Karir cemerlang, harta bergelimang, wajah cantik, dan berasal dari keluarga konglomerat merupakan gambaran dari kehidupan Laila. Terlebih ia baru saja melangsungkan pernikahan di usia muda dengan cinta pertamanya, Renald. Meskipun berbagai penolakan dari Ayahnya, Ia berhasil meyakinkan bahwa Renald adalah yang terbaik. Namun, justru petaka bagi hidupnya. Pria yang ia perjuangkan tengah berskandal dengan wanita terdekatnya. Renald tidak hanya mengkhianatinya tapi juga merampas hampir seluruh harta istrinya. Secara bersamaan, Laila membongkar kebenaran bahwa ayahnya adalah pembunuh yang kejam. Laila kalut, ia berubah menjadi monster jahat hingga membuat Renald dan perempuan itu meringis penuh dengan bayangan maut yang terus berdatangan. Namun, di tengah balas dendamnya, ia menemukan fakta mengejutkan tentang suaminya. Pria itu adalah bayang-bayang masa lalu keluarganya yang kini ingin merebut tahtanya. Sementara ayahnya telah berada di ujung tanduk kehancuran. Lantas, siapakah Renald sebenarnya? Apakah Laila bisa menjalankan rencananya di tengah banyak fakta yang tak terduga?
Lihat lebih banyakBagiku hidup adalah keindahan dan kenikmatan yang tidak pasti. Indah ketika memiliki apa yang diimpikan dan nikmat dalam menjalani detik demi detik waktu yang berputar. Entah sudah berapa banyak mulut yang mengucapkan seberapa beruntungnya hidupku, namun tetap saja aku hanya manusia biasa yang masih ada kata kurang dalam melangkahi setapak jalan kehidupan ini. Julukan keluarga konglomerat sudah sering banget tersambar di telinga. Namun, apapun itu gelar keluargaku ya itu punya ayah bukan hasil kerjaku.
Laila Safa, begitulah nama lengkapku, yang seringkali disapa Laila. Seorang perempuan muda yang saat ini bekerja di startup company sebagai manajer bisnis. Tidak hanya itu, aku juga diberikan sebuah perusahaan tekstil oleh ayah sebagai hadiah ulang tahun ke-17 beberapa tahun lalu. Meski seribu kali menolak, namun ayah tak gentar memaksa agar aku menerima dan menjalaninya. Keputusanku untuk bekerja juga ditentang olehnya, namun aku masih mampu menanganinya. Sehingga saat ini aku memegang kendali dua perusahaan secara beriringan.
Di awal usia 24 tahun, aku bertemu kembali pada cinta pertama, Renald. Ia merupakan pria pintar seangkatan pada jaman kuliah beberapa tahun lalu. Mungkin karena kepintarannya inilah aku jatuh hati padanya dalam diam. Namun, secara tiba-tiba ia menghilang dari pandanganku ketika aku kembali pasca studi dari luar negeri. Rumornya ia pindah ke kampus yang tak pernah diketahui oleh siapapun. Aku kehilangan jejaknya kala itu.
Hingga 1 tahun yang lalu, aku bertemu dengannya dalam sebuah konferensi tekstil di daerah pinggir ibukota.
“Lo, Renald bukan ya?” Tanyaku di depan pintu masuk yang baru saja selesai mengisi buku tamu dan mengambil souvenir acara.
“Bu Laila silahkan duduk di bangku VVIP ya,” ucap asistenku yang mengarahkan kedua tangannya ke depan seolah mempersilahkan untuk segera masuk.
“Oke, sebentar Mbak,” ucapku menjawab Tika, lalu mengalihkan pandanganku lagi ke arah mata Renald.
Ia masih terdiam seolah berpikir siapa wanita yang tiba-tiba menebaknya. Ia melihatku dengan teliti, matanya tak berkedip menatapku, dan tak lama ia tersenyum.
“Laila, mahasiswa manajemen Kampus Merdeka?” Tanyanya dengan kelopak mata yang terbuka lebar dan senyum terukir di bibirnya.
“Hahaha iya, untungnya lo masih ingat gue. Coba kalo tidak, kan gue malu ya,” balasku sembari mengajaknya masuk.
