Beranda / Thriller / THE DEAD WALK / Orang asing di tengah kematian

Share

Orang asing di tengah kematian

Penulis: Agung Nugraha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-04 09:12:54

Perempuan itu masih berdiri di tempatnya, matanya menatap Aldric penuh kewaspadaan. Tangannya tetap menggenggam erat besi panjang yang bisa saja ia gunakan untuk menyerang.

Aldric paham. Di dunia yang sudah hancur seperti ini, tidak ada yang bisa langsung percaya pada orang asing.

"Aku Aldric," ucapnya, berusaha membuat nada suaranya tetap tenang.

Perempuan itu tidak segera merespons. Napasnya masih berat, seakan menahan diri untuk tidak langsung melarikan diri atau menyerangnya.

"Kalau kamu mau membunuhku, kamu pasti sudah melakukannya," katanya akhirnya.

Aldric mengangguk. "Aku cuma cari tempat berlindung. Bukan musuhmu."

Perempuan itu mengendurkan sedikit genggamannya pada besi di tangannya, tapi masih tetap berjaga-jaga. "Namaku Lyra," katanya lirih.

Aldric mengamati Lyra lebih jelas sekarang. Bajunya kotor dan robek di beberapa bagian. Ada bekas luka di lengannya, tapi tampaknya bukan gigitan zombie. Rambutnya berantakan, dan matanya penuh kelelahan—seperti seseorang yang sudah lama tidak tidur dengan tenang.

"Kamu sendirian?" tanya Aldric.

Lyra menelan ludah, lalu mengangguk pelan. "Mereka semua sudah mati..." suaranya hampir tak terdengar.

Aldric diam. Dia tidak bertanya lebih jauh. Dia tahu bagaimana rasanya kehilangan orang-orang. Di dunia sekarang, semua orang pasti sudah kehilangan sesuatu—atau seseorang.

Dari luar toko, terdengar suara langkah kaki terseret.

Aldric langsung menoleh ke arah jendela yang sudah pecah. Dari balik kaca yang retak, dua zombie yang tadi dia lihat di jalanan mulai mendekat ke toko.

"Sial," gumamnya.

Lyra juga melihatnya. Dia mundur selangkah, wajahnya tegang. "Mereka pasti mendengar suara kita..."

Aldric merapat ke tembok, mengintip ke luar. Jumlah mereka bertambah. Dari dua, sekarang ada lima.

"Mereka akan masuk kalau kita tidak segera pergi," kata Aldric.

Lyra menggigit bibirnya. "Aku tahu jalan keluar belakang."

Tanpa menunggu lebih lama, mereka berdua bergerak ke belakang toko. Langkah mereka ringan, berusaha tidak membuat suara. Tapi sebelum mereka sampai ke pintu belakang, terdengar suara kaca yang pecah.

Zombie-zombie itu masuk.

Lyra menahan napas. Aldric meliriknya, memberi isyarat agar tetap diam.

Tapi kemudian, sesuatu jatuh dari rak di dekat mereka.

*"Brak!"*

Zombi-zombi itu langsung menoleh ke arah suara.

Mereka ketahuan.

Aldric langsung menarik tangan Lyra. "Lari!" bisiknya tegas.

Mereka berdua melesat ke arah pintu belakang. Di belakang mereka, suara langkah terseret semakin dekat. Geraman zombie memenuhi ruangan yang tadinya sepi.

Pintu belakang sudah di depan mata. Aldric meraih gagangnya dan mendorong sekuat tenaga.

Terkunci.

"Sial!" desisnya.

Lyra bergegas merogoh saku celananya. "Aku punya kuncinya!" Tangannya gemetar saat mencoba memasukkan kunci ke lubangnya.

Zombie pertama hampir sampai. Aldric tidak punya pilihan. Dia berbalik, mengangkat pisaunya.

Makhluk itu melangkah ke arahnya, mata kosongnya menatap Aldric seperti melihat makanan segar. Bajunya robek, darah kering menempel di seluruh tubuhnya.

Tanpa ragu, Aldric menusukkan pisaunya ke kepala makhluk itu. Ujung pisaunya menembus tengkorak, dan zombie itu langsung tumbang ke lantai dengan suara gedebuk keras.

Tapi itu baru satu. Yang lain masih datang.

"Ayo cepat!" teriak Lyra.

Klik!

Pintu terbuka.

Mereka langsung berlari keluar. Udara segar langsung menyambut mereka, meski bercampur dengan bau busuk dari mayat yang membusuk di sekitar gang belakang.

