiri dengan ekspresi kosong. Kedua orang tua Mariana pun tak kalah terkejut mendengar perkataan putri sulung mereka itu.“Mariana,” gumam Bara tak percaya. “Kita bisa membicarakan ini. Tolong jangan buat keputusan ceroboh seperti itu sekarang.”Mariana tidak bergeming. Matanya tetap menatap lurus ke arah pria yang telah mengkhianatinya dan membuatnya terluka lebih dari apa pun.“Aku sudah memutuskan.” Suara Mariana terdengar tenang, tetapi di baliknya ada luka yang begitu dalam. “Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan.”Bara melangkah maju, tetapi ayah Mariana langsung mengangkat tangan untuk menghentikannya. Tatapan tajam pria tua itu penuh peringatan saat menatap menantunya.“Meski kami tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, sepertinya Mariana butuh waktu,” katanya tegas. “Jika kamu benar-benar peduli padanya, kam
Ratna—ibu Mariana—keluar dari kamar putrinya dengan langkah gontai. Matanya yang basah masih menyiratkan keterkejutan dan kesedihan yang mendalam. Saat pintu tertutup di belakangnya, ia mendapati suaminya, Armand, berdiri tak jauh dari sana.Pria tua itu mengernyit saat melihat wajah istrinya yang tampak terguncang. Dengan sigap, ia melangkah mendekat.“Ada apa, Bu? Apa kata Mariana?” tanya Armand, suara dan raut wajahnya menunjukkan kegelisahan.Ratna menatap suaminya, tetapi tak langsung menjawab. Air matanya kembali jatuh tanpa bisa ditahan. Kedua tangannya mengepal erat, berusaha menahan emosi yang begitu meluap-luap.“Sekarang di mana pria kurang ajar itu?” Suara Ratna terdengar parau, tetapi penuh amarah yang tertahan. Matanya celingukan menatap di belakang Armand, seolah-olah sedang mencari seseorang di sana.Armand semakin kebingungan. Keningnya berkerut. “Maksud Ibu, Bara?” tanyanya ragu.Ratna mengangguk tegas. Tarikan napasnya terdengar berat. “Iya, Mas. Sekarang di mana pr
Mariana duduk diam di sisi ranjang, jari-jarinya gemetar saat ia membawa botol minyak kayu putih ke dekat hidung ibunya. Harapannya hanya satu—ibunya segera sadar.“Ibu ...,” gumamnya lirih.Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan menambah ketakutan yang menggelayuti hatinya. Mariana tidak pernah melihat ibunya jatuh pingsan seperti ini sebelumnya. Dan itu membuatnya begitu takut.Saat Mariana hampir kehilangan harapan, tubuh ibunya sedikit bergerak. Kelopak mata wanita paruh baya itu bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan.“Ibu!” seru Mariana dengan mata berkaca-kaca. Ia buru-buru menurunkan minyak kayu putih dan meraih tangan ibunya.Ratna menatap putrinya dengan sorot mata sendu, penuh penyesalan yang begitu dalam.“Maafin Ibu ya, Sayang ...,” suaranya terdengar lemah, tapi setiap kata yang keluar membawa luka di hatinya. “Ibu gagal mendidik Bianca sampai dia berbuat seperti ini ke kamu.”Mariana mengatupkan bibirnya dengan rapat. Ia ingin berkata banyak hal, ingin mengungk
Wajah Mariana pucat pasi. Matanya sedikit membesar dan bibirnya bergetar tanpa suara. Ketakutan terlihat jelas di wajah cantiknya hingga membuat Nate segera mengambil alih situasi.Nate melangkah cepat, mengunci pintu belakang rapat-rapat, lalu kembali menghampiri Mariana dan menggiringnya ke ruang tengah tanpa berkata sepatah kata pun. Begitu wanita itu duduk di sofa, Nate berdiri di depannya sambil menatapnya lekat.“Malam ini kamu tidur di rumahku,” ucap Nate mantap. “Tidak ada penolakan.”Mariana lantas mendongak. “Aku—”“Jangan membantah, Mariana,” potong Nate cepat dan tegas, seperti keputusan yang tak bisa ditawar lagi.Nate menarik napas perlahan, kemudian mencoba menjelaskan dengan tenang. “Aku sendiri yang mengunci pintu belakang saat hari pertama kamu pindah. Aku ingat betul karena aku sempat keluar untuk memeriksa teras belakang.”Mariana terdiam. Tubuhnya langsung kaku dan bulu kuduknya berdiri tanpa permisi. Perasaannya memburuk seiring dengan ucapan Nate barusan.“Kalau
Suara Nate masih terngiang di kepala Mariana bahkan ketika pria itu sudah pergi dari rumah. Pintu yang dibanting beberapa jam lalu seolah masih memantulkan gaung amarahnya di seluruh sudut ruangan.Ponsel Mariana tergeletak di pangkuan dengan layar gelap. Tangannya menggenggam ujung selimut, entah untuk apa. Mungkin sekadar menahan diri agar tidak gemetarSetelah CCTV dipasang atas desakan Nate, Mariana mulai merasa rumahnya lebih aman. Lima kamera pengawas terpasang di beberapa titik rumah, dan semuanya atas perintah Nate tanpa bisa dibantah.‘Kamu tidak mengizinkanku untuk melaporkan kejadian ini ke pihak keamanan. Jadi, satu-satunya cara agar aku bisa tenang malam ini adalah memasang kamera pengawas.’ Itu adalah kata-kata Nate setelah ia berbicara tentang memasang kamera pengawas.Pada akhirnya, semua kamera itu terpasang di beberapa sudut.‘Aku ini siapa kamu?’ Suara Nate saat mempertanyakan itu kembali terngiang di telinga Mariana.Perasaannya begitu campur aduk. Bingung, menyesal
Dua hari setelah pindah ke rumah baru, Mariana mulai merasa ada sesuatu yang tak beres. Mungkin karena ia masih beradaptasi dengan lingkungan baru atau mungkin karena lelah setelah seharian bekerja, pikirannya mulai berlarian tanpa arah yang jelas.Ini bukan kali pertama ia tinggal sendiri. Dulu, setelah perceraian dengan Bara—meski hanya sebentar—ia sempat menjalani hidup sendiri. Tapi kali ini berbeda.Ada sesuatu yang mengganjal, seolah ada yang tidak tepat.Kadang, ia merasa seperti ada orang lain di rumah ini selain dirinya.Pagi itu, Mariana bangun lebih pagi. Ia pergi ke ruang jemur untuk mengambil pakaian dalam yang ia cuci kemarin sebelum bersiap untuk bekerja. Tapi begitu ia melangkah ke ruang jemur, ia dikejutkan oleh sesuatu.Seharusnya pakaian dalam yang ia cuci kemarin masih ada di sana. Namun ketika matanya menyapu ruang itu, pakaian dalam yang dimaksud tidak ada. Tampak jelas bahwa pakaian lainnya ada, tapi pakaian itu hilang begitu saja.“Lho, kenapa bisa nggak ada?”
Mariana tak bisa berhenti memikirkan ucapan ayahnya sepanjang perjalanan pulang. Selama ini, ia terlalu terlena, terlalu nyaman berada di sisi Nathaniel hingga tak sadar betapa benar setiap kalimat yang diucapkan ayahnya di restoran tadi.Apalagi sekarang, status mereka sudah berubah menjadi sepasang kekasih. Gunjingan pedas tak akan terhindarkan jika orang-orang tahu bahwa mereka tinggal serumah.Sepasang kekasih yang belum menikah, tinggal di bawah satu atap.Ah, Mariana bahkan tak sanggup membayangkan reaksi masyarakat—terlebih lagi, reaksi kedua orang tuanya.Maka, pindah adalah keputusan paling masuk akal. Langkah awal yang harus ia ambil sebelum semuanya terlanjur ke mana-mana.“Benar itu, Na. Kamu harus pindah secepatnya,” gumamnya pelan seolah tengah menasihati dirinya sendiri.Mariana tiba di kediaman Nathaniel menjelang senja. Langit sudah mulai menggelap, tapi pikirannya masih penuh oleh percakapan dengan ayahnya saat di restoran.Begitu menjejakkan kaki di dalam rumah, lan
Setelah keheningan panjang di makam, Nate mengajak Mariana ke sebuah galeri seni yang tersembunyi di kawasan tenang kota itu. Bangunannya minimalis dengan dinding putih tinggi dan jendela kaca besar yang mempersilakan sinar matahari masuk dengan lembut.Tempat itu tidak ramai—hanya mereka berdua. Nate memang sudah mengatur segalanya.Mariana menatap sekeliling dengan langkah pelan. Galeri itu memamerkan karya-karya seniman lokal dalam nuansa monokrom dan pastel. Tenang, sendu, tapi juga indah.“Aku nggak tahu kamu suka tempat kayak gini,” gumam Mariana.Di tengah galeri yang tenang, Mariana dan Nate berjalan berdua sambil menikmati setiap karya seni yang terpajang di dinding.Namun, ketika mereka berhenti di depan sebuah lukisan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita yang duduk di tepi pantai, memandang lautan yang luas, dengan cahaya matahari yang lembut menyinari wajahnya.Mariana terpaku, matanya menatap lukisan itu dengan intens. Tak lama kemud
Atas permintaan Mariana, hubungan mereka saat ini tidak hanya disembunyikan dari publik, tapi juga dari keluarga masing-masing. Bukan karena Mariana tidak serius, hanya saja dia belum siap menghadapi reaksi dari orang-orang terdekatnya. Terutama dari pihak keluarganya sendiri.Dia tahu, dari pihak orang tua Nate, kemungkinan besar kabar ini akan disambut dengan hangat. Tapi dari orang tuanya, Mariana tidak yakin.Beruntung, Nate tidak mempermasalahkan. Dia hanya bertanya alasan Mariana meminta hubungan ini tetap menjadi rahasia, lalu menyetujuinya setelah mendengar penjelasan Mariana yang terdengar masuk akal baginya.“Dalam hubungan ini, aku hanya ingin fokus pada kenyamananmu saja, Na. Kalau kamu merasa lebih tenang kalau kita pacaran diam-diam—meski aku sangat ingin memamerkan hubungan kita ke seluruh dunia—aku tidak akan menyangkal,” ucap Nate sambil tersenyum. Tangannya terangkat, mengusap lembut pipi Mariana.Mariana membetulkan posisi duduknya, lalu mengangkat satu tangannya me
Hari itu, suasana kantor pusat terasa begitu tenang. Mariana tengah duduk di balik meja kerjanya yang berada tepat di luar ruangan CEO. Pandangannya sibuk menatap layar laptop, memeriksa ulang dokumen perjanjian kerja sama untuk diserahkan ke Nate sore nanti.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan rok pensil abu-abu yang rapi. Sederhana, tapi itulah yang membuatnya menonjol tanpa berusaha lebih.Pintu ruang CEO terbuka sedikit dari dalam, dan suara berat Nate memanggilnya pelan, “Mariana, bisa masuk sebentar?” tanya pria itu.Mariana mengangguk pelan, kemudian bangkit sambil membawa sembarang map yang tergeletak di meja kerjanya. Wajahnya tetap netral saat melangkah masuk.Begitu pintu tertutup dan hanya mereka berdua di dalam ruangan luas bernuansa modern itu, suasananya langsung berubah. Mata Nate yang semula tajam, kini melunak saat menatapnya.“Ruang meeting kosong?” tanya Nate, seolah masih bermain peran sebagai atasan.“Sudah. Semua file yang Bapak minta juga sudah aku siapkan
Setelah kejadian itu, hubungan Bara dan Bianca semakin memburuk. Pertengkaran demi pertengkaran terus mewarnai hari-hari mereka. Hal-hal sepele pun bisa meledak menjadi besar karena tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah.Pagi itu, Bara baru saja bangun tidur. Perutnya terasa melilit karena semalaman tak menyentuh makanan apa pun. Dengan wajah kusut dan langkah gontai, ia menuju dapur.Begitu duduk di kursi dan membuka tudung saji, yang terlihat hanya meja kosong.Ia menutup tudung saji dengan kasar. Suara dentuman penutup logam itu menggema di seluruh dapur.“Dasar perempuan malas! Suami bangun pagi, bukannya menyuguhkan sarapan. Apa yang dia lakukan?!” geramnya penuh amarah.Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari duduknya dan mulai berteriak-teriak.“Bianca! Di mana kamu, hah?!”Tidak ada jawaban. Bara berkeliling rumah dengan kesal, menyusuri setiap sudut sambil terus memanggil-manggil nama istrinya itu. Tapi tetap tak ada tanda-tanda kehadirannya.Beberapa menit kemudian, pi
Mariana baru saja tiba di kediaman orang tuanya. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri diam di depan pintu pagar rumah yang berdiri kokoh. Tiga puluh menit yang lalu, ia menerima pesan singkat dari nomor sang ayah yang memintanya untuk datang sendiri.Mariana mendorong pintu pagar yang tak terkunci. Daun pintu rumah pun terbuka begitu saja saat ia menyentuhnya. Tidak dikunci.Mariana masuk dengan langkah hati-hati, rasa heran menyelip di dadanya, namun belum cukup kuat menjadi kecurigaan.“Ayah?” panggilnya lembut.Kakinya melangkah masuk, melewati ruang tamu yang sunyi. Tidak ada suara televisi menyala. Tidak ada aroma masakan ibunya. Tidak ada gemerisik langkah kaki siapa pun.Langkah Mariana terhenti di ruang tengah. Jam dinding yang berdetak pelan menjadi satu-satunya suara yang terdengar di antara keheningan itu. Ia menoleh ke kiri dan kanan, berharap mendengar sahutan atau mendapati seseorang keluar dari salah satu kamar.Tapi, tidak ada.Saat ia sampai di depan kamar orang tuan