Home / Thriller / Mafia Insyaf / Bab 8: Menyingkap Pengkhianat

Share

Bab 8: Menyingkap Pengkhianat

Author: Bang Thor
last update Last Updated: 2025-04-16 12:38:07

Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu di sudut warung kopi, menatap secangkir kopi hitam yang mengepulkan asap tipis di depannya. Di luar, sinar matahari samar-samar menyinari jalanan kota yang mulai sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa mampir ke warung kopi untuk membeli sarapan. Tapi Anton tidak memperhatikan semua itu. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Adrian.

Luki dan Yuda duduk di meja yang sama. Luki menggulung lengan bajunya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi, sementara Yuda terlihat sibuk memeriksa ponselnya.

"Orang-orang Adrian mulai bergerak," kata Yuda, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Dia ngerahin beberapa orang ke distrik selatan dan barat. Kelihatannya dia mulai bikin jaringan baru."

Anton menyipitkan mata. "Itu artinya dia udah mulai nyiapin pergerakan besar."

Luki menyeringai. "Dan kita bakal kasih kejutan sebelum dia sempat jalan."

Anton menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Bukan cuma itu. Kita harus tahu siapa orang-orang yang jadi mata dan telinga Adrian di dalam sistem."

"Masalahnya," tambah Yuda, "kita nggak tahu pasti siapa orang di dalam kepolisian yang kerja buat Adrian. Reno bilang Kapten Budi terlibat, tapi kalau Budi bisa disuap, berarti ada orang lain yang ngatur jalannya dari atas."

Anton memutar cangkir kopinya di atas meja. "Kalau gitu, kita mulai dari Kapten Budi."

Luki menaikkan alis. "Langsung kita datangi?"

Anton menatap Luki tajam. "Nggak. Kita bikin dia datang ke kita."

Luki tertawa kecil. "Gua suka arahnya."

Yuda menyipitkan mata. "Jadi, kita kasih umpan?"

Anton mengangguk pelan. "Kita kasih tahu orang-orang bahwa kita bakal ngirim barang dari pelabuhan malam ini. Pastiin info itu sampai ke Adrian."

Luki menyeringai. "Dan kalau Kapten Budi muncul?"

Anton menatap tajam ke depan. "Kita bakal tahu siapa yang sebenarnya ngatur jalannya permainan ini."

Yuda menyimpan ponselnya ke saku jaket. "Gua bakal sebarkan info ini ke jaringan kita. Gua jamin Adrian bakal tahu dalam hitungan jam."

Anton mengangguk. "Pastikan info itu terlihat asli."

Yuda berdiri dan berjalan keluar dari warung kopi, meninggalkan Anton dan Luki. Luki menatap Anton dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu.

"Kalau Adrian tahu ini jebakan, dia bisa kirim pasukan buat ngincer kita," kata Luki.

Anton menyandarkan lengannya ke meja. "Itu yang gua harapkan."

---

Malam itu, Anton berdiri di tepi pelabuhan, mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans gelap. Di belakangnya, Luki dan Yuda berdiri bersama tiga anak buah mereka, semuanya bersenjata lengkap. Angin malam berembus kencang, membawa aroma asin dari laut dan suara riuh ombak yang menghantam dermaga.

Di depan mereka, sebuah truk besar diparkir di dekat kontainer logam. Lampu-lampu pelabuhan berpendar di permukaan aspal yang basah, menciptakan kilauan samar.

"Lu yakin ini bakal berhasil?" tanya Luki, menyalakan rokok.

Anton menatap lurus ke depan. "Adrian nggak bisa nahan diri buat nyentuh kesempatan kayak gini."

Suara deru mesin terdengar di kejauhan. Beberapa saat kemudian, dua mobil hitam melaju pelan ke arah pelabuhan dan berhenti sekitar lima puluh meter dari tempat Anton berdiri. Lima pria turun dari mobil, semuanya mengenakan pakaian gelap dan membawa senjata di pinggang mereka.

Seorang pria bertubuh tinggi dan berambut cepak berjalan di depan mereka. Anton mengenali wajah itu—Kapten Budi.

Luki bersiul pelan. "Nah, kita dapet orangnya."

Kapten Budi berhenti sekitar sepuluh meter dari Anton, matanya menyipit. "Anton… gua denger lu punya barang buat dikirim."

Anton menyeringai tipis. "Mungkin iya, mungkin nggak. Tapi gua nggak nyangka seorang kapten polisi bakal dateng langsung ke pelabuhan malam-malam begini."

Kapten Budi tertawa kecil. "Lu tahu dunia ini nggak pernah benar-benar bersih, Anton. Kalau gua bisa dapat potongan dari transaksi ini, kenapa nggak?"

Anton berjalan mendekat, hanya berjarak beberapa langkah dari Kapten Budi. "Masalahnya, gua nggak ingat pernah ngajak lu buat bagi hasil."

Kapten Budi tersenyum tipis. "Mungkin gua bisa ambil sendiri."

Anton menyipitkan mata. "Atau mungkin lu bakal nyesel udah berurusan sama gua."

Kapten Budi tertawa pelan, lalu mengangkat tangannya. Dalam hitungan detik, pria-pria di belakangnya langsung menarik pistol dan mengarahkannya ke Anton dan anak buahnya.

Luki langsung mengangkat senjatanya, begitu juga Yuda dan yang lainnya. Ketegangan menyelimuti udara, suara ombak dan deru angin terdengar semakin tajam di telinga Anton.

"Jadi begini permainan lu?" tanya Anton.

Kapten Budi menatap Anton dengan dingin. "Gua cuma jalankan perintah."

Anton menatap Budi dalam-dalam. "Dari siapa?"

Kapten Budi menyeringai. "Siapa lagi kalau bukan Adrian?"

Anton mengangguk pelan. "Kalau gitu, kirim pesan ke Adrian."

Sebelum Kapten Budi sempat bereaksi, Anton bergerak lebih cepat. Dia menendang perut Budi, membuatnya terjatuh ke tanah. Dalam hitungan detik, Anton menarik pistol dan menembak dua pria di belakang Budi, membuat mereka terjatuh dengan jeritan kesakitan.

Luki dan Yuda langsung bergerak, menembak ke arah pria-pria yang tersisa. Dalam hitungan detik, suara tembakan menggema di pelabuhan. Tubuh-tubuh terjatuh ke tanah, darah mengalir di permukaan aspal yang basah.

Kapten Budi terbaring di tanah, tangannya memegangi perutnya yang kesakitan. Anton berjongkok di sampingnya, menekan moncong pistol ke dahi Budi.

"Siapa lagi orang di dalam sistem yang kerja buat Adrian?" tanya Anton dengan suara dingin.

Kapten Budi terengah-engah. "Gua nggak tahu… gua cuma orang lapangan…"

Anton menekan pistolnya lebih keras. "Siapa. Lagi."

Kapten Budi terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Inspektur Rahman… dia yang buka jalur buat Adrian di pelabuhan."

Anton menatap Budi dingin. "Terima kasih buat infonya."

Klik!

Anton menurunkan pistolnya, lalu berdiri. Kapten Budi terbaring di tanah, matanya penuh ketakutan.

Anton berbalik dan berjalan ke arah Luki dan Yuda. Luki meniup moncong pistolnya dan menyeringai. "Jadi sekarang kita tahu siapa yang buka jalan buat Adrian?"

Anton menatap lurus ke depan. "Inspektur Rahman."

Yuda melangkah mendekat. "Apa rencana kita?"

Anton memasukkan pistolnya ke balik jaket. "Kita buat Rahman kasih tahu semuanya. Dan kalau dia nggak mau…"

Anton menatap jauh ke laut yang gelap. "…kita buat dia nggak punya pilihan lain."

Luki menyeringai. "Kayaknya kita bakal main besar."

Anton tersenyum tipis. "Kalau Adrian pikir dia bisa main besar… dia bakal lihat seberapa besar permainan ini sebenarnya."

Anton berdiri di tepi pelabuhan, menatap laut yang gelap dan berombak di depannya. Angin malam berembus kencang, meniup ujung jaket kulitnya. Di belakangnya, suara Luki dan Yuda terdengar samar, tapi Anton hanya fokus pada satu hal—nama yang baru saja dia dengar. Inspektur Rahman.

Jika Rahman benar-benar orang yang membuka jalur untuk Adrian, itu berarti jaringan Adrian jauh lebih besar dari yang Anton bayangkan. Ini bukan sekadar permainan antar geng biasa—ini adalah operasi terorganisir yang melibatkan orang-orang di dalam sistem. Dan jika Adrian punya Rahman di sisinya, itu berarti Adrian tahu semua gerakan Anton sebelum Anton sempat bertindak.

Luki berjalan ke sisi Anton, menyalakan rokok dan mengisapnya dalam-dalam. "Jadi, kita langsung datangi Rahman?"

Anton menggeleng pelan, matanya tetap tertuju ke laut. "Nggak. Kita bikin Rahman datang ke kita."

Yuda berdiri di belakang mereka, tangannya disilangkan di dada. "Dan kalau Rahman nolak?"

Anton menyeringai tipis, matanya menyipit dingin. "Kalau dia nolak, kita buat dia nggak punya pilihan lain."

Luki tertawa kecil. "Gua rasa Adrian nggak nyangka kalau kita bakal tahu sejauh ini."

Anton menatap ke kegelapan malam, wajahnya tanpa ekspresi. "Adrian pikir dia punya kendali. Tapi sebentar lagi dia bakal tahu siapa yang sebenarnya pegang permainan ini."

Tiba-tiba, ponsel Anton bergetar di saku jaketnya. Anton mengambilnya dan melihat nomor tak dikenal muncul di layar. Dia menatap layar itu sejenak sebelum mengangkatnya ke telinga.

"Anton," kata suara di seberang telepon. Suara yang dalam, terkontrol, dan penuh ketenangan yang mencurigakan.

Anton mengenali suara itu. "Adrian."

"Selamat, Anton. Lu udah mulai ngerti permainannya," kata Adrian dengan nada tenang. "Tapi ini baru permulaan."

Anton mengepalkan rahangnya. "Kalau lu berani nyentuh Rina—"

Adrian tertawa pelan. "Tenang… gua belum sejauh itu. Tapi lu tahu sendiri, Anton. Di dunia ini, keluarga adalah kelemahan terbesar."

Anton menegang. "Lu nggak bakal berani."

"Kalau gua bisa bikin Reza ngelawan lu… lu pikir gua nggak bisa bikin orang di sekitar lu berbalik juga?"

Anton menatap ke laut, matanya menyala penuh kemarahan. "Kalau lu berani nyenggol keluarga gua, gua bakal pastiin lu lihat sendiri gimana dunia lu runtuh di depan mata lu."

Adrian tertawa pelan. "Kita lihat nanti, Anton. Gua tunggu langkah lu selanjutnya."

Telepon terputus. Anton menggenggam ponsel di tangannya, napasnya berat. Luki dan Yuda menatapnya dengan serius.

"Adrian?" tanya Luki.

Anton memasukkan ponselnya ke saku jaket dan menatap lurus ke depan. "Adrian baru aja ngajak perang."

Yuda mendekat. "Jadi kita serang duluan?"

Anton menyeringai tipis, matanya dingin dan penuh ketegasan. "Nggak. Kita kasih dia waktu buat merasa aman dulu. Biar dia pikir dia masih pegang kendali."

Luki tertawa kecil. "Dan kalau dia mulai bergerak?"

Anton menatap ke laut yang gelap, tatapannya tajam. "Kalau dia bergerak, gua bakal pastiin itu jadi langkah terakhir yang pernah dia buat."

Di kejauhan, suara ombak menghantam dermaga dengan keras. Anton tahu, perang ini sudah tidak bisa dihindari. Adrian sudah membuka pintu ke permainan ini, dan sekarang giliran Anton untuk mengambil alih papan catur. Dan kali ini, Anton tidak akan berhenti sampai Adrian benar-benar hancur—sampai dunia ini tahu siapa penguasa yang sebenarnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Mafia Insyaf    Bab 9: Perang Dimulai

    Malam terasa lebih kelam dari biasanya. Warung kopi Anton sudah tutup lebih awal, dan lampu-lampu di dalamnya dipadamkan. Anton duduk di meja paling belakang bersama Luki dan Yuda, peta besar kota terbentang di atas meja. Di peta itu, Anton telah memberi tanda pada beberapa titik penting—lokasi persembunyian anak buah Adrian, jalur distribusi ilegal di pelabuhan, dan titik-titik strategis yang bisa digunakan untuk memutus jaringan Adrian."Adrian udah mulai bergerak," kata Yuda, menusuk jarinya ke tanda merah di peta. "Orang-orangnya kelihatan di sekitar gudang di distrik barat tadi sore. Gua yakin mereka mulai mindahin barang ke tempat lain.""Dia tahu kita bakal nargetin jalurnya," tambah Luki. "Kalau kita mau hajar dia, kita harus gerak sebelum dia nutup semua celahnya."Anton menatap peta dengan mata menyipit. "Nggak. Kalau Adrian mulai mindahin barangnya, itu artinya dia panik. Kita biarin dia sibuk ngatur ulang posisi, sementara kita cari Inspektur R

    Last Updated : 2025-04-17
  • Mafia Insyaf    Bab 10: Darah di Lantai Warung Kopi

    Suara tembakan pertama menggema keras di dalam warung kopi, memecah keheningan malam. Pria bersenjata yang berdiri di dekat pintu terhuyung ke belakang, darah merembes dari bahunya. Anton tidak menunggu lama. Dia melangkah masuk dengan cepat, menodongkan pistol ke arah pria kedua yang berdiri di samping Rina.Pria itu langsung mengangkat senjatanya, tapi Anton lebih cepat. Sebelum pria itu sempat menarik pelatuk, Anton sudah menembak lututnya. Pria itu berteriak kesakitan dan jatuh berlutut di lantai.Rina terkejut, matanya membelalak ketakutan. Tangan dan kakinya terikat dengan tali plastik, napasnya tersengal-sengal. Anton segera berlari ke arahnya, berjongkok, dan memotong tali di tangannya dengan pisau kecil dari saku jaketnya."Om…," suara Rina bergetar, matanya berkaca-kaca. "Gua takut…"Anton menggenggam wajah Rina dengan lembut, meski matanya penuh dengan ketegangan. "Gua di sini. Nggak ada yang bakal nyentuh lu lagi."Tiba-tiba,

    Last Updated : 2025-04-17
  • Mafia Insyaf    Bab 11: Masuk ke Sarang Musuh

    Malam itu, langit kota diselimuti awan tebal, menyembunyikan cahaya bintang dan bulan. Jalanan di distrik utara terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah kota ini tahu bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi.Anton duduk di dalam mobil, mesin masih menyala pelan. Luki duduk di kursi penumpang, sementara Yuda dan tiga anak buah mereka berada di mobil lain yang berhenti beberapa meter di belakang. Anton menatap lurus ke depan, ke sebuah gedung tua yang berdiri megah di ujung jalan. Gedung itu dulunya adalah pabrik tekstil yang terbengkalai, tetapi sekarang menjadi markas utama Adrian. Lampu-lampu redup menyala di beberapa jendela lantai atas, dan dua pria bersenjata berjaga di pintu masuk.Anton mengambil sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya, dan mengisap dalam-dalam. Asap putih melayang pelan di dalam mobil, menciptakan bayangan samar di kaca depan.Luki melirik Anton. "Jadi, rencananya gimana?"Anton mengembuskan asap rokok. "Masuk, hancurkan segalanya, dan bawa Adrian kelua

    Last Updated : 2025-04-17
  • Mafia Insyaf    Bab 12: Jalan Keluar dari Neraka

    Anton menyeret Adrian menyusuri lorong yang dipenuhi asap dan bau mesiu. Suara tembakan masih menggema di kejauhan, bercampur dengan suara langkah kaki berat yang bergerak mendekat. Luki berjalan di samping Anton, pistol terangkat, matanya waspada menatap ke setiap sudut lorong. "Anton, kita harus keluar dari sini sekarang," desis Luki. Anton menekan pistol ke punggung Adrian, membuat pria itu terhuyung ke depan. "Lu pikir gua bakal tinggal di sini selamanya?" Adrian tertawa kecil, meski napasnya berat. "Lu nggak bakal keluar hidup-hidup, Anton. Orang-orang gua udah siap di semua pintu keluar." Anton mencengkeram kerah Adrian lebih keras. "Kalau gua mati di sini, lu bakal ikut gua ke dalam kubur." Tiba-tiba, dari ujung lorong, dua pria muncul dengan senjata otomatis terangkat. Luki bergerak lebih dulu, menembak ke arah mereka. Satu peluru menghantam dada

    Last Updated : 2025-04-18
  • Mafia Insyaf    Bab 13: Bayangan di Balik Permainan

    Langit malam di atas kota dipenuhi awan gelap, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kegelapan. Anton duduk di kursi kayu di dalam warung kopi, rokok di tangannya mengepulkan asap tipis yang melayang ke udara. Di hadapannya, Luki dan Yuda duduk di meja yang sama, wajah mereka penuh ketegangan.Warung kopi itu sudah tutup. Rina tidur di kamar di lantai atas, aman di bawah pengawasan Reno yang kini resmi bekerja untuk Anton. Tapi Anton tahu—ini hanya ketenangan sementara sebelum badai yang lebih besar datang.Luki mengambil sebatang rokok dari sakunya dan menyulutnya. "Jadi… Adrian udah mati. Tapi kenapa gua ngerasa ini malah bikin semuanya makin rumit?"Anton menghembuskan asap rokok, tatapannya kosong. "Karena ini belum selesai."Yuda menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Pesan di ponsel Adrian…"Anton menyipitkan mata. "Kita harus cari tahu siapa yang kirim pesan itu."Luki tertawa kecil. "Kalau Adrian cuma bidak, berarti orang yang narik tali dari balik layar jauh l

    Last Updated : 2025-04-19
  • Mafia Insyaf    Bab 14: Pertemuan di Pelabuhan

    Mobil Anton melaju kencang di jalanan kota yang gelap. Lampu-lampu jalan berpendar samar, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang kosong. Suara mesin mobil meraung, memecah keheningan malam. Anton duduk di belakang kemudi, matanya lurus ke depan. Rahangnya mengeras, pikirannya fokus pada satu tujuan—pelabuhan lama.Luki dan Yuda mengikuti di mobil belakang, menjaga jarak yang cukup untuk tidak mencolok, tapi cukup dekat jika sesuatu terjadi. Anton tahu ini bisa jadi jebakan. Tapi itu tidak penting. Jika orang di balik lambang ular hitam cukup berani untuk memanggilnya, maka Anton akan datang dan menyelesaikan ini—dengan darah, jika perlu.Ponsel di saku jaket Anton bergetar. Dia mengambilnya dan melihat pesan baru di layar. Tidak ada nama pengirim, hanya satu kalimat:"Datang sendiri. Jika tidak, Rina yang akan membayar harganya."Anton menahan napas. Wajahnya mengeras. Dia tahu musuh ini berbeda. Adrian adalah bidak yang mudah dibaca, tapi orang ini bermain di level yang lebih t

    Last Updated : 2025-04-19
  • Mafia Insyaf    Bab 15: Memburu Jejak Victor

    Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Anton berdiri di depan jendela kamar di lantai atas warung kopi, menatap jalanan kota yang gelap dan sepi. Asap rokok di tangannya melayang pelan di udara, menciptakan bayangan tipis di kaca jendela yang berembun. Di belakangnya, Luki duduk di kursi sambil membersihkan pistolnya, sementara Yuda berdiri di dekat pintu, matanya tajam dan penuh kewaspadaan."Victor main bersih," kata Yuda. "Nggak ada jejak yang bisa kita ikuti."Anton mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap pelan. "Semua orang ninggalin jejak. Kita cuma belum nemuin titik lemahnya."Luki menyeringai kecil. "Kalau gua jadi Victor, gua bakal nyembunyiin Rina di tempat yang nggak terhubung langsung sama jaringan gua."Anton menatap Luki. "Masalahnya, Victor nggak main sendirian. Dia punya orang di setiap sudut kota ini. Kalau kita mau cari Rina, kita harus mulai dari orang-orang yang kerja buat dia."Yuda mengeluarkan pons

    Last Updated : 2025-04-20
  • Mafia Insyaf    Bab 16: Satu Peluru, Dua Masalah, Tiga Kebodohan

    Semua orang tegang. Puluhan laras senjata otomatis mengarah ke kepala Anton, Luki, dan Yuda. Di tengah ruangan, Victor berdiri seperti aktor utama dalam drama yang dia tulis sendiri—penuh percaya diri dan dengan ekspresi angkuh yang pengin ditonjok. Anton menatap Victor dalam-dalam. Jari telunjuknya masih berada di pelatuk. Tapi satu gerakan salah, dan peluru akan beterbangan lebih cepat dari mulut Victor yang penuh omong kosong itu. Di kursi, Rina masih tertunduk, tak bergerak. Anton menatapnya sejenak, matanya melembut. Lalu dia melirik ke arah Luki dan Yuda, memberi sinyal kecil—nyaris tak terlihat. Tiba-tiba, Yuda pura-pura terbatuk keras. Sangat keras. Seolah paru-parunya mau copot. Victor mengerutkan alis. "Serius batuk sekarang?" Yuda mengangkat satu tangan. "Maaf, bro. Efek samping stres—dan kebanyakan gorengan." Satu dari anak buah Victor mendelik. "Diam, jangan alihkan perhatian!" Luki malah menyeringai. "Wah, berarti sistem keamanan kalian gampang dialihin s

    Last Updated : 2025-04-25

Latest chapter

  • Mafia Insyaf    Bab 25: Gadis Kecil dan Sebuah Pertanyaan Besar

    Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

  • Mafia Insyaf    Bab 23: Saat Semua Tak Lagi Aman

    ---Pagi itu, langit mendung menutupi seluruh kota. Rumah aman Anton yang selama ini tak pernah terendus musuh kini terasa berbeda. Terlalu sepi. Terlalu tenang.Rina duduk di dapur, menyesap teh hangat sambil membuka file dari hasil serangan malam tadi. Di layar laptopnya, angka-angka rekening tersembunyi masih terus bermunculan, seolah Kota Gelap menyimpan uang di setiap lubang yang ada.Anton masuk ke dapur, rambutnya masih acak-acakan, tanpa jaket kulit legendarisnya. “Udah minum?”Rina mengangguk. “Tapi gak bikin lupa kalau kita sekarang punya 200 miliar musuh.”Anton duduk di seberangnya, mengambil cangkir kosong. “200 miliar yang gak bisa bantu mereka kalau fondasinya ambruk.”“Om…” Rina menatapnya. “Kita gak bisa terus kayak gini. Kita serang mereka, mereka balas. Sampai kapan?”Anton tak langsung menjawab. Dia hanya menatap cangkirnya yang kosong, seolah jawaban bisa ditemukan di dasar keramik.Sebelum pembicaraan berlanjut, pintu masuk dibuka cepat. Luki masuk sambil membawa

  • Mafia Insyaf    Bab 21: Taktik Baru untuk Musuh Lama

    Tiga jam setelah insiden peresmian, markas darurat sunyi seperti kuburan. Suara AC tua berderit, suara kipas laptop Rina berdengung pelan, dan tak ada satu pun yang membuka mulut.Anton berdiri membelakangi semua orang, menatap papan strategi yang kini penuh coretan, peta, dan foto-foto tokoh penting. Ia menyandarkan kedua tangannya ke meja, kepalanya sedikit tertunduk.Yuda duduk dengan perban di bahunya, menahan nyeri sambil menyeruput kopi dingin. Luki duduk di pojokan, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Rina, yang biasanya sibuk mengetik atau bercanda, kini hanya memeluk lutut di kursinya.Akhirnya Anton bicara. Suaranya pelan, tapi padat. “Gua minta maaf.”Semua langsung menoleh.“Gua pikir kita bisa pakai metode lama—menyusup, ambil informasi, pukul keras, lalu keluar. Tapi ‘R’ bukan sekadar target. Dia sistem itu sendiri.”Yuda bergumam. “Gua gak nyangka dia bisa melacak gua dari jarak segitu.”

  • Mafia Insyaf    Bab 20: Sambutan Berdarah untuk Tamu Kehormatan

    Pagi hari satu minggu kemudian, kota berubah wajah. Spanduk-spanduk besar berlogo “Revitalisasi Menuju Masa Depan” bergelantungan di sepanjang jalan utama. Jalanan ditutup sebagian, aparat berjaga di sudut-sudut kota, dan kamera media disiapkan di setiap titik penting.Tapi di balik panggung peresmian proyek pemerintah, rencana lain juga sedang berjalan—lebih sunyi, lebih brutal.Di markas darurat, Anton menatap layar monitor yang menampilkan siaran langsung lokasi acara. Wajah Wali Kota tampak sumringah, berdiri di antara para pejabat sambil tersenyum ke kamera. Tapi bukan dia yang jadi incaran.Target utama mereka hari itu: “R” —sosok misterius yang sejauh ini hanya muncul lewat inisial, file terenkripsi, dan ancaman bayangan.“Kita yakin dia beneran dateng?” tanya Yuda sambil menyiapkan perangkat jammer komunikasi.Rina, yang kini mengenakan rompi relawan dan ID palsu, sudah berada di lokasi sejak pagi. Dari balik earpiece, suaranya terdengar jelas. “Barusan mobil hitam masuk lewat

  • Mafia Insyaf    Bab 19: Satu Langkah di Depan, Dua Langkah di Jurang

    Pagi harinya, Markas Darurat di lokasi baru—sebuah gudang bengkel tua di pinggiran kota—penuh dengan bunyi dentingan senjata, suara kipas rusak, dan sumpah serapah Luki yang entah untuk siapa. “Gua bener-bener gak ngerti,” katanya sambil menunjuk laptop yang mati total. “Ini laptop udah gua colok, gua reset, gua doain juga—tetep aja kagak nyala.” Rina berjalan melewati Luki sambil mengangkat alis. “Itu bukan laptop, Om. Itu toaster cap Toshiba.” Yuda tertawa. “Lu tuh nyiksa teknologi, bukan makenya.” Luki hanya melotot. “Gua nyiksa karena dia bandel.” Anton masuk ke ruangan sambil membawa berkas print-out data dari Damar. Wajahnya serius. Dia meletakkan map di meja dan langsung membuka halaman yang disorot. “Gua temuin sesuatu,” katanya. “Dari semua nama penyokong Kota Gelap, ada satu yang gak asing.” Yuda mencondongkan badan. “Siapa?” “Pak Walikota.” Semua langsung diam. “Serius?” tanya Luki. “Yang tiap Minggu suka foto pake kaos oblong depan pasar itu?” “Yang sama sekali

  • Mafia Insyaf    Bab 18: Masuk Tanpa Diundang, Keluar Bawa Masalah

    Lantai pabrik itu berderak tiap kali Anton melangkah. Gudang tua yang mereka susupi tidak hanya penuh debu dan peralatan berkarat, tapi juga penuh sensor tersembunyi dan perangkap kecil yang bikin stres. “Siapa sih yang nyusun tempat ini? Kevin McCallister dari Home Alone versi mafia?” gerutu Luki sambil menghindari kabel laser yang nyaris tak terlihat. Yuda di belakangnya nyaris kepeleset karena genangan oli. Anton tetap diam. Matanya menyisir setiap sudut. Mereka sudah melewati dua penjaga yang berhasil dijatuhkan diam-diam. Tapi yang mereka cari belum juga terlihat. Rina berbicara melalui earpiece dari jarak jauh. “Dua ruangan lagi ke kiri. Di balik dinding baja. Ada aktivitas data kuat dari titik itu.” “Lu yakin?” tanya Anton. “Yakin. Dan satu hal lagi,” kata Rina cepat, “ada dua sinyal ponsel aktif, tapi yang satu… ada di database kita.” Anton berhenti. “Maksud kamu?” “Itu nomor milik Damar.” Mereka semua menoleh. Damar adalah rekan lama Anton. Mantan informan yang dulu

  • Mafia Insyaf    Bab 17: Tawar-Menawar dengan Neraka

    Pagi masih belum benar-benar datang saat Anton duduk sendiri di balkon rumah aman. Angin dini hari membawa hawa dingin menusuk, tapi pikirannya terlalu panas untuk merasakannya. Kopi hitam dingin di tangannya tak disentuh. Di bawah sana, Luki dan Yuda masih sibuk memeriksa senjata dan mengatur logistik untuk penyusupan malam nanti. Rina keluar pelan dari kamarnya, mengenakan jaket oversized dan sandal hotel yang kedodoran. Rambutnya acak-acakan, tapi sorot matanya tajam. “Kopi kamu gak diminum. Sayang,” katanya sambil duduk di kursi sebelah. Anton menoleh dan tersenyum kecil. “Gak sempat mikirin rasa.” Rina menarik napas dalam. “Malam tadi… Om hampir bunuh diri, kan?” Anton diam. “Aku denger semuanya dari Luki. Kamu masuk ke tempat itu, dikelilingi senjata, dan tetep maksa negosiasi. Om pikir kamu siapa? John Wick?” Anton mengangkat alis. “Kamu tau siapa John Wick?” Rina menyandarkan kepala ke sandaran kursi. “Filmnya rating 17+, tapi kamu lupa aku punya VPN.” Anton menghela

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status