Mariana baru saja selesai menata bantal di sofa ketika ponselnya bergetar. Ia meraihnya dari meja dan membaca pesan singkat dari Nate.[Aku di depan. Bisa bukakan pintu?]Jantung Mariana berdebar ringan. Ia menarik napas dalam, lalu mengusap telapak tangannya yang sedikit berkeringat sebelum berjalan ke pintu. Saat ia membukanya, Nate sudah berdiri di sana dengan mengenakan kemeja abu-abu muda santai. Namun yang langsung menarik perhatian Mariana adalah kereta bayi di sampingnya.Bayi itu terbungkus selimut biru lembut, tampak tenang di dalam stroller. Di samping Nate, seorang wanita berseragam rapi berdiri dengan sikap profesional dan tampak siap siaga.“Selamat pagi,” sapa Nate. “Bolehkah kami masuk?”Mariana segera menyingkir dari pintu, lalu mempersilakan mereka masuk.Nate mendorong stroller dengan hati-hati, sementara pengasuh wanita itu mengikutinya dengan langkah tertata.“Elhan tidur?” tanyanya pelan.Nate mengangguk. “Dia baru saja selesai kontrol, jadi masih terlelap. Kami
Keesokan paginya,Nate kembali datang mengantar Elhan ke kontrakan Mariana. Dengan ekspresi tenang, ia menyerahkan bayi mungil itu ke dalam pelukan Mariana sebelum pergi tanpa banyak bicara.Mariana membawa Elhan masuk dan segera menuju sofa, ia mulai menyusui bayi itu yang kebetulan menangis begitu ayahnya pergi.Nadia duduk di kursi seberangnya, wanita itu tersenyum melihat pemandangan tersebut. “Anda semakin terbiasa, Bu,” komentarnya lembut.Mariana mengusap punggung Elhan perlahan. Jujur saja, ia merasa sedikit lebih nyaman dibanding hari-hari sebelumnya.“Ya … meski terkadang masih ada perasaan aneh yang sulit kujelaskan.”Nadia mengangguk mengerti. “Itu wajar. Tapi Anda sudah melakukan yang terbaik.”Namun, momen tenang itu tiba-tiba terpecah oleh suara gedoran keras dari pintu depan.BRAK!BRAK!BRAK!Mariana tersentak. Tubuhnya menegang seketika sementara tangannya refleks menarik Elhan lebih dekat ke dadanya.“Siapa itu?” Nadia bertanya dengan kening berkerut.Mariana menggel
Nate menatap Mariana yang tampak terguncang. Wanita itu duduk dengan bahu sedikit gemetar, napasnya pendek dan tidak teratur.“Hey, Mariana. Apa kamu mendengarku?” tanya Nate seraya menepuk pelan bahu Mariana.Mariana mengangguk pelan, lalu mengangkat pandangannya menatap Nate. “Aku baik-baik saja,” bisiknya berusaha kuat meski ekspresinya tidak bisa menyembunyikan syok yang masih menguasainya. Ia menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan getaran dalam suaranya.Nate tidak langsung percaya. “Maaf jika aku lancang. Tapi, aku harus memastikan bahwa kamu memang baik-baik saja,” balasnya.Dengan lembut, Nate meraih tangan Mariana lalu mengangkatnya perlahan untuk memastikan tidak ada luka atau lebam di kulitnya. Setelah memastikan wanita itu benar-benar baik-baik saja, Nate segera melangkah menuju kamar.Begitu pintu terbuka, ia menemukan Nadia tengah berusaha menenangkan Elhan yang menangis dalam pelukannya. Wajah wanita itu terlihat tegang, jelas sekali bahwa ia juga syok dengan kejadi
Setelah menyusui Elhan di kamar yang disediakan, Mariana akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap bayi kecil itu yang kembali tertidur pulas dalam dekapannya. Kehangatan yang menyelimuti kamar ini memberikan sedikit ketenangan bagi pikirannya yang masih kacau.Namun, ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Mariana menoleh, lalu bangkit perlahan dan membuka pintu.Seorang ART muda berdiri di ambang pintu dengan senyum lembut. “Bu, orang tua Tuan Nate baru saja tiba. Mereka ingin bertemu dengan Anda.”Mariana menegang sejenak. Ia tahu tentang orang tua Nate, dan selama bersahabat dengan Bella, ia beberapa kali bertemu mereka di acara keluarga. Kedua orang tua pria itu adalah sosok yang ramah dan menyenangkan, tetapi kali ini situasinya berbeda.Mengambil napas dalam, Mariana mengangguk. “Aku akan segera keluar.”ART muda itu tersenyum dan beranjak pergi, sementara Mariana mengalihkan pandangannya ke Elhan yang masih terlelap. Ia meletakkan bayi
Suara alarm berbunyi memecah keheningan pagi. Mariana mengerjapkan mata, butuh beberapa detik untuk menyesuaikan diri dengan cahaya redup yang masuk melalui celah tirai. Hal pertama yang menyambutnya adalah pemandangan Elhan yang tertidur pulas di sampingnya.Senyum lembut terbit di wajah Mariana. Tangannya terulur membelai pipi Elhan dengan hati-hati. Mariana takut mengganggu tidur bayi kecil itu dan berakhir membangungkannya.“Kamu tidur nyenyak sekali, ya?” bisiknya pelan seraya tersenyum lembut.Mariana ingin berlama-lama memandangi bayi lucu itu. Namun ia sadar pagi telah menunggunya, jadi dengan gerakan penuh kehati-hatian, ia turun dari ranjang agar tidak membangunkan Elhan.Setelah menyelimuti bayi kecil itu dengan lebih rapat, Mariana melangkah menuju kamar mandi. Air hangat yang menyentuh kulitnya memberikan ketenangan yang begitu nyaman, membantunya mengusir sisa kantuk yang masih menggantung di pelupuk mata.Tak lama, ia keluar dengan pakaian sederhana—blus berwarna senada
Begitu memasuki gedung spa, aroma lembut lavender dan melati langsung menyambut indra penciuman Mariana. Cahaya temaram serta alunan musik instrumental yang menenangkan seharusnya bisa membuat siapa pun merasa lebih rileks, tapi Mariana masih merasakan ketegangan dalam tubuhnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata pedas dari ibu Bara.Arsita—ibu Nate—yang sejak tadi memperhatikannya, segera menggenggam tangan Mariana dengan lembut. “Sayang, kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.Mariana tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegundahannya. “Aku nggak apa-apa, Tante.”Namun, Arsita sama sekali tidak percaya. Kegundahan Mariana tercetak jelas di wajah cantiknya, untuk itu ia menepuk punggung tangan Mariana dengan lembut dan berkata,“Tante tahu pertemuan tadi pasti tidak menyenangkan untukmu. Tante juga tahu kamu wanita yang kuat, tapi tidak apa-apa kalau sesekali merasa terluka. Jangan dipendam sendiri.”Mariana terdiam sejenak. Ia bisa merasakan ketulusan dalam nada sua
Mariana melangkah masuk ke rumah orang tuanya dengan perasaan berat. Udara di dalam rumah terasa dingin. Hatinya sudah cukup terluka sejak mengetahui Bianca hamil, tapi kini ia harus menghadapi kenyataan lain yang mungkin lebih menyakitkan.Di ruang tengah, ibunya duduk di sofa dengan mata sembab, sementara ayahnya hanya diam dengan ekspresi datar. Mariana menelan ludah, menyadari bahwa kedatangannya pasti bukan tanpa alasan serius.“Duduklah, Mariana,” suara ibunya terdengar serak, seperti habis menangis cukup lama.Mariana menuruti, ia duduk di ujung sofa dengan tubuh tegang. Ia menunggu, tapi tidak ada yang langsung berbicara. Hanya ada keheningan yang menyelimuti mereka beberapa saat.Akhirnya, ibunya menghela napas panjang sebelum berkata, “Kami ingin meminta izinmu untuk menikahkan Bianca dengan Bara.”Mariana merasa seperti dihantam sesuatu di dadanya. Napasnya tercekat, tubuhnya mendadak dingin, dan dunia di sekelilingnya terasa berputar lebih cepat. Ia sudah menduga sesuatu ya
