Pagi itu, matahari menyinari rumah kecil Reno dan Alena, seolah mengingatkan mereka bahwa hari baru adalah kesempatan lain untuk saling mencintai. Suara burung berkicau di luar jendela menjadi latar belakang yang indah untuk kebiasaan pagi mereka. Reno, yang biasanya berangkat lebih awal, memutuskan untuk mengambil waktu ekstra bersama Alena sebelum memulai harinya.
“Lena, hari ini aku pikir kita harus sarapan di luar, bagaimana kalau di taman belakang?” usul Reno sambil memegang dua cangkir kopi.
Alena mengangguk sambil tersenyum. Mereka membawa sarapan sederhana ke meja kecil di taman belakang. Duduk berdampingan, mereka menikmati pemandangan kebun kecil yang dirawat Alena dengan penuh cinta. Kehijauan tanaman dan bunga yang bermekaran menjadi simbol perjuangan mereka, betapa usaha kecil yang konsisten dapat menghasilkan keindahan.
“Aku suka pagi-pagi seperti ini,” ujar Alena sambil menyeruput kopinya. “Tidak banyak, tapi cukup membuatku merasa beruntung.”
Reno tersenyum dan menjawab, “Aku juga, Lena. Kamu adalah alasan kenapa aku selalu ingin menjadi lebih baik. Aku ingin kita punya kehidupan yang lebih nyaman suatu hari nanti.”
Kata-kata itu membuat Alena merasa haru. Ia tahu Reno selalu memikirkan masa depan mereka, bahkan di tengah tekanan hidup yang mereka hadapi. Meski sederhana, Reno selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya.
Cita-Cita Reno
Di tempat kerjanya, Reno sering kali melamun memikirkan cara untuk memperbaiki keadaan mereka. Ia tahu bahwa bekerja di pabrik tidak akan cukup untuk memberikan Alena kehidupan yang lebih baik. Dalam hati, ia bercita-cita untuk suatu hari memiliki usaha sendiri, sesuatu yang bisa ia bangun dari nol dan menjadi warisan untuk keluarganya.
Suatu malam, ketika mereka duduk di ruang tamu yang hangat, Reno berbagi mimpinya dengan Alena.
“Lena, aku punya rencana. Aku ingin suatu hari kita punya toko sendiri. Mungkin toko alat-alat teknik, atau mungkin bahkan bengkel kecil. Aku ingin kita tidak perlu khawatir tentang uang lagi,” kata Reno dengan mata berbinar.
Alena menatapnya dengan penuh kasih. “Aku percaya kamu bisa, Ren. Kamu selalu punya semangat untuk belajar dan bekerja keras. Kalau ada yang bisa mewujudkan itu, aku yakin itu kamu.”
Kata-kata dukungan dari Alena menjadi penyemangat bagi Reno. Ia merasa bahwa selama Alena ada di sisinya, ia bisa menghadapi apa pun.
Malam Kenangan
Salah satu malam yang tak terlupakan bagi mereka adalah ketika Reno membawa Alena ke bukit kecil di pinggir kota, tempat mereka biasa menikmati pemandangan lampu-lampu kota. Dengan selimut tipis yang mereka bawa, mereka duduk berdampingan di atas rumput, menikmati angin malam yang sejuk.
“Lihat itu, Lena. Lampu-lampu itu seperti mimpi-mimpi kita. Mereka kecil, tapi kalau menyala bersama, mereka bisa membuat pemandangan yang indah,” kata Reno sambil menunjuk ke arah kota.
Alena memandangi suaminya dengan mata yang penuh cinta. “Kamu selalu punya cara melihat hal-hal indah, Ren. Aku bersyukur punya kamu dalam hidupku.”
Mereka berbicara hingga larut malam, saling mengingatkan satu sama lain tentang mimpi-mimpi mereka dan bagaimana mereka akan mencapainya bersama. Malam itu bukan hanya sekadar malam romantis, tetapi juga pengingat bahwa cinta mereka adalah fondasi dari semua yang mereka bangun bersama.
Penghormatan Satu Sama Lain
Meski Reno sering kali merasa lelah sepulang kerja, ia selalu menyempatkan waktu untuk membantu Alena di rumah. Entah itu mencuci piring setelah makan malam atau memperbaiki peralatan rumah tangga yang rusak, Reno ingin memastikan bahwa Alena tidak merasa sendirian dalam menjalani tugas-tugas rumah tangga.
Di sisi lain, Alena selalu berusaha memberikan semangat kepada Reno di tengah tekanan kerjanya. Ia sering menyiapkan bekal spesial dengan catatan kecil berisi kata-kata penyemangat yang ia selipkan di dalam kotak makan siang Reno. Hal-hal kecil seperti itu membuat Reno merasa dihargai dan dicintai.
“Aku mungkin tidak bisa membelikanmu perhiasan mahal atau rumah besar, tapi aku bisa memberikan seluruh cintaku untukmu,” kata Reno suatu malam.
“Dan itu sudah lebih dari cukup, Ren. Aku tidak butuh apa-apa lagi selain kamu,” jawab Alena sambil memeluknya erat.
Sore itu, suasana rumah yang biasanya hangat terasa sedikit berbeda. Reno pulang kerja lebih awal dari biasanya, wajahnya tampak tegang. Alena yang sedang mempersiapkan makan malam langsung menyadari perubahan itu.“Ren, kamu kenapa? Kelihatan capek sekali hari ini,” tanya Alena lembut, meletakkan piring di meja.Reno menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku hanya sedang memikirkan banyak hal, Lena. Tentang pekerjaan, tentang kita... tentang keuangan keluarga kita.”Alena berhenti sejenak, menatap suaminya dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi? Apa yang membuatmu begitu khawatir?”Reno duduk di kursi dengan tubuh yang tampak lebih berat dari biasanya. “Gaji dari pabrik semakin tidak cukup untuk menutupi kebutuhan kita. Harga-harga terus naik, dan tabungan kita mulai menipis. Aku tidak tahu sampai kapan kita bisa bertahan seperti ini.”Alena berjalan mendekat dan duduk di sebelah Reno, menggenggam tangannya dengan lembut. “Kita sudah menghadapi banyak hal bersama, Ren. Ini buk
Pagi itu, Reno pulang lebih awal dari biasanya. Alena yang sedang membersihkan ruang tamu merasa heran ketika mendengar pintu depan terbuka sebelum waktunya. Ia menoleh ke arah Reno yang berdiri di ambang pintu dengan wajah kusut dan langkah gontai.“Ren, kenapa kamu pulang secepat ini? Apa kamu sakit?” tanya Alena, berjalan mendekat dengan nada cemas.Reno tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang dan duduk di sofa, mengusap wajahnya dengan tangan. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya berkata dengan suara rendah, “Pabrik tempatku kerja tutup, Lena. Mereka mengumumkannya pagi ini. Semua pekerja dirumahkan.”Berita itu membuat Alena terdiam. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Reno. “Tutup? Maksudnya... kita tidak punya pemasukan lagi?” tanyanya pelan, meski ia sudah tahu jawabannya.Reno mengangguk pelan, menundukkan kepala. “Aku sudah berusaha bertanya apakah ada kemungkinan kami dipindahkan ke cabang lain atau diberi kompensasi. Tapi jawabannya tidak
Setelah malam penuh harapan itu, Alena menyadari bahwa ia perlu melakukan lebih banyak untuk membantu keluarga mereka. Dengan Reno yang sibuk bekerja sebagai teknisi lepas, Alena memutuskan untuk mencari pekerjaan tambahan di luar rumah. Namun, tanpa pengalaman kerja yang memadai dan hanya berbekal ijazah SMA, perjalanan Alena untuk mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah.Pagi itu, Alena berpakaian rapi dengan blus sederhana dan rok panjang. Ia menggendong tas kecil yang berisi beberapa lembar fotokopi ijazah dan surat lamaran yang sudah ia tulis semalaman. Ia pergi dari satu toko ke toko lain di pusat kota, menanyakan apakah ada lowongan pekerjaan yang tersedia.Namun, jawaban yang ia terima hampir selalu sama. “Maaf, kami sudah penuh.” atau “Kami mencari seseorang dengan pengalaman minimal dua tahun.” Alena merasa kecewa, tetapi ia terus berjalan, mencoba lebih banyak tempat.Di sebuah kafe kecil, seorang manajer memberinya kesempatan untuk wawancara. Ia merasa lega, tetapi ketika dit
