"Pagi Sayang, gimana tidurnya? Mimpi apa tadi malam?" Sapa Re yang terlihat samar wajahnya sudah berada di hadapanku.
Ia makin mendekatkan wajahnya ke arahku, dan benar saja ia langsung mengecup bibirku hingga nyaris melumatnya. Spontan, ku dorong tubuhnya dari hadapanku.
"Loh, kenapa Sayang? Aku suamimu loh ini," dengan nadanya yang cukup tinggi.
"Re, nanti kita bisa ngobrol sebentar? Ada hal yang gak bisa aku tahan sendiri lagi," jawabku yang langsung berdiri menuju kamar mandi.
"Bisa, aku tunggu nih kamu disini," balasnya.
Baru saja sekitar 10 menit aku berada di kamar mandi, aku mendengar suara dering ponsel Re berbunyi. Aku mencoba untuk menguping dari balik dinding kamar mandi ini, namun suaranya perlahan semakin jauh.
"Sial dia justru ke balkon!" gerutuku.
Dengan penggunaan sabun yang belum maksimal, ku lilitkan handuk ke lingkar tubuhku, lalu mengendap-endap keluar dari kamar mandi untuk sekedar mencari tahu suamiku ini sedang berhubungan dengan siapa.
"Ya sudah kalo memang begitu, sisanya urus terakhir. Yang penting dia gak curiga," sepenggal kalimat yang keluar dari mulut Re berhasil membuatku berpikir secara berlebihan.
"Apa maksudnya?" Batinku.
Lalu terdengar langkah kaki menuju masuk kembali ke dalam kamar, dan aku tentu saja berpura-pura sudah selesai mandi.
"Abis darimana?" Tanyaku dengan ketus.
"Angkat telepon nih dari kantor," jawabnya dengan datar.
"Kamu mau nanya apa sih, Sayang?" Tanyanya sembari duduk di atas ranjang menatapku yang masih mengenakan pakaian gaun rumah ini.
"Sini aku bantu kancingin," tambahnya yang langsung berdiri menarikkan kancing yang terletak pada bagian punggungku. Tak lama ia langsung memelukku erat dari belakang, dan bibirnya mengarah ke leherku.
Ia cumbui leher ini dengan kasarnya, bahkan sesekali ia gigit. Sementara aku masih mendiamkannya dan sedikit menikmati apa yang tengah ia lakukan.
"Sayang suka?" Tanyanya, dengan semakin menjadi mengarahkan tangannya ke bagian dadaku.
"Re, stop!" ketusku yang langsung menyingkirkan tangannya. Ia tampak kaget dan menarikku ke ranjang. Aku menepis tangannya.
"Re aku mau bicara!"
"Apa sih Sayang!" Pertama kalinya aku mendengar ia membentakku dengan kencang.
Aku masih coba mengontrol emosi yang mengalir di dalam tubuh ini, sehingga sesekali aku atur ritme pernapasan.
Aku tarik tangannya, ku ajak dia duduk saling berhadapan.
"Re, kamu bisa jujur sama aku?" Aku menatap matanya tajam. Ku lihat mata coklat khasnya sedang menatapku. Tujuan ku terus menatapkan mata ke arahnya sebagai justifikai bahwa ia tidak terlibat dalam hal apapun, ia paham bahwa saat ini aku begitu serius untuk membicarakan hal ini.
"Apa yang harus aku jujurin? Kamu kan udah tahu semua. Laila, tolong jangan menciptakan masalah, dong!" Lagi, dia menjawabku dengan ketus lagi.
Aku heran dengan perubahan sikapnya yang secara nyata terjadi semenjak hari pernikahan berlangsung.
"Apakah ada yang sedang kamu tutupi dari aku?" Tanyaku pelan.
Ia menundukkan wajahnya, ia tak menatap mataku.
Bagiku itu sudah cukup mewakili akan jawabannya, bahwa memang benar ia punya sesuatu yang ditutupi olehku sebagai istrinya.
Tak lama ia menghembuskan nafas, dan pelan-pelan menjawab,
"Gak ada Sayang. Berapa kali harus aku jelaskan bahwa aku tidak melakukan apapun yang sedang kamu pikirkan," tegasnya.
"Lantas, mengapa kamu selalu menghindar dariku ketika kamu mengangkat panggilan telepon?" Tanyaku yang langsung pada inti kekesalan dan overthinking terjadi beberapa hari ini pasca berlangsungnya pernikahan.
"Ya memangnya kamu mau dengar pembicaraanku dengan staff?" Tanyanya balik.
"Ya, kenapa tidak? Aku juga tidak memiliki singgungan terhadap kantormu. Aku ini istrimu loh Re, bukan orang lain yang tidak perlu tahu apa yang sedang kamu lakukan, apa yang sedang kamu pikirin, bahkan apa yang sedang terjadi dengan kamu. Aku ini istrimu loh Re. Tapi mengapa beberapa hari ini justru kau buat aku terus berpikir dan mencurigai semua tindakanmu?" Jelasku yang lebih terperinci.
"Sayang, dengerin aku ya kali ini. Aku punya alasan kok untuk tidak membebani kamu dengan menceritainya, atau sekedar mengangkat telepon dari orang lain di depanmu. Bagiku kamu adalah rumah, ya tempat ternyamanku. Aku tidak mau membuat rumahku kotor dengan menyediakan selalu keluh kesahku, bahkan permasalahan kantor yang tidak seberapa itu. Jadi kalo saat ini kamu sedang berpikir yang menyimpang, tolong deh dipikirkan lagi. Wajar gak dengan suami berpikir demikian?" Ucapnya sembari melihat mataku, begitupun aku yang terus menatapnya selama ia berbicara.
"Hanya itu?" Terangku.
"Iya Sayang. Apa kamu masih belum percaya dan meragukan aku?"
"Re, aku gak pernah ragu untuk menerima lamaranmu, tapi semenjak nikah beberapa hari yang lalu, aku merasa versi dirimu jauh berubah dari sebelumnya," ujarku dengan menjelaskan apa yang sedang aku ragukan dan rasakan dari diri Re.
"Sayang, justru ketika mereka yang masih berada dalam ikatan pacaran, tak akan pernah tahu faktanya seperti apa. Sebab mereka semua telah menggunakan topeng untuk menarik perhatian lawan jenis atau target yang mereka sedang perjuangkan. Sementara menikah, ya sudah wajarnya kamu tahu apa yang telah berubah dari pasanganmu, termasuk juga diri aku," Re menjelaskan kembali tentang kerisauan perasaanku terkait kecurigaanku kepadanya.
Aku terdiam. Perasaanku sangat kacau dengan jawaban ia yang begitu menenangkan sementara apabila mengingat kelakukannya membuatku benci lagi kepadanya.
"Ada lagi yang masih kamu raguin?" Tanyanya lagi.
"Masih banyak Re, semua tentang lo yang gue ragukan, mulai dari sikap dan karakter, panggilan telepon misterius, surat yang ku temukan di lemari, dan setelah ini apalagi?" bisikku dalam hati.
"Hmm sudah deh Re, aku gak tau harus bagaimana," balasku singkat.
Tak lama, ia berdiri dan mengambil ponsel dekat meja riasku. Ia berjalan lagi menujuku, lalu berkata
"Ini aku lihatkan ke kamu isi chat yang ada dalam ponselku," ucapnya dan langsung membuka aplikasi chat.
Dari aplikasi chat tersebut, hanya tersedia 10 pesan. Teratas adalah namaku yang kini kontaknya telah ia ubah menjadi lovely wife, lalu di posisi nomor dua adalah mamanya, dan sisanya grup pekerjaan.
"Puas sudah?" Tanyanya sembari tersenyum kepadaku.
"Ini pasti ada yang ganjal, aku bisa tahu dan merasakan ada yang tengah ia sembunyikan, namun semua buktinya telah ia kondisikan melalui ponsel lain." batinku dalam hati yang terus yakin bahwa ada yang sedang ia tutupi dariku.
"Ya sudah Sayang. Maaf ya aku curigaan seperti ini," ucapku pelan.
"Aku yakin bisa membongkar rahasia ini," desisku dalam hati.
"Ya sudah, jangan jutek lagi. Aku paham kok kamu merasakan cemburu gitu, paham. Namun jangan berlebihan. Hubungan ini kita harus jaga, Sayang. Kita bangun dengan rasa kepercayaan satu sama lain. Apabila sudah ada pelanggaran dalam hubungan ini, maka sudah tidak ada lagi arti kepercayaan." Re menjelaskan secara detail terkait kecurigaanku.
****
Aku jelas melihatnya bersama perempuan bergaun merah tengah berdansa dalam ruangan club mewah khas Italia. Aku melihatnya sedang bercumbu dengan perempuan lain, namun tak ku lihat dengan pasti wajah perempuan itu.
"Reee........"
"Selamat pagi Ibu, sepertinya hari ini Ibu harus ke kantor, ada yang tidak beres dari mutasi rekening kantor," terdengar suara yang tergesa-gesa dari kejauhan sana. "Sorry sorry, maksudmu gimana dan ini saya bicara dengan siapa?" Responku sembari mengatur posisi duduk pasca terbangun karena kaget bunyi deringan ponsel di sebelahku. "Maaf Ibu, saya Alika, Kepala Keuangan kantor. Saya baru menerima laporan bulanan, namun ada transaksi yang mencurigakan," jawabnya dengan nada formal. "Oke, saya segera ke kantor. Tolong siapkan ruang meeting dan kumpulkan staf terkait." Aku langsung menurunkan kakiku dari ranjang, dan menuju kamar mandi. Namun, sebelum melangkahkan kaki kiri ini masuk ke dalam, aku menoleh ke belakang, ku amati seantero ruangan. "Re kemana?" Ucapku pelan. "Ah sudah mungkin dia sedang sarapan," ucapku lagi. Aku langsung memasuki kamar mandi dengan pikiran yang bingung, ada apa dengan keuangan kantorku. *** Setelah ku berdandan rapi, aku mengambil blazer hitam yang
"Kring... kring.. kring...." Dering ponselku berbunyi tepat saat sedang menunggu lanjutan obrolan Andrew."Maaf Bu, semua staf sudah lengkap dan meeting sudah bisa dimulai," suara yang berasal dari ponsel memecahkan fokusku."Oh ya, saya sedang menuju lift." Aku langsung menutup telepon."Drew, gue mau meeting sekarang. Lo bisa tunggu sampai gue selesai?" Tanyaku kepadanya.Ia menatapku cukup lama, ya seperti biasa ketika ia sedang berpikir jelas banget terlihat ia diam sejenak."Ampun dah lo ya masih aja. Bisa atau gak, jangan kebanyakan mikir," ujarku sembari tersenyum tipis."Kelihatannya mantan gue masih paham banget ya," celotehnya dengan tertawa."Ya sudah lo meeting dulu aja, nanti telepon gue aja. Gue masih dengan nomor lama dan perasaan yang sama hahaha," tambahnya tertawa dan melangkahkan kaki menuju pintu keluar.Aku melihatnya berjalan langkah demi langkah menuju pintu putar di ujung sana.
"Re, kapan kita mau mengunjungi orang tuamu?" Ujarku sesampai di apartemen sore hari yang melihatnya sedang menonton tv di atas ranjang."Baru pulang itu ucap salam dulu, Sayang. Tiba-tiba langsung ngomong gitu buat kaget," balasnya yang langsung menoleh kaget ke arah sumber suara di depam pintu kamar."Ah iya, tadi waktu masuk pintu utama udah ucap salam sih. Cuma kamu gak respon, makanya aku langsung masuk kamar aja.""Ya gak kedengeran juga sih, lagian volume tvnya kencang banget," tambahku."Hahaha iya, abisnya sepi banget sih jadi biar ramai aku naikin aja deh volumenya.""Kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu, Sayang? Kan kita udah rencanakan mau honeymoon dulu baru ke rumah orang tua," responnya. Ia langsung berdiri mendekati meja kecil di sudut jendela untuk menuangkan segelas air putih yang selalu stanby di sana."Hmmm baiknya kita ke rumah orang tuamu dulu," responku singkat."Kenapa buru-buru gini?" Dari nada pertanyaannya aku sudah bisa merasakan sedikit ada getaran dengan raut
[Kalo lo lagi kalut, buka file ini ya] 19.15"Ting....." Bunyi notifikasi ponselku beserta cuplikan pesan di notifikasi terlintas oleh pandangku.Entahlah sepertinya sedarii tadi aku hanya menatap kosong layar televisi yang berputar entah apa yang sedang ditayangkan pun aku tidak tahu. Mataku tertuju pada setiap adegan, namun fokusku hanya memikirkan rencana masa depan pernikahan ini."Pesan dari Andrew, dia kirim file apa nih," batinku.Jemariku mulai menyentuh layar pada ponsel, dan ku buka ruang obrolan yang telah tertera namanya di daftar kontakku. Di dalam ruang obrolan ini, aku melihat sisa terakhir intens komunikasi yang berisi ucapan selamat tinggal.[Kamu harus janji bahagia, meski tidak denganku ya!] 2020"Gue lupa hapus yang ini," batinku sembari tersenyum kecil melihat 1 buah bubble chat yang menunjukkan betapa bermaknanya pesan itu untukku.Setelah aku melihat satu buah chat lama itu, beberapa menit yang lalu ia mengirimkan pesan dengan lamiran sebuah file. Aku klik file
"Pagi Bu Laila. Semua dokumen yang ibu perlukan sudah saya letakkan di dalam ruangan ibu ya." Sapa Alika yang memecahkan lamunanku masih denga kondisi berjalan menuju ruangan kerja. Mataku tampak jelas menatap ke arah depan namun pikiranku begitu kosong."Ha, maaf gimana?" Ucapku kaget."Maaf Bu, tadi saya hanya menyampaikan bahwa semua dokumen untuk Ibu cek telah tersedia di atas meja kerja." Upayanya menjelaskan secara berulang begitu ku apresiasi."Oke, thanks. Nanti kamu ikut ke ruangan saya ya untuk verifikasi," responku yang langsung memasuki pintu ruangan ini.Sesampai di ruangan kerja, aku menuju cermin tinggi yang berada membelakangi pemandangan khas ibukota, diselimuti dengan berbagai gedung pencakar langit dan liuk jalan layang bersatu padu memecahkan hening dengan semua aktivitasnya."Duh ada kerutan disini lagi," celotehku dengan menyentuh beberapa sisi wajah yang ku lihat kulit ini sudah tampak tak terurus akibat peliknya rumah tangga yang beberapa hari terbangun.Setela
Setelah mengulik semua dokumen keuangan, entah kenapa hatiku masih tidak yakin Tika bisa mengkhianatiku. Dia adalah orang yang ku percaya selama ini, bahkan rasanya tak mungkin dia bisa berpikir dengan sengaja mencuri uang perusahaan. Benar juga yang disampaikan oleh ayah untuk tidak percaya dengan siapapun itu. Rasanya begitu menyakitkan dikhianati olehnya."Eh kenapa bengong?" Suara maskulin ini memecahkan lamunanku."Udah datang? Kurang lama datangnya!" Balasku."Yaelah maaf La. Tadi ada deadline di kantor sebentar, makanya gue baru bisa kesini setelah semua udah beres.""Apa yang mau lo sampaikan?" Tanyaku."Bentar dong, gue aja belum pesan minum ini. Gue pesan dulu ya," jawabnya yang langsung beranjak menuju meja barista.Aroma parfumnya masih sama, orangnya masih sama, namun statusnya saja sudah berbeda. Ya setidaknya aku tak pernah menyesal mengenal manusia ini, sebab ia begitu baik hati mesti terkadang seringkali ku berpikir bahwa aku lah yang begitu jahat selama menjalani hu
"Gimana kamu sudah telisik semua laporan keuangan perusahaan?" Ayah menyapaku bukan dengan salam melainkan menanyakan laporan perusahaan yang sedikit mengalami masalah. "Iya, aku sudah skimming namun pengecekan detail sudah dilakukan oleh kepala keuangan." Jawabku sembari meletakkan beberapa dokumen penting yang ia minta. "Lalu apa hasilnya?" Tanyanya. sembari membuka satu per satu lembar yang berada dalam map tipis warna-warni tersebut. "Kami masih menyelidiki siapa pelakunya, Yah. Berikan aku waktu untuk mencari tahu siapa yang sesungguhnya sedang bermain peran di atas kepentingan perusahaan." Balasku yang masih berdiri di hadapan meja kerjanya. Sengaja ku tutupin apa yang sebenarnya terjadi, sebab masalah internal ini benar-benar mengagetkan, bagaimana mungkin asisten pribadiku bisa dengan tega melenyapkan uang yang berada di rekening perusahaan. "Masa bisa lama banget, La. Ini kasus kriminal loh harusnya kamu bisa melaporkan kepada pihak polisi terdekat!" Ayah yang tampak emos