Mariana masih menggendong Elhan ketika Nadia berdiri dari kursinya. “Saya akan meminta Bi Imah menyiapkan minuman hangat untuk Anda, Bu. Mau teh atau cokelat panas?”Mariana menggeleng. “Tidak perlu repot-repot, Nadia. Terima kasih atas perhatianmu.”Nadia tersenyum kecil. “Bukan repot. Anda kelihatan lelah, Bu.”Mariana hanya diam. Ia tidak bisa membantah, meskipun rasa lelah yang ia rasakan bukan sekadar di fisiknya. Saat Nadia melangkah pergi ke dapur, Mariana menunduk menatap wajah tenang Elhan yang terlelap dalam pelukannya.Kehangatan tubuh bayi itu sedikit meredakan gejolak dalam hatinya, tetapi tidak cukup untuk menghapus kenyataan pahit yang baru saja ia terima.Ia harus menerima bahwa keluarganya memilih Bianca. Bahwa mereka tidak akan memikirkan bagaimana perasaannya selama masalah yang mereka hadapi bisa diselesaikan.Mariana menghela napas panjang, mencoba menekan emosi yang masih berkecamuk di dadanya.Ia ingin pergi. Ia ingin melepaskan semuanya. Tapi ia tahu itu tidak m
Suara Nate masih terngiang di kepala Mariana bahkan ketika pria itu sudah pergi dari rumah. Pintu yang dibanting beberapa jam lalu seolah masih memantulkan gaung amarahnya di seluruh sudut ruangan.Ponsel Mariana tergeletak di pangkuan dengan layar gelap. Tangannya menggenggam ujung selimut, entah untuk apa. Mungkin sekadar menahan diri agar tidak gemetar.Setelah CCTV dipasang atas desakan Nate, Mariana mulai merasa rumahnya lebih aman. Lima kamera pengawas terpasang di beberapa titik rumah, dan semuanya atas perintah Nate tanpa bisa dibantah.‘Kamu tidak mengizinkanku untuk melaporkan kejadian ini ke pihak keamanan. Jadi, satu-satunya cara agar aku bisa tenang malam ini adalah memasang kamera pengawas.’ Itu adalah kata-kata Nate setelah ia berbicara tentang memasang kamera pengawas.Pada akhirnya, semua kamera itu terpasang di beberapa sudut.‘Aku ini siapa kamu?’ Suara Nate saat mempertanyakan itu kembali terngiang di telinga Mariana.Perasaannya begitu campur aduk. Bingung, menyes
Dua hari setelah pindah ke rumah baru, Mariana mulai merasa ada sesuatu yang tak beres. Mungkin karena ia masih beradaptasi dengan lingkungan baru atau mungkin karena lelah setelah seharian bekerja, pikirannya mulai berlarian tanpa arah yang jelas.Ini bukan kali pertama ia tinggal sendiri. Dulu, setelah perceraian dengan Bara—meski hanya sebentar—ia sempat menjalani hidup sendiri. Tapi kali ini berbeda.Ada sesuatu yang mengganjal, seolah ada yang tidak tepat.Kadang, ia merasa seperti ada orang lain di rumah ini selain dirinya.Pagi itu, Mariana bangun lebih pagi. Ia pergi ke ruang jemur untuk mengambil pakaian dalam yang ia cuci kemarin sebelum bersiap untuk bekerja. Tapi begitu ia melangkah ke ruang jemur, ia dikejutkan oleh sesuatu.Seharusnya pakaian dalam yang ia cuci kemarin masih ada di sana. Namun ketika matanya menyapu ruang itu, pakaian dalam yang dimaksud tidak ada. Tampak jelas bahwa pakaian lainnya ada, tapi pakaian itu hilang begitu saja.“Lho, kenapa bisa nggak ada?”