Namun, obrolan pembuka tadi terputus karena mulainya acara. Ya, aku tidak bisa berdampingan dengannya, sebab dalam acara ini terdapat tiga tipe undangan berdasarkan jabatan dan segi kepentingan dalam konferensi. Sehingga sulit bagiku untuk bersebelahan dengannya. Aku mewakili perusahaan selaku CEO sekaligus menjadi pembicara, sehingga jenis undangannya adalah diamond dengan posisi duduk di bagian paling depan berhadapan langsung dengan panggung pembicara. Sementara ia merupakan pengusaha menengah dengan jenis tiket silver yang duduk di area belakang.
Selama acara berlangsung, fokusku berantakan karena memikirkan apakah mungkin bisa bertemu dengannya sekali lagi. Ya, tidak muluk-muluk, inginku cukup untuk saling cerita dan berbagi pengalaman pasca kuliah. Sehingga, beberapa kali aku menolehkan kepala ke arah belakang untuk mencari wajahnya dari sekian banyak peserta yang hadir dalam ballroom. Untungnya mata kami tidak pernah bertatapan selama aku mencari-cari keberadaannya.
Pasca kegiatan, aku menyusuri karpet merah menuju jalan pintu keluar. Mataku tak henti berpaling ke segala arah demi mencari sosok pria dengan jas navy, rambut klinis yang tadi sempat ku temui. Mataku seperti memutar seantero ruangan, namun tidak jua ku temukan dia.
“Setelah lama tak berjumpa, dengan mudahnya ia pergi,” desisku dalam hati.
“Ibu, mobilnya udah di depan ya,” ucap Tika yang sedari tadi sibuk menerima telepon koordinasi terkait kendaraanku. Tika mengarahkanku keluar, namun mataku tetap saja seperti mencari sesuatu dalam ruangan itu sehingga langkah kaki sangat amat pelan.
“Maaf, Bu, ada yang sedang Ibu cari disini?” Ujar Tika.
Tika adalah sosok asisten yang sangat paham denganku meskipun ia baru bekerja 1 tahun terakhir, tapi bagiku, ia sudah seperti saudara, sehingga tak pernah ada batas di antara kami. Ia bahkan bisa tahu apa yang sedang aku mau dan pintar mengambil inisiatif, hingga terkadang aku menyebutnya sebagai agen rahasia untuk menuntaskan segala misi yang aku inginkan, salah satunya menyembunyikan adik tiriku selama berada di luar negeri.
“Oh saya mencari teman kuliah saya. Dia terlihat duduk di bagian sini deh tadi. Mungkin udah pulang ya,” tuturku dengan pandangan mata yang terus mencari Renald.
Tika mengangguk, sepertinya ia bingung juga harus merespon ucapanku. Lalu, aku melanjutkan langkah kaki hingga sampai persis di depan pintu besar yang bertuliskan exit door, Tika jalan mendahuluiku untuk membuka lift yang berada kurang dari 200 meter dari pandangan. Namun, ketika kaki kian mendekati pintu lift, seseorang memanggil namaku dari arah belakang, dan terdengar jelas pula hentakan demi hentakan sepatu pantofel yang makin dekat ke arah ku.
“La, Lailaaaaa tunggu………."
Sontak aku membalikkan badan, dan ternyata Renald, pria yang aku cari-cari sedari tadi akhirnya muncul juga. Aku tidak menyangka masih bisa bertemu dengannya.
“Tika, kamu turun duluan dulu aja. Saya ada obrolan sebentar dengan teman. Nanti saya kabari ya,” ucapku.
Tika menganggukan kepala dan menutup pintu lift agar bisa langsung masuk ke dalam mobil yang telah menunggu kami dari tadi. Sementara aku masih harus menyelesaikan pertemuan singkat dengan waktu terbatas berbincang kepadanya, Renald.
“Gue kira lo udah pulang,” ucapku, sembari berjalan mengarahkannya agar ikut melipir di tepi ballroom.
“Tentu saja tidak, gue nunggu lo. Gue bodoh banget kalau tidak memanfaatkan kesempatan untuk bertanya dengan pengusaha hebat kaya lo. Apalagi lo adalah teman gue,” ucapnya dengan tersenyum, sembari mempersilahkanku duduk.
“Hahaha apa sih lo, ya gue menjalankan perusahaan bokap. Jadi, bukan gue yang hebat. Kalo lo mau tanya-tanya mending ke bokap gue aja,” balasku.
“Lo setelah kuliah beneran hilang kaya di telan bumi ya,” tambahku lagi, dengan mengarahkan mataku tepat di depan matanya.
