Share

2. Aku Ingin Bercerai

Author: Merspenstory
last update Last Updated: 2025-03-13 14:26:25

Keesokan harinya,

Langit kelabu menaungi pemakaman kecil itu, seolah turut berduka atas kehilangan Mariana. Rintik hujan jatuh perlahan, membasahi tanah merah yang masih basah oleh galian segar. Udara dingin menusuk, tapi tak sebanding dengan kehampaan yang menggerogoti hatinya.

Meski rasa sakit pasca operasi masih terasa, tetapi Mariana meneguhkan hatinya untuk mengantar bayinya ke peristirahatan terakhir.

Wanita itu duduk kaku di samping batu nisan, kedua tangannya saling mencengkeram erat di atas pangkuan. Mata sembabnya menatap kosong ke gundukan tanah merah yang baru saja ditutup.

Di sanalah, di dalam bumi yang dingin itu, bayi yang seharusnya lahir dalam hitungan hari kini tertidur selamanya.

Suara ustaz terdengar khidmat saat ia membacakan ayat-ayat suci. Isak tangis pecah di antara keluarga yang hadir, tetapi Mariana sendiri hanya terdiam, tak mampu mengeluarkan suara.

‘Sayang … maafkan Mama.’ Suara itu hanya terucap dalam hati Mariana.

Tidak ada air mata lagi yang bisa Mariana tumpahkan. Semuanya terasa hampa.

Di sisi lain, Bara berdiri dengan kepala tertunduk. Wajahnya menyiratkan penyesalan, tetapi Mariana tak ingin melihatnya. Sejak di rumah sakit, ia telah berkata dengan tegas bahwa pria itu tidak lagi memiliki tempat dalam hidupnya.

Bianca tak ada di antara mereka. Mariana bahkan tak ingin tahu di mana adiknya berada. Gadis itu tidak pantas berada di sini. Tak pantas menangisi bayinya yang tidak pernah bisa lagi Mariana genggam.

Di samping Mariana, ibunya sesekali menyeka air mata dengan ujung jarinya. Sang ayah berdiri di belakang mereka, wajahnya tegas namun matanya menyimpan duka yang mendalam.

Orang tuanya belum tahu kebenaran yang sesungguhnya.

Belum tahu siapa yang telah mengkhianati Mariana.

Belum tahu bagaimana dalam satu malam, hidupnya hancur berantakan—kehilangan suami, kehilangan anak, kehilangan segalanya.

Dan Mariana tak tahu apakah ia sanggup memberi tahu mereka.

Pemakaman telah selesai, dan satu per satu pelayat pun bubar. Namun Mariana sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.

Seorang perempuan setengah baya, ibu Mariana, menepuk pundaknya dengan lembut. “Mariana, kita pulang sekarang, hm?”

Mariana masih diam.

Pulang? Ke mana? Rumahnya sudah bukan rumah lagi.

Kamar yang telah ia persiapkan untuk bayi kecilnya dengan penuh cinta kini hanya menjadi ruang kosong yang menyimpan kepedihan. Dan kamar tidurnya bersama Bara hanya akan mengingatkannya pada pengkhianatan paling keji. Pria itu bergumul bersama adiknya tepat di atas kasur mereka.

Tanpa menjawab, Mariana hanya memandang tanah itu sekali lagi. Angin dingin menerpa wajahnya, membawa serta bisikan yang entah berasal dari mana.

Ia menggigit bibir, menahan gejolak di dadanya.

Tatapannya tetap terpaku pada tanah basah itu, seolah berharap keajaiban bisa mengembalikan bayinya.

Namun, kenyataan tak sebaik itu.

Dengan langkah lemah, ia bangkit dari posisinya. Kakinya hampir tak sanggup menapak, seakan nyawanya sendiri ikut terkubur bersama bayinya.

Hari ini, Mariana bukan hanya kehilangan anaknya.

Hari ini, ia kehilangan segalanya.

***

Usai dari pemakaman, Mariana memilih pulang ke rumah orang tuanya. Setidaknya masih ada tempat yang bisa dituju selain rumahnya bersama Bara.

Sepanjang perjalanan, Mariana menatap kosong jalanan di luar jendela mobil. Tidak ada percakapan yang terdengar di dalam kendaraan itu. Hanya deru napas yang bersahutan dalam keheningan.

Di samping Mariana, ibunya mengamati putri sulungnya itu dengan cemas. Sejak tadi malam, Mariana belum mengucapkan sepatah pun kata. Dan itu membuat ibunya merasa khawatir.

“Mariana,” panggil ibunya.

Mariana menoleh ke samping, menatap ibunya dengan pandangan kosong. Bibirnya seakan terkunci, Mariana tidak mengucapkan apa pun.

Mata ibunya tampak berkaca-kaca. “Ibu mengerti kamu merasa sangat terpukul. Tapi, kamu harus kuat ya,” ucapnya seraya menggenggam punggung tangan Mariana.

Kuat? Bagaimana ia bisa kuat di tengah semua hal yang memaksanya untuk hancur?

Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai ayah Mariana memasuki halaman rumah. Begitu kendaraan berhenti, Mariana langsung turun dan melangkah masuk ke dalam kamarnya saat masih gadis dulu.

Mariana duduk di ujung ranjang dengan tatapan kosong. Tubuhnya masih terasa lemah, tetapi ada sesuatu yang lain—sensasi nyeri di dadanya.

Mariana menunduk. Pandangannya jatuh pada noda basah di bajunya. ASI.

Meskipun bayinya sudah tiada, tubuhnya masih mengira ada kehidupan yang harus ia beri makan. Tangannya gemetar saat menyentuh dadanya, dan tanpa bisa ditahan, tangisnya pecah lagi.

Bahkan setelah kehilangan segalanya, tubuhnya masih mengingat bahwa ia adalah seorang ibu.

Namun, kini tak ada lagi bayi yang bisa disusuinya.

“Ya Tuhan …,” lirih Mariana di sela isak tangisnya.

Ketukan pelan terdengar sebelum pintu perlahan terbuka. Di ambang pintu, ibunya berdiri sejenak sebelum melangkah masuk. Mata perempuan itu masih sembap, tetapi raut wajahnya tetap lembut saat menatap putrinya yang duduk diam di tepi ranjang.

“Mariana,” panggilnya lirih. “Di luar Bara menunggumu. Katanya dia ingin bicara.”

Mariana tidak langsung bereaksi. Ia tetap diam dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti di pipinya.

Kepalanya terasa berat, pikirannya pun masih kacau. Perasaan sesak masih mengunci dadanya rapat-rapat.

Sang ibu melangkah lebih dekat, lalu duduk di sampingnya dengan ragu-ragu. Jemarinya menyentuh punggung tangan Mariana, mencoba memberikan sedikit kenyamanan.

“Apa kalian bertengkar?” tanya ibunya hati-hati.

Selama ini ia jarang sekali melihat Mariana mengabaikan suaminya seperti itu. Sekali pun mereka bertengkar, dengan sifat Mariana yang berhati lembut, putrinya itu bahkan masih memperhatikan Bara.

Tapi kali ini ada yang berbeda. Mariana benar-benar mengabaikan Bara, bahkan terlihat tak sudi untuk menatapnya.

Mariana masih tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, seolah kata-kata ibunya tidak sampai ke telinganya. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar napas lirih di antara keduanya.

Setelah beberapa saat, Mariana akhirnya menoleh, menatap ibunya dengan mata sayu yang penuh luka. Suaranya nyaris tidak terdengar ketika ia berkata, “Aku akan menemui Bara.”

Ibunya mengangguk pelan, namun raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Ia berdiri dan mengekori Mariana yang perlahan bangkit dari ranjang. Dengan langkah lemah, Mariana berjalan keluar dari kamar dan membiarkan ibunya mengikuti dari belakang.

Begitu tiba di ruang tengah, pandangannya langsung bertemu dengan Bara yang duduk di samping ayahnya. Pria itu tampak lelah, matanya merah seperti baru saja menangis. Namun Mariana sama sekali tidak peduli.

Ia tidak ingin mencari tahu apakah Bara benar-benar menyesali perbuatannya atau tidak. Baginya, semua itu sudah tidak ada artinya lagi. Kenyataan bahwa Bara membunuh anak mereka sama sekali tidak bisa ditepis begitu saja oleh Mariana.

Mariana berhenti tepat di depan Bara. Tanpa basa-basi, ia membuka mulut dan mengucapkan kata yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya dengan lantang.

