ini adalah cerita asli yg aku buat sendiri karena aku penggemar dari cerita cerita zombie jadi aku memutuskan untuk membuat novel nya , harusnya buat komis tapi karena buat novel lebih mudah jadi di buat novel aja * dunia sudah hancur berantakan akibat wabah zombie ini ada seorang pria bernama ardlick yg bertahan hidup*
Lihat lebih banyakAldric, Marco, dan Rhea berlari keluar dari pintu belakang gudang. Udara dingin menerpa wajah mereka, tetapi mereka tidak bisa berhenti. Di belakang, suara langkah kaki bergema di dalam supermarket. Orang-orang itu sudah masuk. Rhea berbisik tajam, “Ikut aku!” Tanpa pikir panjang, Aldric dan Marco mengikutinya menelusuri gang sempit di belakang gedung. Aroma busuk dari mayat yang membusuk di dekat tempat sampah menyengat hidung mereka, tapi mereka tetap melangkah cepat. “Siapa mereka?” Aldric bertanya sambil berlari. “Kelompok pemburu. Mereka bukan penyintas biasa. Mereka memburu orang lain untuk bertahan hidup.” Marco menoleh dengan wajah ngeri. “Mereka… kanibal?” Rhea tidak menjawab, tetapi ekspresinya sudah cukup untuk memberi jawaban. Sial. Langkah kaki di belakang mereka semakin dekat. Suara-suara kasar terdengar jelas. “Di sana! Mereka lari ke gang belakang!”
Pagi datang dengan langit kelabu. Matahari hanya samar-samar menembus kabut tipis yang menyelimuti kota yang hancur. Aldric membuka matanya dan langsung siaga. Malam ini mereka selamat, tapi itu tidak berarti bahaya sudah berlalu. Di sudut ruangan, Lyra masih terjaga, menggenggam pistolnya erat. Marco tidur meringkuk di pojok dengan napas berat, sementara Finn menguap panjang saat bangun dari tidurnya yang tidak nyaman. “Sudah pagi?” Finn bergumam, mengusap matanya yang masih mengantuk. Aldric mengangguk. “Kita harus bergerak. Stok makanan kita habis. Kota ini luas, pasti ada sesuatu yang bisa kita temukan.” Lyra menghela napas, mengamati Marco yang masih terlelap. “Apa kita benar-benar bisa percaya dia?” Aldric menatap Marco sejenak. “Dia lemah, kelaparan, dan sendirian. Aku tidak melihat alasan dia berbohong.” Finn berdiri, meregangkan tubuhnya. “Kalau begitu, ayo kita mulai berburu. Aku tidak m
Angin malam bertiup pelan, membawa aroma debu dan kehancuran. Aldric, Lyra, dan Finn berdiri di tengah jalan yang dipenuhi reruntuhan. Lampu-lampu kota sudah lama padam, hanya ada sinar bulan yang menerangi sisa-sisa bangunan yang terbakar. “Kita di luar Haven,” gumam Lyra. Finn melirik ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. “Dan sekarang kita ke mana?” Aldric menghela napas. “Kita cari tempat untuk berlindung dulu. Kita butuh makanan, air, dan rencana.” Mereka berjalan perlahan menyusuri jalanan, melewati mobil-mobil yang terbengkalai. Beberapa bangkai manusia tergeletak di trotoar, sebagian besar sudah membusuk. “Ini seperti kota hantu,” Finn berbisik. Tiba-tiba, Lyra berhenti. Aldric melihat ekspresinya berubah tegang. “Ada apa?” Lyra menunjuk ke salah satu bangunan di depan mereka—sebuah minimarket tua dengan pintu kaca yang sudah pecah. “Aku dengar suar
Malam semakin larut, tetapi ketegangan di dalam Haven belum mereda. Aldric, Lyra, dan Finn berjalan dengan hati-hati di lorong belakang supermarket, mencoba menghindari patroli yang mungkin mencari mereka. Finn berbisik, “Oke, apa rencana kita sekarang? Kita sudah tahu Haven menyembunyikan sesuatu, tapi gimana caranya kita keluar dari sini tanpa mati?” Aldric berpikir sejenak. “Kita harus mencari jalan keluar. Kalau kita tetap di sini, mereka pasti akan menangkap kita cepat atau lambat.” Lyra mengangguk. “Ada gerbang di sisi timur, tapi selalu dijaga.” Finn menghela napas. “Tentu saja, mana ada tempat perlindungan tanpa penjagaan ketat?” Aldric menatap sekeliling. “Kalau begitu, kita harus cari jalan lain.” Mereka terus berjalan, melewati gudang dan ruangan penyimpanan yang gelap. Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Aldric langsung memberi isyarat agar mereka bersembunyi di bali
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Aldric, Lyra, dan Finn tidak bisa tidur dengan tenang. Pikiran mereka dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi di Haven? Apa yang mereka sembunyikan? Aldric berbaring dengan mata terbuka, menatap langit-langit ruangan. Ia yakin seseorang mengawasi mereka tadi. Finn, yang tidur di sebelahnya, berbisik, “Aku gak nyaman, bro. Serius. Tempat ini makin aneh.” Lyra ikut berbisik, “Aku juga merasa begitu. Ada sesuatu yang salah di sini.” Aldric duduk perlahan. “Kita harus mulai penyelidikan kita sekarang. Kalau kita tunda, bisa saja besok kita sudah tidak punya kesempatan lagi.” Finn mengangkat alis. “Maksudmu?” Aldric menatapnya serius. “Aku punya firasat buruk. Bisa saja mereka sedang menguji kita. Kalau mereka tahu kita curiga, kita bisa ‘dihilangkan’.” Finn menelan ludah. “Oke, sekarang aku makin takut.” L