“Bukan setelah kuliah La, lo nya aja yang ikutan exchange. Jadi ketika lo pulang, gue udah ga terlihat, kan?”
Ia mencoba berbicara rileks dihadapanku. Hal itu terlihat dari gestur tubuhnya yaitu dengan cara ia memasukkan satu tangan ke dalam saku celananya.
“Lo kemana? Bahkan gue coba hubungin lo juga ga pernah bisa setelah gue pulang dari London. Gue di London sama sekali gak bisa main ponsel, ya kehidupannya bangun, makan, kuliah, tugas, dan tidur, ya gitu aja siklusnya. Jadinya, gue belum terlalu sadar kalo ternyata teman gue hilang,” celoteh ku.
“Hahaha ya gue ada, gue cuma pindah kampus aja ke tempat yang lebih pedalaman. Ya biasa deh kemauan orang tua. Setelah lulus, gue buka usaha ini. Masih kecil-kecilan gini, La. Jadinya, gue harus banyak belajar dari lo juga.” tambahnya dengan tersenyum.
Di akhir obrolan kecil, ia meminta kontak pribadiku, katanya hanya untuk saling bertukar pikiran berkaitan dengan bisnisnya. Tanpa pikir panjang, langsung ku berikan nomor ponsel pribadi, bukan nomor admin.
“Lo yakin ini nomor pribadi? Bukannya sekelas CEO tidak boleh sembarang kasih kontak ya?” ucapnya sembari tersenyum.
“Ya, memangnya kenapa Re? Apa yang salah?” jawabku dengan santai.
“Gue kan rekan kerja lo ya mitra kerja lah sebutannya. Biasanya posisi sebagai mitra kerja berhubungannya dengan admin bukan CEO,” ucapnya dengan nada bercanda.
“Oh jadi lo gak mau kontekan pribadi dengan gue? Mau banget melalui admin? Hahaha” balasku dengan tertawa.
“Hahaha, gak dong, La, bercanda aja gue. Berarti malam nanti udah bisa gue kontak ya?” Ujarnya dengan tertawa.
"Apa? Separah itu kah?" Andrew seolah mendesak."Berawal dari papamu yang buat kesalahan cinta satu malam dengan seorang wanita muda hingga membuatnya hamil. Di situ kami pun nyaris pisah, karena Mama sama sekali tidak tahan. Ya, untungnya wanita muda itu ikhlas untuk tidak dinikahkan tapi papa mu harus selalu mengirimkan uang kepadanya berapa puluh juta tiap bulan..."Mama menghentikan kalimatnya. Ia kembali menatap mata papa lagi..."Pa, is it ok?" Lagi, mama memastikan agar yang ia ceritakan sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab bersama jikalau Andrew berontak.Papa hanya menganggukkan kepalanya."Ya kami harap kamu gak terlalu kaget dengan fakta yang ada Drew...." Tambah mama yang mencoba mengingatkan Andrew bahwa fakta yang ada memang semenakutkan itu."Karena kondisi ekonomi kami yang saat itu juga sulit habis ditipu sama salah satu investor. Akhirnya papamu dan ayah Laila sepakat untuk menghabiskan nyawa wanita itu setelah ia melahirkan anak papamu......"Mama menjeda ucapann
"Ha? Istri kau bilang?" Aku tertawa sinis dihadapannya. Baru kali ini aku berhadapan dengan iblis ini setelah rumah tangga kami berhasil ia porak-porandakan demi wanita lain dan hartaku. "Loh, status kita kan masih suami istri, sayang. Jangan ketus gitu dong dengan suami kamu..." Re berjalan beberapa langkah menujuku. Sementara aku juga menjauhinya beberapa langkah. "Kok kamu ngejauh dari aku sih? Aku kangen banget loh sama kamu..." Ucapnya. "Sial, dia mabuk!!" Desisku dalam hati. "Mana Tania????" Lagi aku meneriaki seantero ruangan ini berharap Tania bisa ku temukan. "Kalo lo mau Tania selamat, lo kembalikan lagi uang 4 milyar kami....." Teriak Tika dari dalam ruangan lain. "Lo tuh gak punya malu ya, pengkhianat!! Itu uang perusahaan, bukan uang lo.." Jelas saja ini membuatku amat murka. Jujur aku masih begitu gemetaran melihat wajah Tika disana, kenapa bisa aku mempercayai seorang yang begitu menusukku dari luar dan dalam. Seorang yang dengan tulusnya sudah ku akui sebagai s
