Bagiku hidup adalah keindahan dan kenikmatan yang tidak pasti. Indah ketika memiliki apa yang diimpikan dan nikmat dalam menjalani detik demi detik waktu yang berputar. Entah sudah berapa banyak mulut yang mengucapkan seberapa beruntungnya hidupku, namun tetap saja aku hanya manusia biasa yang masih ada kata kurang dalam melangkahi setapak jalan kehidupan ini. Julukan keluarga konglomerat sudah sering banget tersambar di telinga. Namun, apapun itu gelar keluargaku ya itu punya ayah bukan hasil kerjaku.
Laila Safa, begitulah nama lengkapku, yang seringkali disapa Laila. Seorang perempuan muda yang saat ini bekerja di startup company sebagai manajer bisnis. Tidak hanya itu, aku juga diberikan sebuah perusahaan tekstil oleh ayah sebagai hadiah ulang tahun ke-17 beberapa tahun lalu. Meski seribu kali menolak, namun ayah tak gentar memaksa agar aku menerima dan menjalaninya. Keputusanku untuk bekerja juga ditentang olehnya, namun aku masih mampu menanganinya. Sehingga saat ini aku memegang kendali dua perusahaan secara beriringan.
Di awal usia 24 tahun, aku bertemu kembali pada cinta pertama, Renald. Ia merupakan pria pintar seangkatan pada jaman kuliah beberapa tahun lalu. Mungkin karena kepintarannya inilah aku jatuh hati padanya dalam diam. Namun, secara tiba-tiba ia menghilang dari pandanganku ketika aku kembali pasca studi dari luar negeri. Rumornya ia pindah ke kampus yang tak pernah diketahui oleh siapapun. Aku kehilangan jejaknya kala itu.
Hingga 1 tahun yang lalu, aku bertemu dengannya dalam sebuah konferensi tekstil di daerah pinggir ibukota.
“Lo, Renald bukan ya?” Tanyaku di depan pintu masuk yang baru saja selesai mengisi buku tamu dan mengambil souvenir acara.
“Bu Laila silahkan duduk di bangku VVIP ya,” ucap asistenku yang mengarahkan kedua tangannya ke depan seolah mempersilahkan untuk segera masuk.
“Oke, sebentar Mbak,” ucapku menjawab Tika, lalu mengalihkan pandanganku lagi ke arah mata Renald.
Ia masih terdiam seolah berpikir siapa wanita yang tiba-tiba menebaknya. Ia melihatku dengan teliti, matanya tak berkedip menatapku, dan tak lama ia tersenyum.
“Laila, mahasiswa manajemen Kampus Merdeka?” Tanyanya dengan kelopak mata yang terbuka lebar dan senyum terukir di bibirnya.
“Hahaha iya, untungnya lo masih ingat gue. Coba kalo tidak, kan gue malu ya,” balasku sembari mengajaknya masuk.
Namun, obrolan pembuka tadi terputus karena mulainya acara. Ya, aku tidak bisa berdampingan dengannya, sebab dalam acara ini terdapat tiga tipe undangan berdasarkan jabatan dan segi kepentingan dalam konferensi. Sehingga sulit bagiku untuk bersebelahan dengannya. Aku mewakili perusahaan selaku CEO sekaligus menjadi pembicara, sehingga jenis undangannya adalah diamond dengan posisi duduk di bagian paling depan berhadapan langsung dengan panggung pembicara. Sementara ia merupakan pengusaha menengah dengan jenis tiket silver yang duduk di area belakang.
Selama acara berlangsung, fokusku berantakan karena memikirkan apakah mungkin bisa bertemu dengannya sekali lagi. Ya, tidak muluk-muluk, inginku cukup untuk saling cerita dan berbagi pengalaman pasca kuliah. Sehingga, beberapa kali aku menolehkan kepala ke arah belakang untuk mencari wajahnya dari sekian banyak peserta yang hadir dalam ballroom. Untungnya mata kami tidak pernah bertatapan selama aku mencari-cari keberadaannya.
Pasca kegiatan, aku menyusuri karpet merah menuju jalan pintu keluar. Mataku tak henti berpaling ke segala arah demi mencari sosok pria dengan jas navy, rambut klinis yang tadi sempat ku temui. Mataku seperti memutar seantero ruangan, namun tidak jua ku temukan dia.
“Setelah lama tak berjumpa, dengan mudahnya ia pergi,” desisku dalam hati.
“Ibu, mobilnya udah di depan ya,” ucap Tika yang sedari tadi sibuk menerima telepon koordinasi terkait kendaraanku. Tika mengarahkanku keluar, namun mataku tetap saja seperti mencari sesuatu dalam ruangan itu sehingga langkah kaki sangat amat pelan.
“Maaf, Bu, ada yang sedang Ibu cari disini?” Ujar Tika.
Tika adalah sosok asisten yang sangat paham denganku meskipun ia baru bekerja 1 tahun terakhir, tapi bagiku, ia sudah seperti saudara, sehingga tak pernah ada batas di antara kami. Ia bahkan bisa tahu apa yang sedang aku mau dan pintar mengambil inisiatif, hingga terkadang aku menyebutnya sebagai agen rahasia untuk menuntaskan segala misi yang aku inginkan, salah satunya menyembunyikan adik tiriku selama berada di luar negeri.
“Oh saya mencari teman kuliah saya. Dia terlihat duduk di bagian sini deh tadi. Mungkin udah pulang ya,” tuturku dengan pandangan mata yang terus mencari Renald.
Tika mengangguk, sepertinya ia bingung juga harus merespon ucapanku. Lalu, aku melanjutkan langkah kaki hingga sampai persis di depan pintu besar yang bertuliskan exit door, Tika jalan mendahuluiku untuk membuka lift yang berada kurang dari 200 meter dari pandangan. Namun, ketika kaki kian mendekati pintu lift, seseorang memanggil namaku dari arah belakang, dan terdengar jelas pula hentakan demi hentakan sepatu pantofel yang makin dekat ke arah ku.
“La, Lailaaaaa tunggu………."
Sontak aku membalikkan badan, dan ternyata Renald, pria yang aku cari-cari sedari tadi akhirnya muncul juga. Aku tidak menyangka masih bisa bertemu dengannya.
“Tika, kamu turun duluan dulu aja. Saya ada obrolan sebentar dengan teman. Nanti saya kabari ya,” ucapku.
Tika menganggukan kepala dan menutup pintu lift agar bisa langsung masuk ke dalam mobil yang telah menunggu kami dari tadi. Sementara aku masih harus menyelesaikan pertemuan singkat dengan waktu terbatas berbincang kepadanya, Renald.
“Gue kira lo udah pulang,” ucapku, sembari berjalan mengarahkannya agar ikut melipir di tepi ballroom.
“Tentu saja tidak, gue nunggu lo. Gue bodoh banget kalau tidak memanfaatkan kesempatan untuk bertanya dengan pengusaha hebat kaya lo. Apalagi lo adalah teman gue,” ucapnya dengan tersenyum, sembari mempersilahkanku duduk.
“Hahaha apa sih lo, ya gue menjalankan perusahaan bokap. Jadi, bukan gue yang hebat. Kalo lo mau tanya-tanya mending ke bokap gue aja,” balasku.
“Lo setelah kuliah beneran hilang kaya di telan bumi ya,” tambahku lagi, dengan mengarahkan mataku tepat di depan matanya.
“Bukan setelah kuliah La, lo nya aja yang ikutan exchange. Jadi ketika lo pulang, gue udah ga terlihat, kan?”
Ia mencoba berbicara rileks dihadapanku. Hal itu terlihat dari gestur tubuhnya yaitu dengan cara ia memasukkan satu tangan ke dalam saku celananya.
“Lo kemana? Bahkan gue coba hubungin lo juga ga pernah bisa setelah gue pulang dari London. Gue di London sama sekali gak bisa main ponsel, ya kehidupannya bangun, makan, kuliah, tugas, dan tidur, ya gitu aja siklusnya. Jadinya, gue belum terlalu sadar kalo ternyata teman gue hilang,” celoteh ku.
“Hahaha ya gue ada, gue cuma pindah kampus aja ke tempat yang lebih pedalaman. Ya biasa deh kemauan orang tua. Setelah lulus, gue buka usaha ini. Masih kecil-kecilan gini, La. Jadinya, gue harus banyak belajar dari lo juga.” tambahnya dengan tersenyum.
Di akhir obrolan kecil, ia meminta kontak pribadiku, katanya hanya untuk saling bertukar pikiran berkaitan dengan bisnisnya. Tanpa pikir panjang, langsung ku berikan nomor ponsel pribadi, bukan nomor admin.
“Lo yakin ini nomor pribadi? Bukannya sekelas CEO tidak boleh sembarang kasih kontak ya?” ucapnya sembari tersenyum.
“Ya, memangnya kenapa Re? Apa yang salah?” jawabku dengan santai.
“Gue kan rekan kerja lo ya mitra kerja lah sebutannya. Biasanya posisi sebagai mitra kerja berhubungannya dengan admin bukan CEO,” ucapnya dengan nada bercanda.
“Oh jadi lo gak mau kontekan pribadi dengan gue? Mau banget melalui admin? Hahaha” balasku dengan tertawa.
“Hahaha, gak dong, La, bercanda aja gue. Berarti malam nanti udah bisa gue kontak ya?” Ujarnya dengan tertawa.
Semenjak pertemuan kecil di ballroom, kami seringkali berkabar dan bahkan pergi hangout atau makan malam. Aku merasa nyaman ada di sekitarnya, dan ia tampak antusias dengan semua topik yang aku dongengkan. Hingga suatu malam, ia berlutut di hadapanku, di tengah resto sederhana dengan piano klasik yang mengiringi sambungan kata per kata darinya. Ia menatap mataku dengan tajam, dan terlihat juga air mata yang tengah menggenang di bawah kelopak matanya. Pelan-pelan ia mengucapkan kalimat yang membuatku tertegun. “La, maaf kalo ini terkesan aneh dan mungkin setelah ini bisa saja kamu membenciku. Namun, aku tak bisa berbuat apapun, La. Ini sudah menjadi risiko yang harus aku tempuh. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak awal kita bertemu. Lalu seakan takdir berkata kamu adalah yang aku mau, hingga akhirnya kita dipertemukan lagi. Apakah kamu mau menjadi teman hidupku?” Ucapnya sembari mengeluarkan kotak merah, dan membukanya. Aku melihat ada cincin berlian di dalamnya dan sepertinya sangat pa
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ia mengikrarkan janji hidupnya bersamaku. Ia datang dengan setelan jas modern cokelat dan tatanan rambut rapi sembari membawa pernak pernik aksesoris hantaran. Tentu saja ia tidak sendiri, ia didampingi oleh rekan-rekannya yang mengenakan kemeja putih dengan pita kupu-kupu dikaitkan ke lehernya. Ia jalan menuju pintu utama, menyusuri keluarga besarku yang tengah duduk menunggu mempelai prianya. Sementara aku telah siap di sisi kanan untuk melihatnya mengucapkan janji suci tersebut. Tak berselang lama, ayah datang menghampiri Renald untuk menjadi wali sahku, namun ia tak langsung duduk berhadapan dengan calon suamiku itu, melainkan sedikit berbisik barangkali 1-2 menit. Lalu ia berpindah duduk di depan Renald dengan didampingi oleh seorang yang sah menikahkan. Sekitar tiga menit berlalu, Renald telah berhasil mengucapkan ikrar suci itu. Tatapan matanya langsung mengarah padaku seakan kode untuk memintaku segera bersanding dengannya. Aku b
"Kurang ajar kamu, buat malu keluarga," plakkkkk tamparan ayah yang begitu kuat membuat tubuh Tania jatuh. "Rendi, kau pastikan gak ada media yang meliput kejadian ini. Buat malu saja, bisa gagal proyek perusahaan kita apabila berita skandal ini tersebar," ucap ayah dengan nada tinggi kepada asisten pribadinya. Ibu yang awalnya duduk di sofa berjalan menuju Tania dan mengulurkan tangannya lalu menariknya untuk duduk. Sementara wanita paruh baya tadi masih ditangani oleh Bi Asih agar segera siuman, dan ketiga anaknya sedang berada di taman belakang bersama Bi Ratih. Tak lama wanita paruh baya itu siuman, ia mencoba duduk dan menyeruput air yang telah disediakan oleh Bi Asih. Ia melirik ke arah kiri dan mengernyitkan matanya seolah ada sosok yang ingin dipastikan olehnya. Lalu, tak berapa lama ia berdiri dan berteriak. "Pak Anwar…….. Tolong Pak…. Ibnu Pak…." Teriaknya histeris berlari menghampiri ayah. Aku terkejut, bahkan seluruh ruangan yang menyaksikan juga melalak heran. "Kok
“Tania sini, kau berada di belakangku saja,” ucapku sembari menarik tangannya agar tak kena pukulan dari ayah. “Kau beruntung, sebab anak kandungku melindungimu bahkan hingga membawamu ke luar negeri yang tak pernah berhasil ku lacak keberadaanmu,” ucap ayah dengan menunjuk Tania. Aku berusaha melindunginya. Aku selalu memasang tubuhku di depannya agar ia merasa aman dari kejamnya ayah. Namun, ya tentu saja ayah tidak akan pernah memukulku bahkan sampai di titik aku mengkhianatinya karena telah membawa Tania kabur pada saat ia memerintahkan sopirnya untuk mengantar ke Rumah Duri. “Sudah Yah, sudah, hentikan,” ucap ibu terisak menarik tangan ayah. “Ku beri kau waktu 1 jam disini untuk menemui kakakmu dan suaminya, lalu kau angkatkan kaki dan jangan pernah kembali lagi,” tambah ayah dengan suaranya yang tegas. Ia melepasan satu kancing di kemejanya dan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah bersama ibu di sampingnya. “Apakah Ayah yang membunuh Mas Ibnu?” Tania berteriak dengan kenc
Hari pertama setelah pernikahan dimulai, rencananya hari ini aku dan Re akan pindah ke apartemen yang berdekatan dengan Tania.Aku bangun lebih awal dari suamiku, lalu duduk dan bersandar tepat di samping pria ini. Terlihat ia menghadap ke arahku dan ku pandangi juga bahwa di sebelah kiri kepalanya terdapat ponsel yang mungkin saja masih ia nyalakan ketika ku terlelap tadi malam. Ia tidur dengan busana lengkap, sementara aku masih dengan tubuh yang baru saja ia nikmati dan berbalut selimut. Ada perasaan curiga yang bergemuruh di dalam pikiranku, namun sepertinya tak etis untuk membahasnya karena baru saja beberapa jam yang lalu kami resmi menikah dan berikrar sehidup semati.“Sayang kok sudah bangun?” Ucapnya melihatku. Sementara aku tersenyum kepadanya sembari terus mengelus rambutnya.“Tadi malam kamu tidur jam berapa?” Jawabku dengan lembut kepadanya, seakan lupa akan kemarahan yang tadi malam telah ku lontarkan kepadanya, sebelum ia bergegas pergi mengangkat teleponnya.“Lupa deh
"Kak, Ibnu datang menemuiku..." rintih Tania yang masih terbaring lemas di atas kasur.Aku mendengarnya merintih sembari mengucapkan kalimat itu. Sembari melihat beberapa perawat yang masih sibuk untuk membersihkan luka di paha kanannya, ku lihat Tika dari jauh menghampiriku."Kamu kok ada disini?" Tanyaku. Aku seolah bingung sebab, belum ada ku infokan hal ini kepada asisten pribadiku ini."Saya kebetulan lewat lalu melihat mobil Ibu belok menuju rumah sakit ini." Jawabnya."Mbak, adiknya sudah selesai kami bersihkan lukanya. Mohon segera lengkapi administrasi ya." ujar perawat sambil berdiri dan memegang beberapa alat berbahan stainless steel."Apakah perlu rawat inap?" Tanya Re yang berada di sebelahku."Gak perlu Pak. Cukup bantu gantikan saja perbannya setiap hari." ucap perawat lalu mereka pamit dan melangkahkan kaki keluar ruangan."Biar aku saja yang urus, Sayang. Kamu temenin aja Tania," ujar Re."Kamu tahu identitas Tania?" Jawabku.Umumnya, rumah sakit akan meminta data diri
"Pagi Sayang, gimana tidurnya? Mimpi apa tadi malam?" Sapa Re yang terlihat samar wajahnya sudah berada di hadapanku. Ia makin mendekatkan wajahnya ke arahku, dan benar saja ia langsung mengecup bibirku hingga nyaris melumatnya. Spontan, ku dorong tubuhnya dari hadapanku. "Loh, kenapa Sayang? Aku suamimu loh ini," dengan nadanya yang cukup tinggi. "Re, nanti kita bisa ngobrol sebentar? Ada hal yang gak bisa aku tahan sendiri lagi," jawabku yang langsung berdiri menuju kamar mandi. "Bisa, aku tunggu nih kamu disini," balasnya. Baru saja sekitar 10 menit aku berada di kamar mandi, aku mendengar suara dering ponsel Re berbunyi. Aku mencoba untuk menguping dari balik dinding kamar mandi ini, namun suaranya perlahan semakin jauh. "Sial dia justru ke balkon!" gerutuku. Dengan penggunaan sabun yang belum maksimal, ku lilitkan handuk ke lingkar tubuhku, lalu mengendap-endap keluar dari kamar mandi untuk sekedar mencari tahu suamiku ini sedang berhubungan dengan siapa. "Ya sudah kalo me
"Selamat pagi Ibu, sepertinya hari ini Ibu harus ke kantor, ada yang tidak beres dari mutasi rekening kantor," terdengar suara yang tergesa-gesa dari kejauhan sana. "Sorry sorry, maksudmu gimana dan ini saya bicara dengan siapa?" Responku sembari mengatur posisi duduk pasca terbangun karena kaget bunyi deringan ponsel di sebelahku. "Maaf Ibu, saya Alika, Kepala Keuangan kantor. Saya baru menerima laporan bulanan, namun ada transaksi yang mencurigakan," jawabnya dengan nada formal. "Oke, saya segera ke kantor. Tolong siapkan ruang meeting dan kumpulkan staf terkait." Aku langsung menurunkan kakiku dari ranjang, dan menuju kamar mandi. Namun, sebelum melangkahkan kaki kiri ini masuk ke dalam, aku menoleh ke belakang, ku amati seantero ruangan. "Re kemana?" Ucapku pelan. "Ah sudah mungkin dia sedang sarapan," ucapku lagi. Aku langsung memasuki kamar mandi dengan pikiran yang bingung, ada apa dengan keuangan kantorku. *** Setelah ku berdandan rapi, aku mengambil blazer hitam yang
"Apa? Separah itu kah?" Andrew seolah mendesak."Berawal dari papamu yang buat kesalahan cinta satu malam dengan seorang wanita muda hingga membuatnya hamil. Di situ kami pun nyaris pisah, karena Mama sama sekali tidak tahan. Ya, untungnya wanita muda itu ikhlas untuk tidak dinikahkan tapi papa mu harus selalu mengirimkan uang kepadanya berapa puluh juta tiap bulan..."Mama menghentikan kalimatnya. Ia kembali menatap mata papa lagi..."Pa, is it ok?" Lagi, mama memastikan agar yang ia ceritakan sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab bersama jikalau Andrew berontak.Papa hanya menganggukkan kepalanya."Ya kami harap kamu gak terlalu kaget dengan fakta yang ada Drew...." Tambah mama yang mencoba mengingatkan Andrew bahwa fakta yang ada memang semenakutkan itu."Karena kondisi ekonomi kami yang saat itu juga sulit habis ditipu sama salah satu investor. Akhirnya papamu dan ayah Laila sepakat untuk menghabiskan nyawa wanita itu setelah ia melahirkan anak papamu......"Mama menjeda ucapann
"Ha? Istri kau bilang?" Aku tertawa sinis dihadapannya. Baru kali ini aku berhadapan dengan iblis ini setelah rumah tangga kami berhasil ia porak-porandakan demi wanita lain dan hartaku. "Loh, status kita kan masih suami istri, sayang. Jangan ketus gitu dong dengan suami kamu..." Re berjalan beberapa langkah menujuku. Sementara aku juga menjauhinya beberapa langkah. "Kok kamu ngejauh dari aku sih? Aku kangen banget loh sama kamu..." Ucapnya. "Sial, dia mabuk!!" Desisku dalam hati. "Mana Tania????" Lagi aku meneriaki seantero ruangan ini berharap Tania bisa ku temukan. "Kalo lo mau Tania selamat, lo kembalikan lagi uang 4 milyar kami....." Teriak Tika dari dalam ruangan lain. "Lo tuh gak punya malu ya, pengkhianat!! Itu uang perusahaan, bukan uang lo.." Jelas saja ini membuatku amat murka. Jujur aku masih begitu gemetaran melihat wajah Tika disana, kenapa bisa aku mempercayai seorang yang begitu menusukku dari luar dan dalam. Seorang yang dengan tulusnya sudah ku akui sebagai s
