Suasana ruangan seketika hening. Bianca menatap Bara dengan ekspresi terkejut, meski di dalam hatinya ada kepuasan yang sulit ia sembunyikan. Sementara itu, Mariana tetap berdiri tegak, matanya dingin tanpa ekspresi.
Rumah tangga yang ia bina bertahun-tahun akhirnya karam. Namun bukannya merasa hancur, Mariana justru merasakan sesuatu yang berbeda—ia merasa ringan. Beban yang selama ini menghimpit dadanya seperti dicabut paksa. Luka itu masih ada, tetapi di baliknya ada kelegaan yang sulit dijelaskan. Mariana telah memberikan segalanya demi pernikahan ini. Bekerja tanpa mengenal lelah, menekan dirinya sendiri, menutup mata terhadap berbagai tanda yang seharusnya sudah ia sadari sejak lama. Namun pada akhirnya, semua pengorbanannya hanya dibalas dengan pengkhianatan. ‘Aku kehilangan suami, anak, dan adikku sekaligus. Betapa ironisnya,’ batin Mariana. Mariana menarik napas dalam, mencoba meredam guncangan di hatinya. Ia menatap Bara, pria yang pernah ia cintai dan perjuangkan. Dulu ia berpikir bahwa pernikahan mereka bisa bertahan selamanya. Ia pernah mengorbankan begitu banyak hal demi mempertahankan hubungan ini. Tapi kini, ia sadar … perpisahan adalah yang terbaik. Armand yang sejak tadi menyaksikan semuanya akhirnya berdeham dan mengambil alih situasi. “Talak sudah dijatuhkan dan aku akan memastikan semuanya diurus secara hukum,” ujarnya tegas. “Dan satu hal lagi, Bara. Aku tidak ingin melihatmu lagi di hadapan Mariana. Jangan pernah mencoba kembali, jangan pernah mengusik hidupnya lagi.” Armand berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara yang lebih mengancam, “Bukan hanya Mariana, tapi juga Bianca. Aku tidak mau kamu mendekati putri-putriku lagi. Mulai sekarang, kamu bukan bagian dari keluarga ini!” Bara terdiam. Namun sebelum ia bisa membantah, suara Bianca terdengar. “Ayah nggak bisa melakukan ini!” Bianca melangkah maju, matanya membelalak penuh protes. “Aku dan Mas Bara—” “Jangan lanjutkan!” Armand langsung memotong, tatapannya beralih tajam pada putri bungsunya itu. “Jangan buat aku semakin muak, Bianca. Kamu telah menghancurkan keluarga ini dengan tanganmu sendiri. Jangan berani-berani membawa lebih banyak kehancuran lagi.” Bianca menggigit bibirnya, wajahnya memerah menahan amarah dan rasa tidak terima. Ia berpikir, setelah Mariana diceraikan maka Bara akan sepenuhnya menjadi miliknya. Tapi sekarang? Ayahnya telah memutus semua kemungkinan itu. Sementara itu, Bara mulai menggertakkan giginya setelah merasa harga dirinya semakin diinjak-injak. Tapi sebelum emosinya bisa meledak, Mariana yang sejak tadi diam justru melangkah mendekati ayahnya. “Nggak apa-apa, Ayah,” ucap Mariana pelan. “Bara sudah bukan siapa-siapaku lagi. Kalau Bianca ingin memungutnya, biarkan saja.” Tatapan Mariana bergeser pada Bianca yang masih berdiri kaku, lalu ke Bara yang terlihat semakin terpojok. Dengan nada datar, ia menambahkan, “Tapi jangan pernah berpikir untuk kembali mendekatiku. Bukan sebagai suami, bukan sebagai mantan, bahkan bukan sebagai seseorang yang pernah aku kenal.” Bara menahan napas, sementara Bianca mengepalkan tangannya. Tanpa menunggu reaksi mereka, Mariana berbalik dan melangkah pergi dengan kepala tegak. Namun, baru beberapa langkah berjalan, Bara sudah mencengkeram lengannya dengan kuat. Mariana menoleh dan berontak sekuat tenaga, berusaha melepaskan cengkeraman itu dengan emosi yang meluap-luap. “Lepaskan aku!” bentak Mariana. Bala menggeleng, cengkeraman tangannya justru semakin kuat. Melihat