Home / Thriller / Mafia Insyaf / Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

Share

Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

Author: Bang Thor
last update Last Updated: 2025-04-29 18:05:02

Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.

Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.

Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”

Anton mengangguk. “Pagi.”

“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.

Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”

Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”

“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”

Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”

Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”

---

Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.

“Untuk ‘R’, dan semua yang mera
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

    Last Updated : 2025-04-29
  • Mafia Insyaf    Bab 25: Gadis Kecil dan Sebuah Pertanyaan Besar

    Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga

    Last Updated : 2025-04-29
  • Mafia Insyaf    Bab 1: Keluar dari Dunia Gelap

    Suasana di gudang tua di pinggiran kota malam itu terasa lebih mencekam dari biasanya. Lampu neon berkedip-kedip, menciptakan bayangan samar di lantai beton yang dingin. Bau asap rokok bercampur dengan aroma bensin menyebar di udara, menambah berat suasana. Di tengah ruangan, Anton "Si Tangan Besi" duduk di kursi besi yang sudah berkarat. Tangannya menggenggam rokok yang hampir habis, sementara tatapannya kosong menatap lantai."Gua udah muak sama semua ini," gumam Anton pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Di hadapannya, tiga anak buahnya—Bono, Jaki, dan Reno—saling pandang dengan ragu. Mereka tahu betul kalau bos mereka jarang bicara soal perasaannya, apalagi menyatakan kebosanan terhadap dunia yang selama ini membuat namanya ditakuti di seluruh penjuru kota."Bos, serius nih?" Bono akhirnya angkat bicara, nada suaranya setengah tidak percaya. "Kita udah hampir nguasain separuh kota. Tinggal nunggu waktu sebelum geng si Rudi keok. Masa lu mau cabut sekarang?"Anton

    Last Updated : 2025-04-13
  • Mafia Insyaf    Bab 2: Kembali ke Jalan Lama

    Anton berdiri di depan ruko yang pintunya setengah terbuka. Angin malam meniup pelan, membuat suara gemerisik di antara daun-daun kering yang berserakan di trotoar. Jantungnya masih berdebar kencang setelah mendengar telepon itu. Rina—satu-satunya keluarga yang tersisa—diculik oleh orang-orang yang jelas tahu masa lalunya.Luki berdiri di sebelah Anton, menyulut rokok dengan tangan yang tenang. "Jadi, apa rencananya?" tanyanya sambil mengembuskan asap ke udara.Anton menghela napas berat. "Kita mulai dari siapa yang paling mungkin nyulik Rina."Luki menyeringai kecil. "Pasti geng Rudi, kan? Dari dulu mereka nggak pernah bisa lepas dari bayangan lu."Anton menggeleng. "Kalau Rudi, mereka nggak bakal berani main kasar kayak gini. Mereka tahu kalau gua ngamuk, semuanya bakal habis. Ini pasti orang lain."Luki menatap Anton, memperhatikan kilatan marah di matanya. "Lu yakin masih bisa beraksi? Udah lama, Ton. Jangan sampai lu malah ngerusak warung kopi yang udah lu bangun."Anton menatap

    Last Updated : 2025-04-13
  • Mafia Insyaf    Bab 3: Peringatan dari Si Tangan Besi

    Malam di kota itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Anton duduk di meja kecil di sudut warung kopinya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Di luar, lampu jalan yang redup menerangi trotoar yang basah setelah hujan sore tadi. Aroma kopi masih tercium samar di udara, bercampur dengan hawa dingin malam. Tapi pikiran Anton tidak berada di sana. Dia memikirkan Reza—dan pesan tersirat di balik aksinya menculik Rina. Luki duduk di seberang meja, mengaduk kopinya dengan santai. "Jadi, lu beneran bakal ngasih peringatan?" tanyanya, menatap Anton dengan mata menyipit. Anton menghela napas dalam. "Bukan soal peringatan. Ini soal memastikan mereka nggak nyoba ngulangin hal yang sama." Luki tersenyum kecil. "Itu artinya lu bakal turun tangan langsung?" Anton mengangkat alis, matanya bersinar dingin. "Kalau gua nggak turun tangan, mereka bakal pikir gua udah lemah." Luki tertawa pelan. "Jadi siapa target pertama?" Anton memandang Luki sejenak. "Kita mulai dari yang paling gampang di

    Last Updated : 2025-04-13
  • Mafia Insyaf    Bab 4: Api yang Mulai Menyala

    Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu tua di sudut warung kopi. Tangannya memegang cangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Di luar, matahari mulai muncul di balik gedung-gedung tua kota, memancarkan cahaya oranye pucat ke jalanan yang masih basah setelah hujan semalam. Warung kopinya sepi, hanya suara burung gereja yang terdengar dari luar jendela. Tapi Anton tahu, ketenangan ini hanya sementara.Luki masuk ke warung, membawa koran terlipat di tangannya. Dia melemparkan koran itu ke meja di depan Anton. "Lu udah lihat ini?"Anton mengangkat alis, lalu mengambil koran itu. Di halaman depan, terpampang foto Donny yang keluar dari klub dengan kepala dibalut perban. Wajahnya tampak lebam, dan tatapannya penuh kemarahan. Judul besar di bawah foto itu berbunyi: "Perang antar geng mulai memanas—Si Tangan Besi kembali?"Anton membaca artikel itu sekilas. Isinya penuh spekulasi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Anton memukuli Donny karena urusan bisnis yang belum selesai, sementar

    Last Updated : 2025-04-13
  • Mafia Insyaf    Bab 5: Tak Ada Jalan Mundur

    Anton berdiri di balkon kecil di lantai dua warung kopinya. Dari sana, dia bisa melihat jalanan kota yang mulai sibuk di pagi hari. Orang-orang berlalu lalang, pedagang kaki lima mulai membuka lapak, dan suara kendaraan membentuk latar belakang yang samar. Tapi di balik hiruk-pikuk itu, Anton bisa merasakan ketegangan yang mulai merayap di bawah permukaan. Dunia bawah mulai bergolak. Semua orang tahu apa yang terjadi di gudang pelabuhan semalam—dan semua orang tahu bahwa Anton sudah kembali.Luki muncul di balik pintu balkon, membawa dua cangkir kopi. Dia menyerahkan salah satunya pada Anton. "Orang-orang udah mulai ngomong," kata Luki sambil menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon.Anton menyeruput kopi hitamnya. "Mereka ngomong apa?"Luki menyeringai. "Ada yang bilang lu bakal ambil alih lagi. Ada yang bilang lu bakal ngehabisin Reza sama semua orangnya. Ada juga yang bilang lu cuma kasih peringatan buat nutupin kelemahan lu."Anton menyipitkan mata. "Mereka pikir gua lemah?"Luki ter

    Last Updated : 2025-04-15
  • Mafia Insyaf    Bab 6: Pertemuan di Gudang Tua

    Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus kencang di distrik utara, membawa aroma besi tua dan asap kendaraan dari pelabuhan. Gudang tua yang dimaksud dalam telepon itu berdiri di ujung jalan sempit yang gelap. Dindingnya terbuat dari baja yang sudah berkarat, dengan beberapa bagian atap yang hampir runtuh. Cahaya lampu jalan yang redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di lantai beton yang retak.Anton berdiri di depan pintu besi besar gudang itu, mengenakan jaket kulit hitam dan sepatu bot. Tangan kanannya menggenggam gagang pistol yang terselip di balik jaket. Luki bersandar di kap mobil di seberang jalan, memperhatikan Anton dengan tatapan waspada."Lu yakin ini ide bagus?" tanya Luki.Anton tidak menjawab. Dia menatap lurus ke pintu besi itu, rahangnya mengeras. "Gua harus tahu siapa yang ada di balik semua ini."Yuda berdiri di samping mobil, menyilangkan tangan di dada. "Kalau ini jebakan, kita bakal kesulitan keluar."Anton menoleh ke arah Yuda. "Itu kenapa

    Last Updated : 2025-04-15

Latest chapter

  • Mafia Insyaf    Bab 25: Gadis Kecil dan Sebuah Pertanyaan Besar

    Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

  • Mafia Insyaf    Bab 23: Saat Semua Tak Lagi Aman

    ---Pagi itu, langit mendung menutupi seluruh kota. Rumah aman Anton yang selama ini tak pernah terendus musuh kini terasa berbeda. Terlalu sepi. Terlalu tenang.Rina duduk di dapur, menyesap teh hangat sambil membuka file dari hasil serangan malam tadi. Di layar laptopnya, angka-angka rekening tersembunyi masih terus bermunculan, seolah Kota Gelap menyimpan uang di setiap lubang yang ada.Anton masuk ke dapur, rambutnya masih acak-acakan, tanpa jaket kulit legendarisnya. “Udah minum?”Rina mengangguk. “Tapi gak bikin lupa kalau kita sekarang punya 200 miliar musuh.”Anton duduk di seberangnya, mengambil cangkir kosong. “200 miliar yang gak bisa bantu mereka kalau fondasinya ambruk.”“Om…” Rina menatapnya. “Kita gak bisa terus kayak gini. Kita serang mereka, mereka balas. Sampai kapan?”Anton tak langsung menjawab. Dia hanya menatap cangkirnya yang kosong, seolah jawaban bisa ditemukan di dasar keramik.Sebelum pembicaraan berlanjut, pintu masuk dibuka cepat. Luki masuk sambil membawa

  • Mafia Insyaf    Bab 21: Taktik Baru untuk Musuh Lama

    Tiga jam setelah insiden peresmian, markas darurat sunyi seperti kuburan. Suara AC tua berderit, suara kipas laptop Rina berdengung pelan, dan tak ada satu pun yang membuka mulut.Anton berdiri membelakangi semua orang, menatap papan strategi yang kini penuh coretan, peta, dan foto-foto tokoh penting. Ia menyandarkan kedua tangannya ke meja, kepalanya sedikit tertunduk.Yuda duduk dengan perban di bahunya, menahan nyeri sambil menyeruput kopi dingin. Luki duduk di pojokan, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Rina, yang biasanya sibuk mengetik atau bercanda, kini hanya memeluk lutut di kursinya.Akhirnya Anton bicara. Suaranya pelan, tapi padat. “Gua minta maaf.”Semua langsung menoleh.“Gua pikir kita bisa pakai metode lama—menyusup, ambil informasi, pukul keras, lalu keluar. Tapi ‘R’ bukan sekadar target. Dia sistem itu sendiri.”Yuda bergumam. “Gua gak nyangka dia bisa melacak gua dari jarak segitu.”

  • Mafia Insyaf    Bab 20: Sambutan Berdarah untuk Tamu Kehormatan

    Pagi hari satu minggu kemudian, kota berubah wajah. Spanduk-spanduk besar berlogo “Revitalisasi Menuju Masa Depan” bergelantungan di sepanjang jalan utama. Jalanan ditutup sebagian, aparat berjaga di sudut-sudut kota, dan kamera media disiapkan di setiap titik penting.Tapi di balik panggung peresmian proyek pemerintah, rencana lain juga sedang berjalan—lebih sunyi, lebih brutal.Di markas darurat, Anton menatap layar monitor yang menampilkan siaran langsung lokasi acara. Wajah Wali Kota tampak sumringah, berdiri di antara para pejabat sambil tersenyum ke kamera. Tapi bukan dia yang jadi incaran.Target utama mereka hari itu: “R” —sosok misterius yang sejauh ini hanya muncul lewat inisial, file terenkripsi, dan ancaman bayangan.“Kita yakin dia beneran dateng?” tanya Yuda sambil menyiapkan perangkat jammer komunikasi.Rina, yang kini mengenakan rompi relawan dan ID palsu, sudah berada di lokasi sejak pagi. Dari balik earpiece, suaranya terdengar jelas. “Barusan mobil hitam masuk lewat

  • Mafia Insyaf    Bab 19: Satu Langkah di Depan, Dua Langkah di Jurang

    Pagi harinya, Markas Darurat di lokasi baru—sebuah gudang bengkel tua di pinggiran kota—penuh dengan bunyi dentingan senjata, suara kipas rusak, dan sumpah serapah Luki yang entah untuk siapa. “Gua bener-bener gak ngerti,” katanya sambil menunjuk laptop yang mati total. “Ini laptop udah gua colok, gua reset, gua doain juga—tetep aja kagak nyala.” Rina berjalan melewati Luki sambil mengangkat alis. “Itu bukan laptop, Om. Itu toaster cap Toshiba.” Yuda tertawa. “Lu tuh nyiksa teknologi, bukan makenya.” Luki hanya melotot. “Gua nyiksa karena dia bandel.” Anton masuk ke ruangan sambil membawa berkas print-out data dari Damar. Wajahnya serius. Dia meletakkan map di meja dan langsung membuka halaman yang disorot. “Gua temuin sesuatu,” katanya. “Dari semua nama penyokong Kota Gelap, ada satu yang gak asing.” Yuda mencondongkan badan. “Siapa?” “Pak Walikota.” Semua langsung diam. “Serius?” tanya Luki. “Yang tiap Minggu suka foto pake kaos oblong depan pasar itu?” “Yang sama sekali

  • Mafia Insyaf    Bab 18: Masuk Tanpa Diundang, Keluar Bawa Masalah

    Lantai pabrik itu berderak tiap kali Anton melangkah. Gudang tua yang mereka susupi tidak hanya penuh debu dan peralatan berkarat, tapi juga penuh sensor tersembunyi dan perangkap kecil yang bikin stres. “Siapa sih yang nyusun tempat ini? Kevin McCallister dari Home Alone versi mafia?” gerutu Luki sambil menghindari kabel laser yang nyaris tak terlihat. Yuda di belakangnya nyaris kepeleset karena genangan oli. Anton tetap diam. Matanya menyisir setiap sudut. Mereka sudah melewati dua penjaga yang berhasil dijatuhkan diam-diam. Tapi yang mereka cari belum juga terlihat. Rina berbicara melalui earpiece dari jarak jauh. “Dua ruangan lagi ke kiri. Di balik dinding baja. Ada aktivitas data kuat dari titik itu.” “Lu yakin?” tanya Anton. “Yakin. Dan satu hal lagi,” kata Rina cepat, “ada dua sinyal ponsel aktif, tapi yang satu… ada di database kita.” Anton berhenti. “Maksud kamu?” “Itu nomor milik Damar.” Mereka semua menoleh. Damar adalah rekan lama Anton. Mantan informan yang dulu

  • Mafia Insyaf    Bab 17: Tawar-Menawar dengan Neraka

    Pagi masih belum benar-benar datang saat Anton duduk sendiri di balkon rumah aman. Angin dini hari membawa hawa dingin menusuk, tapi pikirannya terlalu panas untuk merasakannya. Kopi hitam dingin di tangannya tak disentuh. Di bawah sana, Luki dan Yuda masih sibuk memeriksa senjata dan mengatur logistik untuk penyusupan malam nanti. Rina keluar pelan dari kamarnya, mengenakan jaket oversized dan sandal hotel yang kedodoran. Rambutnya acak-acakan, tapi sorot matanya tajam. “Kopi kamu gak diminum. Sayang,” katanya sambil duduk di kursi sebelah. Anton menoleh dan tersenyum kecil. “Gak sempat mikirin rasa.” Rina menarik napas dalam. “Malam tadi… Om hampir bunuh diri, kan?” Anton diam. “Aku denger semuanya dari Luki. Kamu masuk ke tempat itu, dikelilingi senjata, dan tetep maksa negosiasi. Om pikir kamu siapa? John Wick?” Anton mengangkat alis. “Kamu tau siapa John Wick?” Rina menyandarkan kepala ke sandaran kursi. “Filmnya rating 17+, tapi kamu lupa aku punya VPN.” Anton menghela

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status