Lyra segera mengunci pintu kembali dari luar. "Setidaknya mereka tidak akan bisa mengejar kita untuk sementara waktu," katanya, masih terengah-engah.

Aldric mengamati sekeliling. Gang ini sempit, diapit dua gedung tua yang dindingnya sudah penuh lumut. Tempat ini aman—untuk sekarang.

Lyra bersandar ke tembok, berusaha menenangkan napasnya. "Terima kasih..." katanya lirih.

Aldric menghela napas. "Sama-sama. Jadi, ke mana tujuanmu?"

Lyra mengangkat bahu. "Aku hanya mencoba bertahan hidup."

Aldric mengangguk pelan. Di dunia sekarang, itu adalah satu-satunya tujuan semua orang.

"Aku punya tempat perlindungan. Tidak besar, tapi aman," kata Aldric.

Lyra menatapnya ragu. "Kenapa kamu menawarkanku tempat itu?"

Aldric mengangkat bahu. "Karena aku juga butuh seseorang untuk berjaga kalau aku tertidur."

Lyra tersenyum tipis. Itu mungkin bukan alasan sebenarnya, tapi dia menghargainya.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Ayo kita pergi dari sini sebelum lebih banyak yang datang."

Aldric mengangguk. Bersama, mereka mulai berjalan menyusuri dunia yang sudah mati—berusaha mencari cara untuk tetap hidup.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • THE DEAD WALK   Tempat persembunyian

    Langit semakin gelap ketika Aldric dan Lyra menyusuri jalan-jalan yang sepi. Kota yang dulu ramai kini hanya berisi bangunan hancur, kendaraan terbengkalai, dan mayat-mayat yang membusuk di pinggir jalan. Mereka berjalan dengan hati-hati, menghindari zombie yang berkeliaran di kejauhan. "Tempatmu jauh?" tanya Lyra, suaranya pelan. Aldric menggeleng. "Tidak terlalu. Hanya perlu melewati dua blok lagi." Lyra mengangguk. Dia terus berjalan di samping Aldric, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Tiba-tiba, mereka mendengar suara aneh dari sebuah gang kecil di sebelah kanan. *"Grrhh..."* Lyra langsung meraih besi yang tadi ia gunakan sebagai senjata. Aldric juga bersiap dengan pisaunya. Dari dalam gang, muncul seorang pria. Bajunya compang-camping, wajahnya penuh luka. Bukan zombie. Pria itu masih hidup. "Tolong..." suaranya serak. "Jangan... bunuh aku..." Aldric menatapnya tajam. "Kau sendirian?" Pria itu m

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • THE DEAD WALK   kota yg mati

    Fajar baru saja menyingsing ketika Aldric membuka matanya. Udara di dalam tempat persembunyian terasa dingin, tapi itu lebih baik daripada di luar yang penuh bahaya. Di sudut ruangan, Lyra masih tertidur, sesekali menggerakkan tubuhnya dalam tidurnya yang gelisah. Finn juga masih terlelap di atas karpet usang. Aldric bangkit perlahan, meraih pisaunya, lalu berjalan ke jendela kecil yang tertutup papan kayu. Dia mengintip sedikit. Jalanan masih kosong, hanya ada mayat-mayat membusuk dan beberapa zombie yang berjalan tanpa arah. Dunia ini benar-benar sudah mati. Dia menghela napas. Persediaan makanan mereka cukup untuk beberapa hari ke depan, tapi air semakin menipis. Mereka harus keluar dan mencari suplai. Beberapa menit kemudian, Finn terbangun, diikuti oleh Lyra yang menguap panjang. "Apa rencananya hari ini?" tanya Lyra sambil merenggangkan tubuhnya. Aldric menoleh. "Kita butuh air. Aku tahu tempat yang mungkin masih punya persediaan." "Di mana?" tanya Finn, masih te

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-07
  • THE DEAD WALK   Dunia tanpa hukum

    Aldric, Lyra, dan Finn berjalan cepat melewati gang-gang sempit dengan napas memburu. Mereka berhasil keluar dari toko sebelum keadaan semakin buruk, tapi itu tidak berarti mereka sudah aman. Jalanan di sekitar mereka sunyi, hanya ada bangunan kosong dan kendaraan yang ditinggalkan. Namun, keheningan itu justru lebih menakutkan daripada suara zombie. "Ayo percepat langkah," kata Aldric. Finn menyesuaikan tas di punggungnya. "Menurutmu, berapa lama tempat persembunyian kita bisa tetap aman?" Aldric tidak langsung menjawab. Dia tahu bahwa tempat mereka sekarang bukan benteng yang tak bisa ditembus. Jika jumlah zombie terus bertambah, atau jika ada orang lain menemukannya, mereka harus pergi lagi. "Kita bertahan selama mungkin," jawabnya singkat. Saat mereka berbelok di sebuah tikungan, Lyra tiba-tiba mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. "Ada apa?" tanya Finn. Lyra menunjuk ke depan. "Lihat itu." Mereka bertiga menoleh. Di ujung jalan, ada beberapa so

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-08
  • THE DEAD WALK   Malam yg mencekam

    Langit mulai gelap saat Aldric, Lyra, dan Finn kembali ke tempat persembunyian mereka. Gudang tua yang selama ini mereka gunakan masih sunyi, tapi ada perasaan tidak nyaman yang merayapi pikiran Aldric. Dia tidak percaya dunia ini memberi mereka keberuntungan dua kali. “Kita harus cepat mengemas barang-barang,” kata Aldric sambil menutup pintu gudang dengan hati-hati. Finn langsung menuju ke tumpukan persediaan mereka di sudut ruangan. “Apa kita benar-benar harus pergi? Tempat ini sudah cukup aman.” “Untuk saat ini, iya,” kata Lyra sambil mengemasi barang-barangnya. “Tapi setelah pertemuan tadi, kita tak bisa ambil risiko.” Aldric berjalan ke arah jendela dan mengintip keluar. Jalanan kosong, tapi kegelapan mulai menyelimuti kota. “Kalau kita pergi sekarang, kita harus mencari tempat lain sebelum fajar,” katanya. Finn menghela napas dan mengangkat ranselnya. “Baiklah, aku ikut saja. Tapi aku harap tempat selanjutnya punya kasur yang lebih empuk.” Aldric tersenyum tip

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-09
  • THE DEAD WALK   Kota yg mati

    Udara malam terasa dingin saat Aldric, Lyra, dan Finn berjalan melewati jalanan kota yang hancur. Lampu-lampu jalanan sudah lama mati, gedung-gedung berdiri seperti kuburan raksasa yang ditinggalkan manusia. Finn menggigil dan memeluk dirinya sendiri. “Aku benci malam. Terasa seperti ada sesuatu yang mengintai di setiap sudut.” Lyra tetap waspada, matanya meneliti setiap bayangan. “Karena memang ada sesuatu yang mengintai.” Aldric berjalan di depan, menggenggam pisaunya erat. Instingnya mengatakan mereka belum sepenuhnya aman. Mereka harus menemukan tempat berlindung sebelum fajar. Tiba-tiba, suara geraman rendah terdengar dari kejauhan. Mereka bertiga berhenti. Finn menelan ludah. “Itu…” Aldric mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam. Dari kegelapan, sosok-sosok bergerak lambat. Zombie. Banyak. Mereka berjalan terseok-seok, mata kosong mereka bersinar samar di bawah cahaya bulan. Finn berbisik, “Sial… kita harus putar balik?” Aldric melihat seke

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-10
  • THE DEAD WALK   cahaya di tengah kegelapan

    Aldric berdiri di tepi atap, matanya mengamati kota yang sepi di bawah. Jalanan dipenuhi mobil-mobil terbengkalai, beberapa di antaranya masih menyisakan jejak darah yang sudah mengering. Di kejauhan, terdengar geraman samar. Zombie masih berkeliaran, mencari mangsa. Finn duduk bersandar di tembok, napasnya masih tersengal. “Kita nggak bisa terus kayak gini, Aldric. Kita harus cari tempat yang lebih aman.” Lyra mengangguk. “Aku setuju. Kita butuh makanan, air, dan tempat berlindung yang lebih layak.” Aldric menarik napas dalam. Mereka tidak bisa tinggal di sini selamanya. Dia menoleh ke kiri, dan matanya menangkap sesuatu yang menarik. Di kejauhan, ada sebuah gedung dengan lampu yang menyala. Jantungnya berdegup lebih cepat. “Lihat itu,” katanya, menunjuk ke arah gedung bercahaya itu. Finn menyipitkan mata. “Apa itu? Ada orang di sana?” Lyra juga ikut melihat. “Mungkin… atau mungkin itu jebakan.” Aldric mengerti kekhawatiran Lyra. Di dunia seperti ini, manusia

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • THE DEAD WALK   Wilayah yg di jaga