itu, Armand bergerak maju dan menarik paksa tangan Bara hingga cengkeramannya di lengan Mariana terlepas. “Jangan berani-berani menyentuh putriku lagi!” ancam pria tua itu sungguh-sungguh. Di tempatnya, Mariana berdiri dengan napas memburu. Matanya menatap Bara penuh kebencian dan rasa jijik. “Kalian berdua nggak hanya mengkhianatiku, tapi kalian juga membunuh anakku. Jangan pernah lupakan itu!” tegas Mariana memandangi Bara dan Bianca bergantian. “Kalau aja kalian nggak berselingkuh dan aku nggak memergoki kalian malam itu, anakku pasti masih hidup sekarang. Kalian membunuh makhluk yang nggak berdosa dengan perbuatan kalian!” Mariana menambahkan. Baik Bara ataupun Bianca, keduanya tidak bisa berkata-kata mendengar kata-kata Mariana barusan. Sementara Armand, pria tua itu hampir kehilangan kekuatannya untuk berdiri usai mendengar fakta itu. “Apa?” ucap Armand dengan mata membulat. “Jadi, kamu keguguran karena ….” Armand tidak sanggup melanjutkan kalimatnya hingga selesai. Dengan tubuh gemetar, Armand segera berbalik menghampiri Bianca lagi dan menamparnya dengan sangat keras. “Aku benar-benar tidak menyangka akan memiliki putri sepertimu!” teriak Armand. Namun tiba-tiba, napasnya tersengal. Tangannya mencengkeram dada sementara wajahnya seketika pucat. Tubuh pria itu goyah sebelum akhirnya ambruk ke lantai. “Ayah!” Mariana berteriak panik dan langsung berlari menghampirinya. *** Armand dilarikan ke rumah sakit. Saat menunggu ayahnya dengan cemas di depan ruang tindakan, Mariana tak sengaja melihat sosok pria yang dikenalnya sedang berjalan dengan air mata. “Pak Nate?” gumam Mariana pelan. Ia yakin yang dilihatnya barusan adalah Nathaniel, atasannya sekaligus suami sahabatnya. Karena penasaran, Mariana pun berlari mengejar pria itu. “Pak Nate!” panggil Mariana sedikit berteriak. Pria yang dipanggil seketika menghentikan langkah cepatnya dan berbalik. “Mariana?” Nate tampak terkejut melihat wanita itu berada di sini dengan wajah yang agak memprihatinkan. “Sedang apa Bapak di sini?” tanya Mariana, lalu sedetik kemudian ia teringat sesuatu. “Oh, apakah Bella melahirkan?” Tatapan Nate berubah getir saat akhirnya ia mengangguk. “Iya, tapi… Bella tidak selamat.” Mariana mematung. “A-Apa maksudnya tidak selamat?” tanyanya dengan suara gemetar. Nate terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Bella meninggal dunia.” Dunia Mariana seakan runtuh. Tidakkah ini terlalu kejam? Mariana sudah kehilangan banyak hal kemarin, dan sekarang, ia harus kehilangan sahabat baiknya juga? Pandangan Mariana tampak kosong, sementara otaknya berputar mencoba mencerna kenyataan yang baru saja menghantamnya. Kakinya terasa lemas. Rasanya seperti ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat hingga ia sulit bernapas. Bella … sahabat yang selalu ada untuknya, kini sudah tiada. Mariana menggeleng pelan, menolak kenyataan. Namun, tubuhnya masih berdiri di tempat yang sama, kaku dan tanpa daya. Suara langkah kaki Nate yang menjauh terdengar samar di telinganya, tetapi ia tidak mampu bergerak untuk menahannya. Perlahan, Mariana jatuh berlutut di lantai. Pandangannya masih kosong tetapi air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, mengaburkan segalanya. “Ya Tuhan,” lirih Mariana dengan kepala tertunduk. Air matanya merembes dari pelupuk matanya dan jatuh ke lantai. Namun di tengah keterpurukannya, sesuatu segera menarik Mariana kembali ke kenyataan. Dengan napas tersengal, ia segera berlari menyusul Nate. Saat akhirnya mereka tiba di ruangan tempat Bella dibaringkan, langkah Mariana sempat terhenti. Di sana, sahabatnya terbujur kaku di atas ranjang, tubuhnya tertutup selimut putih hingga sebatas dada. Wajah Bella begitu pucat, seolah semua kehidupan telah benar-benar meninggalkannya. Mariana mendekat dengan tubuh yang gemetar. “Bella …,” bisiknya, suara itu hampir tak terdengar. Ia menjatuhkan diri di sisi ranjang dan meraih tangan sahabatnya yang sudah dingin.“Bella-ku yang malang!” tangis Mariana pecah.Bahunya terguncang hebat saat ia mencengkeram jemari Bella, seolah berharap ada kehangatan yang tersisa. Namun, tidak ada.“Kenapa? Kenapa harus begini?” Air mata Mariana jatuh membasahi tangan Bella yang sudah tak bernyawa.Nate hanya berdiri di sudut ruangan. Tidak ada kata yang bisa ia ucapkan. Hanya keheningan yang menyelimuti kedukaan mereka.Mariana mengangkat kepalanya dan menatap Nate yang masih berdiri di sudut ruangan.“B-Bayinya,” suaranya serak dan gemetar. “Di mana bayi Bella?”Nate mengalihkan pandangannya. “Dia selamat,” jawabnya pelan.Mata Mariana melebar, sedikit kelegaan muncul di antara kesedihannya.“Di mana dia sekarang? Aku ingin melihatnya.”Nate mengangguk, lalu tanpa banyak bicara, ia melangkah keluar ruangan. Mariana buru-buru menyeka air matanya dan mengikuti Nate dengan langkah tergesa.Setibanya di ruang perawatan bayi, Mariana melihat seorang perawat sedang menggendong seorang bayi mungil yang dibungkus selim
Beberapa hari setelah bayi Bella diperbolehkan pulang, Mariana berusaha menikmati cutinya dan fokus pada pemulihan pasca operasi. Namun ia tidak benar-benar bisa menikmatinya. Setiap detik, kenangan tentang mendiang anaknya menghantamnya dengan keras, membuat air matanya jatuh tanpa sadar.Tadi pagi, Nate mengirimkan pesan singkat yang meminta Mariana untuk datang ke kediamannya setelah jam kerja. Ada sesuatu yang perlu mereka bahas. Katanya tentang kontrak.Saat Mariana tiba di depan rumah Nate, ia menarik napas dalam sebelum menekan bel. Tak butuh waktu lama, seorang ART membukakan pintu dan mempersilakannya masuk.Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah ruang tengah. Nate muncul dari lorong mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung hingga siku. Matanya menatap Mariana dengan ekspresi serius, lalu ia memberi isyarat agar Mariana mengikutinya ke ruang kerja.“Terima kasih sudah datang,” ucap Nate begitu mereka memasuki ruang kerja. Ia berjalan menuju meja kerjanya dan berhe
Mariana baru saja selesai menata bantal di sofa ketika ponselnya bergetar. Ia meraihnya dari meja dan membaca pesan singkat dari Nate.[Aku di depan. Bisa bukakan pintu?]Jantung Mariana berdebar ringan. Ia menarik napas dalam, lalu mengusap telapak tangannya yang sedikit berkeringat sebelum berjalan ke pintu. Saat ia membukanya, Nate sudah berdiri di sana dengan mengenakan kemeja abu-abu muda santai. Namun yang langsung menarik perhatian Mariana adalah kereta bayi di sampingnya.Bayi itu terbungkus selimut biru lembut, tampak tenang di dalam stroller. Di samping Nate, seorang wanita berseragam rapi berdiri dengan sikap profesional dan tampak siap siaga.“Selamat pagi,” sapa Nate. “Bolehkah kami masuk?”Mariana segera menyingkir dari pintu, lalu mempersilakan mereka masuk.Nate mendorong stroller dengan hati-hati, sementara pengasuh wanita itu mengikutinya dengan langkah tertata.“Elhan tidur?” tanyanya pelan.Nate mengangguk. “Dia baru saja selesai kontrol, jadi masih terlelap. Kami
