Chapter: Markas yg terlambat di selamatkanPagi di luar sana tidak lagi berarti sinar matahari yang hangat. Di dunia yang telah dilahap kehancuran, pagi hanyalah tanda waktu yang terus berjalan, membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.Mereka tiba di markas cadangan: sebuah bunker militer tua di bawah reruntuhan kota Althea. Dindingnya dari baja tebal, beberapa lorong masih aktif dengan lampu darurat yang berkedip pelan. Semuanya tampak… terlalu tenang.“Gue nggak suka suasananya,” gumam Jonas, tangan tak pernah jauh dari senjatanya.Kaela mengetik kode pada panel keamanan. Pintu terbuka, memperlihatkan koridor dalam bunker yang panjang dan remang. Mereka masuk satu per satu, langkah pelan, hati-hati, suara sepatu menggema.“Menurut data lama, markas ini seharusnya masih steril. Belum ada catatan kontaminasi,” ujar Rhea, menatap peta digital di tangannya.“Seharusnya,” ulang Elio lirih. “Tapi kita udah tahu, ‘seharusnya’ sering nggak berlaku lagi sekarang.”Merek
Dernière mise à jour: 2025-04-19
Chapter: Mutasi keduaLangit pagi di luar reruntuhan kota gelap seperti menjelang badai, padahal belum genap pukul delapan. Awan menggulung pekat, seperti menyimpan sesuatu yang lebih mengerikan daripada sekadar hujan.Elara menatap ke belakang. Asap dari laboratorium tua masih menjulang tinggi, tapi tak ada lagi ledakan, tak ada lagi cahaya.“Dia benar-benar mengorbankan diri,” gumamnya pelan.Jonas, dengan chip Alpha-3 kini disimpan dalam tabung khusus di ranselnya, mengangguk sambil mengecek senjatanya. “Dan dia percaya sama kita. Jadi kita gak boleh nyia-nyiain itu.”Mereka tak bisa kembali ke markas lama—jalanannya tertutup reruntuhan dan zombie mulai bermunculan dari bawah tanah. Mereka menuju timur, ke satu-satunya tempat yang mungkin bisa membaca data di chip: *Stasiun Eden-9.*Kaela mempercepat langkahnya. “Kalau mutasi kedua itu beneran muncul... kita harus buru-buru. Virus tipe pertama aja udah kayak neraka. Gimana yang kedua?”“Mutasi yang
Dernière mise à jour: 2025-04-18
Chapter: Rahasia hidupLangkah kaki mereka bergema di lorong bawah tanah yang berliku dan gelap. Hanya lampu dari senter kecil dan pantulan cahaya dari lensa kacamata milik tim LUX yang jadi satu-satunya penerang.Elara terus berjalan di samping perempuan berambut merah itu—yang akhirnya memperkenalkan dirinya sebagai Kaela, mantan ahli biokimia dari LUX Corporation sebelum dunia runtuh."Aku tahu nama LUX udah kayak mitos sekarang," kata Kaela. "Tapi dulu, kami bukan hanya korporasi. Kami yang memetakan ulang DNA manusia... dan virus.""Jadi kalian yang nyiptain virus ini?" Dima memotong tajam.Kaela menatap ke depan. "Tidak. Kami yang menemukan... dan berusaha menghancurkannya. Tapi orang-orang di atas kami—para elite—mereka punya rencana lain."Jonas mencibir. "Rencana yang bikin dunia kayak neraka gini?"Kaela menoleh pelan. "Bukan cuma dunia. Mereka ingin menciptakan spesies baru. Manusia 2.0. Tapi gagal total."Langit-langit lorong berge
Dernière mise à jour: 2025-04-17
Chapter: Evolusi gelapMalam itu seperti mimpi buruk yang hidup. Elara menginjak pedal gas sekuat tenaga, membuat mobil melaju kencang menabrak apapun yang menghalangi. Sosok-sosok aneh berlarian di sekitar mereka—bukan zombie biasa, lebih gesit, lebih lincah… dan lebih pintar.“Gue nggak ngerti,” kata Jonas sambil menarik napas terengah-engah, matanya menatap ke luar jendela. “Sejak kapan zombie bisa kayak gitu? Kayak… nunggu, ngintai, terus nyerbu bareng-bareng?”“Mereka bukan zombie biasa,” gumam Elio pelan, wajahnya masih pucat. “Itu… mutasi. Mereka berevolusi.”“Evolusi?” tanya Rhea.“Elio benar,” timpal Elara. “Sistem tubuh mereka pasti berubah karena paparan virus bertahun-tahun. Apalagi di atas sini, terkena sinar matahari, udara bebas, dan mungkin... bahan-bahan kimia yang nggak kita tahu. Mereka adaptasi. Mungkin ini tahap berikutnya dari infeksi.”Mobil berhenti setelah mereka merasa cukup jauh dari tempat itu. Mereka parkir di terowongan jalan tol y
Dernière mise à jour: 2025-04-16
Chapter: DI LUHUR TANEHLift berderak pelan, naik melewati lantai-lantai kosong yang gelap. Lampu merah masih berkedip, menciptakan bayangan panjang di dinding lift. Tak ada yang berbicara. Napas mereka tenang tapi tegang, seperti menunggu sesuatu yang tak bisa diprediksi.Saat suara *ding* terdengar—tanda bahwa lift telah sampai di tujuan—mereka semua serempak mengangkat senjata.Pintu terbuka.Dan yang mereka lihat... bukan kehancuran.Melainkan langit.Langit sore yang memerah, dilapisi awan tebal berwarna jingga kelabu. Di depan mereka terbentang jalanan utama kota yang dulu padat. Kini, jalan itu lengang, dipenuhi reruntuhan gedung, mobil-mobil terbengkalai, dan tumbuhan liar yang mulai merambat di trotoar.“Ini... kota?” bisik Rhea nyaris tak percaya.“Lebih kayak hutan beton yang ditelan waktu,” gumam Elio.Mereka melangkah keluar, waspada. Suara langkah mereka menggema di antara bangunan tinggi yang sunyi. Udara dingin, menusuk
Dernière mise à jour: 2025-04-15
Chapter: KOTA PAEHLangkah mereka cepat menyusuri lorong bawah tanah yang dingin dan lembap. Setiap dinding penuh dengan retakan dan lumut, aroma besi tua dan debu memenuhi udara. Elara berjalan paling depan tanpa ragu, seolah dia tahu ke mana harus pergi, padahal selama ini dia tertidur dalam kapsul kaca.“Gue masih nggak ngerti,” bisik Jonas ke Rhea. “Gimana anak sekecil itu bisa bikin orang dewasa mental ke dinding.”Rhea menatap punggung Elara. “Dia bukan anak kecil biasa, Jon. Dan kalau Kern nggak bohong, dia... semacam kunci.”Elio mengikuti mereka sambil terus menengok ke belakang. Derap kaki zombie makin lama makin dekat. Di kejauhan, jeritan dan geraman terdengar mengerikan, seperti orkestra kematian yang tak sabar memburu mangsanya.“Lurus terus. Ada akses menuju permukaan lewat ruang kontrol stasiun,” kata Elara tanpa menoleh.“Kamu yakin?” tanya Dima, agak terengah.Elara hanya mengangguk.Begitu mereka sampai di ruang kontrol, Elio cepat-cepat menutup pintu baja dan menguncinya. Mereka semu
Dernière mise à jour: 2025-04-14