    Aldric berdiri diam, tangannya perlahan terangkat. Finn dan Lyra melakukan hal yang sama. Pria bersenjata di atas gedung masih menodongkan senapannya ke arah mereka. Wajahnya tertutup syal hitam, hanya matanya yang terlihat tajam, penuh kewaspadaan. “Kalian siapa?” suara pria itu terdengar dalam dan tegas. Aldric menelan ludah. “Kami hanya lewat.” “Jangan bohong,” pria itu mempererat genggaman pada senjatanya. “Kalian jalan ke sini dengan sengaja. Kalian mau apa?” Lyra melirik Aldric, berharap ada solusi. Aldric tetap tenang. “Kami butuh tempat berlindung. Kami lihat ada cahaya di gedung ini. Kami pikir ada orang di sini.” Pria itu menatap mereka lama, lalu melirik ke belakang, seperti sedang memastikan sesuatu. “Kalian bawa senjata?” tanyanya. Aldric ragu. Mengatakan tidak mungkin akan membuat mereka terlihat lemah, tapi jika mengakuinya, pria ini mungkin akan men

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12
  • THE DEAD WALK   Peraturan yg berlaku

    Aldric, Finn, dan Lyra berdiri di hadapan Robert, pria tua yang memimpin tempat ini. Suasana hening sesaat sebelum Robert kembali berbicara. “Kalian boleh tinggal, tapi ada aturan yang harus kalian ikuti.” Aldric menyilangkan tangan di dadanya. “Aturan seperti apa?” Robert tersenyum kecil, lalu menoleh ke wanita berambut dikepang. “Tunjukkan mereka.” Wanita itu melangkah ke meja kayu di sudut ruangan, mengambil sebuah buku catatan lusuh, lalu menyerahkannya pada Aldric. Aldric membuka halaman pertama dan membaca tulisan yang tertera di sana: **Aturan Komunitas Haven** 1. Setiap orang harus bekerja. Tidak ada pengecualian. 2. Tidak ada pencurian, perkelahian, atau pengkhianatan. Hukuman adalah pengusiran. 3. Makanan dan persediaan dibagi rata sesuai kebutuhan, bukan keinginan. 4. Tidak ada keputusan individu yang membahayakan komunitas. 5. Jika ada ancaman dari luar, s

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13

Bab terbaru

  • THE DEAD WALK   kelahiran ancaman baru

    Pagi itu, langit tampak lebih terang dari biasanya. Matahari seakan berusaha menyapa bumi yang perlahan mulai bernapas kembali. Di Horizon Camp, suara alat-alat berat dan tawa anak-anak kecil mulai mengisi udara yang dulu hanya diisi oleh teriakan ketakutan.Kaela duduk di depan tenda sambil mencatat nama-nama pendatang baru. Wajah-wajah baru mulai berdatangan dari berbagai arah. Beberapa datang dengan luka, beberapa dengan keluarga yang sudah tak lengkap, tapi semuanya membawa harapan.“Elio, kita butuh lebih banyak tenaga medis,” kata Kaela sambil menyerahkan daftar ke Elio yang baru saja datang dari pos depan.“Aku tahu. Tapi kalau kita tarik orang dari garis depan, siapa yang jaga perimeter?”Kaela terdiam. Dunia pasca-apokalips masih menyimpan banyak ancaman. Zombie memang sudah mulai terkontrol, tapi itu bukan akhir dari segalanya.Belum sempat mereka lanjutkan percakapan, suara alarm panjang menggema dari menara pengawas.“Ancaman mendekat dari barat! Kendaraan tak dikenal mend

  • THE DEAD WALK   Hari setelah neraka

    Langit pagi itu seperti lembaran kain kelabu—lelah, dingin, dan hampa. Setelah bertahun-tahun hidup dalam kegelapan peperangan dan kejar-kejaran dengan kematian, dunia terasa... sunyi. Bukan damai, hanya sunyi. Dan itu lebih menakutkan daripada ledakan bom.Kaela duduk di tepi reruntuhan markas pusat. Tangannya masih gemetar, bukan karena takut, tapi karena beban. Ia memandangi puing-puing menara Null yang kini jadi abu. Elio duduk di sampingnya, mencoba mengikat kembali perban di lengan kirinya yang robek.“Rasanya aneh,” kata Elio lirih. “Kita masih hidup.”Kaela mengangguk pelan. “Iya. Tapi berapa lama lagi dunia bisa tetap begini?”Tidak ada jawaban. Di kejauhan, anak-anak bermain di antara puing-puing seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka tertawa, berlarian, mencoba meniru suara laser atau tiruan zombie. Dunia memang cepat lupa... atau mungkin berusaha melupakan.Vian datang membawa dua cangkir kopi hangat. Satu dia lempar ke

  • THE DEAD WALK   Di balik api dan baja

    Cahaya dari ledakan membuat bayangan mereka menari di antara reruntuhan. Pasukan kecil Kaela langsung bergerak dalam formasi menyebar. Di tengah hujan api dan suara derit logam yang melengking, mereka tidak lagi melawan makhluk-makhluk mengerikan dari laboratorium, tapi musuh yang lebih dingin, lebih presisi—**cyborg** hasil rekayasa Null.“Jangan sampai mereka mendekat ke tongkat!” Kaela berteriak, menebas satu cyborg dengan parang berujung arus listrik buatan Jonas.Ledakan granat asap mengaburkan pandangan, dan di sela-sela kepulan abu, Elio melompat dari puing ke puing, menembakkan peluru berlapis EMP ke arah kepala-kepala logam itu. “Mereka bisa mati, cuma lebih susah dibikin nyesel!”“Rhea, temukan jalur masuk ke menara!” teriak Kaela sambil menangkis serangan pisau plasma yang hampir menebas lehernya.“Aku butuh waktu tiga menit!” jawab Rhea sambil menekan tombol perangkat di pergelangan tangannya.“Lu punya dua!”Sementara itu, Vian memimpin dua orang lainnya ke sisi barat men

  • THE DEAD WALK   MEREKA DATANG

    Angin pagi membawa kabut tipis ke sekitar kamp yang baru mereka rebut. Para mantan tahanan mulai membersihkan area, membakar baju-baju dan simbol milik ‘Pemurni’. Meski tubuh mereka kelelahan, mata-mata itu menyimpan cahaya baru—cahaya harapan.Di tengah-tengah kesibukan itu, Kaela duduk bersila di dekat api unggun kecil, menggenggam sisa-sisa peta yang sudah lusuh. Di sebelahnya, Vian mengunyah kacang kering dan menatap langit."Berapa hari lagi ke Zona Omega?" tanya Vian, pelan.Kaela menarik napas dalam. "Tiga hari jalan kaki. Tapi itu kalau nggak ada gangguan. Gue yakin mereka bakal ngejar.""Pemurni?"Kaela menggeleng. "Yang lebih bahaya."Mata Vian menyipit. "Kayak... zombie yang bisa lari?""Enggak. Ini lebih gila. Mereka manusia. Tapi... nggak sepenuhnya."Sebelum Vian sempat bertanya lagi, suara langkah cepat menghampiri mereka. Jonas, napasnya memburu, matanya panik."Ada yang datang dari hutan utara. Elara lihat pergerakan. Gak banyak. Tapi cepat dan senyap."Vian langsung

  • THE DEAD WALK   manusia yg mengintai

    Angin malam menyelinap masuk melalui celah-celah dinding beton tua, membawa aroma lembab dan besi karat. Ruangan tempat mereka berlindung tak lebih besar dari garasi kecil, penuh dengan kabel-kabel tua dan panel kendali yang mati. Tapi untuk malam itu, tempat itu adalah surga.Elio menempelkan telinganya ke dinding. Ia mendengar suara samar—seperti langkah kaki, tapi terlalu ringan untuk zombie.Kaela menatapnya, paham tanpa perlu kata. Ia mengangkat telunjuk, memberi isyarat agar yang lain tetap diam.Tak lama kemudian, terdengar ketukan. Bukan ketukan zombie. Ketukan tiga kali, jeda, lalu dua ketukan cepat. Seperti kode.“Siapa itu?” Kaela mendekat ke pintu besi, bicara setenang mungkin.“Teman,” jawab suara laki-laki dari balik pintu. “Nama gue Vian. Sendirian. Gak bersenjata.”Semua saling berpandangan. Elara mengangguk pelan. Kaela membuka pintu dengan hati-hati, mengarahkan senjata kecil ke celahnya.Seorang pria dengan rambut awut-awutan dan pakaian yang kotor berdiri di sana.