Keesokan paginya,Nate kembali datang mengantar Elhan ke kontrakan Mariana. Dengan ekspresi tenang, ia menyerahkan bayi mungil itu ke dalam pelukan Mariana sebelum pergi tanpa banyak bicara.Mariana membawa Elhan masuk dan segera menuju sofa, ia mulai menyusui bayi itu yang kebetulan menangis begitu ayahnya pergi.Nadia duduk di kursi seberangnya, wanita itu tersenyum melihat pemandangan tersebut. “Anda semakin terbiasa, Bu,” komentarnya lembut.Mariana mengusap punggung Elhan perlahan. Jujur saja, ia merasa sedikit lebih nyaman dibanding hari-hari sebelumnya.“Ya … meski terkadang masih ada perasaan aneh yang sulit kujelaskan.”Nadia mengangguk mengerti. “Itu wajar. Tapi Anda sudah melakukan yang terbaik.”Namun, momen tenang itu tiba-tiba terpecah oleh suara gedoran keras dari pintu depan.BRAK!BRAK!BRAK!Mariana tersentak. Tubuhnya menegang seketika sementara tangannya refleks menarik Elhan lebih dekat ke dadanya.“Siapa itu?” Nadia bertanya dengan kening berkerut.Mariana menggel
Nate menatap Mariana yang tampak terguncang. Wanita itu duduk dengan bahu sedikit gemetar, napasnya pendek dan tidak teratur.“Hey, Mariana. Apa kamu mendengarku?” tanya Nate seraya menepuk pelan bahu Mariana.Mariana mengangguk pelan, lalu mengangkat pandangannya menatap Nate. “Aku baik-baik saja,” bisiknya berusaha kuat meski ekspresinya tidak bisa menyembunyikan syok yang masih menguasainya. Ia menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan getaran dalam suaranya.Nate tidak langsung percaya. “Maaf jika aku lancang. Tapi, aku harus memastikan bahwa kamu memang baik-baik saja,” balasnya.Dengan lembut, Nate meraih tangan Mariana lalu mengangkatnya perlahan untuk memastikan tidak ada luka atau lebam di kulitnya. Setelah memastikan wanita itu benar-benar baik-baik saja, Nate segera melangkah menuju kamar.Begitu pintu terbuka, ia menemukan Nadia tengah berusaha menenangkan Elhan yang menangis dalam pelukannya. Wajah wanita itu terlihat tegang, jelas sekali bahwa ia juga syok dengan kejadi
Setelah menyusui Elhan di kamar yang disediakan, Mariana akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap bayi kecil itu yang kembali tertidur pulas dalam dekapannya. Kehangatan yang menyelimuti kamar ini memberikan sedikit ketenangan bagi pikirannya yang masih kacau.Namun, ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Mariana menoleh, lalu bangkit perlahan dan membuka pintu.Seorang ART muda berdiri di ambang pintu dengan senyum lembut. “Bu, orang tua Tuan Nate baru saja tiba. Mereka ingin bertemu dengan Anda.”Mariana menegang sejenak. Ia tahu tentang orang tua Nate, dan selama bersahabat dengan Bella, ia beberapa kali bertemu mereka di acara keluarga. Kedua orang tua pria itu adalah sosok yang ramah dan menyenangkan, tetapi kali ini situasinya berbeda.Mengambil napas dalam, Mariana mengangguk. “Aku akan segera keluar.”ART muda itu tersenyum dan beranjak pergi, sementara Mariana mengalihkan pandangannya ke Elhan yang masih terlelap. Ia meletakkan bayi
Suara alarm berbunyi memecah keheningan pagi. Mariana mengerjapkan mata, butuh beberapa detik untuk menyesuaikan diri dengan cahaya redup yang masuk melalui celah tirai. Hal pertama yang menyambutnya adalah pemandangan Elhan yang tertidur pulas di sampingnya.Senyum lembut terbit di wajah Mariana. Tangannya terulur membelai pipi Elhan dengan hati-hati. Mariana takut mengganggu tidur bayi kecil itu dan berakhir membangungkannya.“Kamu tidur nyenyak sekali, ya?” bisiknya pelan seraya tersenyum lembut.Mariana ingin berlama-lama memandangi bayi lucu itu. Namun ia sadar pagi telah menunggunya, jadi dengan gerakan penuh kehati-hatian, ia turun dari ranjang agar tidak membangunkan Elhan.Setelah menyelimuti bayi kecil itu dengan lebih rapat, Mariana melangkah menuju kamar mandi. Air hangat yang menyentuh kulitnya memberikan ketenangan yang begitu nyaman, membantunya mengusir sisa kantuk yang masih menggantung di pelupuk mata.Tak lama, ia keluar dengan pakaian sederhana—blus berwarna senada
Begitu memasuki gedung spa, aroma lembut lavender dan melati langsung menyambut indra penciuman Mariana. Cahaya temaram serta alunan musik instrumental yang menenangkan seharusnya bisa membuat siapa pun merasa lebih rileks, tapi Mariana masih merasakan ketegangan dalam tubuhnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata pedas dari ibu Bara.Arsita—ibu Nate—yang sejak tadi memperhatikannya, segera menggenggam tangan Mariana dengan lembut. “Sayang, kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.Mariana tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegundahannya. “Aku nggak apa-apa, Tante.”Namun, Arsita sama sekali tidak percaya. Kegundahan Mariana tercetak jelas di wajah cantiknya, untuk itu ia menepuk punggung tangan Mariana dengan lembut dan berkata,“Tante tahu pertemuan tadi pasti tidak menyenangkan untukmu. Tante juga tahu kamu wanita yang kuat, tapi tidak apa-apa kalau sesekali merasa terluka. Jangan dipendam sendiri.”Mariana terdiam sejenak. Ia bisa merasakan ketulusan dalam nada sua
Suara Nate masih terngiang di kepala Mariana bahkan ketika pria itu sudah pergi dari rumah. Pintu yang dibanting beberapa jam lalu seolah masih memantulkan gaung amarahnya di seluruh sudut ruangan.Ponsel Mariana tergeletak di pangkuan dengan layar gelap. Tangannya menggenggam ujung selimut, entah untuk apa. Mungkin sekadar menahan diri agar tidak gemetar.Setelah CCTV dipasang atas desakan Nate, Mariana mulai merasa rumahnya lebih aman. Lima kamera pengawas terpasang di beberapa titik rumah, dan semuanya atas perintah Nate tanpa bisa dibantah.‘Kamu tidak mengizinkanku untuk melaporkan kejadian ini ke pihak keamanan. Jadi, satu-satunya cara agar aku bisa tenang malam ini adalah memasang kamera pengawas.’ Itu adalah kata-kata Nate setelah ia berbicara tentang memasang kamera pengawas.Pada akhirnya, semua kamera itu terpasang di beberapa sudut.‘Aku ini siapa kamu?’ Suara Nate saat mempertanyakan itu kembali terngiang di telinga Mariana.Perasaannya begitu campur aduk. Bingung, menyes
Dua hari setelah pindah ke rumah baru, Mariana mulai merasa ada sesuatu yang tak beres. Mungkin karena ia masih beradaptasi dengan lingkungan baru atau mungkin karena lelah setelah seharian bekerja, pikirannya mulai berlarian tanpa arah yang jelas.Ini bukan kali pertama ia tinggal sendiri. Dulu, setelah perceraian dengan Bara—meski hanya sebentar—ia sempat menjalani hidup sendiri. Tapi kali ini berbeda.Ada sesuatu yang mengganjal, seolah ada yang tidak tepat.Kadang, ia merasa seperti ada orang lain di rumah ini selain dirinya.Pagi itu, Mariana bangun lebih pagi. Ia pergi ke ruang jemur untuk mengambil pakaian dalam yang ia cuci kemarin sebelum bersiap untuk bekerja. Tapi begitu ia melangkah ke ruang jemur, ia dikejutkan oleh sesuatu.Seharusnya pakaian dalam yang ia cuci kemarin masih ada di sana. Namun ketika matanya menyapu ruang itu, pakaian dalam yang dimaksud tidak ada. Tampak jelas bahwa pakaian lainnya ada, tapi pakaian itu hilang begitu saja.“Lho, kenapa bisa nggak ada?”