Hari-hari terus berlalu, tetapi beban yang dirasakan Reno semakin berat. Meskipun ia telah mendapatkan pekerjaan sebagai teknisi lepas, penghasilannya tidak cukup untuk menutupi kebutuhan rumah tangga mereka. Reno mulai merasa kehilangan kendali atas hidupnya. Ia adalah seorang suami, seorang pria yang seharusnya menjadi penopang keluarga, tetapi situasi sekarang membuatnya merasa gagal.Setiap kali ia pulang ke rumah dan melihat Alena yang sibuk dengan kerajinan tangannya, Reno tidak bisa menghindari rasa bersalah yang menghantui. Ia mulai membandingkan dirinya dengan suami-suami lain yang memiliki pekerjaan tetap dan mampu memberi istri mereka kehidupan yang lebih layak.“Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?” pikir Reno dalam hati.Pada suatu malam, Reno dan Alena duduk bersama di meja makan. Reno tampak gelisah, jarang mengangkat pandangan dari piringnya. Alena, yang mulai menyadari perubahan sikap suaminya, mencoba membuka pembicaraan.“Ren, apa yang kamu pikirkan? Akhir-akhir in
Pagi itu, Alena sedang duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Ia menatap layar ponselnya, membuka-buka media sosial untuk mencari inspirasi baru bagi kerajinan tangannya. Di sela-sela aktivitas tersebut, sebuah iklan lowongan pekerjaan menarik perhatiannya.“Perusahaan Adrian Global mencari teknisi dengan pengalaman di bidang permesinan. Gaji menarik, fasilitas lengkap.”Alena membaca deskripsi lowongan itu dengan seksama. Perusahaan Adrian Global adalah salah satu perusahaan besar yang terkenal di kota mereka. Mendapatkan pekerjaan di sana tentu akan menjadi langkah besar bagi Reno dan keluarga mereka.“Ini mungkin kesempatan yang kita cari,” gumam Alena dengan semangat baru.Tanpa membuang waktu, ia menyimpan detail iklan itu dan segera menunjukkan kepada Reno saat suaminya kembali dari pekerjaannya sebagai teknisi lepas.Ketika Reno tiba di rumah, wajahnya terlihat lelah. Namun, Alena tetap menyambutnya dengan senyuman. Ia tahu, meski Reno sedang dalam t
Sejak Reno menerima panggilan wawancara dari Adrian Global, harapan kecil mulai tumbuh di hati Alena. Namun, ia sadar bahwa hanya mengandalkan peluang Reno mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka yang terus menumpuk. Dengan segala keberanian, Alena memutuskan untuk ikut mencari pekerjaan di perusahaan yang sama.Suatu pagi, sambil menyeruput teh hangat, Alena membuka laptop dan menelusuri situs resmi Adrian Global. Ia membaca beberapa lowongan pekerjaan hingga matanya tertuju pada sebuah posisi: Asisten Administratif. Persyaratannya terlihat cukup sesuai dengan kemampuan Alena—minimal lulusan SMA, mampu bekerja secara terorganisir, dan memiliki keterampilan dasar dalam komputer.“Mungkin aku bisa mencoba ini,” pikirnya sambil mencatat detail lowongan tersebut.Namun, bayangan tentang kurangnya pengalaman kerja mulai menghantuinya. “Apa mereka akan mempertimbangkan seseorang seperti aku?” pikirnya lagi. Tetapi, mengingat Reno yang sudah melangkah lebih dulu dengan