“Aku ingin bercerai.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   3. Apa Salahku Pada Mereka?

    “Aku ingin bercerai, Bara. Aku nggak bisa lagi melihatmu tanpa merasa hancur.”Seisi ruangan seketika sunyi.Bara menegang, wajahnya langsung pucat saat menatap Mariana yang berdiri dengan ekspresi kosong. Kedua orang tua Mariana pun tak kalah terkejut mendengar perkataan putri sulung mereka itu.“Mariana,” gumam Bara tak percaya. “Kita bisa membicarakan ini. Tolong jangan buat keputusan ceroboh seperti itu sekarang.”Mariana tidak bergeming. Matanya tetap menatap lurus ke arah pria yang telah mengkhianatinya dan membuatnya terluka lebih dari apa pun.“Aku sudah memutuskan.” Suara Mariana terdengar tenang, tetapi di baliknya ada luka yang begitu dalam. “Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan.”Bara melangkah maju, tetapi ayah Mariana langsung mengangkat tangan untuk menghentikannya. Tatapan tajam pria tua itu penuh peringatan saat menatap menantunya.“Meski kami tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, sepertinya Mariana butuh waktu,” katanya tegas. “Jika kamu benar-benar peduli padanya, kam

    Last Updated : 2025-03-13
  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   4. Saudara Tidak Tahu Malu

    Ratna—ibu Mariana—keluar dari kamar putrinya dengan langkah gontai. Matanya yang basah masih menyiratkan keterkejutan dan kesedihan yang mendalam. Saat pintu tertutup di belakangnya, ia mendapati suaminya, Armand, berdiri tak jauh dari sana.Pria tua itu mengernyit saat melihat wajah istrinya yang tampak terguncang. Dengan sigap, ia melangkah mendekat.“Ada apa, Bu? Apa kata Mariana?” tanya Armand, suara dan raut wajahnya menunjukkan kegelisahan.Ratna menatap suaminya, tetapi tak langsung menjawab. Air matanya kembali jatuh tanpa bisa ditahan. Kedua tangannya mengepal erat, berusaha menahan emosi yang begitu meluap-luap.“Sekarang di mana pria kurang ajar itu?” Suara Ratna terdengar parau, tetapi penuh amarah yang tertahan. Matanya celingukan menatap di belakang Armand, seolah-olah sedang mencari seseorang di sana.Armand semakin kebingungan. Keningnya berkerut. “Maksud Ibu, Bara?” tanyanya ragu.Ratna mengangguk tegas. Tarikan napasnya terdengar berat. “Iya, Mas. Sekarang di mana pr

    Last Updated : 2025-03-13
  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   5. Bersikeras

    Mariana duduk diam di sisi ranjang, jari-jarinya gemetar saat ia membawa botol minyak kayu putih ke dekat hidung ibunya. Harapannya hanya satu—ibunya segera sadar.“Ibu ...,” gumamnya lirih.Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan menambah ketakutan yang menggelayuti hatinya. Mariana tidak pernah melihat ibunya jatuh pingsan seperti ini sebelumnya. Dan itu membuatnya begitu takut.Saat Mariana hampir kehilangan harapan, tubuh ibunya sedikit bergerak. Kelopak mata wanita paruh baya itu bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan.“Ibu!” seru Mariana dengan mata berkaca-kaca. Ia buru-buru menurunkan minyak kayu putih dan meraih tangan ibunya.Ratna menatap putrinya dengan sorot mata sendu, penuh penyesalan yang begitu dalam.“Maafin Ibu ya, Sayang ...,” suaranya terdengar lemah, tapi setiap kata yang keluar membawa luka di hatinya. “Ibu gagal mendidik Bianca sampai dia berbuat seperti ini ke kamu.”Mariana mengatupkan bibirnya dengan rapat. Ia ingin berkata banyak hal, ingin mengungk

    Last Updated : 2025-03-13
  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   6. Talak Tiga