Kepergian Andrew yang begitu mendadak memang jelas meninggalkan pertanyaan besar. Sebab ia menyembunyikan semuanya dariku. Ada rasa tidak adil yang aku rasakan. Ia yang ikut campur ke dalam masalahku justru ia yang membuat rencana sendiri. Entah aku berpikir terlalu jauh atau memang kenyataannya seperti itu."Kakak, aku temenin ya ke kantor. Nanti aku langsung aja kesana, gak usah dijemput..." Ucap Tania yang menelponku pagi sekali."Iya, hati-hati ya.." Aku bersiap, sembari terus mencoba chat Andrew memastikan kondisi ayahnya disana baik-baik saja begitu juga Andrew sendiri."Andrew bener-bener gak balas pesanku ya." Desisku melihat pesan yang masih centang dua berwarna abu-abu."Dia beneran gak apa-apa kan ya?" Gemuruh banyak pertanyaan bersanding di dalam kepala. Sebegitu mengkhawatirkannya tingkah Andrew hingga membuatku bolak-balik memastikan pesanku memang belum direspon olehnya.Ya, hingga pada keputusan lebih baik aku harus ngantor untuk mengurangi pikiran anehku."Pagi Yah.
"Loh kok gak ada. Coba cek sekali lagi deh!" Tika bersikukuh bahwa dalam kartu debit platinum tersebut tersimpan jumlah uang yang fantastis. "Ini gue coba lagi..." Ucap wanita muda yang sepertinya seorang pegawai untuk mengurus orang yang akan mengenakan kapal. "Tuh gak bisa Bu. Apakah ada kartu debit lain?" Terlihat jelas wanita tersebut tengah menahan emosinya sebab berulang kali kartunya ditolak oleh sistem. "Ada apa?" Rehan langsung mendekati sumber suara. "Masa kartunya ga ada saldonya sih..." Ucap Tika. "Ha, sumpah lo??" Rehan langsung maju selangkah di depan Tika. "Coba mana Mba kartunya..." Ia meminta kartu platinum tersebut. Rehan mengambil kartu tersebut. Ia membolak balikan kartu tersebut jelas saja tidak ada yang retak dari kartu yang masih terlihat baru tersebut. "Maaf, ini jadi pembayarannya gimana?" Ucap seorang wanita muda yang mungkin juga terlihat bingung dengan beberapa orang dihadapannya. "Hahahaha kenapa? Gagal ya pembayaran lo?" Teriak seorang lelaki den
"Sekarang juga kita berkemas..." Re dengan paniknya bolak-balik memikirkan hal yang sangat pusing untuk dipikirkan sendiri."Kita mau kemana?" Tika yang tidak kalah paniknya hanya bisa bertanya-bertanya dan bertanya tanpa bisa memberikan solusi."Rumah orang tuaku?" Tika coba memberikan opsi terbaiknya saat ini."Gila kamu. Ya pasti sudah ke-trace duluan kalo ke rumah keluarga. Kita harus berangkat ke luar negeri, sekarang juga!" Ucap Rehan yang masih coba mengotak-ngatik cctv area sekitar memastikan polisi belum dekat dengan mereka."Kita gak punya waktu banyak lagi sekarang. Sekarang atau kita ketangkap semua..." Rehan langsung menutup layar laptopnya."Kita gak bisa pergi karena di bandara sudah pasti tercegat..." Ucap pengacara yang disebut sebagai ketua itu."Jadi gimana ketua?" Renald meminta saran kepadanya, sebab ia yakin ketua punya cara jitu untuk lolos dari proses hukum ini."Gue sudah hubungi temen yang bisa meloloskan imigran gelap. Kita akan pergi ke China..." Ucapnya."
