Hari pertama setelah pernikahan dimulai, rencananya hari ini aku dan Re akan pindah ke apartemen yang berdekatan dengan Tania.
Aku bangun lebih awal dari suamiku, lalu duduk dan bersandar tepat di samping pria ini. Terlihat ia menghadap ke arahku dan ku pandangi juga bahwa di sebelah kiri kepalanya terdapat ponsel yang mungkin saja masih ia nyalakan ketika ku terlelap tadi malam. Ia tidur dengan busana lengkap, sementara aku masih dengan tubuh yang baru saja ia nikmati dan berbalut selimut. Ada perasaan curiga yang bergemuruh di dalam pikiranku, namun sepertinya tak etis untuk membahasnya karena baru saja beberapa jam yang lalu kami resmi menikah dan berikrar sehidup semati.“Sayang kok sudah bangun?” Ucapnya melihatku. Sementara aku tersenyum kepadanya sembari terus mengelus rambutnya.“Tadi malam kamu tidur jam berapa?” Jawabku dengan lembut kepadanya, seakan lupa akan kemarahan yang tadi malam telah ku lontarkan kepadanya, sebelum ia bergegas pergi mengangkat teleponnya.“Lupa deh aku. Aku gak lama kok keluarnya, terus pas masuk kamunya udah tidur,” jawabnya."Maaf ya tadi malam, aku belum sempat menjawab panggilanmu," tambahnya lagi."Memangnya panggilan dari siapa?""Biasa masalah kantor. Udah gak usah bahas ya, kita nikmati waktu kita aja.""Ya kalo gitu doang kan harusnya kamu bisa langsung bilang tanpa mendiamkan," balasku ketus."Udah ah jangan jutek gitu," jari telunjuknya menyentuh bibirku. “Mau dilanjutkan lagi gak, Sayang?” ujarnya lagi sembari tersenyum nakal.Tanpa menunggu jawaban, ia langsung berdiri melepaskan semua pakaiannya dan langsung mengambil posisi di atas tubuhku. Ia sentuh semua bagian tubuhku dari bibir, leher, dada, hingga sampai ke bagian intim. Secara bersamaan, bibirnya perlahan menyentuh bibirku hingga sampai melumatnya tanpa ada keraguan. Tak lama ia mulai memasukkan alat vitalnya dan bergoyang pelan di atas tubuhku. Ia begitu menikmati fantasi yang ia buat dan lakukan sendiri hingga desahan sesekali jelas terdengar di telinga. Sementara aku hanya merasakan sedikit sakit, dan entah kenapa, secara tiba-tiba aku merasa jijik dengan berhubungan yang sedang ia lakukan sehingga aku dorong tubuhnya di tengah kenikmatan yang tengah dirasakan.“Re, udah,” ucapku yang langsung duduk.“Sayang kenapa? Sakit?” Ucapnya kaget.“Aku mau ke kamar mandi,” jawabku yang langsung berlari ke kamar mandi dengan tubuh yang masih tanpa busana.“Kita mau melakukannya di kamar mandi? Supaya ada variasinya hahaha,” ucapnya dengan tertawa.Tak ku hiraukan perkataannya, langsung ku tutup pintu, menguncinya, dan aku terdiam hening di balik pintu.“Kenapa aku bisa berpikir seperti ini sih?” desisku.Durasi singkat hubungan tadi membuatku terbayang ketika ia sedang melakukan hal yang sama dengan perempuan lain, dan aku merasa geli ketika membayangkannya. Mungkin karena faktor pikiranku yang teramat mencurigainya tadi malam hingga terbawa sampai pagi ini.“Apakah mungkin trauma ku seutuhnya belum sembuh?” tambahku lagi.Perlahan ku berjalan menuju wastafel, putaran keran dan air mengalir mmembuatku jauh lebih tenang daripada kondisi tadi. Ku lihat wajahku di depan cermin."Dia terlalu asing untukku, apakah perasaan ini wajar untuk pasangan baru yang hidup satu kamar?" Ucapku berbicara pada pantulan wajah yang sama denganku."Sayang, kamu aman kan?" Teriak Re sembari sesekali mengetuk pintu. ****Setelah 45 menit berada di kamar mandi, ku putuskan keluar dengan tubuh setengah basah, dan handuk putih yang melingkar menutupi tubuh."Kok lama banget sih sayang. Kamu kenapa?" "Aku gerah dan ingin mandi," jawabku."Hanya itu?""Ya, lantas apalagi?" Jawabku sedikit ketus."Kamu sakit? Atau aku terlalu cepat sehingga kamu gak ikut menikmati?" Tanyanya dengan wajah penuh penasaran."Entahlah, mungkin belum waktu yang tepat aja Re. Nanti kita coba lagi ya," ucapku sedikit tersenyum."Ya sudah sayang, nanti di tempat baru mungkin saja akan bisa merangsangmu," balasnya dengan memeluk dan mengecup bibirku. "Sana kamu mandi dulu, aku dingin nih mau pakai bajunya dulu," sambungku.Ia mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi. Tak lama ia masuk, tatapan mataku langsung tertuju pada ponsel yang sedang ia isi daya. Aku berencana mendekati ponselnya, namun terlebih dahulu ku ambil pakaian yang ingin ku gunakan hari ini untuk pindahan.Ku buka lemari, dan ku temukan satu baju yang amat menawan, berwarna biru muda dengan pita kupu-kupu di sisi depannya yang seolah berperan sebagai kancing, namun itu adalah penghias.Setelah ku dapat apa yang ku mau, langsung ku lekatkan pakaian ini ke badan. Ku pastikan pula pakaian ini rapi dan bagus untuk ku kenakan. Lalu, setelahnya perlahan-lahan jalan menuju ke sisi meja dekat pintu kamar."Sayang kamu ngapain?" Tanyanya dari arah belakang dengan suara tegasnya."Ha… hee… itu… mau keluar," ucapku."Kok keluar, mana pakaianku udah di siapin belum?" Tanya Renald."Ha… aku kan gak tau kamu mau pakai baju apa," balasku."Loh… Kita kan udah jadi suami istri, nah tugas istri itu melayani suaminya sampai dengan disiapkan pula baju kerja, baju rumah, dan baju jalan," jawabnya terheran.Mendengar ucapannya, aku langsung mendekatinya."Lantas, tugas suami apa?" Tanyaku dengan datar."Sayang, apa ini harus jadi perdebatan kita juga? Please, sayang jangan ajak aku bertengkar ya. Kita kan baru nikah, yuk nikmati dulu masa-masa ini," ucapnya.Benar saja ia tak bisa menjawab pertanyaan sesingkat itu. Bagiku ya semua orang sama tidak bisa dibedakan atas spesialis tertentu kecuali melahirkan. Sehingga tidak menjadi alasan perempuan harus terus melakukan pekerjaan sekedar memilihkan baju suaminya. Pertanyaan sederhananya adalah, apakah yang telah dipilih akan cocok dengan pemakainya. Belum tentu!"Ya sudah. Kamu mau pakai baju yang mana?" Jawabku ketus."Kaos aja sayang,"Ku buka pintu lemari, lalu terlihat tumpukan kaos lebih dari 20 yang tersedia dalam sisi lemari tersebut."Lantas, dari semua ini, warna apa yang mau kamu pakai hari ini?" Tanyaku."Terserah kamu aja sayang," jawabnya."Terserah bukan jawaban," ujarku.Akhirnya aku menarik sebuah kaos yang berada di tumpukan kelima. Ketika aku