    Mariana menarik napas panjang, berusaha menahan sesak yang menggelayuti dadanya. Dengan langkah mantap, Mariana berbalik dan berjalan menuju pintu. Setiap langkah yang diambil terasa berat, seolah ada beban yang menahan pergelangan kakinya.Namun, ia tidak berhenti. Ia sudah membuat keputusan, dan kali ini, ia tidak akan goyah.Tangannya baru saja menyentuh kenop pintu ketika suara berat Armand menggema di ruangan itu.“Mariana, jangan pergi,” ucapnya tegas.Tubuh Mariana menegang. Perlahan, ia menoleh ke belakang dan mendapati ayahnya berdiri dengan tatapan yang begitu tegas.“Bara dalam perjalanan ke sini,” lanjut Armand. “Kita selesaikan semuanya sekarang juga.”Tatapan Mariana tidak berubah. Luka di matanya masih begitu jelas, tapi tidak ada lagi api kemarahan di sana. Ia tidak menolak, juga tidak menyetujui.Armand mendesah pelan, lalu melangkah mendekati putrinya yang masih terluka.“Ayah minta maaf jika kamu merasa ayah terlalu ikut campur. Tapi, ayah merasa ini adalah keputusa

    Last Updated : 2025-03-20
  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   7. Berita Duka - Kematian Bella

    Suasana ruangan seketika hening. Bianca menatap Bara dengan ekspresi terkejut, meski di dalam hatinya ada kepuasan yang sulit ia sembunyikan. Sementara itu, Mariana tetap berdiri tegak, matanya dingin tanpa ekspresi.Rumah tangga yang ia bina bertahun-tahun akhirnya karam. Namun bukannya merasa hancur, Mariana justru merasakan sesuatu yang berbeda—ia merasa ringan.Beban yang selama ini menghimpit dadanya seperti dicabut paksa. Luka itu masih ada, tetapi di baliknya ada kelegaan yang sulit dijelaskan.Mariana telah memberikan segalanya demi pernikahan ini. Bekerja tanpa mengenal lelah, menekan dirinya sendiri, menutup mata terhadap berbagai tanda yang seharusnya sudah ia sadari sejak lama. Namun pada akhirnya, semua pengorbanannya hanya dibalas dengan pengkhianatan.‘Aku kehilangan suami, anak, dan adikku sekaligus. Betapa ironisnya,’ batin Mariana.Mariana menarik napas dalam, mencoba meredam guncangan di hatinya.Ia menatap Bara, pria yang pernah ia cintai dan perjuangkan.Dulu ia b

    Last Updated : 2025-03-20
  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   8. Tawaran Menjadi Ibu Susu

    “Bella-ku yang malang!” tangis Mariana pecah.Bahunya terguncang hebat saat ia mencengkeram jemari Bella, seolah berharap ada kehangatan yang tersisa. Namun, tidak ada.“Kenapa? Kenapa harus begini?” Air mata Mariana jatuh membasahi tangan Bella yang sudah tak bernyawa.Nate hanya berdiri di sudut ruangan. Tidak ada kata yang bisa ia ucapkan. Hanya keheningan yang menyelimuti kedukaan mereka.Mariana mengangkat kepalanya dan menatap Nate yang masih berdiri di sudut ruangan.“B-Bayinya,” suaranya serak dan gemetar. “Di mana bayi Bella?”Nate mengalihkan pandangannya. “Dia selamat,” jawabnya pelan.Mata Mariana melebar, sedikit kelegaan muncul di antara kesedihannya.“Di mana dia sekarang? Aku ingin melihatnya.”Nate mengangguk, lalu tanpa banyak bicara, ia melangkah keluar ruangan. Mariana buru-buru menyeka air matanya dan mengikuti Nate dengan langkah tergesa.Setibanya di ruang perawatan bayi, Mariana melihat seorang perawat sedang menggendong seorang bayi mungil yang dibungkus selim

    Last Updated : 2025-03-20
  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   9. Bagian dari Kehidupan Elhan

    Beberapa hari setelah bayi Bella diperbolehkan pulang, Mariana berusaha menikmati cutinya dan fokus pada pemulihan pasca operasi. Namun ia tidak benar-benar bisa menikmatinya. Setiap detik, kenangan tentang mendiang anaknya menghantamnya dengan keras, membuat air matanya jatuh tanpa sadar.Tadi pagi, Nate mengirimkan pesan singkat yang meminta Mariana untuk datang ke kediamannya setelah jam kerja. Ada sesuatu yang perlu mereka bahas. Katanya tentang kontrak.Saat Mariana tiba di depan rumah Nate, ia menarik napas dalam sebelum menekan bel. Tak butuh waktu lama, seorang ART membukakan pintu dan mempersilakannya masuk.Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah ruang tengah. Nate muncul dari lorong mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung hingga siku. Matanya menatap Mariana dengan ekspresi serius, lalu ia memberi isyarat agar Mariana mengikutinya ke ruang kerja.“Terima kasih sudah datang,” ucap Nate begitu mereka memasuki ruang kerja. Ia berjalan menuju meja kerjanya dan berhe

    Last Updated : 2025-03-21
  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   10. Hari Pertama Sebagai Ibu Susu

    Mariana baru saja selesai menata bantal di sofa ketika ponselnya bergetar. Ia meraihnya dari meja dan membaca pesan singkat dari Nate.[Aku di depan. Bisa bukakan pintu?]Jantung Mariana berdebar ringan. Ia menarik napas dalam, lalu mengusap telapak tangannya yang sedikit berkeringat sebelum berjalan ke pintu. Saat ia membukanya, Nate sudah berdiri di sana dengan mengenakan kemeja abu-abu muda santai. Namun yang langsung menarik perhatian Mariana adalah kereta bayi di sampingnya.Bayi itu terbungkus selimut biru lembut, tampak tenang di dalam stroller. Di samping Nate, seorang wanita berseragam rapi berdiri dengan sikap profesional dan tampak siap siaga.“Selamat pagi,” sapa Nate. “Bolehkah kami masuk?”Mariana segera menyingkir dari pintu, lalu mempersilakan mereka masuk.Nate mendorong stroller dengan hati-hati, sementara pengasuh wanita itu mengikutinya dengan langkah tertata.“Elhan tidur?” tanyanya pelan.Nate mengangguk. “Dia baru saja selesai kontrol, jadi masih terlelap. Kami

    Last Updated : 2025-03-21

Latest chapter

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   58. Perang Dingin

    Suara Nate masih terngiang di kepala Mariana bahkan ketika pria itu sudah pergi dari rumah. Pintu yang dibanting beberapa jam lalu seolah masih memantulkan gaung amarahnya di seluruh sudut ruangan.Ponsel Mariana tergeletak di pangkuan dengan layar gelap. Tangannya menggenggam ujung selimut, entah untuk apa. Mungkin sekadar menahan diri agar tidak gemetar.Setelah CCTV dipasang atas desakan Nate, Mariana mulai merasa rumahnya lebih aman. Lima kamera pengawas terpasang di beberapa titik rumah, dan semuanya atas perintah Nate tanpa bisa dibantah.‘Kamu tidak mengizinkanku untuk melaporkan kejadian ini ke pihak keamanan. Jadi, satu-satunya cara agar aku bisa tenang malam ini adalah memasang kamera pengawas.’ Itu adalah kata-kata Nate setelah ia berbicara tentang memasang kamera pengawas.Pada akhirnya, semua kamera itu terpasang di beberapa sudut.‘Aku ini siapa kamu?’ Suara Nate saat mempertanyakan itu kembali terngiang di telinga Mariana.Perasaannya begitu campur aduk. Bingung, menyes

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   57. Kejadian-Kejadian Aneh

    Dua hari setelah pindah ke rumah baru, Mariana mulai merasa ada sesuatu yang tak beres. Mungkin karena ia masih beradaptasi dengan lingkungan baru atau mungkin karena lelah setelah seharian bekerja, pikirannya mulai berlarian tanpa arah yang jelas.Ini bukan kali pertama ia tinggal sendiri. Dulu, setelah perceraian dengan Bara—meski hanya sebentar—ia sempat menjalani hidup sendiri. Tapi kali ini berbeda.Ada sesuatu yang mengganjal, seolah ada yang tidak tepat.Kadang, ia merasa seperti ada orang lain di rumah ini selain dirinya.Pagi itu, Mariana bangun lebih pagi. Ia pergi ke ruang jemur untuk mengambil pakaian dalam yang ia cuci kemarin sebelum bersiap untuk bekerja. Tapi begitu ia melangkah ke ruang jemur, ia dikejutkan oleh sesuatu.Seharusnya pakaian dalam yang ia cuci kemarin masih ada di sana. Namun ketika matanya menyapu ruang itu, pakaian dalam yang dimaksud tidak ada. Tampak jelas bahwa pakaian lainnya ada, tapi pakaian itu hilang begitu saja.“Lho, kenapa bisa nggak ada?”

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   56. Ketahuan

    Mariana tak bisa berhenti memikirkan ucapan ayahnya sepanjang perjalanan pulang. Selama ini, ia terlalu terlena, terlalu nyaman berada di sisi Nathaniel hingga tak sadar betapa benar setiap kalimat yang diucapkan ayahnya di restoran tadi.Apalagi sekarang, status mereka sudah berubah menjadi sepasang kekasih. Gunjingan pedas tak akan terhindarkan jika orang-orang tahu bahwa mereka tinggal serumah.Sepasang kekasih yang belum menikah, tinggal di bawah satu atap.Ah, Mariana bahkan tak sanggup membayangkan reaksi masyarakat—terlebih lagi, reaksi kedua orang tuanya.Maka, pindah adalah keputusan paling masuk akal. Langkah awal yang harus ia ambil sebelum semuanya terlanjur ke mana-mana.“Benar itu, Na. Kamu harus pindah secepatnya,” gumamnya pelan seolah tengah menasihati dirinya sendiri.Mariana tiba di kediaman Nathaniel menjelang senja. Langit sudah mulai menggelap, tapi pikirannya masih penuh oleh percakapan dengan ayahnya saat di restoran.Begitu menjejakkan kaki di dalam rumah, lan

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   55. Museum Date

    Setelah keheningan panjang di makam, Nate mengajak Mariana ke sebuah galeri seni yang tersembunyi di kawasan tenang kota itu. Bangunannya minimalis dengan dinding putih tinggi dan jendela kaca besar yang mempersilakan sinar matahari masuk dengan lembut.Tempat itu tidak ramai—hanya mereka berdua. Nate memang sudah mengatur segalanya.Mariana menatap sekeliling dengan langkah pelan. Galeri itu memamerkan karya-karya seniman lokal dalam nuansa monokrom dan pastel. Tenang, sendu, tapi juga indah.“Aku nggak tahu kamu suka tempat kayak gini,” gumam Mariana.Di tengah galeri yang tenang, Mariana dan Nate berjalan berdua sambil menikmati setiap karya seni yang terpajang di dinding.Namun, ketika mereka berhenti di depan sebuah lukisan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita yang duduk di tepi pantai, memandang lautan yang luas, dengan cahaya matahari yang lembut menyinari wajahnya.Mariana terpaku, matanya menatap lukisan itu dengan intens. Tak lama kemud

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   54. Backstreet, but Ours

    Atas permintaan Mariana, hubungan mereka saat ini tidak hanya disembunyikan dari publik, tapi juga dari keluarga masing-masing. Bukan karena Mariana tidak serius, hanya saja dia belum siap menghadapi reaksi dari orang-orang terdekatnya. Terutama dari pihak keluarganya sendiri.Dia tahu, dari pihak orang tua Nate, kemungkinan besar kabar ini akan disambut dengan hangat. Tapi dari orang tuanya, Mariana tidak yakin.Beruntung, Nate tidak mempermasalahkan. Dia hanya bertanya alasan Mariana meminta hubungan ini tetap menjadi rahasia, lalu menyetujuinya setelah mendengar penjelasan Mariana yang terdengar masuk akal baginya.“Dalam hubungan ini, aku hanya ingin fokus pada kenyamananmu saja, Na. Kalau kamu merasa lebih tenang kalau kita pacaran diam-diam—meski aku sangat ingin memamerkan hubungan kita ke seluruh dunia—aku tidak akan menyangkal,” ucap Nate sambil tersenyum. Tangannya terangkat, mengusap lembut pipi Mariana.Mariana membetulkan posisi duduknya, lalu mengangkat satu tangannya me

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   53. Seperti Romansa dalam Drama

    Hari itu, suasana kantor pusat terasa begitu tenang. Mariana tengah duduk di balik meja kerjanya yang berada tepat di luar ruangan CEO. Pandangannya sibuk menatap layar laptop, memeriksa ulang dokumen perjanjian kerja sama untuk diserahkan ke Nate sore nanti.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan rok pensil abu-abu yang rapi. Sederhana, tapi itulah yang membuatnya menonjol tanpa berusaha lebih.Pintu ruang CEO terbuka sedikit dari dalam, dan suara berat Nate memanggilnya pelan, “Mariana, bisa masuk sebentar?” tanya pria itu.Mariana mengangguk pelan, kemudian bangkit sambil membawa sembarang map yang tergeletak di meja kerjanya. Wajahnya tetap netral saat melangkah masuk.Begitu pintu tertutup dan hanya mereka berdua di dalam ruangan luas bernuansa modern itu, suasananya langsung berubah. Mata Nate yang semula tajam, kini melunak saat menatapnya.“Ruang meeting kosong?” tanya Nate, seolah masih bermain peran sebagai atasan.“Sudah. Semua file yang Bapak minta juga sudah aku siapkan

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   52. Officially

    Setelah kejadian itu, hubungan Bara dan Bianca semakin memburuk. Pertengkaran demi pertengkaran terus mewarnai hari-hari mereka. Hal-hal sepele pun bisa meledak menjadi besar karena tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah.Pagi itu, Bara baru saja bangun tidur. Perutnya terasa melilit karena semalaman tak menyentuh makanan apa pun. Dengan wajah kusut dan langkah gontai, ia menuju dapur.Begitu duduk di kursi dan membuka tudung saji, yang terlihat hanya meja kosong.Ia menutup tudung saji dengan kasar. Suara dentuman penutup logam itu menggema di seluruh dapur.“Dasar perempuan malas! Suami bangun pagi, bukannya menyuguhkan sarapan. Apa yang dia lakukan?!” geramnya penuh amarah.Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari duduknya dan mulai berteriak-teriak.“Bianca! Di mana kamu, hah?!”Tidak ada jawaban. Bara berkeliling rumah dengan kesal, menyusuri setiap sudut sambil terus memanggil-manggil nama istrinya itu. Tapi tetap tak ada tanda-tanda kehadirannya.Beberapa menit kemudian, pi

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   51. Perangkap Menjijikan

    Mariana baru saja tiba di kediaman orang tuanya. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri diam di depan pintu pagar rumah yang berdiri kokoh. Tiga puluh menit yang lalu, ia menerima pesan singkat dari nomor sang ayah yang memintanya untuk datang sendiri.Mariana mendorong pintu pagar yang tak terkunci. Daun pintu rumah pun terbuka begitu saja saat ia menyentuhnya. Tidak dikunci.Mariana masuk dengan langkah hati-hati, rasa heran menyelip di dadanya, namun belum cukup kuat menjadi kecurigaan.“Ayah?” panggilnya lembut.Kakinya melangkah masuk, melewati ruang tamu yang sunyi. Tidak ada suara televisi menyala. Tidak ada aroma masakan ibunya. Tidak ada gemerisik langkah kaki siapa pun.Langkah Mariana terhenti di ruang tengah. Jam dinding yang berdetak pelan menjadi satu-satunya suara yang terdengar di antara keheningan itu. Ia menoleh ke kiri dan kanan, berharap mendengar sahutan atau mendapati seseorang keluar dari salah satu kamar.Tapi, tidak ada.Saat ia sampai di depan kamar orang tuan

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   50. Kecupan dalam Igauan

    Lebih dari tiga puluh menit kemudian, hujan akhirnya benar-benar reda. Baik rambut maupun pakaian Mariana sudah tidak basah lagi. Begitu pula dengan Nate.Setelah pria itu tiba-tiba memeluknya tadi, Mariana membiarkannya selama beberapa saat. Meski sempat hampir terlena karena terasa hangat dan nyaman, ia buru-buru menarik diri sebelum dirinya merasa enggan untuk dilepaskan.Perjalanan kembali ke mobil berlangsung tanpa banyak kata. Nate kembali menggendong Mariana di punggungnya seperti sebelumnya.Sesampainya di mobil, ia dengan sabar membukakan pintu, membantu Mariana masuk, lalu menyelimuti tubuhnya dengan jaket yang tadi sempat disimpan di jok belakang.“Kita kembali ke hotel dulu,” kata Nate sambil menyalakan mesin. “Kakimu harus dikompres sebelum makin bengkak.”Mariana hanya mengangguk kecil. Kepalanya terasa sedikit berat, dan suhu tubuhnya mulai terasa aneh—panas dari dalam, tapi dingin di permukaan kulit.***Setelah menempuh penerbangan sekitar satu jam tiga puluh menit, p

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status