Home / Thriller / Mafia Insyaf / Bab 6: Pertemuan di Gudang Tua

Share

Bab 6: Pertemuan di Gudang Tua

Author: Bang Thor
last update Last Updated: 2025-04-15 12:06:19

Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus kencang di distrik utara, membawa aroma besi tua dan asap kendaraan dari pelabuhan. Gudang tua yang dimaksud dalam telepon itu berdiri di ujung jalan sempit yang gelap. Dindingnya terbuat dari baja yang sudah berkarat, dengan beberapa bagian atap yang hampir runtuh. Cahaya lampu jalan yang redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di lantai beton yang retak.

Anton berdiri di depan pintu besi besar gudang itu, mengenakan jaket kulit hitam dan sepatu bot. Tangan kanannya menggenggam gagang pistol yang terselip di balik jaket. Luki bersandar di kap mobil di seberang jalan, memperhatikan Anton dengan tatapan waspada.

"Lu yakin ini ide bagus?" tanya Luki.

Anton tidak menjawab. Dia menatap lurus ke pintu besi itu, rahangnya mengeras. "Gua harus tahu siapa yang ada di balik semua ini."

Yuda berdiri di samping mobil, menyilangkan tangan di dada. "Kalau ini jebakan, kita bakal kesulitan keluar."

Anton menoleh ke arah Yuda. "Itu kenapa lu dan Luki tetap di sini. Kalau ada yang aneh, gua kasih sinyal."

Luki menyipitkan mata. "Dan kalau lu nggak kasih sinyal?"

Anton tersenyum tipis. "Itu artinya gua udah beresin masalahnya."

Tanpa menunggu jawaban, Anton melangkah ke pintu besi dan mendorongnya dengan satu tangan. Pintu itu berderit pelan, membuka ke dalam dengan suara logam yang menyayat telinga. Di dalam, suasana lebih gelap dan dingin. Cahaya redup dari lampu gantung tua berkelap-kelip, menciptakan bayangan panjang di dinding dan lantai.

Anton berjalan ke tengah ruangan, matanya menyapu setiap sudut gudang. Tumpukan peti kayu berjejer di sepanjang dinding, dan di ujung ruangan, sebuah meja kayu kecil berdiri di bawah sorotan lampu. Di belakang meja itu, seorang pria duduk dengan santai, kakinya terangkat ke atas meja.

Pria itu berusia sekitar empat puluhan, mengenakan jas hitam yang terlihat mahal, dengan rambut disisir rapi ke belakang. Wajahnya tenang, matanya tajam. Dia menyeringai begitu melihat Anton berjalan mendekat.

"Anton," kata pria itu dengan nada ramah. "Akhirnya kita bertemu."

Anton berhenti sekitar lima meter dari pria itu. "Siapa lu?"

Pria itu menurunkan kakinya dari meja dan berdiri. "Nama gua Adrian. Mungkin lu belum pernah dengar nama gua, tapi gua tahu banyak tentang lu."

Anton menyipitkan mata. "Gua nggak tertarik buat kenal lu."

Adrian tertawa kecil. "Tapi gua tertarik buat kenal lu, Anton. Lu itu legenda di dunia ini. Semua orang tahu nama Anton Si Tangan Besi. Tapi sekarang, orang-orang mulai mikir kalau lu udah nggak punya pengaruh lagi."

Anton menatap Adrian dengan dingin. "Kalau itu yang mereka pikir, berarti mereka salah besar."

Adrian berjalan perlahan ke sisi meja, tangannya menyentuh permukaan kayu dengan santai. "Gua tahu itu. Makanya gua pengen lihat sendiri apakah Anton yang dulu masih ada… atau udah jadi bayangan dari dirinya sendiri."

Anton menajamkan tatapannya. "Jadi, ini semua rencana lu?"

Adrian tersenyum. "Gua nggak pernah suka langsung turun tangan. Tapi Reza? Dia sempurna buat jadi pion di permainan ini."

Anton mengepalkan tangan di sisinya. "Lu pakai Reza buat narik gua keluar."

Adrian mengangguk pelan. "Dan kelihatannya berhasil."

Anton menatap Adrian tajam. "Apa yang lu mau?"

Adrian menyeringai. "Gua mau kota ini. Dan gua tahu satu-satunya orang yang bisa menghentikan gua adalah lu. Jadi, gua punya dua pilihan—gua bikin lu gabung sama gua… atau gua hancurkan lu."

Anton mendekat selangkah. "Lu pikir gua bakal nurut sama orang kayak lu?"

Adrian tertawa kecil. "Gua harap lu nggak nurut. Karena itu bakal bikin permainan ini jadi lebih menarik."

Tiba-tiba, pintu gudang tertutup dengan keras. Dari balik bayangan, lima orang pria bersenjata muncul, mengelilingi Anton dengan senjata terangkat. Anton tidak bergerak, matanya tetap terkunci pada Adrian.

Adrian melangkah mendekat. "Gua kasih lu satu kesempatan buat keluar dari sini dengan hidup, Anton. Gabung sama gua, dan kita bagi kota ini berdua."

Anton menyeringai tipis. "Lu tahu kenapa gua bertahan di dunia ini begitu lama?"

Adrian menatap Anton dengan tatapan tertarik. "Kenapa?"

Anton bergerak secepat kilat. Dia mencabut pistol dari balik jaket dan menembak pria bersenjata di sebelah kanannya tepat di kepala. Sebelum tubuh pria itu menyentuh lantai, Anton sudah bergerak ke arah pria kedua, menendang lututnya hingga roboh dan menembaknya di dada.

Tembakan beruntun bergema di dalam gudang. Anton bergerak cepat, menembak dua pria lainnya sebelum mereka sempat membalas. Pria terakhir mencoba melarikan diri ke arah pintu, tapi Anton menembak kakinya, membuatnya jatuh menjerit kesakitan.

Dalam hitungan detik, hanya tersisa Adrian yang masih berdiri di ruangan itu. Wajahnya tidak lagi terlihat santai—sorot matanya penuh ketegangan.

Anton berjalan perlahan ke arah Adrian, pistol masih terangkat di tangannya. "Lu pikir gua bakal tunduk ke orang kayak lu?"

Adrian tersenyum tipis, meski ketegangan terlihat di wajahnya. "Gua jadi makin tertarik sama lu, Anton."

Anton menekan moncong pistol ke dahi Adrian. "Kalau gua lihat muka lu lagi setelah malam ini, gua bakal pastiin lu nggak bakal hidup buat lihat matahari terbit."

Adrian menatap Anton, sorot matanya penuh kebencian. "Kita lihat nanti."

Anton menurunkan pistolnya dan berjalan keluar dari gudang, meninggalkan Adrian yang masih berdiri dengan napas memburu. Begitu Anton keluar, Luki dan Yuda langsung menghampirinya.

"Gimana?" tanya Luki.

Anton menatap mereka sebentar. "Kita punya masalah yang lebih besar dari yang kita kira."

"Siapa orang itu?" tanya Yuda.

Anton menatap ke arah gudang dengan tatapan dingin. "Adrian. Dan kalau gua lihat dari caranya main, dia bukan tipe orang yang gampang nyerah."

Luki menyeringai kecil. "Jadi, kita bakal beresin dia?"

Anton berjalan menuju mobil dan membuka pintunya. "Belum. Kita biarin dia berpikir kalau dia masih pegang kendali."

Yuda mengerutkan kening. "Kenapa?"

Anton masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. Dari kaca jendela, dia menatap ke arah gudang dengan sorot mata tajam. "Karena gua pengen lihat sejauh mana dia berani melangkah sebelum gua hancurin semuanya."

Luki tertawa kecil. "Kayaknya bakal jadi perang besar."

Anton tersenyum tipis, tapi tatapannya dingin. "Perang ini baru aja dimulai."

Mobil melaju meninggalkan gudang, menyusuri jalanan sempit yang gelap. Di belakang mereka, Adrian masih berdiri di dalam gudang, matanya penuh kebencian dan rencana. Anton tahu, ini belum selesai. Ini baru pembuka. Dan jika Adrian pikir dia bisa memainkan Anton seperti pion di papan catur, maka dia akan segera tahu bahwa Anton bukan sekadar pemain biasa—dia adalah raja di permainan ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Mafia Insyaf    Bab 7: Musuh dalam Bayangan

    Malam sudah larut ketika Anton tiba di warung kopinya. Lampu di dalam masih menyala, meski suasananya sepi. Rina tertidur di kursi dekat jendela, kepalanya bersandar di atas lengannya. Anton berdiri di ambang pintu sebentar, memperhatikan keponakannya yang terlihat begitu damai di tengah kekacauan yang sedang ia hadapi.Luki dan Yuda masuk tak lama setelah Anton. Luki langsung duduk di meja dekat pintu, sementara Yuda berdiri dengan tangan di saku jaketnya, tatapannya serius."Jadi?" tanya Luki sambil melirik Anton. "Apa kesimpulan lu tentang Adrian?"Anton berjalan ke belakang meja kasir dan mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin. Dia membuka tutupnya dan meneguk pelan sebelum menjawab, "Adrian bukan pemain biasa. Dia punya pengaruh, koneksi, dan jelas bukan tipe yang gampang nyerah.""Dan sekarang dia tahu lu bukan orang yang gampang dipermainkan," tambah Yuda.Anton menyipitkan mata. "Itu masalahnya. Orang kayak Adrian ngg

    Last Updated : 2025-04-16
  • Mafia Insyaf    Bab 8: Menyingkap Pengkhianat

    Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu di sudut warung kopi, menatap secangkir kopi hitam yang mengepulkan asap tipis di depannya. Di luar, sinar matahari samar-samar menyinari jalanan kota yang mulai sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa mampir ke warung kopi untuk membeli sarapan. Tapi Anton tidak memperhatikan semua itu. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Adrian. Luki dan Yuda duduk di meja yang sama. Luki menggulung lengan bajunya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi, sementara Yuda terlihat sibuk memeriksa ponselnya. "Orang-orang Adrian mulai bergerak," kata Yuda, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Dia ngerahin beberapa orang ke distrik selatan dan barat. Kelihatannya dia mulai bikin jaringan baru." Anton menyipitkan mata. "Itu artinya dia udah mulai nyiapin pergerakan besar." Luki menyeringai. "Dan kita bakal kasih kejutan sebelum dia sempat jalan." An

    Last Updated : 2025-04-16
  • Mafia Insyaf    Bab 9: Perang Dimulai

    Malam terasa lebih kelam dari biasanya. Warung kopi Anton sudah tutup lebih awal, dan lampu-lampu di dalamnya dipadamkan. Anton duduk di meja paling belakang bersama Luki dan Yuda, peta besar kota terbentang di atas meja. Di peta itu, Anton telah memberi tanda pada beberapa titik penting—lokasi persembunyian anak buah Adrian, jalur distribusi ilegal di pelabuhan, dan titik-titik strategis yang bisa digunakan untuk memutus jaringan Adrian."Adrian udah mulai bergerak," kata Yuda, menusuk jarinya ke tanda merah di peta. "Orang-orangnya kelihatan di sekitar gudang di distrik barat tadi sore. Gua yakin mereka mulai mindahin barang ke tempat lain.""Dia tahu kita bakal nargetin jalurnya," tambah Luki. "Kalau kita mau hajar dia, kita harus gerak sebelum dia nutup semua celahnya."Anton menatap peta dengan mata menyipit. "Nggak. Kalau Adrian mulai mindahin barangnya, itu artinya dia panik. Kita biarin dia sibuk ngatur ulang posisi, sementara kita cari Inspektur R

    Last Updated : 2025-04-17
  • Mafia Insyaf    Bab 10: Darah di Lantai Warung Kopi

    Suara tembakan pertama menggema keras di dalam warung kopi, memecah keheningan malam. Pria bersenjata yang berdiri di dekat pintu terhuyung ke belakang, darah merembes dari bahunya. Anton tidak menunggu lama. Dia melangkah masuk dengan cepat, menodongkan pistol ke arah pria kedua yang berdiri di samping Rina.Pria itu langsung mengangkat senjatanya, tapi Anton lebih cepat. Sebelum pria itu sempat menarik pelatuk, Anton sudah menembak lututnya. Pria itu berteriak kesakitan dan jatuh berlutut di lantai.Rina terkejut, matanya membelalak ketakutan. Tangan dan kakinya terikat dengan tali plastik, napasnya tersengal-sengal. Anton segera berlari ke arahnya, berjongkok, dan memotong tali di tangannya dengan pisau kecil dari saku jaketnya."Om…," suara Rina bergetar, matanya berkaca-kaca. "Gua takut…"Anton menggenggam wajah Rina dengan lembut, meski matanya penuh dengan ketegangan. "Gua di sini. Nggak ada yang bakal nyentuh lu lagi."Tiba-tiba,

    Last Updated : 2025-04-17
  • Mafia Insyaf    Bab 11: Masuk ke Sarang Musuh

    Malam itu, langit kota diselimuti awan tebal, menyembunyikan cahaya bintang dan bulan. Jalanan di distrik utara terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah kota ini tahu bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi.Anton duduk di dalam mobil, mesin masih menyala pelan. Luki duduk di kursi penumpang, sementara Yuda dan tiga anak buah mereka berada di mobil lain yang berhenti beberapa meter di belakang. Anton menatap lurus ke depan, ke sebuah gedung tua yang berdiri megah di ujung jalan. Gedung itu dulunya adalah pabrik tekstil yang terbengkalai, tetapi sekarang menjadi markas utama Adrian. Lampu-lampu redup menyala di beberapa jendela lantai atas, dan dua pria bersenjata berjaga di pintu masuk.Anton mengambil sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya, dan mengisap dalam-dalam. Asap putih melayang pelan di dalam mobil, menciptakan bayangan samar di kaca depan.Luki melirik Anton. "Jadi, rencananya gimana?"Anton mengembuskan asap rokok. "Masuk, hancurkan segalanya, dan bawa Adrian kelua

    Last Updated : 2025-04-17
  • Mafia Insyaf    Bab 12: Jalan Keluar dari Neraka

    Anton menyeret Adrian menyusuri lorong yang dipenuhi asap dan bau mesiu. Suara tembakan masih menggema di kejauhan, bercampur dengan suara langkah kaki berat yang bergerak mendekat. Luki berjalan di samping Anton, pistol terangkat, matanya waspada menatap ke setiap sudut lorong. "Anton, kita harus keluar dari sini sekarang," desis Luki. Anton menekan pistol ke punggung Adrian, membuat pria itu terhuyung ke depan. "Lu pikir gua bakal tinggal di sini selamanya?" Adrian tertawa kecil, meski napasnya berat. "Lu nggak bakal keluar hidup-hidup, Anton. Orang-orang gua udah siap di semua pintu keluar." Anton mencengkeram kerah Adrian lebih keras. "Kalau gua mati di sini, lu bakal ikut gua ke dalam kubur." Tiba-tiba, dari ujung lorong, dua pria muncul dengan senjata otomatis terangkat. Luki bergerak lebih dulu, menembak ke arah mereka. Satu peluru menghantam dada

    Last Updated : 2025-04-18
  • Mafia Insyaf    Bab 13: Bayangan di Balik Permainan

    Langit malam di atas kota dipenuhi awan gelap, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kegelapan. Anton duduk di kursi kayu di dalam warung kopi, rokok di tangannya mengepulkan asap tipis yang melayang ke udara. Di hadapannya, Luki dan Yuda duduk di meja yang sama, wajah mereka penuh ketegangan.Warung kopi itu sudah tutup. Rina tidur di kamar di lantai atas, aman di bawah pengawasan Reno yang kini resmi bekerja untuk Anton. Tapi Anton tahu—ini hanya ketenangan sementara sebelum badai yang lebih besar datang.Luki mengambil sebatang rokok dari sakunya dan menyulutnya. "Jadi… Adrian udah mati. Tapi kenapa gua ngerasa ini malah bikin semuanya makin rumit?"Anton menghembuskan asap rokok, tatapannya kosong. "Karena ini belum selesai."Yuda menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Pesan di ponsel Adrian…"Anton menyipitkan mata. "Kita harus cari tahu siapa yang kirim pesan itu."Luki tertawa kecil. "Kalau Adrian cuma bidak, berarti orang yang narik tali dari balik layar jauh l

    Last Updated : 2025-04-19
  • Mafia Insyaf    Bab 14: Pertemuan di Pelabuhan

    Mobil Anton melaju kencang di jalanan kota yang gelap. Lampu-lampu jalan berpendar samar, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang kosong. Suara mesin mobil meraung, memecah keheningan malam. Anton duduk di belakang kemudi, matanya lurus ke depan. Rahangnya mengeras, pikirannya fokus pada satu tujuan—pelabuhan lama.Luki dan Yuda mengikuti di mobil belakang, menjaga jarak yang cukup untuk tidak mencolok, tapi cukup dekat jika sesuatu terjadi. Anton tahu ini bisa jadi jebakan. Tapi itu tidak penting. Jika orang di balik lambang ular hitam cukup berani untuk memanggilnya, maka Anton akan datang dan menyelesaikan ini—dengan darah, jika perlu.Ponsel di saku jaket Anton bergetar. Dia mengambilnya dan melihat pesan baru di layar. Tidak ada nama pengirim, hanya satu kalimat:"Datang sendiri. Jika tidak, Rina yang akan membayar harganya."Anton menahan napas. Wajahnya mengeras. Dia tahu musuh ini berbeda. Adrian adalah bidak yang mudah dibaca, tapi orang ini bermain di level yang lebih t

    Last Updated : 2025-04-19

Latest chapter

  • Mafia Insyaf    Bab 25: Gadis Kecil dan Sebuah Pertanyaan Besar

    Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

  • Mafia Insyaf    Bab 23: Saat Semua Tak Lagi Aman

    ---Pagi itu, langit mendung menutupi seluruh kota. Rumah aman Anton yang selama ini tak pernah terendus musuh kini terasa berbeda. Terlalu sepi. Terlalu tenang.Rina duduk di dapur, menyesap teh hangat sambil membuka file dari hasil serangan malam tadi. Di layar laptopnya, angka-angka rekening tersembunyi masih terus bermunculan, seolah Kota Gelap menyimpan uang di setiap lubang yang ada.Anton masuk ke dapur, rambutnya masih acak-acakan, tanpa jaket kulit legendarisnya. “Udah minum?”Rina mengangguk. “Tapi gak bikin lupa kalau kita sekarang punya 200 miliar musuh.”Anton duduk di seberangnya, mengambil cangkir kosong. “200 miliar yang gak bisa bantu mereka kalau fondasinya ambruk.”“Om…” Rina menatapnya. “Kita gak bisa terus kayak gini. Kita serang mereka, mereka balas. Sampai kapan?”Anton tak langsung menjawab. Dia hanya menatap cangkirnya yang kosong, seolah jawaban bisa ditemukan di dasar keramik.Sebelum pembicaraan berlanjut, pintu masuk dibuka cepat. Luki masuk sambil membawa

  • Mafia Insyaf    Bab 21: Taktik Baru untuk Musuh Lama

    Tiga jam setelah insiden peresmian, markas darurat sunyi seperti kuburan. Suara AC tua berderit, suara kipas laptop Rina berdengung pelan, dan tak ada satu pun yang membuka mulut.Anton berdiri membelakangi semua orang, menatap papan strategi yang kini penuh coretan, peta, dan foto-foto tokoh penting. Ia menyandarkan kedua tangannya ke meja, kepalanya sedikit tertunduk.Yuda duduk dengan perban di bahunya, menahan nyeri sambil menyeruput kopi dingin. Luki duduk di pojokan, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Rina, yang biasanya sibuk mengetik atau bercanda, kini hanya memeluk lutut di kursinya.Akhirnya Anton bicara. Suaranya pelan, tapi padat. “Gua minta maaf.”Semua langsung menoleh.“Gua pikir kita bisa pakai metode lama—menyusup, ambil informasi, pukul keras, lalu keluar. Tapi ‘R’ bukan sekadar target. Dia sistem itu sendiri.”Yuda bergumam. “Gua gak nyangka dia bisa melacak gua dari jarak segitu.”

  • Mafia Insyaf    Bab 20: Sambutan Berdarah untuk Tamu Kehormatan

    Pagi hari satu minggu kemudian, kota berubah wajah. Spanduk-spanduk besar berlogo “Revitalisasi Menuju Masa Depan” bergelantungan di sepanjang jalan utama. Jalanan ditutup sebagian, aparat berjaga di sudut-sudut kota, dan kamera media disiapkan di setiap titik penting.Tapi di balik panggung peresmian proyek pemerintah, rencana lain juga sedang berjalan—lebih sunyi, lebih brutal.Di markas darurat, Anton menatap layar monitor yang menampilkan siaran langsung lokasi acara. Wajah Wali Kota tampak sumringah, berdiri di antara para pejabat sambil tersenyum ke kamera. Tapi bukan dia yang jadi incaran.Target utama mereka hari itu: “R” —sosok misterius yang sejauh ini hanya muncul lewat inisial, file terenkripsi, dan ancaman bayangan.“Kita yakin dia beneran dateng?” tanya Yuda sambil menyiapkan perangkat jammer komunikasi.Rina, yang kini mengenakan rompi relawan dan ID palsu, sudah berada di lokasi sejak pagi. Dari balik earpiece, suaranya terdengar jelas. “Barusan mobil hitam masuk lewat

  • Mafia Insyaf    Bab 19: Satu Langkah di Depan, Dua Langkah di Jurang

    Pagi harinya, Markas Darurat di lokasi baru—sebuah gudang bengkel tua di pinggiran kota—penuh dengan bunyi dentingan senjata, suara kipas rusak, dan sumpah serapah Luki yang entah untuk siapa. “Gua bener-bener gak ngerti,” katanya sambil menunjuk laptop yang mati total. “Ini laptop udah gua colok, gua reset, gua doain juga—tetep aja kagak nyala.” Rina berjalan melewati Luki sambil mengangkat alis. “Itu bukan laptop, Om. Itu toaster cap Toshiba.” Yuda tertawa. “Lu tuh nyiksa teknologi, bukan makenya.” Luki hanya melotot. “Gua nyiksa karena dia bandel.” Anton masuk ke ruangan sambil membawa berkas print-out data dari Damar. Wajahnya serius. Dia meletakkan map di meja dan langsung membuka halaman yang disorot. “Gua temuin sesuatu,” katanya. “Dari semua nama penyokong Kota Gelap, ada satu yang gak asing.” Yuda mencondongkan badan. “Siapa?” “Pak Walikota.” Semua langsung diam. “Serius?” tanya Luki. “Yang tiap Minggu suka foto pake kaos oblong depan pasar itu?” “Yang sama sekali

  • Mafia Insyaf    Bab 18: Masuk Tanpa Diundang, Keluar Bawa Masalah

    Lantai pabrik itu berderak tiap kali Anton melangkah. Gudang tua yang mereka susupi tidak hanya penuh debu dan peralatan berkarat, tapi juga penuh sensor tersembunyi dan perangkap kecil yang bikin stres. “Siapa sih yang nyusun tempat ini? Kevin McCallister dari Home Alone versi mafia?” gerutu Luki sambil menghindari kabel laser yang nyaris tak terlihat. Yuda di belakangnya nyaris kepeleset karena genangan oli. Anton tetap diam. Matanya menyisir setiap sudut. Mereka sudah melewati dua penjaga yang berhasil dijatuhkan diam-diam. Tapi yang mereka cari belum juga terlihat. Rina berbicara melalui earpiece dari jarak jauh. “Dua ruangan lagi ke kiri. Di balik dinding baja. Ada aktivitas data kuat dari titik itu.” “Lu yakin?” tanya Anton. “Yakin. Dan satu hal lagi,” kata Rina cepat, “ada dua sinyal ponsel aktif, tapi yang satu… ada di database kita.” Anton berhenti. “Maksud kamu?” “Itu nomor milik Damar.” Mereka semua menoleh. Damar adalah rekan lama Anton. Mantan informan yang dulu

  • Mafia Insyaf    Bab 17: Tawar-Menawar dengan Neraka

    Pagi masih belum benar-benar datang saat Anton duduk sendiri di balkon rumah aman. Angin dini hari membawa hawa dingin menusuk, tapi pikirannya terlalu panas untuk merasakannya. Kopi hitam dingin di tangannya tak disentuh. Di bawah sana, Luki dan Yuda masih sibuk memeriksa senjata dan mengatur logistik untuk penyusupan malam nanti. Rina keluar pelan dari kamarnya, mengenakan jaket oversized dan sandal hotel yang kedodoran. Rambutnya acak-acakan, tapi sorot matanya tajam. “Kopi kamu gak diminum. Sayang,” katanya sambil duduk di kursi sebelah. Anton menoleh dan tersenyum kecil. “Gak sempat mikirin rasa.” Rina menarik napas dalam. “Malam tadi… Om hampir bunuh diri, kan?” Anton diam. “Aku denger semuanya dari Luki. Kamu masuk ke tempat itu, dikelilingi senjata, dan tetep maksa negosiasi. Om pikir kamu siapa? John Wick?” Anton mengangkat alis. “Kamu tau siapa John Wick?” Rina menyandarkan kepala ke sandaran kursi. “Filmnya rating 17+, tapi kamu lupa aku punya VPN.” Anton menghela

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status