  • THE DEAD WALK   jalan gelap menuju cahaya

    Air menetes dari langit-langit terowongan. Bau lembap dan logam karatan memenuhi udara. Kaela memimpin di depan, menyorotkan senter kecil yang remang, menyusuri jalan sempit yang dulunya saluran air bersih.Di belakangnya, Rhea terus menoleh ke belakang. Gemuruh langkah kaki masih terdengar samar. “Mereka ngejar... Mereka terus ngejar.”“Fokus,” kata Jonas, mencoba menjaga suara tetap rendah. “Kita harus cari pintu keluar sebelum mereka sempat ngepung kita di sini.”“Terowongan ini ada tiga percabangan,” bisik Rhea sambil melihat layar peta dari perangkat digitalnya yang mulai berkedip karena baterai lemah. “Kita ambil yang tengah, kemungkinan besar tembus ke sungai kota.”“Dan kalau salah?” Elio bertanya sambil memegang erat tas peralatan di punggungnya.Kaela menoleh, wajahnya tegas. “Berarti kita semua mati.”Mereka terus berjalan. Air makin dalam. Suara di belakang semakin dekat. Elara meraih pelatuk senjatanya, berjaga.Langkah mereka terhenti saat mendapati pintu besi besar deng

  • THE DEAD WALK   Markas yg terlambat di selamatkan

    Pagi di luar sana tidak lagi berarti sinar matahari yang hangat. Di dunia yang telah dilahap kehancuran, pagi hanyalah tanda waktu yang terus berjalan, membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.Mereka tiba di markas cadangan: sebuah bunker militer tua di bawah reruntuhan kota Althea. Dindingnya dari baja tebal, beberapa lorong masih aktif dengan lampu darurat yang berkedip pelan. Semuanya tampak… terlalu tenang.“Gue nggak suka suasananya,” gumam Jonas, tangan tak pernah jauh dari senjatanya.Kaela mengetik kode pada panel keamanan. Pintu terbuka, memperlihatkan koridor dalam bunker yang panjang dan remang. Mereka masuk satu per satu, langkah pelan, hati-hati, suara sepatu menggema.“Menurut data lama, markas ini seharusnya masih steril. Belum ada catatan kontaminasi,” ujar Rhea, menatap peta digital di tangannya.“Seharusnya,” ulang Elio lirih. “Tapi kita udah tahu, ‘seharusnya’ sering nggak berlaku lagi sekarang.”Merek

  • THE DEAD WALK   Mutasi kedua

    Langit pagi di luar reruntuhan kota gelap seperti menjelang badai, padahal belum genap pukul delapan. Awan menggulung pekat, seperti menyimpan sesuatu yang lebih mengerikan daripada sekadar hujan.Elara menatap ke belakang. Asap dari laboratorium tua masih menjulang tinggi, tapi tak ada lagi ledakan, tak ada lagi cahaya.“Dia benar-benar mengorbankan diri,” gumamnya pelan.Jonas, dengan chip Alpha-3 kini disimpan dalam tabung khusus di ranselnya, mengangguk sambil mengecek senjatanya. “Dan dia percaya sama kita. Jadi kita gak boleh nyia-nyiain itu.”Mereka tak bisa kembali ke markas lama—jalanannya tertutup reruntuhan dan zombie mulai bermunculan dari bawah tanah. Mereka menuju timur, ke satu-satunya tempat yang mungkin bisa membaca data di chip: *Stasiun Eden-9.*Kaela mempercepat langkahnya. “Kalau mutasi kedua itu beneran muncul... kita harus buru-buru. Virus tipe pertama aja udah kayak neraka. Gimana yang kedua?”“Mutasi yang

  • THE DEAD WALK   Rahasia hidup

    Langkah kaki mereka bergema di lorong bawah tanah yang berliku dan gelap. Hanya lampu dari senter kecil dan pantulan cahaya dari lensa kacamata milik tim LUX yang jadi satu-satunya penerang.Elara terus berjalan di samping perempuan berambut merah itu—yang akhirnya memperkenalkan dirinya sebagai Kaela, mantan ahli biokimia dari LUX Corporation sebelum dunia runtuh."Aku tahu nama LUX udah kayak mitos sekarang," kata Kaela. "Tapi dulu, kami bukan hanya korporasi. Kami yang memetakan ulang DNA manusia... dan virus.""Jadi kalian yang nyiptain virus ini?" Dima memotong tajam.Kaela menatap ke depan. "Tidak. Kami yang menemukan... dan berusaha menghancurkannya. Tapi orang-orang di atas kami—para elite—mereka punya rencana lain."Jonas mencibir. "Rencana yang bikin dunia kayak neraka gini?"Kaela menoleh pelan. "Bukan cuma dunia. Mereka ingin menciptakan spesies baru. Manusia 2.0. Tapi gagal total."Langit-langit lorong berge

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status