"Sayang, kamu dimana sekang?" Ucapku melalui sambungan telepon."Lagi di jalan nih. Ada apa sayang?" Tanyanya yang terdengar hiruk pikuk klakson dari suara latarnya."Ini ibu dan ayah mau ngajakin makan malam di rumah, kamu bisa datang?" "I'm not sure karena ada jadwal meeting kantor nih.""Selarut ini. Meeting apa emangnya dan dimana?" Tanyaku yang membuat rasa curiga ini kian bergemuruh dalam benak pikiran."Belum tahu sih aku masih menunggu respon staffku terkait lokasinya." Jawabnya singkat.Mulai lagi keanehan yang aku rasakan dari suamiku ini. Bagaimana bisa mengadakan suatu pertemuan tanpa ada obrolan sebelumnya? Bagaimana bisa dia pergi tanpa tujuan? Apakah ini ada hubungannya dengan telepon di hari lalu tentang PHK? "Loh kok bisa gak tahu tapi kamu sudah jalan aja." Aku langsung menanyakan apa yang menjadi pikiranku."Ya kepengen aja merasakan udara malam." Setelah jawaban singkatnya itu, langsung saja aku mematikan panggilan ini, sebab semakin lama berkomunikasi dengannya
"Apa? Separah itu kah?" Andrew seolah mendesak."Berawal dari papamu yang buat kesalahan cinta satu malam dengan seorang wanita muda hingga membuatnya hamil. Di situ kami pun nyaris pisah, karena Mama sama sekali tidak tahan. Ya, untungnya wanita muda itu ikhlas untuk tidak dinikahkan tapi papa mu harus selalu mengirimkan uang kepadanya berapa puluh juta tiap bulan..."Mama menghentikan kalimatnya. Ia kembali menatap mata papa lagi..."Pa, is it ok?" Lagi, mama memastikan agar yang ia ceritakan sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab bersama jikalau Andrew berontak.Papa hanya menganggukkan kepalanya."Ya kami harap kamu gak terlalu kaget dengan fakta yang ada Drew...." Tambah mama yang mencoba mengingatkan Andrew bahwa fakta yang ada memang semenakutkan itu."Karena kondisi ekonomi kami yang saat itu juga sulit habis ditipu sama salah satu investor. Akhirnya papamu dan ayah Laila sepakat untuk menghabiskan nyawa wanita itu setelah ia melahirkan anak papamu......"Mama menjeda ucapann
"Ha? Istri kau bilang?" Aku tertawa sinis dihadapannya. Baru kali ini aku berhadapan dengan iblis ini setelah rumah tangga kami berhasil ia porak-porandakan demi wanita lain dan hartaku. "Loh, status kita kan masih suami istri, sayang. Jangan ketus gitu dong dengan suami kamu..." Re berjalan beberapa langkah menujuku. Sementara aku juga menjauhinya beberapa langkah. "Kok kamu ngejauh dari aku sih? Aku kangen banget loh sama kamu..." Ucapnya. "Sial, dia mabuk!!" Desisku dalam hati. "Mana Tania????" Lagi aku meneriaki seantero ruangan ini berharap Tania bisa ku temukan. "Kalo lo mau Tania selamat, lo kembalikan lagi uang 4 milyar kami....." Teriak Tika dari dalam ruangan lain. "Lo tuh gak punya malu ya, pengkhianat!! Itu uang perusahaan, bukan uang lo.." Jelas saja ini membuatku amat murka. Jujur aku masih begitu gemetaran melihat wajah Tika disana, kenapa bisa aku mempercayai seorang yang begitu menusukku dari luar dan dalam. Seorang yang dengan tulusnya sudah ku akui sebagai s
Kepergian Andrew yang begitu mendadak memang jelas meninggalkan pertanyaan besar. Sebab ia menyembunyikan semuanya dariku. Ada rasa tidak adil yang aku rasakan. Ia yang ikut campur ke dalam masalahku justru ia yang membuat rencana sendiri. Entah aku berpikir terlalu jauh atau memang kenyataannya seperti itu."Kakak, aku temenin ya ke kantor. Nanti aku langsung aja kesana, gak usah dijemput..." Ucap Tania yang menelponku pagi sekali."Iya, hati-hati ya.." Aku bersiap, sembari terus mencoba chat Andrew memastikan kondisi ayahnya disana baik-baik saja begitu juga Andrew sendiri."Andrew bener-bener gak balas pesanku ya." Desisku melihat pesan yang masih centang dua berwarna abu-abu."Dia beneran gak apa-apa kan ya?" Gemuruh banyak pertanyaan bersanding di dalam kepala. Sebegitu mengkhawatirkannya tingkah Andrew hingga membuatku bolak-balik memastikan pesanku memang belum direspon olehnya.Ya, hingga pada keputusan lebih baik aku harus ngantor untuk mengurangi pikiran anehku."Pagi Yah.
"Loh kok gak ada. Coba cek sekali lagi deh!" Tika bersikukuh bahwa dalam kartu debit platinum tersebut tersimpan jumlah uang yang fantastis. "Ini gue coba lagi..." Ucap wanita muda yang sepertinya seorang pegawai untuk mengurus orang yang akan mengenakan kapal. "Tuh gak bisa Bu. Apakah ada kartu debit lain?" Terlihat jelas wanita tersebut tengah menahan emosinya sebab berulang kali kartunya ditolak oleh sistem. "Ada apa?" Rehan langsung mendekati sumber suara. "Masa kartunya ga ada saldonya sih..." Ucap Tika. "Ha, sumpah lo??" Rehan langsung maju selangkah di depan Tika. "Coba mana Mba kartunya..." Ia meminta kartu platinum tersebut. Rehan mengambil kartu tersebut. Ia membolak balikan kartu tersebut jelas saja tidak ada yang retak dari kartu yang masih terlihat baru tersebut. "Maaf, ini jadi pembayarannya gimana?" Ucap seorang wanita muda yang mungkin juga terlihat bingung dengan beberapa orang dihadapannya. "Hahahaha kenapa? Gagal ya pembayaran lo?" Teriak seorang lelaki den
"Sekarang juga kita berkemas..." Re dengan paniknya bolak-balik memikirkan hal yang sangat pusing untuk dipikirkan sendiri."Kita mau kemana?" Tika yang tidak kalah paniknya hanya bisa bertanya-bertanya dan bertanya tanpa bisa memberikan solusi."Rumah orang tuaku?" Tika coba memberikan opsi terbaiknya saat ini."Gila kamu. Ya pasti sudah ke-trace duluan kalo ke rumah keluarga. Kita harus berangkat ke luar negeri, sekarang juga!" Ucap Rehan yang masih coba mengotak-ngatik cctv area sekitar memastikan polisi belum dekat dengan mereka."Kita gak punya waktu banyak lagi sekarang. Sekarang atau kita ketangkap semua..." Rehan langsung menutup layar laptopnya."Kita gak bisa pergi karena di bandara sudah pasti tercegat..." Ucap pengacara yang disebut sebagai ketua itu."Jadi gimana ketua?" Renald meminta saran kepadanya, sebab ia yakin ketua punya cara jitu untuk lolos dari proses hukum ini."Gue sudah hubungi temen yang bisa meloloskan imigran gelap. Kita akan pergi ke China..." Ucapnya."
"Kita bisa ketemu gak?" Terdengar suara pria yang seolah dalam kondisi mendesak."Ada masalah? Waktunya kurang?" Re menggenggam ponselnya erat-erat."Sayang ada apa?" Tika yang berada disampingnya pun kian cemas."Sssshhh....." Renald mengancungkan telunjuk tangan kirinya ke bibirnya dengan mata yang melirik tajam ke arah Tika."Iya. Pokoknya kita harus ketemu sekarang juga!" Pria tersebut mematikan panggilannya."Kita harus putar balik dulu. Gak bisa main golf hari ini..." Re mencari putaran mobil dna berharap masalah yang ada tidak sampai mmenggagalkan rencana besarnya."Ada apa sih?" Tika tidak kalah penasaran dengan sikap aneh sang pacar."Kamu diam aja bisa kan?" Re sedikit membentak.***"Sorry banget kalo gue dadakan ngabarin kalian..." "Udah gak usah basa-basi. Ada apa? Hal apa yang sampe buat kami datang kesini buat ketemu dengan lo?" Renald sudah tidak sabar mendengar hal yang dirasanya cukup ganjil ini."Hufttt... Dokumen yang kemarin kalian kasih ke aku itu semuanya imita
"Hmmmm gue jadi penasaran juga siapa ya sosok ini. Papa mama juga rasanya gak pernah cerita kalo gue punya teman kecil yang akrab banget selama di Indonesia....." Andrew memandangi ponselnya yang berisi foto ayah, dirinya dansatu sosok lain yang saa sekali ia tidak mengenalnya. "Kalo dari raut wajahnya rasanya agak familiar, tapi gak tau juga siapa....." Lagi, Andrew melakukan pembesaran gambar untuk melihat secara detail siapa sosok yang berada di sebelahnya itu.Ia menyentuh layar laptop yang ada dihadapannya, mencoba buka data-data perusahaan sang ayah untuk mencari identitas dari anak ini."Gue harus cari gimana ya?" Celetuknya sebab ya akan terasa sia-sia jika ia buka data perusahaan karena belum tentu identifikasi data pegawai sampai dengan data keluarga keseluruhan, kan....."Gue harus buka album foto lama!" Idenya kali ini jauh lebih menarik. Ya dia berharap bisa mencari tahu siapa anak kecil yang bersama dengannya dalam satu frame foto. Andrew yang lagi sendiri di rumah mew
"Eh jangan dibuka dulu...." Aku langsung merebut jurnal itu kembali."Ya kalo gak boleh di buka ngapain lo bawa kesini kan?" Ia membela dirinya."Gue mau nanya dulu sih sebelum lo buka jurnal ini. Takutnya pas lo buka, lo kaget sendiri..." Jelasku."Apa yang mau lo tanyain?" Ia pun terlihat juga penasaran."Lo punya saudara lagi? Atau...." "Apa sih La, pertanyaan itu mah tanpa perlu jawaban dari gue juga kan lo udah tau gue anak tunggal, pewaris tunggal..." Ia masih belum paham arah obrolanku kemana."Iya sih gue kan cuma memastikan aja. Soalnya ini disini gue ngelihat foto bokap lo sama dua orang anak laki-laki....." "Foto apaan emangnya? Sini gue lihat..." Ia mengadahkan tangannya bersiap menyambut pemberian dariku."Sebentar gue buka dulu..." Aku membuka lembar buku ini satu per satu halaman."Ini..." Aku menyodorkan seutas foto yang telah ditempel di dalamnya."Hmmmm, ini fotoku kecil dan papa. Siapa dia?" Andrew pun bertanya tentang sosok pria yang ada disampingnya ini."Bukan
Setelah selesai urusan dengan ayah, aku langsung menghubungi ibu. Mengatakan semua hal yang terjadi, dan untungnya respon beliau tidak begitu panikan terlebih saat ini ia sedang berada di luar negeri. "Udah, kamu tenang aja. Ibu akan pulang sore ini. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan..." Pinta ibu dari sambungan telepon. Aku langsung kembali ke luar menemui adik tiriku yang tidak bisa berkutik. "Tania, kamu mau disini atau pulang?" Memberikan penawaran seperti ini memang bukanlah solusi terbaik. Bagaimanapun ia adalah bagian dari keluarga ini. Adikku meski kami dari ibu yang berbeda. "Andrew gimana ya kak?" "Oh iya, nanti aku coba telefon dia bilang semua yang terjadi barusan. Kamu pulang dulu aja kali ya, supaya besok kita bisa sama-sama mikir langkah apa yang harus kita lakukan..." Tania menyetujui rencanaku. Ia pamit dan bergegaas pulang dengan panggilan taksinya. *** Jam terus berputar, sementara aku masih terus berpikir kejadian hari ini yang semuanya terasa sangat menyi