Pagi itu, Alena sedang sibuk membuat kerajinan tangan di ruang tengah ketika ponselnya berdering. Ia segera meraihnya dan melihat nama pengirim yang tertera: Adrian Global Recruitment. Jantungnya berdegup kencang, tangan gemetar saat ia menggeser layar untuk menjawab panggilan tersebut.“Selamat pagi, Ibu Alena. Saya Rina dari Adrian Global. Kami ingin memberi tahu bahwa Anda diterima untuk posisi Asisten Administratif di perusahaan kami. Selamat!”Alena hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan air mata bahagia. “Terima kasih, Bu Rina. Terima kasih banyak atas kepercayaannya. Saya tidak akan mengecewakan,” jawabnya dengan suara bergetar.Setelah panggilan itu berakhir, ia berlari keluar rumah mencari Reno yang sedang memperbaiki motor tua mereka di halaman belakang. Dengan penuh antusias, ia mengabarkan berita baik itu.“Ren! Aku diterima kerja! Aku diterima!” serunya sambil memeluk Reno erat-erat.Reno tertawa lebar dan meme
Pagi itu, Alena berdiri di depan gedung pencakar langit Adrian Global, mengenakan setelan kerja sederhana dengan tas selempang kecil di pundaknya. Gedung itu menjulang tinggi, dinding kacanya memantulkan sinar matahari pagi yang menyilaukan. Untuk sesaat, Alena merasa kecil dibandingkan kemegahan yang ada di hadapannya.“Ini benar-benar di luar bayanganku,” gumamnya, sambil menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.Ketika memasuki gedung, Alena disambut oleh suasana profesional yang sangat berbeda dari apa yang pernah ia alami sebelumnya. Lantai marmer yang mengilap, lampu gantung modern, dan aroma kopi yang harum dari kafe kecil di sudut lobi membuat tempat itu terasa seperti dunia lain. Para karyawan berlalu-lalang dengan langkah cepat, mengenakan pakaian formal dan memegang gadget canggih.“Selamat pagi, Ibu Alena,” sapa seorang resepsionis dengan senyum ramah. “Ruangan Anda ada d
Dalam sebuah pertemuan bisnis, Adrian memberikan perhatian yang lebih pribadi pada Alena. Ia memastikan untuk memberi pengakuan atas kerja kerasnya, dan meskipun tidak mengungkapkan perasaan secara langsung, Alena merasa ada kehangatan dalam sikap Adrian. Ia sering kali merasakan perhatian yang lebih dari sekadar profesionalisme, dan itu membuatnya semakin terikat. "Apakah ini hanya perasaan simpati?" Alena bertanya pada dirinya sendiri. "Atau ada sesuatu yang lebih dalam?" Ia mulai merasa bingung tentang perasaannya yang berkembang lebih jauh dari sekadar rasa kasihan atau simpati.Ruang rapat di lantai 15 gedung Elysium Corp itu dipenuhi dengan eksekutif dari berbagai divisi. Suasana formal terasa kental dengan presentasi dan laporan yang silih berganti dipaparkan. Di tengah atmosfer profesional ini, Alena duduk di samping Adrian, sadar akan kehadirannya yang terasa begitu dekat."Selanjutnya, Ibu Alena akan mempresentasikan laporan keuangan kuartal ini," kata Direktur Utama, member
Alena merasa bahwa simpati yang tumbuh dalam dirinya mulai membuatnya semakin terikat pada Adrian. Setiap kali ia melihatnya, hatinya berdebar. Meskipun ia berusaha keras untuk tetap menjaga batas-batas profesional, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kedekatan mereka semakin kuat. Adrian, meskipun masih menjaga jarak emosionalnya, mulai lebih sering mendekati Alena, baik di kantor maupun dalam pertemuan pribadi. Setiap kali mereka berinteraksi, Alena merasakan semacam koneksi yang lebih dari sekadar hubungan atasan dan bawahan.Minggu-minggu berlalu sejak pembicaraan mereka di taman belakang kantor. Musim semi mulai berganti dengan kehangatan musim panas yang menyenangkan. Dedaunan hijau menaungi jalanan kota, menciptakan bayangan yang menyejukkan di tengah teriknya matahari. Alena mengamati perubahan ini dari balik jendela ruang kerjanya, seraya merenungkan perubahan dalam hidupnya sendiri."Sedang melamun?" Suara Adrian membuyarkan lamunannya.Alena berbalik, mendapati Adrian
Beberapa hari setelah percakapan mereka, Alena merasa gelisah. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terus memikirkan Adrian. Tentu saja, dia merasa kasihan pada Adrian, tetapi sekarang ada sesuatu yang lebih—sesuatu yang membuatnya merasa ingin melindungi pria itu, meskipun ia tahu bahwa hal itu bisa membawanya ke dalam hubungan yang rumit. Ia bahkan merasa cemas setiap kali Adrian datang untuk bekerja, khawatir akan perasaan yang semakin mendalam ini. "Apa aku bisa terus bekerja dengannya seperti ini?" tanyanya pada dirinya sendiri.Pagi itu, Alena sengaja datang lebih awal ke kantor. Ia berharap bisa menenangkan pikirannya sebelum bertemu Adrian. Kantor yang sunyi memberikannya kesempatan untuk berpikir jernih. Alena duduk di kursinya, menatap tumpukan dokumen yang belum selesai, tapi pikirannya melayang jauh.Sejak Adrian menceritakan tentang masa lalunya, ada sesuatu yang berubah dalam diri Alena. Bukan hanya rasa simpati, tapi juga kekaguman atas ketangguhan pria itu. Adrian te
Setelah pengakuan yang begitu emosional dari Adrian, Alena merasa hatinya dipenuhi dengan rasa simpati yang mendalam. Setiap kata yang diucapkan Adrian tentang masa kecilnya membuatnya semakin memahami kompleksitas pria itu. Di sisi lain, perasaan itu mulai membingungkan Alena. Ia merasa seperti sedang terjebak dalam hubungan yang tidak hanya profesional, tetapi juga emosional."Aku hanya ingin dia baik-baik saja," pikir Alena, merasa cemas setiap kali memikirkan luka yang ada dalam diri Adrian. Hal ini mulai mempengaruhi cara ia melihat hubungan mereka—sebuah simpati yang perlahan berkembang menjadi keterikatan yang lebih dalam.Keesokan paginya, Alena terbangun dengan pikiran yang masih berputar pada percakapan mereka semalam. Sinar matahari pagi menembus tirai tipis kamarnya, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di lantai kayu. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi hamparan sawah yang terlihat dari jendela kamarnya."Apa yang sedang kau lakukan, Alena?" bisiknya pada diri s
Adrian menarik napas panjang, dan dengan suara pelan ia berkata, "Aku tahu, mungkin aku terlihat dingin dan tak peduli. Tapi itu hanya caraku untuk bertahan. Aku takut jika aku memberikan hatiku sepenuhnya, aku akan terluka lagi."Alena tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara. "Adrian, aku tidak ingin memaksamu untuk membuka dirimu lebih dari yang kau siap. Tetapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku di sini, dan aku tidak akan pergi begitu saja."Ada keheningan sesaat sebelum Adrian menatapnya, mata mereka bertemu dengan penuh pengertian yang belum pernah ada sebelumnya.Keheningan itu terasa berat namun hangat, seperti selimut tebal di malam musim dingin. Kedua alam pikiran mereka saling menjelajahi tanpa kata-kata, mencoba memahami dan dimengerti. Cicada bernyanyi di kejauhan, memberikan melodi lembut yang mengiringi momen intim tersebut."Aku sudah lama tidak mendengar kata-kata seperti itu," ucap Adrian akhirnya, matanya masih terpaku pada Alena. Ada kilatan rasa takjub di sana,
"Aku merasa terjebak dalam pola itu. Cinta seolah menjadi sebuah jebakan bagi aku," lanjut Adrian. "Aku takut membuka hatiku, takut memberikan kepercayaan sepenuhnya. Aku tak ingin merasakan sakit yang sama lagi. Itu sebabnya aku memilih untuk menjaga jarak. Aku membangun dinding tebal di sekeliling hatiku, tidak memberi ruang untuk orang lain, bahkan untuk orang yang aku sayangi."Alena menatapnya dengan penuh empati. Ia bisa merasakan luka yang dalam di hati Adrian, dan meskipun ia belum sepenuhnya bisa mengerti, ia merasa semakin dekat dengan pria ini.Malam itu, di teras rumah kayu yang menghadap danau, kesunyian menyelimuti mereka. Langit berbintang menjadi saksi bisu pengakuan Adrian yang baru saja terucap. Alena masih diam, membiarkan kata-kata Adrian meresap dalam benaknya."Berapa lama kau hidup seperti ini?" tanya Alena lembut, suaranya nyaris berbisik.Adrian menghela napas panjang. Tatapannya menerawang jauh ke permukaan danau yang berkilauan ditimpa cahaya bulan. "Terlalu
Adrian menundukkan kepalanya, seolah-olah sedang memeriksa kembali kenangan yang telah lama terkubur. "Aku masih ingat bagaimana rasanya ketika ayahku menghukumku karena hal-hal yang tak pernah aku pahami. Aku selalu berusaha memenuhi ekspektasinya, tetapi tak pernah cukup. Di sisi lain, ibuku selalu menghindar dan akhirnya pergi. Saat mereka berpisah, aku merasa seolah-olah aku telah ditinggalkan dua kali lipat. Itulah yang membuatku percaya bahwa orang yang kucintai, pada akhirnya, akan pergi." Alena menggenggam tangannya erat-erat, berusaha memberikan kenyamanan meskipun kata-kata itu hampir tak tertahankan untuk didengar.Hujan di luar masih turun dengan deras, menciptakan simfoni lembut yang mengisi keheningan di antara mereka. Cahaya lilin yang bergoyang di meja mereka membuat bayangan Adrian menari di dinding, seolah-olah masa lalunya sedang mengelilinginya."Seperti apa dia?" tanya Alena lembut, memecah keheningan. "Ayahmu."Adrian menarik napas dalam-da
"Aku rasa aku belum menceritakan semuanya," kata Adrian sambil menatap kosong ke luar jendela restoran. "Cinta... itu adalah konsep yang sulit bagi aku. Aku selalu merasa tidak pantas untuk dicintai. Bukan hanya karena ayahku yang kasar atau ibu yang meninggalkanku. Tapi karena setiap orang yang kupercayai, selalu meninggalkanku."Alena merasa ada kedalaman dalam suara Adrian, yang jarang ia dengar sebelumnya. Ia tidak bisa tidak merasa terenyuh oleh keterbukaan Adrian, yang selama ini tampak begitu tegar dan penuh kontrol.Hujan mulai turun di luar, membuat jendela kaca besar itu dipenuhi aliran air yang semakin deras. Suasana restoran yang remang-remang, dengan cahaya lilin yang bergoyang pelan di meja mereka, menciptakan atmosfer intim yang tidak pernah mereka alami sebelumnya."Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya Alena lembut, jemarinya perlahan menyentuh tangan Adrian yang terkepal di atas meja.Adrian menarik napas dalam-dalam. Ada jeda panjang
Alena menunggu dengan sabar."Proyek baru yang kita tangani sekarang—proyek revitalisasi kawasan Kota Tua—ini adalah proyek yang sangat penting bagiku. Bukan hanya karena nilai kontraknya yang besar..." ia ragu sejenak sebelum melanjutkan, "...tapi karena ini adalah impian Elena yang tidak pernah terwujud.""Apa maksudmu?" tanya Alena, terkejut dengan pengungkapan ini."Elena selalu memiliki visi untuk menghidupkan kembali bagian kota yang terlupakan, membawa kembali kehidupan dan keindahan ke tempat-tempat yang telah kehilangan jiwanya." Adrian tersenyum kecil, terlihat tenggelam dalam kenangannya. "Kota Tua adalah salah satu tempat favoritnya di Jakarta. Dia selalu berkata bahwa di balik bangunan-bangunan tua yang melapuk itu, tersimpan jiwa dan cerita yang begitu kaya.""Itu sebabnya kau begitu terobsesi dengan detail-detail proyek ini," gumam Alena, kini memahami mengapa Adrian menghabiskan begitu banyak waktu untuk proyek tersebut.