Kepergian Andrew yang begitu mendadak memang jelas meninggalkan pertanyaan besar. Sebab ia menyembunyikan semuanya dariku. Ada rasa tidak adil yang aku rasakan. Ia yang ikut campur ke dalam masalahku justru ia yang membuat rencana sendiri. Entah aku berpikir terlalu jauh atau memang kenyataannya seperti itu."Kakak, aku temenin ya ke kantor. Nanti aku langsung aja kesana, gak usah dijemput..." Ucap Tania yang menelponku pagi sekali."Iya, hati-hati ya.." Aku bersiap, sembari terus mencoba chat Andrew memastikan kondisi ayahnya disana baik-baik saja begitu juga Andrew sendiri."Andrew bener-bener gak balas pesanku ya." Desisku melihat pesan yang masih centang dua berwarna abu-abu."Dia beneran gak apa-apa kan ya?" Gemuruh banyak pertanyaan bersanding di dalam kepala. Sebegitu mengkhawatirkannya tingkah Andrew hingga membuatku bolak-balik memastikan pesanku memang belum direspon olehnya.Ya, hingga pada keputusan lebih baik aku harus ngantor untuk mengurangi pikiran anehku."Pagi Yah.
"Loh kok gak ada. Coba cek sekali lagi deh!" Tika bersikukuh bahwa dalam kartu debit platinum tersebut tersimpan jumlah uang yang fantastis. "Ini gue coba lagi..." Ucap wanita muda yang sepertinya seorang pegawai untuk mengurus orang yang akan mengenakan kapal. "Tuh gak bisa Bu. Apakah ada kartu debit lain?" Terlihat jelas wanita tersebut tengah menahan emosinya sebab berulang kali kartunya ditolak oleh sistem. "Ada apa?" Rehan langsung mendekati sumber suara. "Masa kartunya ga ada saldonya sih..." Ucap Tika. "Ha, sumpah lo??" Rehan langsung maju selangkah di depan Tika. "Coba mana Mba kartunya..." Ia meminta kartu platinum tersebut. Rehan mengambil kartu tersebut. Ia membolak balikan kartu tersebut jelas saja tidak ada yang retak dari kartu yang masih terlihat baru tersebut. "Maaf, ini jadi pembayarannya gimana?" Ucap seorang wanita muda yang mungkin juga terlihat bingung dengan beberapa orang dihadapannya. "Hahahaha kenapa? Gagal ya pembayaran lo?" Teriak seorang lelaki den
"Sekarang juga kita berkemas..." Re dengan paniknya bolak-balik memikirkan hal yang sangat pusing untuk dipikirkan sendiri."Kita mau kemana?" Tika yang tidak kalah paniknya hanya bisa bertanya-bertanya dan bertanya tanpa bisa memberikan solusi."Rumah orang tuaku?" Tika coba memberikan opsi terbaiknya saat ini."Gila kamu. Ya pasti sudah ke-trace duluan kalo ke rumah keluarga. Kita harus berangkat ke luar negeri, sekarang juga!" Ucap Rehan yang masih coba mengotak-ngatik cctv area sekitar memastikan polisi belum dekat dengan mereka."Kita gak punya waktu banyak lagi sekarang. Sekarang atau kita ketangkap semua..." Rehan langsung menutup layar laptopnya."Kita gak bisa pergi karena di bandara sudah pasti tercegat..." Ucap pengacara yang disebut sebagai ketua itu."Jadi gimana ketua?" Renald meminta saran kepadanya, sebab ia yakin ketua punya cara jitu untuk lolos dari proses hukum ini."Gue sudah hubungi temen yang bisa meloloskan imigran gelap. Kita akan pergi ke China..." Ucapnya."