mengambilnya, aku melihat dokumen penting atau rahasia yang berada di antara tumpukan tersebut. Tampaknya dokumen itu memiliki nilai rahasia sebab terdapat segel di seluruh sisi dokumen."Sayang, ini apa? Kok ada di tumpukan baju.""Oh itu, dokumen perusahaan sayang. Biar di situ aja, entar aku lupa lagi.""Ya sudah, ini bajunya." Ku letakkan baju yang ia minta tadi di atas kasur. Setelahnya aku berjalan menuju meja rias dan mengambil beberapa skincare untuk diusapkan ke wajah dan beberapa ku masukkan ke dalam koper untuk dibawa menuju apartemen."Tadi bukannya kamu mau keluar? Gak jadi?" Ucapnya tertawa pelan."Aduh, Re bakal curiga gak ya," bisikku dalam hati.Belum lagi sempat menjawab pertanyaannya, terdengar bunyi dering yang begitu menggema di kamar ini.Aku langsung berdiri dan mengambil sumber dering tersebut."Ibu… Ibu….." Teriak seseorang yang jauh di seberang sana."Halo Lita, kenapa sampai teriak begitu?" Ucapku yang mulai berdegup ketika mengangkat telepon ini."Non Tania Bu….." Ucapnya dengan terbata-bata."Lita, tenang dulu. Tania kenapa? Bisa tolong jelaskan supaya saya juga tidak panik?" Ucapku dengan mengatur ritme pernapasan.Re melihatku dengan saksama. Dari pancaran matanya ia bingung dengan ekspresi wajahku yang begitu jelas menggambar kepanikan."Non menya….yat… pahanya," ucapnya gugup."Ha? Tania gak mungkin begitu. Dia udah lama sembuh." Ucapku dengan teriak meski tangan ini gemetar dan tubuhku lemas.Re langsung mendekatiku, merangkulku dan mengantarku untuk duduk di atas kasur."Non saat ini di UGD Mitra Bu…." Jawabnya pelan dan gugup."Astaga!" Tanpa menunggu lama, aku langsung meminta Re mengantarku ke Rumah Sakit itu. Aku dan Re bergegas keluar dari kamar dan menuruni anak tangga. Dengan pikiran yang kalut, aku hanya pamit sambil berjalan melewati ayah."Yah, aku pergi dulu Tania di UGD," ucapku tanpa menoleh kepadanya."Hahaha biar saja perempuan itu mati,"Aku menghentikan langkah kakiku.Tangisanku pecah saat mendengar ucapan yang tak pantas disebut oleh seorang ayah kepada anak kandungnya.Aku membalikkan badan dan berkata, "Ayah masih punya waktu untuk meminta maaf atas semua tindakan kasar kepada putri kandung Ayah," ujarku sembari meninggalkan ayah."Kak, Ibnu datang menemuiku..." rintih Tania yang masih terbaring lemas di atas kasur.Aku mendengarnya merintih sembari mengucapkan kalimat itu. Sembari melihat beberapa perawat yang masih sibuk untuk membersihkan luka di paha kanannya, ku lihat Tika dari jauh menghampiriku."Kamu kok ada disini?" Tanyaku. Aku seolah bingung sebab, belum ada ku infokan hal ini kepada asisten pribadiku ini."Saya kebetulan lewat lalu melihat mobil Ibu belok menuju rumah sakit ini." Jawabnya."Mbak, adiknya sudah selesai kami bersihkan lukanya. Mohon segera lengkapi administrasi ya." ujar perawat sambil berdiri dan memegang beberapa alat berbahan stainless steel."Apakah perlu rawat inap?" Tanya Re yang berada di sebelahku."Gak perlu Pak. Cukup bantu gantikan saja perbannya setiap hari." ucap perawat lalu mereka pamit dan melangkahkan kaki keluar ruangan."Biar aku saja yang urus, Sayang. Kamu temenin aja Tania," ujar Re."Kamu tahu identitas Tania?" Jawabku.Umumnya, rumah sakit akan meminta data diri
"Pagi Sayang, gimana tidurnya? Mimpi apa tadi malam?" Sapa Re yang terlihat samar wajahnya sudah berada di hadapanku. Ia makin mendekatkan wajahnya ke arahku, dan benar saja ia langsung mengecup bibirku hingga nyaris melumatnya. Spontan, ku dorong tubuhnya dari hadapanku. "Loh, kenapa Sayang? Aku suamimu loh ini," dengan nadanya yang cukup tinggi. "Re, nanti kita bisa ngobrol sebentar? Ada hal yang gak bisa aku tahan sendiri lagi," jawabku yang langsung berdiri menuju kamar mandi. "Bisa, aku tunggu nih kamu disini," balasnya. Baru saja sekitar 10 menit aku berada di kamar mandi, aku mendengar suara dering ponsel Re berbunyi. Aku mencoba untuk menguping dari balik dinding kamar mandi ini, namun suaranya perlahan semakin jauh. "Sial dia justru ke balkon!" gerutuku. Dengan penggunaan sabun yang belum maksimal, ku lilitkan handuk ke lingkar tubuhku, lalu mengendap-endap keluar dari kamar mandi untuk sekedar mencari tahu suamiku ini sedang berhubungan dengan siapa. "Ya sudah kalo me
"Selamat pagi Ibu, sepertinya hari ini Ibu harus ke kantor, ada yang tidak beres dari mutasi rekening kantor," terdengar suara yang tergesa-gesa dari kejauhan sana. "Sorry sorry, maksudmu gimana dan ini saya bicara dengan siapa?" Responku sembari mengatur posisi duduk pasca terbangun karena kaget bunyi deringan ponsel di sebelahku. "Maaf Ibu, saya Alika, Kepala Keuangan kantor. Saya baru menerima laporan bulanan, namun ada transaksi yang mencurigakan," jawabnya dengan nada formal. "Oke, saya segera ke kantor. Tolong siapkan ruang meeting dan kumpulkan staf terkait." Aku langsung menurunkan kakiku dari ranjang, dan menuju kamar mandi. Namun, sebelum melangkahkan kaki kiri ini masuk ke dalam, aku menoleh ke belakang, ku amati seantero ruangan. "Re kemana?" Ucapku pelan. "Ah sudah mungkin dia sedang sarapan," ucapku lagi. Aku langsung memasuki kamar mandi dengan pikiran yang bingung, ada apa dengan keuangan kantorku. *** Setelah ku berdandan rapi, aku mengambil blazer hitam yang
"Kring... kring.. kring...." Dering ponselku berbunyi tepat saat sedang menunggu lanjutan obrolan Andrew."Maaf Bu, semua staf sudah lengkap dan meeting sudah bisa dimulai," suara yang berasal dari ponsel memecahkan fokusku."Oh ya, saya sedang menuju lift." Aku langsung menutup telepon."Drew, gue mau meeting sekarang. Lo bisa tunggu sampai gue selesai?" Tanyaku kepadanya.Ia menatapku cukup lama, ya seperti biasa ketika ia sedang berpikir jelas banget terlihat ia diam sejenak."Ampun dah lo ya masih aja. Bisa atau gak, jangan kebanyakan mikir," ujarku sembari tersenyum tipis."Kelihatannya mantan gue masih paham banget ya," celotehnya dengan tertawa."Ya sudah lo meeting dulu aja, nanti telepon gue aja. Gue masih dengan nomor lama dan perasaan yang sama hahaha," tambahnya tertawa dan melangkahkan kaki menuju pintu keluar.Aku melihatnya berjalan langkah demi langkah menuju pintu putar di ujung sana.
"Re, kapan kita mau mengunjungi orang tuamu?" Ujarku sesampai di apartemen sore hari yang melihatnya sedang menonton tv di atas ranjang."Baru pulang itu ucap salam dulu, Sayang. Tiba-tiba langsung ngomong gitu buat kaget," balasnya yang langsung menoleh kaget ke arah sumber suara di depam pintu kamar."Ah iya, tadi waktu masuk pintu utama udah ucap salam sih. Cuma kamu gak respon, makanya aku langsung masuk kamar aja.""Ya gak kedengeran juga sih, lagian volume tvnya kencang banget," tambahku."Hahaha iya, abisnya sepi banget sih jadi biar ramai aku naikin aja deh volumenya.""Kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu, Sayang? Kan kita udah rencanakan mau honeymoon dulu baru ke rumah orang tua," responnya. Ia langsung berdiri mendekati meja kecil di sudut jendela untuk menuangkan segelas air putih yang selalu stanby di sana."Hmmm baiknya kita ke rumah orang tuamu dulu," responku singkat."Kenapa buru-buru gini?" Dari nada pertanyaannya aku sudah bisa merasakan sedikit ada getaran dengan raut
[Kalo lo lagi kalut, buka file ini ya] 19.15"Ting....." Bunyi notifikasi ponselku beserta cuplikan pesan di notifikasi terlintas oleh pandangku.Entahlah sepertinya sedarii tadi aku hanya menatap kosong layar televisi yang berputar entah apa yang sedang ditayangkan pun aku tidak tahu. Mataku tertuju pada setiap adegan, namun fokusku hanya memikirkan rencana masa depan pernikahan ini."Pesan dari Andrew, dia kirim file apa nih," batinku.Jemariku mulai menyentuh layar pada ponsel, dan ku buka ruang obrolan yang telah tertera namanya di daftar kontakku. Di dalam ruang obrolan ini, aku melihat sisa terakhir intens komunikasi yang berisi ucapan selamat tinggal.[Kamu harus janji bahagia, meski tidak denganku ya!] 2020"Gue lupa hapus yang ini," batinku sembari tersenyum kecil melihat 1 buah bubble chat yang menunjukkan betapa bermaknanya pesan itu untukku.Setelah aku melihat satu buah chat lama itu, beberapa menit yang lalu ia mengirimkan pesan dengan lamiran sebuah file. Aku klik file
"Pagi Bu Laila. Semua dokumen yang ibu perlukan sudah saya letakkan di dalam ruangan ibu ya." Sapa Alika yang memecahkan lamunanku masih denga kondisi berjalan menuju ruangan kerja. Mataku tampak jelas menatap ke arah depan namun pikiranku begitu kosong."Ha, maaf gimana?" Ucapku kaget."Maaf Bu, tadi saya hanya menyampaikan bahwa semua dokumen untuk Ibu cek telah tersedia di atas meja kerja." Upayanya menjelaskan secara berulang begitu ku apresiasi."Oke, thanks. Nanti kamu ikut ke ruangan saya ya untuk verifikasi," responku yang langsung memasuki pintu ruangan ini.Sesampai di ruangan kerja, aku menuju cermin tinggi yang berada membelakangi pemandangan khas ibukota, diselimuti dengan berbagai gedung pencakar langit dan liuk jalan layang bersatu padu memecahkan hening dengan semua aktivitasnya."Duh ada kerutan disini lagi," celotehku dengan menyentuh beberapa sisi wajah yang ku lihat kulit ini sudah tampak tak terurus akibat peliknya rumah tangga yang beberapa hari terbangun.Setela
Setelah mengulik semua dokumen keuangan, entah kenapa hatiku masih tidak yakin Tika bisa mengkhianatiku. Dia adalah orang yang ku percaya selama ini, bahkan rasanya tak mungkin dia bisa berpikir dengan sengaja mencuri uang perusahaan. Benar juga yang disampaikan oleh ayah untuk tidak percaya dengan siapapun itu. Rasanya begitu menyakitkan dikhianati olehnya."Eh kenapa bengong?" Suara maskulin ini memecahkan lamunanku."Udah datang? Kurang lama datangnya!" Balasku."Yaelah maaf La. Tadi ada deadline di kantor sebentar, makanya gue baru bisa kesini setelah semua udah beres.""Apa yang mau lo sampaikan?" Tanyaku."Bentar dong, gue aja belum pesan minum ini. Gue pesan dulu ya," jawabnya yang langsung beranjak menuju meja barista.Aroma parfumnya masih sama, orangnya masih sama, namun statusnya saja sudah berbeda. Ya setidaknya aku tak pernah menyesal mengenal manusia ini, sebab ia begitu baik hati mesti terkadang seringkali ku berpikir bahwa aku lah yang begitu jahat selama menjalani hu
"Apa? Separah itu kah?" Andrew seolah mendesak."Berawal dari papamu yang buat kesalahan cinta satu malam dengan seorang wanita muda hingga membuatnya hamil. Di situ kami pun nyaris pisah, karena Mama sama sekali tidak tahan. Ya, untungnya wanita muda itu ikhlas untuk tidak dinikahkan tapi papa mu harus selalu mengirimkan uang kepadanya berapa puluh juta tiap bulan..."Mama menghentikan kalimatnya. Ia kembali menatap mata papa lagi..."Pa, is it ok?" Lagi, mama memastikan agar yang ia ceritakan sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab bersama jikalau Andrew berontak.Papa hanya menganggukkan kepalanya."Ya kami harap kamu gak terlalu kaget dengan fakta yang ada Drew...." Tambah mama yang mencoba mengingatkan Andrew bahwa fakta yang ada memang semenakutkan itu."Karena kondisi ekonomi kami yang saat itu juga sulit habis ditipu sama salah satu investor. Akhirnya papamu dan ayah Laila sepakat untuk menghabiskan nyawa wanita itu setelah ia melahirkan anak papamu......"Mama menjeda ucapann
"Ha? Istri kau bilang?" Aku tertawa sinis dihadapannya. Baru kali ini aku berhadapan dengan iblis ini setelah rumah tangga kami berhasil ia porak-porandakan demi wanita lain dan hartaku. "Loh, status kita kan masih suami istri, sayang. Jangan ketus gitu dong dengan suami kamu..." Re berjalan beberapa langkah menujuku. Sementara aku juga menjauhinya beberapa langkah. "Kok kamu ngejauh dari aku sih? Aku kangen banget loh sama kamu..." Ucapnya. "Sial, dia mabuk!!" Desisku dalam hati. "Mana Tania????" Lagi aku meneriaki seantero ruangan ini berharap Tania bisa ku temukan. "Kalo lo mau Tania selamat, lo kembalikan lagi uang 4 milyar kami....." Teriak Tika dari dalam ruangan lain. "Lo tuh gak punya malu ya, pengkhianat!! Itu uang perusahaan, bukan uang lo.." Jelas saja ini membuatku amat murka. Jujur aku masih begitu gemetaran melihat wajah Tika disana, kenapa bisa aku mempercayai seorang yang begitu menusukku dari luar dan dalam. Seorang yang dengan tulusnya sudah ku akui sebagai s
Kepergian Andrew yang begitu mendadak memang jelas meninggalkan pertanyaan besar. Sebab ia menyembunyikan semuanya dariku. Ada rasa tidak adil yang aku rasakan. Ia yang ikut campur ke dalam masalahku justru ia yang membuat rencana sendiri. Entah aku berpikir terlalu jauh atau memang kenyataannya seperti itu."Kakak, aku temenin ya ke kantor. Nanti aku langsung aja kesana, gak usah dijemput..." Ucap Tania yang menelponku pagi sekali."Iya, hati-hati ya.." Aku bersiap, sembari terus mencoba chat Andrew memastikan kondisi ayahnya disana baik-baik saja begitu juga Andrew sendiri."Andrew bener-bener gak balas pesanku ya." Desisku melihat pesan yang masih centang dua berwarna abu-abu."Dia beneran gak apa-apa kan ya?" Gemuruh banyak pertanyaan bersanding di dalam kepala. Sebegitu mengkhawatirkannya tingkah Andrew hingga membuatku bolak-balik memastikan pesanku memang belum direspon olehnya.Ya, hingga pada keputusan lebih baik aku harus ngantor untuk mengurangi pikiran anehku."Pagi Yah.
"Loh kok gak ada. Coba cek sekali lagi deh!" Tika bersikukuh bahwa dalam kartu debit platinum tersebut tersimpan jumlah uang yang fantastis. "Ini gue coba lagi..." Ucap wanita muda yang sepertinya seorang pegawai untuk mengurus orang yang akan mengenakan kapal. "Tuh gak bisa Bu. Apakah ada kartu debit lain?" Terlihat jelas wanita tersebut tengah menahan emosinya sebab berulang kali kartunya ditolak oleh sistem. "Ada apa?" Rehan langsung mendekati sumber suara. "Masa kartunya ga ada saldonya sih..." Ucap Tika. "Ha, sumpah lo??" Rehan langsung maju selangkah di depan Tika. "Coba mana Mba kartunya..." Ia meminta kartu platinum tersebut. Rehan mengambil kartu tersebut. Ia membolak balikan kartu tersebut jelas saja tidak ada yang retak dari kartu yang masih terlihat baru tersebut. "Maaf, ini jadi pembayarannya gimana?" Ucap seorang wanita muda yang mungkin juga terlihat bingung dengan beberapa orang dihadapannya. "Hahahaha kenapa? Gagal ya pembayaran lo?" Teriak seorang lelaki den
"Sekarang juga kita berkemas..." Re dengan paniknya bolak-balik memikirkan hal yang sangat pusing untuk dipikirkan sendiri."Kita mau kemana?" Tika yang tidak kalah paniknya hanya bisa bertanya-bertanya dan bertanya tanpa bisa memberikan solusi."Rumah orang tuaku?" Tika coba memberikan opsi terbaiknya saat ini."Gila kamu. Ya pasti sudah ke-trace duluan kalo ke rumah keluarga. Kita harus berangkat ke luar negeri, sekarang juga!" Ucap Rehan yang masih coba mengotak-ngatik cctv area sekitar memastikan polisi belum dekat dengan mereka."Kita gak punya waktu banyak lagi sekarang. Sekarang atau kita ketangkap semua..." Rehan langsung menutup layar laptopnya."Kita gak bisa pergi karena di bandara sudah pasti tercegat..." Ucap pengacara yang disebut sebagai ketua itu."Jadi gimana ketua?" Renald meminta saran kepadanya, sebab ia yakin ketua punya cara jitu untuk lolos dari proses hukum ini."Gue sudah hubungi temen yang bisa meloloskan imigran gelap. Kita akan pergi ke China..." Ucapnya."
"Kita bisa ketemu gak?" Terdengar suara pria yang seolah dalam kondisi mendesak."Ada masalah? Waktunya kurang?" Re menggenggam ponselnya erat-erat."Sayang ada apa?" Tika yang berada disampingnya pun kian cemas."Sssshhh....." Renald mengancungkan telunjuk tangan kirinya ke bibirnya dengan mata yang melirik tajam ke arah Tika."Iya. Pokoknya kita harus ketemu sekarang juga!" Pria tersebut mematikan panggilannya."Kita harus putar balik dulu. Gak bisa main golf hari ini..." Re mencari putaran mobil dna berharap masalah yang ada tidak sampai mmenggagalkan rencana besarnya."Ada apa sih?" Tika tidak kalah penasaran dengan sikap aneh sang pacar."Kamu diam aja bisa kan?" Re sedikit membentak.***"Sorry banget kalo gue dadakan ngabarin kalian..." "Udah gak usah basa-basi. Ada apa? Hal apa yang sampe buat kami datang kesini buat ketemu dengan lo?" Renald sudah tidak sabar mendengar hal yang dirasanya cukup ganjil ini."Hufttt... Dokumen yang kemarin kalian kasih ke aku itu semuanya imita
"Hmmmm gue jadi penasaran juga siapa ya sosok ini. Papa mama juga rasanya gak pernah cerita kalo gue punya teman kecil yang akrab banget selama di Indonesia....." Andrew memandangi ponselnya yang berisi foto ayah, dirinya dansatu sosok lain yang saa sekali ia tidak mengenalnya. "Kalo dari raut wajahnya rasanya agak familiar, tapi gak tau juga siapa....." Lagi, Andrew melakukan pembesaran gambar untuk melihat secara detail siapa sosok yang berada di sebelahnya itu.Ia menyentuh layar laptop yang ada dihadapannya, mencoba buka data-data perusahaan sang ayah untuk mencari identitas dari anak ini."Gue harus cari gimana ya?" Celetuknya sebab ya akan terasa sia-sia jika ia buka data perusahaan karena belum tentu identifikasi data pegawai sampai dengan data keluarga keseluruhan, kan....."Gue harus buka album foto lama!" Idenya kali ini jauh lebih menarik. Ya dia berharap bisa mencari tahu siapa anak kecil yang bersama dengannya dalam satu frame foto. Andrew yang lagi sendiri di rumah mew
"Eh jangan dibuka dulu...." Aku langsung merebut jurnal itu kembali."Ya kalo gak boleh di buka ngapain lo bawa kesini kan?" Ia membela dirinya."Gue mau nanya dulu sih sebelum lo buka jurnal ini. Takutnya pas lo buka, lo kaget sendiri..." Jelasku."Apa yang mau lo tanyain?" Ia pun terlihat juga penasaran."Lo punya saudara lagi? Atau...." "Apa sih La, pertanyaan itu mah tanpa perlu jawaban dari gue juga kan lo udah tau gue anak tunggal, pewaris tunggal..." Ia masih belum paham arah obrolanku kemana."Iya sih gue kan cuma memastikan aja. Soalnya ini disini gue ngelihat foto bokap lo sama dua orang anak laki-laki....." "Foto apaan emangnya? Sini gue lihat..." Ia mengadahkan tangannya bersiap menyambut pemberian dariku."Sebentar gue buka dulu..." Aku membuka lembar buku ini satu per satu halaman."Ini..." Aku menyodorkan seutas foto yang telah ditempel di dalamnya."Hmmmm, ini fotoku kecil dan papa. Siapa dia?" Andrew pun bertanya tentang sosok pria yang ada disampingnya ini."Bukan
Setelah selesai urusan dengan ayah, aku langsung menghubungi ibu. Mengatakan semua hal yang terjadi, dan untungnya respon beliau tidak begitu panikan terlebih saat ini ia sedang berada di luar negeri. "Udah, kamu tenang aja. Ibu akan pulang sore ini. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan..." Pinta ibu dari sambungan telepon. Aku langsung kembali ke luar menemui adik tiriku yang tidak bisa berkutik. "Tania, kamu mau disini atau pulang?" Memberikan penawaran seperti ini memang bukanlah solusi terbaik. Bagaimanapun ia adalah bagian dari keluarga ini. Adikku meski kami dari ibu yang berbeda. "Andrew gimana ya kak?" "Oh iya, nanti aku coba telefon dia bilang semua yang terjadi barusan. Kamu pulang dulu aja kali ya, supaya besok kita bisa sama-sama mikir langkah apa yang harus kita lakukan..." Tania menyetujui rencanaku. Ia pamit dan bergegaas pulang dengan panggilan taksinya. *** Jam terus berputar, sementara aku masih terus berpikir kejadian hari ini yang semuanya terasa sangat menyi