Mariana tak bisa berhenti memikirkan ucapan ayahnya sepanjang perjalanan pulang. Selama ini, ia terlalu terlena, terlalu nyaman berada di sisi Nathaniel hingga tak sadar betapa benar setiap kalimat yang diucapkan ayahnya di restoran tadi.Apalagi sekarang, status mereka sudah berubah menjadi sepasang kekasih. Gunjingan pedas tak akan terhindarkan jika orang-orang tahu bahwa mereka tinggal serumah.Sepasang kekasih yang belum menikah, tinggal di bawah satu atap.Ah, Mariana bahkan tak sanggup membayangkan reaksi masyarakat—terlebih lagi, reaksi kedua orang tuanya.Maka, pindah adalah keputusan paling masuk akal. Langkah awal yang harus ia ambil sebelum semuanya terlanjur ke mana-mana.“Benar itu, Na. Kamu harus pindah secepatnya,” gumamnya pelan seolah tengah menasihati dirinya sendiri.Mariana tiba di kediaman Nathaniel menjelang senja. Langit sudah mulai menggelap, tapi pikirannya masih penuh oleh percakapan dengan ayahnya saat di restoran.Begitu menjejakkan kaki di dalam rumah, lan
Setelah keheningan panjang di makam, Nate mengajak Mariana ke sebuah galeri seni yang tersembunyi di kawasan tenang kota itu. Bangunannya minimalis dengan dinding putih tinggi dan jendela kaca besar yang mempersilakan sinar matahari masuk dengan lembut.Tempat itu tidak ramai—hanya mereka berdua. Nate memang sudah mengatur segalanya.Mariana menatap sekeliling dengan langkah pelan. Galeri itu memamerkan karya-karya seniman lokal dalam nuansa monokrom dan pastel. Tenang, sendu, tapi juga indah.“Aku nggak tahu kamu suka tempat kayak gini,” gumam Mariana.Di tengah galeri yang tenang, Mariana dan Nate berjalan berdua sambil menikmati setiap karya seni yang terpajang di dinding.Namun, ketika mereka berhenti di depan sebuah lukisan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita yang duduk di tepi pantai, memandang lautan yang luas, dengan cahaya matahari yang lembut menyinari wajahnya.Mariana terpaku, matanya menatap lukisan itu dengan intens. Tak lama kemud
Atas permintaan Mariana, hubungan mereka saat ini tidak hanya disembunyikan dari publik, tapi juga dari keluarga masing-masing. Bukan karena Mariana tidak serius, hanya saja dia belum siap menghadapi reaksi dari orang-orang terdekatnya. Terutama dari pihak keluarganya sendiri.Dia tahu, dari pihak orang tua Nate, kemungkinan besar kabar ini akan disambut dengan hangat. Tapi dari orang tuanya, Mariana tidak yakin.Beruntung, Nate tidak mempermasalahkan. Dia hanya bertanya alasan Mariana meminta hubungan ini tetap menjadi rahasia, lalu menyetujuinya setelah mendengar penjelasan Mariana yang terdengar masuk akal baginya.“Dalam hubungan ini, aku hanya ingin fokus pada kenyamananmu saja, Na. Kalau kamu merasa lebih tenang kalau kita pacaran diam-diam—meski aku sangat ingin memamerkan hubungan kita ke seluruh dunia—aku tidak akan menyangkal,” ucap Nate sambil tersenyum. Tangannya terangkat, mengusap lembut pipi Mariana.Mariana membetulkan posisi duduknya, lalu mengangkat satu tangannya me
Hari itu, suasana kantor pusat terasa begitu tenang. Mariana tengah duduk di balik meja kerjanya yang berada tepat di luar ruangan CEO. Pandangannya sibuk menatap layar laptop, memeriksa ulang dokumen perjanjian kerja sama untuk diserahkan ke Nate sore nanti.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan rok pensil abu-abu yang rapi. Sederhana, tapi itulah yang membuatnya menonjol tanpa berusaha lebih.Pintu ruang CEO terbuka sedikit dari dalam, dan suara berat Nate memanggilnya pelan, “Mariana, bisa masuk sebentar?” tanya pria itu.Mariana mengangguk pelan, kemudian bangkit sambil membawa sembarang map yang tergeletak di meja kerjanya. Wajahnya tetap netral saat melangkah masuk.Begitu pintu tertutup dan hanya mereka berdua di dalam ruangan luas bernuansa modern itu, suasananya langsung berubah. Mata Nate yang semula tajam, kini melunak saat menatapnya.“Ruang meeting kosong?” tanya Nate, seolah masih bermain peran sebagai atasan.“Sudah. Semua file yang Bapak minta juga sudah aku siapkan
Setelah kejadian itu, hubungan Bara dan Bianca semakin memburuk. Pertengkaran demi pertengkaran terus mewarnai hari-hari mereka. Hal-hal sepele pun bisa meledak menjadi besar karena tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah.Pagi itu, Bara baru saja bangun tidur. Perutnya terasa melilit karena semalaman tak menyentuh makanan apa pun. Dengan wajah kusut dan langkah gontai, ia menuju dapur.Begitu duduk di kursi dan membuka tudung saji, yang terlihat hanya meja kosong.Ia menutup tudung saji dengan kasar. Suara dentuman penutup logam itu menggema di seluruh dapur.“Dasar perempuan malas! Suami bangun pagi, bukannya menyuguhkan sarapan. Apa yang dia lakukan?!” geramnya penuh amarah.Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari duduknya dan mulai berteriak-teriak.“Bianca! Di mana kamu, hah?!”Tidak ada jawaban. Bara berkeliling rumah dengan kesal, menyusuri setiap sudut sambil terus memanggil-manggil nama istrinya itu. Tapi tetap tak ada tanda-tanda kehadirannya.Beberapa menit kemudian, pi
Mariana baru saja tiba di kediaman orang tuanya. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri diam di depan pintu pagar rumah yang berdiri kokoh. Tiga puluh menit yang lalu, ia menerima pesan singkat dari nomor sang ayah yang memintanya untuk datang sendiri.Mariana mendorong pintu pagar yang tak terkunci. Daun pintu rumah pun terbuka begitu saja saat ia menyentuhnya. Tidak dikunci.Mariana masuk dengan langkah hati-hati, rasa heran menyelip di dadanya, namun belum cukup kuat menjadi kecurigaan.“Ayah?” panggilnya lembut.Kakinya melangkah masuk, melewati ruang tamu yang sunyi. Tidak ada suara televisi menyala. Tidak ada aroma masakan ibunya. Tidak ada gemerisik langkah kaki siapa pun.Langkah Mariana terhenti di ruang tengah. Jam dinding yang berdetak pelan menjadi satu-satunya suara yang terdengar di antara keheningan itu. Ia menoleh ke kiri dan kanan, berharap mendengar sahutan atau mendapati seseorang keluar dari salah satu kamar.Tapi, tidak ada.Saat ia sampai di depan kamar orang tuan
Lebih dari tiga puluh menit kemudian, hujan akhirnya benar-benar reda. Baik rambut maupun pakaian Mariana sudah tidak basah lagi. Begitu pula dengan Nate.Setelah pria itu tiba-tiba memeluknya tadi, Mariana membiarkannya selama beberapa saat. Meski sempat hampir terlena karena terasa hangat dan nyaman, ia buru-buru menarik diri sebelum dirinya merasa enggan untuk dilepaskan.Perjalanan kembali ke mobil berlangsung tanpa banyak kata. Nate kembali menggendong Mariana di punggungnya seperti sebelumnya.Sesampainya di mobil, ia dengan sabar membukakan pintu, membantu Mariana masuk, lalu menyelimuti tubuhnya dengan jaket yang tadi sempat disimpan di jok belakang.“Kita kembali ke hotel dulu,” kata Nate sambil menyalakan mesin. “Kakimu harus dikompres sebelum makin bengkak.”Mariana hanya mengangguk kecil. Kepalanya terasa sedikit berat, dan suhu tubuhnya mulai terasa aneh—panas dari dalam, tapi dingin di permukaan kulit.***Setelah menempuh penerbangan sekitar satu jam tiga puluh menit, p