Mariana tak bisa berhenti memikirkan ucapan ayahnya sepanjang perjalanan pulang. Selama ini, ia terlalu terlena, terlalu nyaman berada di sisi Nathaniel hingga tak sadar betapa benar setiap kalimat yang diucapkan ayahnya di restoran tadi.Apalagi sekarang, status mereka sudah berubah menjadi sepasang kekasih. Gunjingan pedas tak akan terhindarkan jika orang-orang tahu bahwa mereka tinggal serumah.Sepasang kekasih yang belum menikah, tinggal di bawah satu atap.Ah, Mariana bahkan tak sanggup membayangkan reaksi masyarakat—terlebih lagi, reaksi kedua orang tuanya.Maka, pindah adalah keputusan paling masuk akal. Langkah awal yang harus ia ambil sebelum semuanya terlanjur ke mana-mana.“Benar itu, Na. Kamu harus pindah secepatnya,” gumamnya pelan seolah tengah menasihati dirinya sendiri.Mariana tiba di kediaman Nathaniel menjelang senja. Langit sudah mulai menggelap, tapi pikirannya masih penuh oleh percakapan dengan ayahnya saat di restoran.Begitu menjejakkan kaki di dalam rumah, lan
Setelah keheningan panjang di makam, Nate mengajak Mariana ke sebuah galeri seni yang tersembunyi di kawasan tenang kota itu. Bangunannya minimalis dengan dinding putih tinggi dan jendela kaca besar yang mempersilakan sinar matahari masuk dengan lembut.Tempat itu tidak ramai—hanya mereka berdua. Nate memang sudah mengatur segalanya.Mariana menatap sekeliling dengan langkah pelan. Galeri itu memamerkan karya-karya seniman lokal dalam nuansa monokrom dan pastel. Tenang, sendu, tapi juga indah.“Aku nggak tahu kamu suka tempat kayak gini,” gumam Mariana.Di tengah galeri yang tenang, Mariana dan Nate berjalan berdua sambil menikmati setiap karya seni yang terpajang di dinding.Namun, ketika mereka berhenti di depan sebuah lukisan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita yang duduk di tepi pantai, memandang lautan yang luas, dengan cahaya matahari yang lembut menyinari wajahnya.Mariana terpaku, matanya menatap lukisan itu dengan intens. Tak lama kemud
Atas permintaan Mariana, hubungan mereka saat ini tidak hanya disembunyikan dari publik, tapi juga dari keluarga masing-masing. Bukan karena Mariana tidak serius, hanya saja dia belum siap menghadapi reaksi dari orang-orang terdekatnya. Terutama dari pihak keluarganya sendiri.Dia tahu, dari pihak orang tua Nate, kemungkinan besar kabar ini akan disambut dengan hangat. Tapi dari orang tuanya, Mariana tidak yakin.Beruntung, Nate tidak mempermasalahkan. Dia hanya bertanya alasan Mariana meminta hubungan ini tetap menjadi rahasia, lalu menyetujuinya setelah mendengar penjelasan Mariana yang terdengar masuk akal baginya.“Dalam hubungan ini, aku hanya ingin fokus pada kenyamananmu saja, Na. Kalau kamu merasa lebih tenang kalau kita pacaran diam-diam—meski aku sangat ingin memamerkan hubungan kita ke seluruh dunia—aku tidak akan menyangkal,” ucap Nate sambil tersenyum. Tangannya terangkat, mengusap lembut pipi Mariana.Mariana membetulkan posisi duduknya, lalu mengangkat satu tangannya me
Hari itu, suasana kantor pusat terasa begitu tenang. Mariana tengah duduk di balik meja kerjanya yang berada tepat di luar ruangan CEO. Pandangannya sibuk menatap layar laptop, memeriksa ulang dokumen perjanjian kerja sama untuk diserahkan ke Nate sore nanti.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan rok pensil abu-abu yang rapi. Sederhana, tapi itulah yang membuatnya menonjol tanpa berusaha lebih.Pintu ruang CEO terbuka sedikit dari dalam, dan suara berat Nate memanggilnya pelan, “Mariana, bisa masuk sebentar?” tanya pria itu.Mariana mengangguk pelan, kemudian bangkit sambil membawa sembarang map yang tergeletak di meja kerjanya. Wajahnya tetap netral saat melangkah masuk.Begitu pintu tertutup dan hanya mereka berdua di dalam ruangan luas bernuansa modern itu, suasananya langsung berubah. Mata Nate yang semula tajam, kini melunak saat menatapnya.“Ruang meeting kosong?” tanya Nate, seolah masih bermain peran sebagai atasan.“Sudah. Semua file yang Bapak minta juga sudah aku siapkan