"Kita bisa ketemu gak?" Terdengar suara pria yang seolah dalam kondisi mendesak."Ada masalah? Waktunya kurang?" Re menggenggam ponselnya erat-erat."Sayang ada apa?" Tika yang berada disampingnya pun kian cemas."Sssshhh....." Renald mengancungkan telunjuk tangan kirinya ke bibirnya dengan mata yang melirik tajam ke arah Tika."Iya. Pokoknya kita harus ketemu sekarang juga!" Pria tersebut mematikan panggilannya."Kita harus putar balik dulu. Gak bisa main golf hari ini..." Re mencari putaran mobil dna berharap masalah yang ada tidak sampai mmenggagalkan rencana besarnya."Ada apa sih?" Tika tidak kalah penasaran dengan sikap aneh sang pacar."Kamu diam aja bisa kan?" Re sedikit membentak.***"Sorry banget kalo gue dadakan ngabarin kalian..." "Udah gak usah basa-basi. Ada apa? Hal apa yang sampe buat kami datang kesini buat ketemu dengan lo?" Renald sudah tidak sabar mendengar hal yang dirasanya cukup ganjil ini."Hufttt... Dokumen yang kemarin kalian kasih ke aku itu semuanya imita
"Hmmmm gue jadi penasaran juga siapa ya sosok ini. Papa mama juga rasanya gak pernah cerita kalo gue punya teman kecil yang akrab banget selama di Indonesia....." Andrew memandangi ponselnya yang berisi foto ayah, dirinya dansatu sosok lain yang saa sekali ia tidak mengenalnya. "Kalo dari raut wajahnya rasanya agak familiar, tapi gak tau juga siapa....." Lagi, Andrew melakukan pembesaran gambar untuk melihat secara detail siapa sosok yang berada di sebelahnya itu.Ia menyentuh layar laptop yang ada dihadapannya, mencoba buka data-data perusahaan sang ayah untuk mencari identitas dari anak ini."Gue harus cari gimana ya?" Celetuknya sebab ya akan terasa sia-sia jika ia buka data perusahaan karena belum tentu identifikasi data pegawai sampai dengan data keluarga keseluruhan, kan....."Gue harus buka album foto lama!" Idenya kali ini jauh lebih menarik. Ya dia berharap bisa mencari tahu siapa anak kecil yang bersama dengannya dalam satu frame foto. Andrew yang lagi sendiri di rumah mew
"Eh jangan dibuka dulu...." Aku langsung merebut jurnal itu kembali."Ya kalo gak boleh di buka ngapain lo bawa kesini kan?" Ia membela dirinya."Gue mau nanya dulu sih sebelum lo buka jurnal ini. Takutnya pas lo buka, lo kaget sendiri..." Jelasku."Apa yang mau lo tanyain?" Ia pun terlihat juga penasaran."Lo punya saudara lagi? Atau...." "Apa sih La, pertanyaan itu mah tanpa perlu jawaban dari gue juga kan lo udah tau gue anak tunggal, pewaris tunggal..." Ia masih belum paham arah obrolanku kemana."Iya sih gue kan cuma memastikan aja. Soalnya ini disini gue ngelihat foto bokap lo sama dua orang anak laki-laki....." "Foto apaan emangnya? Sini gue lihat..." Ia mengadahkan tangannya bersiap menyambut pemberian dariku."Sebentar gue buka dulu..." Aku membuka lembar buku ini satu per satu halaman."Ini..." Aku menyodorkan seutas foto yang telah ditempel di dalamnya."Hmmmm, ini fotoku kecil dan papa. Siapa dia?" Andrew pun bertanya tentang sosok pria yang ada disampingnya ini."Bukan
Setelah selesai urusan dengan ayah, aku langsung menghubungi ibu. Mengatakan semua hal yang terjadi, dan untungnya respon beliau tidak begitu panikan terlebih saat ini ia sedang berada di luar negeri. "Udah, kamu tenang aja. Ibu akan pulang sore ini. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan..." Pinta ibu dari sambungan telepon. Aku langsung kembali ke luar menemui adik tiriku yang tidak bisa berkutik. "Tania, kamu mau disini atau pulang?" Memberikan penawaran seperti ini memang bukanlah solusi terbaik. Bagaimanapun ia adalah bagian dari keluarga ini. Adikku meski kami dari ibu yang berbeda. "Andrew gimana ya kak?" "Oh iya, nanti aku coba telefon dia bilang semua yang terjadi barusan. Kamu pulang dulu aja kali ya, supaya besok kita bisa sama-sama mikir langkah apa yang harus kita lakukan..." Tania menyetujui rencanaku. Ia pamit dan bergegaas pulang dengan panggilan taksinya. *** Jam terus berputar, sementara aku masih terus berpikir kejadian hari ini yang semuanya terasa sangat menyi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen