Mafia Insyaf

Mafia Insyaf

last updateLast Updated : 2025-04-26
By:  Bang Thor Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
21Chapters
36views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Setelah bertahun-tahun hidup sebagai ketua mafia yang disegani, Anton "Si Tangan Besi" tiba-tiba memutuskan untuk pensiun dan bertaubat. Keputusan ini muncul setelah ia nyaris tewas dalam sebuah baku tembak dengan geng saingannya. Saat terbaring di rumah sakit, Anton mengalami mimpi aneh yang membuatnya yakin bahwa sudah waktunya meninggalkan dunia kejahatan dan menjalani hidup yang lebih baik. Namun, keluar dari dunia mafia ternyata tidak semudah yang dibayangkannya. Anak buahnya tidak percaya dengan keputusan Anton dan mengira ini hanya strategi untuk menjebak musuh. Sementara itu, para rivalnya menganggap Anton sedang menyusun rencana rahasia untuk merebut kembali kekuasaan. Situasi semakin rumit ketika seorang detektif cerdik, Luki, mulai mengawasi setiap gerak-gerik Anton karena mencurigai niatnya. Anton berusaha membuktikan kesungguhannya dengan membuka warung kopi di sudut kota. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Salah satu geng lama Anton menculik keponakannya, memaksanya untuk kembali ke medan laga. Dengan bantuan Luki (yang terpaksa bekerja sama karena keadaan), Anton harus menghadapi masa lalunya sekali lagi—kali ini bukan untuk berkuasa, tapi untuk melindungi orang-orang yang ia sayangi. Bisakah Anton benar-benar lepas dari dunia mafia, atau takdir sudah menuliskan bahwa seorang "Si Tangan Besi" akan selalu menjadi bagian dari dunia gelap?

View More

Chapter 1

Bab 1: Keluar dari Dunia Gelap

Suasana di gudang tua di pinggiran kota malam itu terasa lebih mencekam dari biasanya. Lampu neon berkedip-kedip, menciptakan bayangan samar di lantai beton yang dingin. Bau asap rokok bercampur dengan aroma bensin menyebar di udara, menambah berat suasana. Di tengah ruangan, Anton "Si Tangan Besi" duduk di kursi besi yang sudah berkarat. Tangannya menggenggam rokok yang hampir habis, sementara tatapannya kosong menatap lantai.

"Gua udah muak sama semua ini," gumam Anton pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Di hadapannya, tiga anak buahnya—Bono, Jaki, dan Reno—saling pandang dengan ragu. Mereka tahu betul kalau bos mereka jarang bicara soal perasaannya, apalagi menyatakan kebosanan terhadap dunia yang selama ini membuat namanya ditakuti di seluruh penjuru kota.

"Bos, serius nih?" Bono akhirnya angkat bicara, nada suaranya setengah tidak percaya. "Kita udah hampir nguasain separuh kota. Tinggal nunggu waktu sebelum geng si Rudi keok. Masa lu mau cabut sekarang?"

Anton menghembuskan asap rokoknya perlahan, lalu mematikan puntung rokok di asbak aluminium. Tatapannya tajam menatap Bono. "Lu pikir gua nggak capek? Setiap hari hidup di bawah bayang-bayang peluru? Bangun pagi nggak pernah tahu ini bakal jadi hari terakhir gua hidup atau nggak? Gua udah muak, Bon."

Jaki tertawa kecil. "Jadi... lu mau jadi orang baik sekarang? Buka warung kopi? Jadi tukang bakso, mungkin?"

Anton tersenyum tipis. "Mungkin aja. Buka warung kopi kayaknya enak."

"Terus, modalnya gimana? Emang bisa dari penghasilan kita di dunia gelap itu? Kalau uangnya haram mau dikelola kayak gimana juga, ya tetep haram." Timpal salah satu anak buahnya, panjang kali lebar.

Dengan tenang, Anton duduk di kursi barunya. Sudah memiliki modal dari tabungan lamanya, dari penghasilan yang halal. "Udah, kalian tenang aja..."

Ketiga anak buahnya terdiam, menatap Anton seolah dia sudah kehilangan akal sehat. Reno menggeleng-gelengkan kepala. "Bos, lu tahu nggak kalau orang kayak kita nggak bisa keluar begitu aja? Dunia kita ini nggak punya pintu keluar."

Anton berdiri. Tatapannya dingin dan penuh ketegasan. "Kalau nggak ada pintu keluar, gua bakal bikin sendiri."

Malam itu, Anton benar-benar merasa bahwa hidupnya harus berubah. Semua ini bermula dari kejadian dua minggu lalu. Saat itu, Anton dan anak buahnya sedang mengatur transaksi senjata di pelabuhan. Semuanya berjalan mulus, sampai tiba-tiba geng Rudi datang membawa pasukan bersenjata lengkap.

Peluru berdesing ke segala arah. Anton sempat berlindung di balik peti kayu, tapi satu peluru menembus bahunya. Rasa panas dan perih langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Darah mengalir deras, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Anton pikir itu adalah akhir hidupnya—tapi di tengah kesadarannya yang mulai menipis, dia melihat sosok pria tua berjubah putih berdiri di hadapannya.

"Ini bukan hidup yang seharusnya kau jalani," kata pria itu dengan suara dalam dan menenangkan. "Kalau kau ingin kesempatan kedua, tinggalkan dunia ini."

Saat Anton sadar di rumah sakit tiga hari kemudian, kata-kata pria itu masih terngiang di kepalanya. Itu bukan sekadar mimpi, Anton yakin. Itu adalah peringatan.

Sekarang, setelah keluar dari rumah sakit, Anton merasa inilah saatnya untuk berubah. Dunia mafia mungkin telah memberinya kekuasaan, uang, dan rasa hormat—tapi itu juga telah membuatnya kehilangan banyak hal. Teman-temannya mati satu per satu, orang-orang yang dia cintai menjauh, dan hidupnya selalu dihantui rasa cemas.

Anton memutuskan untuk memulai semuanya dari nol. Dia membeli sebuah ruko kecil di sudut kota yang sudah lama kosong. Tempat itu dulunya adalah toko kelontong, tapi sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Dengan bantuan beberapa orang kepercayaannya, Anton mulai merenovasi tempat itu. Cat dinding yang terkelupas diganti dengan warna krem yang lembut. Meja dan kursi kayu ditata rapi di sudut ruangan. Aroma kopi mulai menyebar ketika Anton mencoba mesin kopi yang baru dibelinya.

"Mulai hari ini, kita ubah jalan hidup kita. Ke jalan yang lebih lurus, lebih aman, dan yang paling penting, lebih halal." Ucap Anton dengan bangga kepada para anak buahnya.

Suatu pagi, ketika Anton sedang mengepel lantai, pintu ruko terbuka. Luki, seorang detektif dari kepolisian, masuk dengan tatapan curiga. Luki adalah musuh lama Anton—atau lebih tepatnya, rival yang selalu gagal menangkapnya.

"Si Tangan Besi buka warung kopi?" Luki menyandarkan dirinya di ambang pintu, tangannya disilangkan di dada. "Ini rencana baru buat nyamar, ya?"

Anton menatap Luki sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya. "Gua udah pensiun, Luk. Cuma mau cari hidup yang tenang."

Luki tertawa sinis. "Orang kayak lu nggak bisa hidup tenang. Cepat atau lambat, masa lalu bakal nyeret lu balik."

Anton berhenti mengepel. Tatapannya dingin. "Kita lihat aja."

Selama beberapa minggu pertama, semuanya berjalan lancar. Warung kopi Anton mulai ramai. Orang-orang datang bukan hanya karena rasa kopinya yang enak, tapi juga karena ingin melihat apakah benar seorang mantan mafia bisa berubah jadi warga sipil biasa. Di Warkopnya tersedia berbagai varian, ada kopi espresso, latte, dan juga varian lainnya.

Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Akan cepat berganti dengan ketegangan.

Suatu malam, ketika Anton sedang merapikan meja, telepon di konter berbunyi. Anton mengangkatnya, dan suara di ujung sana langsung membuat darahnya membeku.

"Bos Anton," suara itu berat dan dingin. "Kau pikir bisa keluar semudah itu?"

Anton terdiam. Jantungnya berdebar.

"Keponakanmu, Rina, ada di tangan kami sekarang. Kalau kau mau dia selamat, kau tahu harus melakukan apa." Suara penelpon itu tidak terdengar asing di telinga Anton, sudah lama ia mengenalnya.

Telepon terputus. Anton menggenggam gagang telepon erat-erat, matanya berkilat marah. Dalam hitungan detik, insting lamanya kembali muncul.

Pintu warung kopi terbuka, dan Luki berdiri di ambang pintu dengan tatapan serius. "Masalah?"

Anton menatap Luki tajam. "Mereka bawa keponakan gua."

Luki menghela napas panjang. "Gua bilang juga apa. Dunia lu nggak bakal ngelepas lu semudah itu."

Anton mengambil jaket kulit hitamnya dari gantungan. "Kalau mereka pikir gua bakal tinggal diam, mereka salah besar."

Luki menyeringai. "Gua ikut."

Anton menatap Luki sejenak, lalu mengangguk. "Kalau lu bikin kekacauan, gua bakal nyalahin lu."

"Kalau lu bikin kekacauan, gua bakal nangkep lu," balas Luki dengan senyum kecil. Luki ingin menguji kesungguhan Anton untuk keluar dari dari gelap ini.

Anton berjalan keluar, diikuti Luki. Malam itu, Anton tahu satu hal pasti—jalan keluar dari dunia gelap tidak akan semudah yang ia bayangkan. Tapi kali ini, dia tidak akan berjuang untuk kekuasaan atau uang. Dia berjuang untuk orang yang ia cintai. Dan untuk itu, dia rela menghadapi apa pun.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
21 Chapters
Bab 1: Keluar dari Dunia Gelap
Suasana di gudang tua di pinggiran kota malam itu terasa lebih mencekam dari biasanya. Lampu neon berkedip-kedip, menciptakan bayangan samar di lantai beton yang dingin. Bau asap rokok bercampur dengan aroma bensin menyebar di udara, menambah berat suasana. Di tengah ruangan, Anton "Si Tangan Besi" duduk di kursi besi yang sudah berkarat. Tangannya menggenggam rokok yang hampir habis, sementara tatapannya kosong menatap lantai."Gua udah muak sama semua ini," gumam Anton pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Di hadapannya, tiga anak buahnya—Bono, Jaki, dan Reno—saling pandang dengan ragu. Mereka tahu betul kalau bos mereka jarang bicara soal perasaannya, apalagi menyatakan kebosanan terhadap dunia yang selama ini membuat namanya ditakuti di seluruh penjuru kota."Bos, serius nih?" Bono akhirnya angkat bicara, nada suaranya setengah tidak percaya. "Kita udah hampir nguasain separuh kota. Tinggal nunggu waktu sebelum geng si Rudi keok. Masa lu mau cabut sekarang?"Anton
last updateLast Updated : 2025-04-13
Read more
Bab 2: Kembali ke Jalan Lama
Anton berdiri di depan ruko yang pintunya setengah terbuka. Angin malam meniup pelan, membuat suara gemerisik di antara daun-daun kering yang berserakan di trotoar. Jantungnya masih berdebar kencang setelah mendengar telepon itu. Rina—satu-satunya keluarga yang tersisa—diculik oleh orang-orang yang jelas tahu masa lalunya.Luki berdiri di sebelah Anton, menyulut rokok dengan tangan yang tenang. "Jadi, apa rencananya?" tanyanya sambil mengembuskan asap ke udara.Anton menghela napas berat. "Kita mulai dari siapa yang paling mungkin nyulik Rina."Luki menyeringai kecil. "Pasti geng Rudi, kan? Dari dulu mereka nggak pernah bisa lepas dari bayangan lu."Anton menggeleng. "Kalau Rudi, mereka nggak bakal berani main kasar kayak gini. Mereka tahu kalau gua ngamuk, semuanya bakal habis. Ini pasti orang lain."Luki menatap Anton, memperhatikan kilatan marah di matanya. "Lu yakin masih bisa beraksi? Udah lama, Ton. Jangan sampai lu malah ngerusak warung kopi yang udah lu bangun."Anton menatap
last updateLast Updated : 2025-04-13
Read more
Bab 3: Peringatan dari Si Tangan Besi
Malam di kota itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Anton duduk di meja kecil di sudut warung kopinya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Di luar, lampu jalan yang redup menerangi trotoar yang basah setelah hujan sore tadi. Aroma kopi masih tercium samar di udara, bercampur dengan hawa dingin malam. Tapi pikiran Anton tidak berada di sana. Dia memikirkan Reza—dan pesan tersirat di balik aksinya menculik Rina. Luki duduk di seberang meja, mengaduk kopinya dengan santai. "Jadi, lu beneran bakal ngasih peringatan?" tanyanya, menatap Anton dengan mata menyipit. Anton menghela napas dalam. "Bukan soal peringatan. Ini soal memastikan mereka nggak nyoba ngulangin hal yang sama." Luki tersenyum kecil. "Itu artinya lu bakal turun tangan langsung?" Anton mengangkat alis, matanya bersinar dingin. "Kalau gua nggak turun tangan, mereka bakal pikir gua udah lemah." Luki tertawa pelan. "Jadi siapa target pertama?" Anton memandang Luki sejenak. "Kita mulai dari yang paling gampang di
last updateLast Updated : 2025-04-13
Read more
Bab 4: Api yang Mulai Menyala
Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu tua di sudut warung kopi. Tangannya memegang cangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Di luar, matahari mulai muncul di balik gedung-gedung tua kota, memancarkan cahaya oranye pucat ke jalanan yang masih basah setelah hujan semalam. Warung kopinya sepi, hanya suara burung gereja yang terdengar dari luar jendela. Tapi Anton tahu, ketenangan ini hanya sementara.Luki masuk ke warung, membawa koran terlipat di tangannya. Dia melemparkan koran itu ke meja di depan Anton. "Lu udah lihat ini?"Anton mengangkat alis, lalu mengambil koran itu. Di halaman depan, terpampang foto Donny yang keluar dari klub dengan kepala dibalut perban. Wajahnya tampak lebam, dan tatapannya penuh kemarahan. Judul besar di bawah foto itu berbunyi: "Perang antar geng mulai memanas—Si Tangan Besi kembali?"Anton membaca artikel itu sekilas. Isinya penuh spekulasi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Anton memukuli Donny karena urusan bisnis yang belum selesai, sementar
last updateLast Updated : 2025-04-13
Read more
Bab 5: Tak Ada Jalan Mundur
Anton berdiri di balkon kecil di lantai dua warung kopinya. Dari sana, dia bisa melihat jalanan kota yang mulai sibuk di pagi hari. Orang-orang berlalu lalang, pedagang kaki lima mulai membuka lapak, dan suara kendaraan membentuk latar belakang yang samar. Tapi di balik hiruk-pikuk itu, Anton bisa merasakan ketegangan yang mulai merayap di bawah permukaan. Dunia bawah mulai bergolak. Semua orang tahu apa yang terjadi di gudang pelabuhan semalam—dan semua orang tahu bahwa Anton sudah kembali.Luki muncul di balik pintu balkon, membawa dua cangkir kopi. Dia menyerahkan salah satunya pada Anton. "Orang-orang udah mulai ngomong," kata Luki sambil menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon.Anton menyeruput kopi hitamnya. "Mereka ngomong apa?"Luki menyeringai. "Ada yang bilang lu bakal ambil alih lagi. Ada yang bilang lu bakal ngehabisin Reza sama semua orangnya. Ada juga yang bilang lu cuma kasih peringatan buat nutupin kelemahan lu."Anton menyipitkan mata. "Mereka pikir gua lemah?"Luki ter
last updateLast Updated : 2025-04-15
Read more
Bab 6: Pertemuan di Gudang Tua
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus kencang di distrik utara, membawa aroma besi tua dan asap kendaraan dari pelabuhan. Gudang tua yang dimaksud dalam telepon itu berdiri di ujung jalan sempit yang gelap. Dindingnya terbuat dari baja yang sudah berkarat, dengan beberapa bagian atap yang hampir runtuh. Cahaya lampu jalan yang redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di lantai beton yang retak.Anton berdiri di depan pintu besi besar gudang itu, mengenakan jaket kulit hitam dan sepatu bot. Tangan kanannya menggenggam gagang pistol yang terselip di balik jaket. Luki bersandar di kap mobil di seberang jalan, memperhatikan Anton dengan tatapan waspada."Lu yakin ini ide bagus?" tanya Luki.Anton tidak menjawab. Dia menatap lurus ke pintu besi itu, rahangnya mengeras. "Gua harus tahu siapa yang ada di balik semua ini."Yuda berdiri di samping mobil, menyilangkan tangan di dada. "Kalau ini jebakan, kita bakal kesulitan keluar."Anton menoleh ke arah Yuda. "Itu kenapa
last updateLast Updated : 2025-04-15
Read more
Bab 7: Musuh dalam Bayangan
Malam sudah larut ketika Anton tiba di warung kopinya. Lampu di dalam masih menyala, meski suasananya sepi. Rina tertidur di kursi dekat jendela, kepalanya bersandar di atas lengannya. Anton berdiri di ambang pintu sebentar, memperhatikan keponakannya yang terlihat begitu damai di tengah kekacauan yang sedang ia hadapi.Luki dan Yuda masuk tak lama setelah Anton. Luki langsung duduk di meja dekat pintu, sementara Yuda berdiri dengan tangan di saku jaketnya, tatapannya serius."Jadi?" tanya Luki sambil melirik Anton. "Apa kesimpulan lu tentang Adrian?"Anton berjalan ke belakang meja kasir dan mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin. Dia membuka tutupnya dan meneguk pelan sebelum menjawab, "Adrian bukan pemain biasa. Dia punya pengaruh, koneksi, dan jelas bukan tipe yang gampang nyerah.""Dan sekarang dia tahu lu bukan orang yang gampang dipermainkan," tambah Yuda.Anton menyipitkan mata. "Itu masalahnya. Orang kayak Adrian ngg
last updateLast Updated : 2025-04-16
Read more
Bab 8: Menyingkap Pengkhianat
Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu di sudut warung kopi, menatap secangkir kopi hitam yang mengepulkan asap tipis di depannya. Di luar, sinar matahari samar-samar menyinari jalanan kota yang mulai sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa mampir ke warung kopi untuk membeli sarapan. Tapi Anton tidak memperhatikan semua itu. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Adrian. Luki dan Yuda duduk di meja yang sama. Luki menggulung lengan bajunya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi, sementara Yuda terlihat sibuk memeriksa ponselnya. "Orang-orang Adrian mulai bergerak," kata Yuda, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Dia ngerahin beberapa orang ke distrik selatan dan barat. Kelihatannya dia mulai bikin jaringan baru." Anton menyipitkan mata. "Itu artinya dia udah mulai nyiapin pergerakan besar." Luki menyeringai. "Dan kita bakal kasih kejutan sebelum dia sempat jalan." An
last updateLast Updated : 2025-04-16
Read more
Bab 9: Perang Dimulai
Malam terasa lebih kelam dari biasanya. Warung kopi Anton sudah tutup lebih awal, dan lampu-lampu di dalamnya dipadamkan. Anton duduk di meja paling belakang bersama Luki dan Yuda, peta besar kota terbentang di atas meja. Di peta itu, Anton telah memberi tanda pada beberapa titik penting—lokasi persembunyian anak buah Adrian, jalur distribusi ilegal di pelabuhan, dan titik-titik strategis yang bisa digunakan untuk memutus jaringan Adrian."Adrian udah mulai bergerak," kata Yuda, menusuk jarinya ke tanda merah di peta. "Orang-orangnya kelihatan di sekitar gudang di distrik barat tadi sore. Gua yakin mereka mulai mindahin barang ke tempat lain.""Dia tahu kita bakal nargetin jalurnya," tambah Luki. "Kalau kita mau hajar dia, kita harus gerak sebelum dia nutup semua celahnya."Anton menatap peta dengan mata menyipit. "Nggak. Kalau Adrian mulai mindahin barangnya, itu artinya dia panik. Kita biarin dia sibuk ngatur ulang posisi, sementara kita cari Inspektur R
last updateLast Updated : 2025-04-17
Read more
Bab 10: Darah di Lantai Warung Kopi
Suara tembakan pertama menggema keras di dalam warung kopi, memecah keheningan malam. Pria bersenjata yang berdiri di dekat pintu terhuyung ke belakang, darah merembes dari bahunya. Anton tidak menunggu lama. Dia melangkah masuk dengan cepat, menodongkan pistol ke arah pria kedua yang berdiri di samping Rina.Pria itu langsung mengangkat senjatanya, tapi Anton lebih cepat. Sebelum pria itu sempat menarik pelatuk, Anton sudah menembak lututnya. Pria itu berteriak kesakitan dan jatuh berlutut di lantai.Rina terkejut, matanya membelalak ketakutan. Tangan dan kakinya terikat dengan tali plastik, napasnya tersengal-sengal. Anton segera berlari ke arahnya, berjongkok, dan memotong tali di tangannya dengan pisau kecil dari saku jaketnya."Om…," suara Rina bergetar, matanya berkaca-kaca. "Gua takut…"Anton menggenggam wajah Rina dengan lembut, meski matanya penuh dengan ketegangan. "Gua di sini. Nggak ada yang bakal nyentuh lu lagi."Tiba-tiba,
last updateLast Updated : 2025-04-17
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status