Setelah kejadian itu, hubungan Bara dan Bianca semakin memburuk. Pertengkaran demi pertengkaran terus mewarnai hari-hari mereka. Hal-hal sepele pun bisa meledak menjadi besar karena tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah.Pagi itu, Bara baru saja bangun tidur. Perutnya terasa melilit karena semalaman tak menyentuh makanan apa pun. Dengan wajah kusut dan langkah gontai, ia menuju dapur.Begitu duduk di kursi dan membuka tudung saji, yang terlihat hanya meja kosong.Ia menutup tudung saji dengan kasar. Suara dentuman penutup logam itu menggema di seluruh dapur.“Dasar perempuan malas! Suami bangun pagi, bukannya menyuguhkan sarapan. Apa yang dia lakukan?!” geramnya penuh amarah.Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari duduknya dan mulai berteriak-teriak.“Bianca! Di mana kamu, hah?!”Tidak ada jawaban. Bara berkeliling rumah dengan kesal, menyusuri setiap sudut sambil terus memanggil-manggil nama istrinya itu. Tapi tetap tak ada tanda-tanda kehadirannya.Beberapa menit kemudian, pi
Mariana baru saja tiba di kediaman orang tuanya. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri diam di depan pintu pagar rumah yang berdiri kokoh. Tiga puluh menit yang lalu, ia menerima pesan singkat dari nomor sang ayah yang memintanya untuk datang sendiri.Mariana mendorong pintu pagar yang tak terkunci. Daun pintu rumah pun terbuka begitu saja saat ia menyentuhnya. Tidak dikunci.Mariana masuk dengan langkah hati-hati, rasa heran menyelip di dadanya, namun belum cukup kuat menjadi kecurigaan.“Ayah?” panggilnya lembut.Kakinya melangkah masuk, melewati ruang tamu yang sunyi. Tidak ada suara televisi menyala. Tidak ada aroma masakan ibunya. Tidak ada gemerisik langkah kaki siapa pun.Langkah Mariana terhenti di ruang tengah. Jam dinding yang berdetak pelan menjadi satu-satunya suara yang terdengar di antara keheningan itu. Ia menoleh ke kiri dan kanan, berharap mendengar sahutan atau mendapati seseorang keluar dari salah satu kamar.Tapi, tidak ada.Saat ia sampai di depan kamar orang tuan
Lebih dari tiga puluh menit kemudian, hujan akhirnya benar-benar reda. Baik rambut maupun pakaian Mariana sudah tidak basah lagi. Begitu pula dengan Nate.Setelah pria itu tiba-tiba memeluknya tadi, Mariana membiarkannya selama beberapa saat. Meski sempat hampir terlena karena terasa hangat dan nyaman, ia buru-buru menarik diri sebelum dirinya merasa enggan untuk dilepaskan.Perjalanan kembali ke mobil berlangsung tanpa banyak kata. Nate kembali menggendong Mariana di punggungnya seperti sebelumnya.Sesampainya di mobil, ia dengan sabar membukakan pintu, membantu Mariana masuk, lalu menyelimuti tubuhnya dengan jaket yang tadi sempat disimpan di jok belakang.“Kita kembali ke hotel dulu,” kata Nate sambil menyalakan mesin. “Kakimu harus dikompres sebelum makin bengkak.”Mariana hanya mengangguk kecil. Kepalanya terasa sedikit berat, dan suhu tubuhnya mulai terasa aneh—panas dari dalam, tapi dingin di permukaan kulit.***Setelah menempuh penerbangan sekitar satu jam tiga puluh menit, p