Pagi itu, Aldric terbangun lebih awal dari biasanya. Langit di luar masih berwarna abu-abu, matahari bahkan belum sepenuhnya terbit. Dia duduk di kasur tipis yang mereka gunakan semalaman, memijat pelipisnya. Tidurnya tidak nyenyak. Bukan karena tempat ini tidak nyaman, tetapi karena pikirannya terus dipenuhi pertanyaan. Haven memang terlihat seperti tempat perlindungan yang ideal, tapi sesuatu terasa tidak beres. Aldric berdiri dan berjalan ke dekat ventilasi kecil di sudut kamar. Dari celah itu, dia bisa melihat ke area luar gedung supermarket. Beberapa orang sudah berkumpul. Mereka membawa kantong-kantong hitam besar, sama seperti yang dia lihat semalam. “Ini aneh…” gumamnya. Di belakangnya, Finn menggeliat dan membuka mata. “Kau bicara apa, Aldric?” Aldric tidak menjawab. Matanya masih tertuju pada orang-orang di luar sana. Finn duduk dan mengusap wajahnya. “Jangan bilang kau masih
Aldric, Finn, dan Lyra berdiri di hadapan Robert, pria tua yang memimpin tempat ini. Suasana hening sesaat sebelum Robert kembali berbicara. “Kalian boleh tinggal, tapi ada aturan yang harus kalian ikuti.” Aldric menyilangkan tangan di dadanya. “Aturan seperti apa?” Robert tersenyum kecil, lalu menoleh ke wanita berambut dikepang. “Tunjukkan mereka.” Wanita itu melangkah ke meja kayu di sudut ruangan, mengambil sebuah buku catatan lusuh, lalu menyerahkannya pada Aldric. Aldric membuka halaman pertama dan membaca tulisan yang tertera di sana: **Aturan Komunitas Haven** 1. Setiap orang harus bekerja. Tidak ada pengecualian. 2. Tidak ada pencurian, perkelahian, atau pengkhianatan. Hukuman adalah pengusiran. 3. Makanan dan persediaan dibagi rata sesuai kebutuhan, bukan keinginan. 4. Tidak ada keputusan individu yang membahayakan komunitas. 5. Jika ada ancaman dari luar, s
Aldric berdiri diam, tangannya perlahan terangkat. Finn dan Lyra melakukan hal yang sama. Pria bersenjata di atas gedung masih menodongkan senapannya ke arah mereka. Wajahnya tertutup syal hitam, hanya matanya yang terlihat tajam, penuh kewaspadaan. “Kalian siapa?” suara pria itu terdengar dalam dan tegas. Aldric menelan ludah. “Kami hanya lewat.” “Jangan bohong,” pria itu mempererat genggaman pada senjatanya. “Kalian jalan ke sini dengan sengaja. Kalian mau apa?” Lyra melirik Aldric, berharap ada solusi. Aldric tetap tenang. “Kami butuh tempat berlindung. Kami lihat ada cahaya di gedung ini. Kami pikir ada orang di sini.” Pria itu menatap mereka lama, lalu melirik ke belakang, seperti sedang memastikan sesuatu. “Kalian bawa senjata?” tanyanya. Aldric ragu. Mengatakan tidak mungkin akan membuat mereka terlihat lemah, tapi jika mengakuinya, pria ini mungkin akan men
Aldric berdiri di tepi atap, matanya mengamati kota yang sepi di bawah. Jalanan dipenuhi mobil-mobil terbengkalai, beberapa di antaranya masih menyisakan jejak darah yang sudah mengering. Di kejauhan, terdengar geraman samar. Zombie masih berkeliaran, mencari mangsa. Finn duduk bersandar di tembok, napasnya masih tersengal. “Kita nggak bisa terus kayak gini, Aldric. Kita harus cari tempat yang lebih aman.” Lyra mengangguk. “Aku setuju. Kita butuh makanan, air, dan tempat berlindung yang lebih layak.” Aldric menarik napas dalam. Mereka tidak bisa tinggal di sini selamanya. Dia menoleh ke kiri, dan matanya menangkap sesuatu yang menarik. Di kejauhan, ada sebuah gedung dengan lampu yang menyala. Jantungnya berdegup lebih cepat. “Lihat itu,” katanya, menunjuk ke arah gedung bercahaya itu. Finn menyipitkan mata. “Apa itu? Ada orang di sana?” Lyra juga ikut melihat. “Mungkin… atau mungkin itu jebakan.” Aldric mengerti kekhawatiran Lyra. Di dunia seperti ini, manusia
Langit mendung, seolah tahu bahwa dunia sudah tidak sama lagi. Jalanan kosong, tak ada suara klakson, tak ada suara orang-orang mengobrol, hanya angin yang berbisik di antara bangunan yang mulai ditinggalkan. Aldric berjalan perlahan di tengah kota yang sekarang lebih mirip kuburan raksasa. Mobil-mobil terbengkalai di jalanan, sebagian masih menyisakan bekas darah yang sudah mengering. Mayat-mayat tergeletak di trotoar, sebagian hancur, sebagian lagi masih utuh, seakan tertidur selamanya. Dulu, dia tidak pernah membayangkan hidup di dunia seperti ini. Dunia tempat manusia lebih takut pada sesamanya daripada pada kematian itu sendiri. Ia merapatkan jaketnya dan meraih pisau berburu yang terselip di ikat pinggangnya. Setiap langkahnya harus hati-hati. Salah sedikit, nyawanya bisa melayang. Tiba-tiba, ada suara dari belakang sebuah mobil yang terguling. *"Kraak... kraak..."* ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen