Home / Thriller / Mafia Insyaf / Bab 4: Api yang Mulai Menyala

Share

Bab 4: Api yang Mulai Menyala

Author: Bang Thor
last update Last Updated: 2025-04-13 17:21:36

Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu tua di sudut warung kopi. Tangannya memegang cangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Di luar, matahari mulai muncul di balik gedung-gedung tua kota, memancarkan cahaya oranye pucat ke jalanan yang masih basah setelah hujan semalam. Warung kopinya sepi, hanya suara burung gereja yang terdengar dari luar jendela. Tapi Anton tahu, ketenangan ini hanya sementara.

Luki masuk ke warung, membawa koran terlipat di tangannya. Dia melemparkan koran itu ke meja di depan Anton. "Lu udah lihat ini?"

Anton mengangkat alis, lalu mengambil koran itu. Di halaman depan, terpampang foto Donny yang keluar dari klub dengan kepala dibalut perban. Wajahnya tampak lebam, dan tatapannya penuh kemarahan. Judul besar di bawah foto itu berbunyi: "Perang antar geng mulai memanas—Si Tangan Besi kembali?"

Anton membaca artikel itu sekilas. Isinya penuh spekulasi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Anton memukuli Donny karena urusan bisnis yang belum selesai, sementara beberapa lainnya menyebutkan ini adalah sinyal kembalinya Anton ke dunia mafia. Anton menutup koran itu dengan pelan, matanya menyipit.

"Berarti pesan gua udah nyampe," gumam Anton.

Luki tertawa kecil. "Pesan lu bukan cuma nyampe. Sekarang semua orang di dunia bawah udah mulai mikir kalau lu balik ke permainan."

Anton menghela napas pelan. "Gua nggak balik."

Luki duduk di kursi di seberang Anton. "Mereka nggak bakal lihat itu kayak gitu, Ton. Mereka lihat lu ngehajar Donny dan sekarang mereka pikir lu siap ambil alih lagi."

Anton mengusap dagunya, menatap kosong ke luar jendela. "Masalahnya, gua nggak tertarik buat ambil alih. Tapi kalau mereka terus nyenggol gua, gua nggak bakal tinggal diam."

Luki menyeringai. "Masalahnya, Reza nggak bakal berhenti, Ton. Dia punya ego sebesar lapangan bola. Setelah lu kasih peringatan, kemungkinan besar dia bakal nyerang balik."

Anton mengangkat tatapannya ke arah Luki. "Kalau dia nyerang balik, gua bakal pastiin itu jadi kesalahan terakhir yang dia buat."

Luki tertawa pelan. "Gua suka gaya lu."

Pintu warung kopi terbuka, dan seorang pria tinggi berbadan kekar masuk. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam, rambutnya dipotong cepak, dan wajahnya penuh bekas luka lama. Anton langsung mengenali orang itu—Yuda, salah satu orang kepercayaan lama yang pernah bekerja untuk Anton sebelum dia pensiun.

Yuda berdiri di depan meja Anton, menatapnya dengan tatapan serius. "Bos, gua dapet kabar dari orang dalam. Reza lagi kumpulin pasukan."

Anton meletakkan cangkir kopinya. "Berapa orang?"

"Puluhan. Dia rekrut orang-orang lama dan bawa beberapa orang dari luar kota. Katanya, dia nyiapin sesuatu buat lu."

Anton menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menyipit. "Sesuatu kayak apa?"

Yuda mengangkat bahu. "Belum jelas. Tapi gua yakin, ini bakal jadi besar."

Anton menatap Yuda dalam-dalam. "Lu masih punya koneksi di lapangan?"

Yuda mengangguk. "Masih. Orang-orang lama gua siap kalau lu kasih perintah."

Anton terdiam sebentar, berpikir. Luki menatap Anton, lalu bersandar ke kursinya. "Lu udah tahu ini bakal ke arah mana, kan?"

Anton mengangguk pelan. "Kalau Reza pikir gua bakal nunggu sampai dia nyerang duluan, dia salah."

Luki menyeringai. "Jadi kita main duluan?"

Anton berdiri, menyambar jaketnya. "Kita kasih tahu Reza kalau gua nggak pernah takut sama siapa pun."

Anton melangkah keluar dari warung kopi, diikuti Luki dan Yuda. Mereka masuk ke mobil, dan Yuda duduk di kursi belakang.

"Reza ada di mana sekarang?" tanya Anton.

"Di markasnya di gudang lama dekat pelabuhan," jawab Yuda. "Dia ngumpulin orang-orang di sana."

Anton menatap Luki. "Bawa kita ke sana."

Mobil melaju cepat ke arah pelabuhan. Jalanan mulai ramai oleh kendaraan, tapi Anton tidak memedulikannya. Pikirannya sudah terfokus pada Reza dan pesan yang harus dia sampaikan malam ini. Kalau Reza pikir Anton sudah kehilangan sentuhannya, malam ini dia akan tahu bahwa Si Tangan Besi masih berdiri di puncak permainan.

Mereka berhenti di depan gudang tua yang tampak suram dan gelap. Beberapa mobil berjejer di depan pintu besi besar, dan beberapa orang bersenjata berdiri berjaga. Anton keluar dari mobil, diikuti Luki dan Yuda.

"Lu siap?" tanya Luki.

Anton mengangguk. "Selalu."

Anton berjalan mendekati dua penjaga di pintu depan. Salah satu dari mereka mengangkat tangan, mencoba menghentikan Anton. "Hei, tempat ini tertutup. Pergi!"

Anton tidak menjawab. Dia langsung melayangkan pukulan keras ke wajah penjaga itu. Pria itu terhuyung ke belakang, lalu jatuh ke tanah dengan suara berdebam. Penjaga kedua langsung menarik pistol dari sakunya, tapi sebelum sempat mengarahkannya ke Anton, Yuda sudah lebih dulu menghantam wajah pria itu dengan tinju keras, membuatnya terjatuh pingsan.

Luki menarik pistol dari balik jaketnya dan menodongkannya ke kepala salah satu penjaga yang tergeletak di lantai. "Lu pikir ini tempat main-main?"

Anton mendorong pintu gudang, membuka lebar-lebar. Di dalam, Reza berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh sekitar sepuluh orang bersenjata. Tatapannya dingin, tapi Anton bisa melihat kilatan ketakutan di matanya.

"Anton," kata Reza pelan. "Gua udah nunggu lu."

Anton berjalan pelan ke tengah ruangan. "Kalau lu nyari gua, kenapa harus nyenggol keluarga gua?"

Reza menyeringai. "Karena gua tahu itu satu-satunya cara buat bikin lu balik ke permainan."

Anton berhenti beberapa langkah di depan Reza. "Kalau itu maksud lu, berarti lu baru aja bikin kesalahan besar."

Reza tertawa kecil. "Lu nggak bisa nyentuh gua di sini, Ton. Mereka semua bersenjata."

Anton menatap Reza dingin. "Coba aja lihat."

Dalam hitungan detik, Anton melayangkan pukulan ke wajah Reza, membuatnya jatuh ke lantai. Sebelum anak buah Reza sempat bereaksi, Yuda dan Luki sudah lebih dulu menarik pistol dan mengarahkan ke kepala mereka.

Anton berjongkok di samping Reza yang tergeletak di lantai. "Gua kasih lu satu kesempatan buat cabut dari kota ini. Kalau gua lihat muka lu lagi setelah malam ini…" Anton menempelkan moncong pistol ke pelipis Reza, "...gua nggak bakal nyisain lu hidup."

Reza terengah-engah, matanya melebar karena takut. "O-oke… gua bakal pergi…"

Anton berdiri dan melangkah keluar, diikuti Luki dan Yuda.

Saat mereka sampai di luar, Anton menatap ke arah langit malam yang gelap. "Reza bakal pergi. Tapi kalau ada orang lain yang mikir bisa ngambil alih kota ini…"

Luki tersenyum. "Mereka harus lewatin lu dulu."

Anton menatap ke kejauhan, matanya bersinar tajam. "Dan itu nggak bakal pernah terjadi."

Anton berdiri di bawah cahaya remang-remang lampu jalan, matanya menatap ke arah gelapnya pelabuhan. Angin malam berembus pelan, membawa aroma asin dari laut yang berjarak tak jauh dari sana. Di belakangnya, Luki dan Yuda berdiri diam, menunggu instruksi berikutnya. Tapi Anton tetap terdiam, pikirannya masih terfokus pada apa yang baru saja terjadi.

Reza mungkin sudah berjanji untuk pergi, tapi Anton tahu dunia ini tidak pernah sesederhana itu. Di dunia bawah, janji tidak pernah berarti tanpa konsekuensi nyata. Kalau Reza pergi, akan ada orang lain yang mencoba mengisi kekosongan itu. Kekuasaan selalu menciptakan kehampaan yang mengundang orang-orang rakus untuk mencoba merebutnya.

"Lu pikir Reza bakal nurut?" tanya Luki, memecah keheningan.

Anton menatap lurus ke depan. "Dia nggak punya pilihan."

"Dan kalau dia balik?" Yuda menyusul.

Anton berbalik menghadap mereka berdua, tatapannya dingin. "Kalau dia balik, gua bakal selesaikan ini untuk selamanya."

Yuda menyeringai kecil. "Nggak banyak orang yang berani nantang Anton si Tangan Besi dua kali. Kalau Reza cukup bodoh buat nyoba, berarti dia emang pengen mati."

Anton berjalan ke arah mobil, tangannya mengeluarkan sebatang rokok dari saku jaketnya. Dia menyalakannya, mengisap dalam-dalam sebelum menghembuskan asap ke udara. "Masalahnya bukan di Reza. Masalahnya adalah orang-orang yang bakal lihat ini sebagai kesempatan buat nyerang gua."

Luki mengangguk pelan. "Gua tahu maksud lu. Kalau satu orang mulai berani ngelawan, yang lain bakal ikut-ikutan."

Anton membuang puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya dengan tumit. "Makanya gua harus bikin contoh."

Luki menaikkan alis. "Contoh kayak gimana?"

Anton menatap ke arah langit malam, matanya menyipit. "Kita kasih tahu semua orang bahwa Anton masih pegang kendali penuh."

Yuda menatap Anton dengan tatapan serius. "Kalau lu bikin pergerakan besar, bakal ada korban. Ini bakal jadi perang beneran, Ton."

Anton menatap Yuda dalam-dalam. "Kalau itu yang mereka mau, gua nggak bakal mundur."

Luki tertawa kecil. "Gua suka cara pikir lu, Ton. Tapi ini bakal jadi lebih besar dari sekadar urusan pribadi."

Anton membuka pintu mobil dan duduk di kursi depan. Luki masuk ke kursi pengemudi, sementara Yuda duduk di belakang. Saat mesin menyala, Anton berkata pelan, "Kalau gua balik ke permainan ini, gua nggak bakal main setengah-setengah."

Mobil melaju pelan, meninggalkan pelabuhan yang kini terasa makin dingin. Di dalam mobil, Anton terdiam, pikirannya berputar di antara bayangan masa lalunya yang kelam dan masa depan yang penuh ketidakpastian. Dunia lamanya memang tidak pernah benar-benar melepaskannya. Tapi kali ini, Anton tidak akan menjadi sekadar bidak di papan catur—dia akan jadi penguasa papan itu.

Mereka kembali ke warung kopi, dan Anton turun dari mobil. Rina masih tertidur di dalam, wajahnya tampak damai di balik jendela kaca. Anton memandanginya sejenak, lalu menghela napas panjang. Dia tahu bahwa semua ini pada akhirnya bermuara pada satu hal: melindungi Rina.

Luki berdiri di samping Anton, menyalakan rokok dan menatap ke jalan yang sepi. "Lu yakin ini yang lu mau, Ton?"

Anton menoleh ke arah Luki, matanya dingin dan tajam. "Gua nggak punya pilihan. Kalau gua nggak bertindak, mereka bakal datang lagi. Dan kali ini, gua nggak bakal biarin itu terjadi."

Luki tersenyum kecil. "Kalau gitu, ayo kita bikin kota ini kembali inget siapa Anton sebenarnya."

Anton menatap jauh ke depan, matanya menyipit. "Ini bukan soal bikin mereka ingat. Ini soal bikin mereka takut."

Malam itu, Anton tahu tidak ada jalan kembali. Api sudah mulai menyala, dan kali ini, Anton tidak akan membiarkan siapa pun memadamkannya. Jika Reza atau siapa pun mencoba menantangnya, mereka harus siap menerima konsekuensi paling brutal yang pernah mereka bayangkan. Anton tidak lagi bersembunyi di balik bayang-bayang—dia sudah kembali, dan dunia akan segera merasakannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Mafia Insyaf    Bab 5: Tak Ada Jalan Mundur

    Anton berdiri di balkon kecil di lantai dua warung kopinya. Dari sana, dia bisa melihat jalanan kota yang mulai sibuk di pagi hari. Orang-orang berlalu lalang, pedagang kaki lima mulai membuka lapak, dan suara kendaraan membentuk latar belakang yang samar. Tapi di balik hiruk-pikuk itu, Anton bisa merasakan ketegangan yang mulai merayap di bawah permukaan. Dunia bawah mulai bergolak. Semua orang tahu apa yang terjadi di gudang pelabuhan semalam—dan semua orang tahu bahwa Anton sudah kembali.Luki muncul di balik pintu balkon, membawa dua cangkir kopi. Dia menyerahkan salah satunya pada Anton. "Orang-orang udah mulai ngomong," kata Luki sambil menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon.Anton menyeruput kopi hitamnya. "Mereka ngomong apa?"Luki menyeringai. "Ada yang bilang lu bakal ambil alih lagi. Ada yang bilang lu bakal ngehabisin Reza sama semua orangnya. Ada juga yang bilang lu cuma kasih peringatan buat nutupin kelemahan lu."Anton menyipitkan mata. "Mereka pikir gua lemah?"Luki ter

    Last Updated : 2025-04-15
  • Mafia Insyaf    Bab 6: Pertemuan di Gudang Tua

    Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus kencang di distrik utara, membawa aroma besi tua dan asap kendaraan dari pelabuhan. Gudang tua yang dimaksud dalam telepon itu berdiri di ujung jalan sempit yang gelap. Dindingnya terbuat dari baja yang sudah berkarat, dengan beberapa bagian atap yang hampir runtuh. Cahaya lampu jalan yang redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di lantai beton yang retak.Anton berdiri di depan pintu besi besar gudang itu, mengenakan jaket kulit hitam dan sepatu bot. Tangan kanannya menggenggam gagang pistol yang terselip di balik jaket. Luki bersandar di kap mobil di seberang jalan, memperhatikan Anton dengan tatapan waspada."Lu yakin ini ide bagus?" tanya Luki.Anton tidak menjawab. Dia menatap lurus ke pintu besi itu, rahangnya mengeras. "Gua harus tahu siapa yang ada di balik semua ini."Yuda berdiri di samping mobil, menyilangkan tangan di dada. "Kalau ini jebakan, kita bakal kesulitan keluar."Anton menoleh ke arah Yuda. "Itu kenapa

    Last Updated : 2025-04-15
  • Mafia Insyaf    Bab 7: Musuh dalam Bayangan

    Malam sudah larut ketika Anton tiba di warung kopinya. Lampu di dalam masih menyala, meski suasananya sepi. Rina tertidur di kursi dekat jendela, kepalanya bersandar di atas lengannya. Anton berdiri di ambang pintu sebentar, memperhatikan keponakannya yang terlihat begitu damai di tengah kekacauan yang sedang ia hadapi.Luki dan Yuda masuk tak lama setelah Anton. Luki langsung duduk di meja dekat pintu, sementara Yuda berdiri dengan tangan di saku jaketnya, tatapannya serius."Jadi?" tanya Luki sambil melirik Anton. "Apa kesimpulan lu tentang Adrian?"Anton berjalan ke belakang meja kasir dan mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin. Dia membuka tutupnya dan meneguk pelan sebelum menjawab, "Adrian bukan pemain biasa. Dia punya pengaruh, koneksi, dan jelas bukan tipe yang gampang nyerah.""Dan sekarang dia tahu lu bukan orang yang gampang dipermainkan," tambah Yuda.Anton menyipitkan mata. "Itu masalahnya. Orang kayak Adrian ngg

    Last Updated : 2025-04-16
  • Mafia Insyaf    Bab 8: Menyingkap Pengkhianat

    Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu di sudut warung kopi, menatap secangkir kopi hitam yang mengepulkan asap tipis di depannya. Di luar, sinar matahari samar-samar menyinari jalanan kota yang mulai sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa mampir ke warung kopi untuk membeli sarapan. Tapi Anton tidak memperhatikan semua itu. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Adrian. Luki dan Yuda duduk di meja yang sama. Luki menggulung lengan bajunya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi, sementara Yuda terlihat sibuk memeriksa ponselnya. "Orang-orang Adrian mulai bergerak," kata Yuda, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Dia ngerahin beberapa orang ke distrik selatan dan barat. Kelihatannya dia mulai bikin jaringan baru." Anton menyipitkan mata. "Itu artinya dia udah mulai nyiapin pergerakan besar." Luki menyeringai. "Dan kita bakal kasih kejutan sebelum dia sempat jalan." An

    Last Updated : 2025-04-16
  • Mafia Insyaf    Bab 9: Perang Dimulai

    Malam terasa lebih kelam dari biasanya. Warung kopi Anton sudah tutup lebih awal, dan lampu-lampu di dalamnya dipadamkan. Anton duduk di meja paling belakang bersama Luki dan Yuda, peta besar kota terbentang di atas meja. Di peta itu, Anton telah memberi tanda pada beberapa titik penting—lokasi persembunyian anak buah Adrian, jalur distribusi ilegal di pelabuhan, dan titik-titik strategis yang bisa digunakan untuk memutus jaringan Adrian."Adrian udah mulai bergerak," kata Yuda, menusuk jarinya ke tanda merah di peta. "Orang-orangnya kelihatan di sekitar gudang di distrik barat tadi sore. Gua yakin mereka mulai mindahin barang ke tempat lain.""Dia tahu kita bakal nargetin jalurnya," tambah Luki. "Kalau kita mau hajar dia, kita harus gerak sebelum dia nutup semua celahnya."Anton menatap peta dengan mata menyipit. "Nggak. Kalau Adrian mulai mindahin barangnya, itu artinya dia panik. Kita biarin dia sibuk ngatur ulang posisi, sementara kita cari Inspektur R

    Last Updated : 2025-04-17
  • Mafia Insyaf    Bab 10: Darah di Lantai Warung Kopi

    Suara tembakan pertama menggema keras di dalam warung kopi, memecah keheningan malam. Pria bersenjata yang berdiri di dekat pintu terhuyung ke belakang, darah merembes dari bahunya. Anton tidak menunggu lama. Dia melangkah masuk dengan cepat, menodongkan pistol ke arah pria kedua yang berdiri di samping Rina.Pria itu langsung mengangkat senjatanya, tapi Anton lebih cepat. Sebelum pria itu sempat menarik pelatuk, Anton sudah menembak lututnya. Pria itu berteriak kesakitan dan jatuh berlutut di lantai.Rina terkejut, matanya membelalak ketakutan. Tangan dan kakinya terikat dengan tali plastik, napasnya tersengal-sengal. Anton segera berlari ke arahnya, berjongkok, dan memotong tali di tangannya dengan pisau kecil dari saku jaketnya."Om…," suara Rina bergetar, matanya berkaca-kaca. "Gua takut…"Anton menggenggam wajah Rina dengan lembut, meski matanya penuh dengan ketegangan. "Gua di sini. Nggak ada yang bakal nyentuh lu lagi."Tiba-tiba,

    Last Updated : 2025-04-17
  • Mafia Insyaf    Bab 11: Masuk ke Sarang Musuh

    Malam itu, langit kota diselimuti awan tebal, menyembunyikan cahaya bintang dan bulan. Jalanan di distrik utara terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah kota ini tahu bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi.Anton duduk di dalam mobil, mesin masih menyala pelan. Luki duduk di kursi penumpang, sementara Yuda dan tiga anak buah mereka berada di mobil lain yang berhenti beberapa meter di belakang. Anton menatap lurus ke depan, ke sebuah gedung tua yang berdiri megah di ujung jalan. Gedung itu dulunya adalah pabrik tekstil yang terbengkalai, tetapi sekarang menjadi markas utama Adrian. Lampu-lampu redup menyala di beberapa jendela lantai atas, dan dua pria bersenjata berjaga di pintu masuk.Anton mengambil sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya, dan mengisap dalam-dalam. Asap putih melayang pelan di dalam mobil, menciptakan bayangan samar di kaca depan.Luki melirik Anton. "Jadi, rencananya gimana?"Anton mengembuskan asap rokok. "Masuk, hancurkan segalanya, dan bawa Adrian kelua

    Last Updated : 2025-04-17
  • Mafia Insyaf    Bab 12: Jalan Keluar dari Neraka

    Anton menyeret Adrian menyusuri lorong yang dipenuhi asap dan bau mesiu. Suara tembakan masih menggema di kejauhan, bercampur dengan suara langkah kaki berat yang bergerak mendekat. Luki berjalan di samping Anton, pistol terangkat, matanya waspada menatap ke setiap sudut lorong. "Anton, kita harus keluar dari sini sekarang," desis Luki. Anton menekan pistol ke punggung Adrian, membuat pria itu terhuyung ke depan. "Lu pikir gua bakal tinggal di sini selamanya?" Adrian tertawa kecil, meski napasnya berat. "Lu nggak bakal keluar hidup-hidup, Anton. Orang-orang gua udah siap di semua pintu keluar." Anton mencengkeram kerah Adrian lebih keras. "Kalau gua mati di sini, lu bakal ikut gua ke dalam kubur." Tiba-tiba, dari ujung lorong, dua pria muncul dengan senjata otomatis terangkat. Luki bergerak lebih dulu, menembak ke arah mereka. Satu peluru menghantam dada

    Last Updated : 2025-04-18

Latest chapter

  • Mafia Insyaf    Bab 25: Gadis Kecil dan Sebuah Pertanyaan Besar

    Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

  • Mafia Insyaf    Bab 23: Saat Semua Tak Lagi Aman

    ---Pagi itu, langit mendung menutupi seluruh kota. Rumah aman Anton yang selama ini tak pernah terendus musuh kini terasa berbeda. Terlalu sepi. Terlalu tenang.Rina duduk di dapur, menyesap teh hangat sambil membuka file dari hasil serangan malam tadi. Di layar laptopnya, angka-angka rekening tersembunyi masih terus bermunculan, seolah Kota Gelap menyimpan uang di setiap lubang yang ada.Anton masuk ke dapur, rambutnya masih acak-acakan, tanpa jaket kulit legendarisnya. “Udah minum?”Rina mengangguk. “Tapi gak bikin lupa kalau kita sekarang punya 200 miliar musuh.”Anton duduk di seberangnya, mengambil cangkir kosong. “200 miliar yang gak bisa bantu mereka kalau fondasinya ambruk.”“Om…” Rina menatapnya. “Kita gak bisa terus kayak gini. Kita serang mereka, mereka balas. Sampai kapan?”Anton tak langsung menjawab. Dia hanya menatap cangkirnya yang kosong, seolah jawaban bisa ditemukan di dasar keramik.Sebelum pembicaraan berlanjut, pintu masuk dibuka cepat. Luki masuk sambil membawa

  • Mafia Insyaf    Bab 21: Taktik Baru untuk Musuh Lama

    Tiga jam setelah insiden peresmian, markas darurat sunyi seperti kuburan. Suara AC tua berderit, suara kipas laptop Rina berdengung pelan, dan tak ada satu pun yang membuka mulut.Anton berdiri membelakangi semua orang, menatap papan strategi yang kini penuh coretan, peta, dan foto-foto tokoh penting. Ia menyandarkan kedua tangannya ke meja, kepalanya sedikit tertunduk.Yuda duduk dengan perban di bahunya, menahan nyeri sambil menyeruput kopi dingin. Luki duduk di pojokan, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Rina, yang biasanya sibuk mengetik atau bercanda, kini hanya memeluk lutut di kursinya.Akhirnya Anton bicara. Suaranya pelan, tapi padat. “Gua minta maaf.”Semua langsung menoleh.“Gua pikir kita bisa pakai metode lama—menyusup, ambil informasi, pukul keras, lalu keluar. Tapi ‘R’ bukan sekadar target. Dia sistem itu sendiri.”Yuda bergumam. “Gua gak nyangka dia bisa melacak gua dari jarak segitu.”

  • Mafia Insyaf    Bab 20: Sambutan Berdarah untuk Tamu Kehormatan

    Pagi hari satu minggu kemudian, kota berubah wajah. Spanduk-spanduk besar berlogo “Revitalisasi Menuju Masa Depan” bergelantungan di sepanjang jalan utama. Jalanan ditutup sebagian, aparat berjaga di sudut-sudut kota, dan kamera media disiapkan di setiap titik penting.Tapi di balik panggung peresmian proyek pemerintah, rencana lain juga sedang berjalan—lebih sunyi, lebih brutal.Di markas darurat, Anton menatap layar monitor yang menampilkan siaran langsung lokasi acara. Wajah Wali Kota tampak sumringah, berdiri di antara para pejabat sambil tersenyum ke kamera. Tapi bukan dia yang jadi incaran.Target utama mereka hari itu: “R” —sosok misterius yang sejauh ini hanya muncul lewat inisial, file terenkripsi, dan ancaman bayangan.“Kita yakin dia beneran dateng?” tanya Yuda sambil menyiapkan perangkat jammer komunikasi.Rina, yang kini mengenakan rompi relawan dan ID palsu, sudah berada di lokasi sejak pagi. Dari balik earpiece, suaranya terdengar jelas. “Barusan mobil hitam masuk lewat

  • Mafia Insyaf    Bab 19: Satu Langkah di Depan, Dua Langkah di Jurang

    Pagi harinya, Markas Darurat di lokasi baru—sebuah gudang bengkel tua di pinggiran kota—penuh dengan bunyi dentingan senjata, suara kipas rusak, dan sumpah serapah Luki yang entah untuk siapa. “Gua bener-bener gak ngerti,” katanya sambil menunjuk laptop yang mati total. “Ini laptop udah gua colok, gua reset, gua doain juga—tetep aja kagak nyala.” Rina berjalan melewati Luki sambil mengangkat alis. “Itu bukan laptop, Om. Itu toaster cap Toshiba.” Yuda tertawa. “Lu tuh nyiksa teknologi, bukan makenya.” Luki hanya melotot. “Gua nyiksa karena dia bandel.” Anton masuk ke ruangan sambil membawa berkas print-out data dari Damar. Wajahnya serius. Dia meletakkan map di meja dan langsung membuka halaman yang disorot. “Gua temuin sesuatu,” katanya. “Dari semua nama penyokong Kota Gelap, ada satu yang gak asing.” Yuda mencondongkan badan. “Siapa?” “Pak Walikota.” Semua langsung diam. “Serius?” tanya Luki. “Yang tiap Minggu suka foto pake kaos oblong depan pasar itu?” “Yang sama sekali

  • Mafia Insyaf    Bab 18: Masuk Tanpa Diundang, Keluar Bawa Masalah

    Lantai pabrik itu berderak tiap kali Anton melangkah. Gudang tua yang mereka susupi tidak hanya penuh debu dan peralatan berkarat, tapi juga penuh sensor tersembunyi dan perangkap kecil yang bikin stres. “Siapa sih yang nyusun tempat ini? Kevin McCallister dari Home Alone versi mafia?” gerutu Luki sambil menghindari kabel laser yang nyaris tak terlihat. Yuda di belakangnya nyaris kepeleset karena genangan oli. Anton tetap diam. Matanya menyisir setiap sudut. Mereka sudah melewati dua penjaga yang berhasil dijatuhkan diam-diam. Tapi yang mereka cari belum juga terlihat. Rina berbicara melalui earpiece dari jarak jauh. “Dua ruangan lagi ke kiri. Di balik dinding baja. Ada aktivitas data kuat dari titik itu.” “Lu yakin?” tanya Anton. “Yakin. Dan satu hal lagi,” kata Rina cepat, “ada dua sinyal ponsel aktif, tapi yang satu… ada di database kita.” Anton berhenti. “Maksud kamu?” “Itu nomor milik Damar.” Mereka semua menoleh. Damar adalah rekan lama Anton. Mantan informan yang dulu

  • Mafia Insyaf    Bab 17: Tawar-Menawar dengan Neraka

    Pagi masih belum benar-benar datang saat Anton duduk sendiri di balkon rumah aman. Angin dini hari membawa hawa dingin menusuk, tapi pikirannya terlalu panas untuk merasakannya. Kopi hitam dingin di tangannya tak disentuh. Di bawah sana, Luki dan Yuda masih sibuk memeriksa senjata dan mengatur logistik untuk penyusupan malam nanti. Rina keluar pelan dari kamarnya, mengenakan jaket oversized dan sandal hotel yang kedodoran. Rambutnya acak-acakan, tapi sorot matanya tajam. “Kopi kamu gak diminum. Sayang,” katanya sambil duduk di kursi sebelah. Anton menoleh dan tersenyum kecil. “Gak sempat mikirin rasa.” Rina menarik napas dalam. “Malam tadi… Om hampir bunuh diri, kan?” Anton diam. “Aku denger semuanya dari Luki. Kamu masuk ke tempat itu, dikelilingi senjata, dan tetep maksa negosiasi. Om pikir kamu siapa? John Wick?” Anton mengangkat alis. “Kamu tau siapa John Wick?” Rina menyandarkan kepala ke sandaran kursi. “Filmnya rating 17+, tapi kamu lupa aku punya VPN.” Anton menghela

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status