“Tania sini, kau berada di belakangku saja,” ucapku sembari menarik tangannya agar tak kena pukulan dari ayah.
“Kau beruntung, sebab anak kandungku melindungimu bahkan hingga membawamu ke luar negeri yang tak pernah berhasil ku lacak keberadaanmu,” ucap ayah dengan menunjuk Tania.
Aku berusaha melindunginya. Aku selalu memasang tubuhku di depannya agar ia merasa aman dari kejamnya ayah. Namun, ya tentu saja ayah tidak akan pernah memukulku bahkan sampai di titik aku mengkhianatinya karena telah membawa Tania kabur pada saat ia memerintahkan sopirnya untuk mengantar ke Rumah Duri.
“Sudah Yah, sudah, hentikan,” ucap ibu terisak menarik tangan ayah.
“Ku beri kau waktu 1 jam disini untuk menemui kakakmu dan suaminya, lalu kau angkatkan kaki dan jangan pernah kembali lagi,” tambah ayah dengan suaranya yang tegas. Ia melepasan satu kancing di kemejanya dan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah bersama ibu di sampingnya.
“Apakah Ayah yang membunuh Mas Ibnu?” Tania berteriak dengan kencang. Bahkan Bi Asih yang sedang membawakan gelas dan minum pun kaget hingga menyebabkan gelas jatuh dan serpihan kaca berhamburan.
Aku terpelongo mendengar kalimat yang barusan saja diucapkan oleh adik tiriku. Aku membalikkan badan dan menatap matanya. Ku lihat air mata telah penuh membasahi wajahnya yang cantik itu dengan rambut panjang sebahu yang terurai dan poni tipis di keningnya.
Kami semua yang masih berada di halaman belakang tak bisa bergerak seolah menunggu jawaban dari ayah yang belum juga membalikkan badan selama 1 menit. Kemudian, ia berbalik dan menghembuskan nafasnya.
“Jaga ucapanmu. Dasar anak durhaka! Cepat kau pergi dari rumahku!” ucap ayah pelan namun dari nadanya sangat terdengar tajam.
Ia berlalu, melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah yang entah kemana. Mata Re memandangku penuh dengan jutaan pertanyaan. Aku menatapnya balik seolah berkata,
“Sebentar ya, aku butuh waktu menjelaskan semuanya,” namun kalimat itu tak kurun terucap sebab Tania meringis takut dan nangis kejer.
Bi Ratih datang membawakan satu set alat kebersihan untuk memastikan hamburan kaca sudah tidak ada lagi yang tertinggal. Setelah di rasa lantai bersih, aku mengajak Tania untuk ke kamar atas.
“Sayang, bisa tunggu aku di kamar? Aku harus berbicara dengan Tania terlebih dahulu,” ucapku kepada Re yang masih butuh penjelasan banyak dariku.
“Ya, jangan lama ya Sayang.” balasnya sembari tersenyum dan mengecup keningku.
Beruntungnya Re seakan lupa dengan nafsu yang tadi menggelora dalam tubuhnya. Hingga aku bisa fokus menyelesaikan hal tak terduga di hari pernikahanku ini.
Aku melanjutkan langkahku menaiki satu per satu anak tangga, sementara Re masih berada di bawah.
Ku buka pintu kamar Tania yang berada tepat di sebelah pintu kamarku. Tania tampak kaget melihat kamarnya begitu berubah sejak ia tinggalkan. Banyak aksesoris baru yang dipajang disana, seperti foto ibu dengan Tania, fotoku bersamanya, dan tentu saja foto ia bersama ibu kandungnya. Semua karena inisiatif ibu untuk meletakkannya disana meskipun Tania entah kapan bisa kembali ke rumah ini, bahkan ke kamar ini.
“Kak, siapa yang meletakkan ini?” Tanyanya dengan suara yang lebih tenang dari sebelumnya.
“Bukan gue sih yang pasti,” ucapku tersenyum.
“Ibu?” Tanyanya dengan kelopak mata yang spontan melebar.
“Iya, dia begitu menyayangimu Nia,” jawabku dengan tersenyum dan mengusap rambutnya.
Ia duduk di tepi kasur, dan aku menarik sofa kecil yang berada di sebelah pintu tepat berhadapan dengannya.
“Makasih ya sudah berani hadir ke acara ini, dan maaf apabila ayah lagi-lagi membuatmu sakit hati,” ucapku menatap matanya tajam.
“Tujuanku kesini bukan hanya ingin melihat Kak Laila bahagia, tetapi ingin bertanya pada ayah terkait Mas Ibnu Kak..” ucapnya pelan.
“Dek, bukankah sudah jelas bahwa ia meninggal karena bunuh diri?” Tanyaku menatap matanya.
“Kita sudah bahas ini beberapa kali loh, dari kamu di luar negeri sampai sampai saat ini,” tambahku dengan pelan.
“Apakah Kakak merasa tidak aneh? Bagaimana bisa ia bunuh diri padahal kehidupannya sempurna,” tukasnya.
“Sempurna? Maksudmu gimana? Ya kalo gue mikirnya, karena dia merasa gak punya harapan hidup lagi. Kerjaannya sudah dicabut ayah, dan kamu tahu sendiri apabila ayah sudah dendam sama satu orang, ia tak akan membuat orang itu bahagia sedikitpun. Lalu, mungkin Ibnu berpikir karena hal ini, ia membuat anak istrinya menderita dan lebih baik ia bunuh diri,” ucapku.
“Kak, hmmm gimana ya… Aku yakin pasti ada yang ditutupi oleh ayah. Terlebih ia tak akan membuat orang itu bahagia, aku yakin Kak…….” Ucapnya kekeh.
“Dek, bukannya gue gak percaya sama lo, tapi dari fakta yang ada bahkan hasil otopsinya menunjukkan ia bunuh diri, bukan pembunuhan.” Ucapku terus mencoba meyakinkan dirinya.
“Gue tahu kok lo masih kalut dengan semua ini, meskipun peristiwanya sudah berlalu. Namun, saat ini please dengerin gue. Lo harus sembuh dulu secara total ya. Lo tahu kan kenapa gue bawa lo balik ke dalam negeri?” Tanyaku kepadanya.
“Iya Kak, aku paham. Tapi, aku akan pastikan bahwa pelan-pelan aku bakal menemukan bukti sekecil apapun itu Kak,” ucapnya dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
Ia berdiri sembari mengusap air matanya yang tersisa di pelipis pipi. Ia berjalan melewatiku untuk sampai di depan cermin.
“Aku pasti menemukan buktinya Kak. Aku pastikan Kakak harus melihat semua yang bukti itu” ucapnya menatap cermin dirinya sendiri.
***
Setelah kejadian tahun lalu yang berakhir pengusiran oleh ayah, ku buatkan strategi sederhana untuk membawa Tania ke luar negeri. Sudah ku siapkan berbagai dokumen keberangkatannya dalam koper yang telah ku packing waktu itu, seperti paspor. Lalu, ku minta Pak Rendi mengantarnya tetap dengan tujuan Rumah Duri, namun sesampai disana pastikan Tania menemui Tika untuk diantarkan ke bandara bersama perawat yang telah ditunjuk untuk menjadi pendampingnya. Lalu, di dalam paspor itu juga ku selipkan sebuah surat yang ku tulis buru-buru pada saat membereskan kopernya.
[Dek, maafin Kakak karena terlalu emosi kepadamu. Namun, Kakak janji akan selalu melindungi kamu dari bahaya apapun, maka pergilah kamu bersama Lita, asisten sekaligus perawat yang akan bersamamu disana. Ku siapkan pula kartu debit kepada Tika yang berisi 1 miliar untuk kau hidup disana. Kau pergi ke Boulevard 8 nomor 8. Itu rumah yang baru saja aku beli beberapa hari yang lalu dan tanpa sepengetahuan ayah. Jangan lupa beli ponsel dan nomor baru, lalu setelah sampai kau harus hubungiku. Jaga kesehatan dan jaga diri, jangan pernah melakukan kebodohan lagi].
***
Setelah obrolan singkat terkait kematian Ibnu, ia pamit pulang ke apartemen yang tentu saja itu merupakan apartemenku. Lagi, dan lagi sudah ku siapkan semuanya disana termasuk pengamanan untuk memastikan tidak ada yang terjadi kepadanya.
Aku mengantarnya menurunkan satu per satu anak tangga, dari atas kulihat tampak Re sedang berdiri dan mengobrol dengan Tika di tepi ayunan. Dari kejauhan mereka tampak begitu akrab, hingga tercermin senyum merekah dari keduanya. Aku melihat mereka, sembari turun tangga hingga di lantai dasar ku persilahkan Pak Karyo mengantar Tania hingga sampai apartemen. Sementara aku menuju suamiku yang masih mengenakan jas pengantin itu.
“Keliatannya serius banget bercandanya, lagi pada ngobrolin apa?” Ucapku dengan tersenyum kaku.
Mereka tampak terkejut dan gugup, ku tatap lagi matanya lalu Re berkata,
“Oh gak sayang, ini aku nanya aja Mbak ini yang waktu itu di acara kita ketemu bukan sih,” ucapnya dengan gugup namun tetap mengoleskan senyum di bibirnya.
“Iya benar, Sayang, Tika ini asistenku. Oh ya kamu tadi kemana ya Tika? Kok saya gak lihat kamu selama acara berlangsung?” Ucapku menjawab pertanyaan Re sekaligus menanyakan keberadaan Tika yang seketika menghilang selama acara berlangsung.
“Iya Bu, maaf. Tadi saya mendapatkan telpon dari rumah bahwa ibu saya sakit, sehingga lumayan lama mengobrol dengannya,” jawabnya dengan tatapan matanya yang terus mengalihkan dari sorot mataku.
“Dia kali ini berbohong, apa yang sedang ia tutupi?” Bisikku dalam hati.
“Udah selesai urusanmu dengan Tania? Kemana dia sekarang?” Tanya Re yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Barusan aja pulang,” balasku, dan menarik tangannya menuju ke dalam rumah.
“Jadi kita udah siap untuk malam pertama?” Ucapnya dengan sedikit tertawa dan mencium rambutku sembari melangkahkan kaki menuju kamar pengantin kami.
***
Setelah sampai di kamar, betul saja ia langsung menyentuh seluruh tubuhku. Ku biarkan tubuh ini dinikmati olehnya hingga sampai waktu yang tepat ia memberanikan diri untuk berhubungan layaknya suami istri. Namun, pada posisi puncak kenikmatan, ponsel Re berbunyi berulang kali seperti spam pesan masuk. Ia mengakhirinya dengan egois, sebab aku belum merasakan pada titik kepuasan.
“Sebentar sayang,” ucapnya yang langsung melekatkan kembali pakaiannya dan berjalan menuju meja ujung kamar untuk mengambil ponselnya. Lalu ia buka ponsel tersebut dan membacanya dengan berdiri.
“Kenapa ga duduk Re?” Ucapku yang masih berbalut selimut.
Ia tak bergeming, jari-jarinya amat cepat bergerak untuk mengetik pesan yang entah dari siapa di malam hari milik pengantin baru ini. Wajahnya berubah menjadi tegang dan tampak ada masalah yang serius.
“Re? Kamu chat sama siapa sih sampai gak dengar aku?” Ucapku dengan nada ketus.
Ia menatapku tajam dan sinis, namun tak lama ponselnya berdering pertanda ada yang menghubunginya. Ia keluar dari kamar, dan entah kemana.
Sementara aku bingung, mengapa ia menjadi sosok Re yang baru ku kenal hari ini. Aku bertanya-tanya dengan sikapnya yang seolah berubah drastis.
“Ah mungkin gue yang terlalu sensitif,” ucapku dalam hati.
Hari pertama setelah pernikahan dimulai, rencananya hari ini aku dan Re akan pindah ke apartemen yang berdekatan dengan Tania.Aku bangun lebih awal dari suamiku, lalu duduk dan bersandar tepat di samping pria ini. Terlihat ia menghadap ke arahku dan ku pandangi juga bahwa di sebelah kiri kepalanya terdapat ponsel yang mungkin saja masih ia nyalakan ketika ku terlelap tadi malam. Ia tidur dengan busana lengkap, sementara aku masih dengan tubuh yang baru saja ia nikmati dan berbalut selimut. Ada perasaan curiga yang bergemuruh di dalam pikiranku, namun sepertinya tak etis untuk membahasnya karena baru saja beberapa jam yang lalu kami resmi menikah dan berikrar sehidup semati.“Sayang kok sudah bangun?” Ucapnya melihatku. Sementara aku tersenyum kepadanya sembari terus mengelus rambutnya.“Tadi malam kamu tidur jam berapa?” Jawabku dengan lembut kepadanya, seakan lupa akan kemarahan yang tadi malam telah ku lontarkan kepadanya, sebelum ia bergegas pergi mengangkat teleponnya.“Lupa deh
"Kak, Ibnu datang menemuiku..." rintih Tania yang masih terbaring lemas di atas kasur.Aku mendengarnya merintih sembari mengucapkan kalimat itu. Sembari melihat beberapa perawat yang masih sibuk untuk membersihkan luka di paha kanannya, ku lihat Tika dari jauh menghampiriku."Kamu kok ada disini?" Tanyaku. Aku seolah bingung sebab, belum ada ku infokan hal ini kepada asisten pribadiku ini."Saya kebetulan lewat lalu melihat mobil Ibu belok menuju rumah sakit ini." Jawabnya."Mbak, adiknya sudah selesai kami bersihkan lukanya. Mohon segera lengkapi administrasi ya." ujar perawat sambil berdiri dan memegang beberapa alat berbahan stainless steel."Apakah perlu rawat inap?" Tanya Re yang berada di sebelahku."Gak perlu Pak. Cukup bantu gantikan saja perbannya setiap hari." ucap perawat lalu mereka pamit dan melangkahkan kaki keluar ruangan."Biar aku saja yang urus, Sayang. Kamu temenin aja Tania," ujar Re."Kamu tahu identitas Tania?" Jawabku.Umumnya, rumah sakit akan meminta data diri
"Pagi Sayang, gimana tidurnya? Mimpi apa tadi malam?" Sapa Re yang terlihat samar wajahnya sudah berada di hadapanku. Ia makin mendekatkan wajahnya ke arahku, dan benar saja ia langsung mengecup bibirku hingga nyaris melumatnya. Spontan, ku dorong tubuhnya dari hadapanku. "Loh, kenapa Sayang? Aku suamimu loh ini," dengan nadanya yang cukup tinggi. "Re, nanti kita bisa ngobrol sebentar? Ada hal yang gak bisa aku tahan sendiri lagi," jawabku yang langsung berdiri menuju kamar mandi. "Bisa, aku tunggu nih kamu disini," balasnya. Baru saja sekitar 10 menit aku berada di kamar mandi, aku mendengar suara dering ponsel Re berbunyi. Aku mencoba untuk menguping dari balik dinding kamar mandi ini, namun suaranya perlahan semakin jauh. "Sial dia justru ke balkon!" gerutuku. Dengan penggunaan sabun yang belum maksimal, ku lilitkan handuk ke lingkar tubuhku, lalu mengendap-endap keluar dari kamar mandi untuk sekedar mencari tahu suamiku ini sedang berhubungan dengan siapa. "Ya sudah kalo me
"Selamat pagi Ibu, sepertinya hari ini Ibu harus ke kantor, ada yang tidak beres dari mutasi rekening kantor," terdengar suara yang tergesa-gesa dari kejauhan sana. "Sorry sorry, maksudmu gimana dan ini saya bicara dengan siapa?" Responku sembari mengatur posisi duduk pasca terbangun karena kaget bunyi deringan ponsel di sebelahku. "Maaf Ibu, saya Alika, Kepala Keuangan kantor. Saya baru menerima laporan bulanan, namun ada transaksi yang mencurigakan," jawabnya dengan nada formal. "Oke, saya segera ke kantor. Tolong siapkan ruang meeting dan kumpulkan staf terkait." Aku langsung menurunkan kakiku dari ranjang, dan menuju kamar mandi. Namun, sebelum melangkahkan kaki kiri ini masuk ke dalam, aku menoleh ke belakang, ku amati seantero ruangan. "Re kemana?" Ucapku pelan. "Ah sudah mungkin dia sedang sarapan," ucapku lagi. Aku langsung memasuki kamar mandi dengan pikiran yang bingung, ada apa dengan keuangan kantorku. *** Setelah ku berdandan rapi, aku mengambil blazer hitam yang
"Kring... kring.. kring...." Dering ponselku berbunyi tepat saat sedang menunggu lanjutan obrolan Andrew."Maaf Bu, semua staf sudah lengkap dan meeting sudah bisa dimulai," suara yang berasal dari ponsel memecahkan fokusku."Oh ya, saya sedang menuju lift." Aku langsung menutup telepon."Drew, gue mau meeting sekarang. Lo bisa tunggu sampai gue selesai?" Tanyaku kepadanya.Ia menatapku cukup lama, ya seperti biasa ketika ia sedang berpikir jelas banget terlihat ia diam sejenak."Ampun dah lo ya masih aja. Bisa atau gak, jangan kebanyakan mikir," ujarku sembari tersenyum tipis."Kelihatannya mantan gue masih paham banget ya," celotehnya dengan tertawa."Ya sudah lo meeting dulu aja, nanti telepon gue aja. Gue masih dengan nomor lama dan perasaan yang sama hahaha," tambahnya tertawa dan melangkahkan kaki menuju pintu keluar.Aku melihatnya berjalan langkah demi langkah menuju pintu putar di ujung sana.
"Re, kapan kita mau mengunjungi orang tuamu?" Ujarku sesampai di apartemen sore hari yang melihatnya sedang menonton tv di atas ranjang."Baru pulang itu ucap salam dulu, Sayang. Tiba-tiba langsung ngomong gitu buat kaget," balasnya yang langsung menoleh kaget ke arah sumber suara di depam pintu kamar."Ah iya, tadi waktu masuk pintu utama udah ucap salam sih. Cuma kamu gak respon, makanya aku langsung masuk kamar aja.""Ya gak kedengeran juga sih, lagian volume tvnya kencang banget," tambahku."Hahaha iya, abisnya sepi banget sih jadi biar ramai aku naikin aja deh volumenya.""Kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu, Sayang? Kan kita udah rencanakan mau honeymoon dulu baru ke rumah orang tua," responnya. Ia langsung berdiri mendekati meja kecil di sudut jendela untuk menuangkan segelas air putih yang selalu stanby di sana."Hmmm baiknya kita ke rumah orang tuamu dulu," responku singkat."Kenapa buru-buru gini?" Dari nada pertanyaannya aku sudah bisa merasakan sedikit ada getaran dengan raut
[Kalo lo lagi kalut, buka file ini ya] 19.15"Ting....." Bunyi notifikasi ponselku beserta cuplikan pesan di notifikasi terlintas oleh pandangku.Entahlah sepertinya sedarii tadi aku hanya menatap kosong layar televisi yang berputar entah apa yang sedang ditayangkan pun aku tidak tahu. Mataku tertuju pada setiap adegan, namun fokusku hanya memikirkan rencana masa depan pernikahan ini."Pesan dari Andrew, dia kirim file apa nih," batinku.Jemariku mulai menyentuh layar pada ponsel, dan ku buka ruang obrolan yang telah tertera namanya di daftar kontakku. Di dalam ruang obrolan ini, aku melihat sisa terakhir intens komunikasi yang berisi ucapan selamat tinggal.[Kamu harus janji bahagia, meski tidak denganku ya!] 2020"Gue lupa hapus yang ini," batinku sembari tersenyum kecil melihat 1 buah bubble chat yang menunjukkan betapa bermaknanya pesan itu untukku.Setelah aku melihat satu buah chat lama itu, beberapa menit yang lalu ia mengirimkan pesan dengan lamiran sebuah file. Aku klik file
"Pagi Bu Laila. Semua dokumen yang ibu perlukan sudah saya letakkan di dalam ruangan ibu ya." Sapa Alika yang memecahkan lamunanku masih denga kondisi berjalan menuju ruangan kerja. Mataku tampak jelas menatap ke arah depan namun pikiranku begitu kosong."Ha, maaf gimana?" Ucapku kaget."Maaf Bu, tadi saya hanya menyampaikan bahwa semua dokumen untuk Ibu cek telah tersedia di atas meja kerja." Upayanya menjelaskan secara berulang begitu ku apresiasi."Oke, thanks. Nanti kamu ikut ke ruangan saya ya untuk verifikasi," responku yang langsung memasuki pintu ruangan ini.Sesampai di ruangan kerja, aku menuju cermin tinggi yang berada membelakangi pemandangan khas ibukota, diselimuti dengan berbagai gedung pencakar langit dan liuk jalan layang bersatu padu memecahkan hening dengan semua aktivitasnya."Duh ada kerutan disini lagi," celotehku dengan menyentuh beberapa sisi wajah yang ku lihat kulit ini sudah tampak tak terurus akibat peliknya rumah tangga yang beberapa hari terbangun.Setela
"Apa? Separah itu kah?" Andrew seolah mendesak."Berawal dari papamu yang buat kesalahan cinta satu malam dengan seorang wanita muda hingga membuatnya hamil. Di situ kami pun nyaris pisah, karena Mama sama sekali tidak tahan. Ya, untungnya wanita muda itu ikhlas untuk tidak dinikahkan tapi papa mu harus selalu mengirimkan uang kepadanya berapa puluh juta tiap bulan..."Mama menghentikan kalimatnya. Ia kembali menatap mata papa lagi..."Pa, is it ok?" Lagi, mama memastikan agar yang ia ceritakan sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab bersama jikalau Andrew berontak.Papa hanya menganggukkan kepalanya."Ya kami harap kamu gak terlalu kaget dengan fakta yang ada Drew...." Tambah mama yang mencoba mengingatkan Andrew bahwa fakta yang ada memang semenakutkan itu."Karena kondisi ekonomi kami yang saat itu juga sulit habis ditipu sama salah satu investor. Akhirnya papamu dan ayah Laila sepakat untuk menghabiskan nyawa wanita itu setelah ia melahirkan anak papamu......"Mama menjeda ucapann
"Ha? Istri kau bilang?" Aku tertawa sinis dihadapannya. Baru kali ini aku berhadapan dengan iblis ini setelah rumah tangga kami berhasil ia porak-porandakan demi wanita lain dan hartaku. "Loh, status kita kan masih suami istri, sayang. Jangan ketus gitu dong dengan suami kamu..." Re berjalan beberapa langkah menujuku. Sementara aku juga menjauhinya beberapa langkah. "Kok kamu ngejauh dari aku sih? Aku kangen banget loh sama kamu..." Ucapnya. "Sial, dia mabuk!!" Desisku dalam hati. "Mana Tania????" Lagi aku meneriaki seantero ruangan ini berharap Tania bisa ku temukan. "Kalo lo mau Tania selamat, lo kembalikan lagi uang 4 milyar kami....." Teriak Tika dari dalam ruangan lain. "Lo tuh gak punya malu ya, pengkhianat!! Itu uang perusahaan, bukan uang lo.." Jelas saja ini membuatku amat murka. Jujur aku masih begitu gemetaran melihat wajah Tika disana, kenapa bisa aku mempercayai seorang yang begitu menusukku dari luar dan dalam. Seorang yang dengan tulusnya sudah ku akui sebagai s
Kepergian Andrew yang begitu mendadak memang jelas meninggalkan pertanyaan besar. Sebab ia menyembunyikan semuanya dariku. Ada rasa tidak adil yang aku rasakan. Ia yang ikut campur ke dalam masalahku justru ia yang membuat rencana sendiri. Entah aku berpikir terlalu jauh atau memang kenyataannya seperti itu."Kakak, aku temenin ya ke kantor. Nanti aku langsung aja kesana, gak usah dijemput..." Ucap Tania yang menelponku pagi sekali."Iya, hati-hati ya.." Aku bersiap, sembari terus mencoba chat Andrew memastikan kondisi ayahnya disana baik-baik saja begitu juga Andrew sendiri."Andrew bener-bener gak balas pesanku ya." Desisku melihat pesan yang masih centang dua berwarna abu-abu."Dia beneran gak apa-apa kan ya?" Gemuruh banyak pertanyaan bersanding di dalam kepala. Sebegitu mengkhawatirkannya tingkah Andrew hingga membuatku bolak-balik memastikan pesanku memang belum direspon olehnya.Ya, hingga pada keputusan lebih baik aku harus ngantor untuk mengurangi pikiran anehku."Pagi Yah.
"Loh kok gak ada. Coba cek sekali lagi deh!" Tika bersikukuh bahwa dalam kartu debit platinum tersebut tersimpan jumlah uang yang fantastis. "Ini gue coba lagi..." Ucap wanita muda yang sepertinya seorang pegawai untuk mengurus orang yang akan mengenakan kapal. "Tuh gak bisa Bu. Apakah ada kartu debit lain?" Terlihat jelas wanita tersebut tengah menahan emosinya sebab berulang kali kartunya ditolak oleh sistem. "Ada apa?" Rehan langsung mendekati sumber suara. "Masa kartunya ga ada saldonya sih..." Ucap Tika. "Ha, sumpah lo??" Rehan langsung maju selangkah di depan Tika. "Coba mana Mba kartunya..." Ia meminta kartu platinum tersebut. Rehan mengambil kartu tersebut. Ia membolak balikan kartu tersebut jelas saja tidak ada yang retak dari kartu yang masih terlihat baru tersebut. "Maaf, ini jadi pembayarannya gimana?" Ucap seorang wanita muda yang mungkin juga terlihat bingung dengan beberapa orang dihadapannya. "Hahahaha kenapa? Gagal ya pembayaran lo?" Teriak seorang lelaki den
"Sekarang juga kita berkemas..." Re dengan paniknya bolak-balik memikirkan hal yang sangat pusing untuk dipikirkan sendiri."Kita mau kemana?" Tika yang tidak kalah paniknya hanya bisa bertanya-bertanya dan bertanya tanpa bisa memberikan solusi."Rumah orang tuaku?" Tika coba memberikan opsi terbaiknya saat ini."Gila kamu. Ya pasti sudah ke-trace duluan kalo ke rumah keluarga. Kita harus berangkat ke luar negeri, sekarang juga!" Ucap Rehan yang masih coba mengotak-ngatik cctv area sekitar memastikan polisi belum dekat dengan mereka."Kita gak punya waktu banyak lagi sekarang. Sekarang atau kita ketangkap semua..." Rehan langsung menutup layar laptopnya."Kita gak bisa pergi karena di bandara sudah pasti tercegat..." Ucap pengacara yang disebut sebagai ketua itu."Jadi gimana ketua?" Renald meminta saran kepadanya, sebab ia yakin ketua punya cara jitu untuk lolos dari proses hukum ini."Gue sudah hubungi temen yang bisa meloloskan imigran gelap. Kita akan pergi ke China..." Ucapnya."
"Kita bisa ketemu gak?" Terdengar suara pria yang seolah dalam kondisi mendesak."Ada masalah? Waktunya kurang?" Re menggenggam ponselnya erat-erat."Sayang ada apa?" Tika yang berada disampingnya pun kian cemas."Sssshhh....." Renald mengancungkan telunjuk tangan kirinya ke bibirnya dengan mata yang melirik tajam ke arah Tika."Iya. Pokoknya kita harus ketemu sekarang juga!" Pria tersebut mematikan panggilannya."Kita harus putar balik dulu. Gak bisa main golf hari ini..." Re mencari putaran mobil dna berharap masalah yang ada tidak sampai mmenggagalkan rencana besarnya."Ada apa sih?" Tika tidak kalah penasaran dengan sikap aneh sang pacar."Kamu diam aja bisa kan?" Re sedikit membentak.***"Sorry banget kalo gue dadakan ngabarin kalian..." "Udah gak usah basa-basi. Ada apa? Hal apa yang sampe buat kami datang kesini buat ketemu dengan lo?" Renald sudah tidak sabar mendengar hal yang dirasanya cukup ganjil ini."Hufttt... Dokumen yang kemarin kalian kasih ke aku itu semuanya imita
"Hmmmm gue jadi penasaran juga siapa ya sosok ini. Papa mama juga rasanya gak pernah cerita kalo gue punya teman kecil yang akrab banget selama di Indonesia....." Andrew memandangi ponselnya yang berisi foto ayah, dirinya dansatu sosok lain yang saa sekali ia tidak mengenalnya. "Kalo dari raut wajahnya rasanya agak familiar, tapi gak tau juga siapa....." Lagi, Andrew melakukan pembesaran gambar untuk melihat secara detail siapa sosok yang berada di sebelahnya itu.Ia menyentuh layar laptop yang ada dihadapannya, mencoba buka data-data perusahaan sang ayah untuk mencari identitas dari anak ini."Gue harus cari gimana ya?" Celetuknya sebab ya akan terasa sia-sia jika ia buka data perusahaan karena belum tentu identifikasi data pegawai sampai dengan data keluarga keseluruhan, kan....."Gue harus buka album foto lama!" Idenya kali ini jauh lebih menarik. Ya dia berharap bisa mencari tahu siapa anak kecil yang bersama dengannya dalam satu frame foto. Andrew yang lagi sendiri di rumah mew
"Eh jangan dibuka dulu...." Aku langsung merebut jurnal itu kembali."Ya kalo gak boleh di buka ngapain lo bawa kesini kan?" Ia membela dirinya."Gue mau nanya dulu sih sebelum lo buka jurnal ini. Takutnya pas lo buka, lo kaget sendiri..." Jelasku."Apa yang mau lo tanyain?" Ia pun terlihat juga penasaran."Lo punya saudara lagi? Atau...." "Apa sih La, pertanyaan itu mah tanpa perlu jawaban dari gue juga kan lo udah tau gue anak tunggal, pewaris tunggal..." Ia masih belum paham arah obrolanku kemana."Iya sih gue kan cuma memastikan aja. Soalnya ini disini gue ngelihat foto bokap lo sama dua orang anak laki-laki....." "Foto apaan emangnya? Sini gue lihat..." Ia mengadahkan tangannya bersiap menyambut pemberian dariku."Sebentar gue buka dulu..." Aku membuka lembar buku ini satu per satu halaman."Ini..." Aku menyodorkan seutas foto yang telah ditempel di dalamnya."Hmmmm, ini fotoku kecil dan papa. Siapa dia?" Andrew pun bertanya tentang sosok pria yang ada disampingnya ini."Bukan
Setelah selesai urusan dengan ayah, aku langsung menghubungi ibu. Mengatakan semua hal yang terjadi, dan untungnya respon beliau tidak begitu panikan terlebih saat ini ia sedang berada di luar negeri. "Udah, kamu tenang aja. Ibu akan pulang sore ini. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan..." Pinta ibu dari sambungan telepon. Aku langsung kembali ke luar menemui adik tiriku yang tidak bisa berkutik. "Tania, kamu mau disini atau pulang?" Memberikan penawaran seperti ini memang bukanlah solusi terbaik. Bagaimanapun ia adalah bagian dari keluarga ini. Adikku meski kami dari ibu yang berbeda. "Andrew gimana ya kak?" "Oh iya, nanti aku coba telefon dia bilang semua yang terjadi barusan. Kamu pulang dulu aja kali ya, supaya besok kita bisa sama-sama mikir langkah apa yang harus kita lakukan..." Tania menyetujui rencanaku. Ia pamit dan bergegaas pulang dengan panggilan taksinya. *** Jam terus berputar, sementara aku masih terus berpikir kejadian hari ini yang semuanya terasa sangat menyi