"Kita bisa ketemu gak?" Terdengar suara pria yang seolah dalam kondisi mendesak."Ada masalah? Waktunya kurang?" Re menggenggam ponselnya erat-erat."Sayang ada apa?" Tika yang berada disampingnya pun kian cemas."Sssshhh....." Renald mengancungkan telunjuk tangan kirinya ke bibirnya dengan mata yang melirik tajam ke arah Tika."Iya. Pokoknya kita harus ketemu sekarang juga!" Pria tersebut mematikan panggilannya."Kita harus putar balik dulu. Gak bisa main golf hari ini..." Re mencari putaran mobil dna berharap masalah yang ada tidak sampai mmenggagalkan rencana besarnya."Ada apa sih?" Tika tidak kalah penasaran dengan sikap aneh sang pacar."Kamu diam aja bisa kan?" Re sedikit membentak.***"Sorry banget kalo gue dadakan ngabarin kalian..." "Udah gak usah basa-basi. Ada apa? Hal apa yang sampe buat kami datang kesini buat ketemu dengan lo?" Renald sudah tidak sabar mendengar hal yang dirasanya cukup ganjil ini."Hufttt... Dokumen yang kemarin kalian kasih ke aku itu semuanya imita
"Hmmmm gue jadi penasaran juga siapa ya sosok ini. Papa mama juga rasanya gak pernah cerita kalo gue punya teman kecil yang akrab banget selama di Indonesia....." Andrew memandangi ponselnya yang berisi foto ayah, dirinya dansatu sosok lain yang saa sekali ia tidak mengenalnya. "Kalo dari raut wajahnya rasanya agak familiar, tapi gak tau juga siapa....." Lagi, Andrew melakukan pembesaran gambar untuk melihat secara detail siapa sosok yang berada di sebelahnya itu.Ia menyentuh layar laptop yang ada dihadapannya, mencoba buka data-data perusahaan sang ayah untuk mencari identitas dari anak ini."Gue harus cari gimana ya?" Celetuknya sebab ya akan terasa sia-sia jika ia buka data perusahaan karena belum tentu identifikasi data pegawai sampai dengan data keluarga keseluruhan, kan....."Gue harus buka album foto lama!" Idenya kali ini jauh lebih menarik. Ya dia berharap bisa mencari tahu siapa anak kecil yang bersama dengannya dalam satu frame foto. Andrew yang lagi sendiri di rumah mew
"Eh jangan dibuka dulu...." Aku langsung merebut jurnal itu kembali."Ya kalo gak boleh di buka ngapain lo bawa kesini kan?" Ia membela dirinya."Gue mau nanya dulu sih sebelum lo buka jurnal ini. Takutnya pas lo buka, lo kaget sendiri..." Jelasku."Apa yang mau lo tanyain?" Ia pun terlihat juga penasaran."Lo punya saudara lagi? Atau...." "Apa sih La, pertanyaan itu mah tanpa perlu jawaban dari gue juga kan lo udah tau gue anak tunggal, pewaris tunggal..." Ia masih belum paham arah obrolanku kemana."Iya sih gue kan cuma memastikan aja. Soalnya ini disini gue ngelihat foto bokap lo sama dua orang anak laki-laki....." "Foto apaan emangnya? Sini gue lihat..." Ia mengadahkan tangannya bersiap menyambut pemberian dariku."Sebentar gue buka dulu..." Aku membuka lembar buku ini satu per satu halaman."Ini..." Aku menyodorkan seutas foto yang telah ditempel di dalamnya."Hmmmm, ini fotoku kecil dan papa. Siapa dia?" Andrew pun bertanya tentang sosok pria yang ada disampingnya ini."Bukan
Setelah selesai urusan dengan ayah, aku langsung menghubungi ibu. Mengatakan semua hal yang terjadi, dan untungnya respon beliau tidak begitu panikan terlebih saat ini ia sedang berada di luar negeri. "Udah, kamu tenang aja. Ibu akan pulang sore ini. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan..." Pinta ibu dari sambungan telepon. Aku langsung kembali ke luar menemui adik tiriku yang tidak bisa berkutik. "Tania, kamu mau disini atau pulang?" Memberikan penawaran seperti ini memang bukanlah solusi terbaik. Bagaimanapun ia adalah bagian dari keluarga ini. Adikku meski kami dari ibu yang berbeda. "Andrew gimana ya kak?" "Oh iya, nanti aku coba telefon dia bilang semua yang terjadi barusan. Kamu pulang dulu aja kali ya, supaya besok kita bisa sama-sama mikir langkah apa yang harus kita lakukan..." Tania menyetujui rencanaku. Ia pamit dan bergegaas pulang dengan panggilan taksinya. *** Jam terus berputar, sementara aku masih terus berpikir kejadian hari ini yang semuanya terasa sangat menyi