Suara tembakan pertama menggema keras di dalam warung kopi, memecah keheningan malam. Pria bersenjata yang berdiri di dekat pintu terhuyung ke belakang, darah merembes dari bahunya. Anton tidak menunggu lama. Dia melangkah masuk dengan cepat, menodongkan pistol ke arah pria kedua yang berdiri di samping Rina.
Pria itu langsung mengangkat senjatanya, tapi Anton lebih cepat. Sebelum pria itu sempat menarik pelatuk, Anton sudah menembak lututnya. Pria itu berteriak kesakitan dan jatuh berlutut di lantai.Rina terkejut, matanya membelalak ketakutan. Tangan dan kakinya terikat dengan tali plastik, napasnya tersengal-sengal. Anton segera berlari ke arahnya, berjongkok, dan memotong tali di tangannya dengan pisau kecil dari saku jaketnya."Om…," suara Rina bergetar, matanya berkaca-kaca. "Gua takut…"Anton menggenggam wajah Rina dengan lembut, meski matanya penuh dengan ketegangan. "Gua di sini. Nggak ada yang bakal nyentuh lu lagi."Tiba-tiba,Malam itu, langit kota diselimuti awan tebal, menyembunyikan cahaya bintang dan bulan. Jalanan di distrik utara terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah kota ini tahu bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi.Anton duduk di dalam mobil, mesin masih menyala pelan. Luki duduk di kursi penumpang, sementara Yuda dan tiga anak buah mereka berada di mobil lain yang berhenti beberapa meter di belakang. Anton menatap lurus ke depan, ke sebuah gedung tua yang berdiri megah di ujung jalan. Gedung itu dulunya adalah pabrik tekstil yang terbengkalai, tetapi sekarang menjadi markas utama Adrian. Lampu-lampu redup menyala di beberapa jendela lantai atas, dan dua pria bersenjata berjaga di pintu masuk.Anton mengambil sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya, dan mengisap dalam-dalam. Asap putih melayang pelan di dalam mobil, menciptakan bayangan samar di kaca depan.Luki melirik Anton. "Jadi, rencananya gimana?"Anton mengembuskan asap rokok. "Masuk, hancurkan segalanya, dan bawa Adrian kelua
Anton menyeret Adrian menyusuri lorong yang dipenuhi asap dan bau mesiu. Suara tembakan masih menggema di kejauhan, bercampur dengan suara langkah kaki berat yang bergerak mendekat. Luki berjalan di samping Anton, pistol terangkat, matanya waspada menatap ke setiap sudut lorong. "Anton, kita harus keluar dari sini sekarang," desis Luki. Anton menekan pistol ke punggung Adrian, membuat pria itu terhuyung ke depan. "Lu pikir gua bakal tinggal di sini selamanya?" Adrian tertawa kecil, meski napasnya berat. "Lu nggak bakal keluar hidup-hidup, Anton. Orang-orang gua udah siap di semua pintu keluar." Anton mencengkeram kerah Adrian lebih keras. "Kalau gua mati di sini, lu bakal ikut gua ke dalam kubur." Tiba-tiba, dari ujung lorong, dua pria muncul dengan senjata otomatis terangkat. Luki bergerak lebih dulu, menembak ke arah mereka. Satu peluru menghantam dada
Langit malam di atas kota dipenuhi awan gelap, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kegelapan. Anton duduk di kursi kayu di dalam warung kopi, rokok di tangannya mengepulkan asap tipis yang melayang ke udara. Di hadapannya, Luki dan Yuda duduk di meja yang sama, wajah mereka penuh ketegangan.Warung kopi itu sudah tutup. Rina tidur di kamar di lantai atas, aman di bawah pengawasan Reno yang kini resmi bekerja untuk Anton. Tapi Anton tahu—ini hanya ketenangan sementara sebelum badai yang lebih besar datang.Luki mengambil sebatang rokok dari sakunya dan menyulutnya. "Jadi… Adrian udah mati. Tapi kenapa gua ngerasa ini malah bikin semuanya makin rumit?"Anton menghembuskan asap rokok, tatapannya kosong. "Karena ini belum selesai."Yuda menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Pesan di ponsel Adrian…"Anton menyipitkan mata. "Kita harus cari tahu siapa yang kirim pesan itu."Luki tertawa kecil. "Kalau Adrian cuma bidak, berarti orang yang narik tali dari balik layar jauh l
Mobil Anton melaju kencang di jalanan kota yang gelap. Lampu-lampu jalan berpendar samar, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang kosong. Suara mesin mobil meraung, memecah keheningan malam. Anton duduk di belakang kemudi, matanya lurus ke depan. Rahangnya mengeras, pikirannya fokus pada satu tujuan—pelabuhan lama.Luki dan Yuda mengikuti di mobil belakang, menjaga jarak yang cukup untuk tidak mencolok, tapi cukup dekat jika sesuatu terjadi. Anton tahu ini bisa jadi jebakan. Tapi itu tidak penting. Jika orang di balik lambang ular hitam cukup berani untuk memanggilnya, maka Anton akan datang dan menyelesaikan ini—dengan darah, jika perlu.Ponsel di saku jaket Anton bergetar. Dia mengambilnya dan melihat pesan baru di layar. Tidak ada nama pengirim, hanya satu kalimat:"Datang sendiri. Jika tidak, Rina yang akan membayar harganya."Anton menahan napas. Wajahnya mengeras. Dia tahu musuh ini berbeda. Adrian adalah bidak yang mudah dibaca, tapi orang ini bermain di level yang lebih t
Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Anton berdiri di depan jendela kamar di lantai atas warung kopi, menatap jalanan kota yang gelap dan sepi. Asap rokok di tangannya melayang pelan di udara, menciptakan bayangan tipis di kaca jendela yang berembun. Di belakangnya, Luki duduk di kursi sambil membersihkan pistolnya, sementara Yuda berdiri di dekat pintu, matanya tajam dan penuh kewaspadaan."Victor main bersih," kata Yuda. "Nggak ada jejak yang bisa kita ikuti."Anton mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap pelan. "Semua orang ninggalin jejak. Kita cuma belum nemuin titik lemahnya."Luki menyeringai kecil. "Kalau gua jadi Victor, gua bakal nyembunyiin Rina di tempat yang nggak terhubung langsung sama jaringan gua."Anton menatap Luki. "Masalahnya, Victor nggak main sendirian. Dia punya orang di setiap sudut kota ini. Kalau kita mau cari Rina, kita harus mulai dari orang-orang yang kerja buat dia."Yuda mengeluarkan pons
Semua orang tegang. Puluhan laras senjata otomatis mengarah ke kepala Anton, Luki, dan Yuda. Di tengah ruangan, Victor berdiri seperti aktor utama dalam drama yang dia tulis sendiri—penuh percaya diri dan dengan ekspresi angkuh yang pengin ditonjok. Anton menatap Victor dalam-dalam. Jari telunjuknya masih berada di pelatuk. Tapi satu gerakan salah, dan peluru akan beterbangan lebih cepat dari mulut Victor yang penuh omong kosong itu. Di kursi, Rina masih tertunduk, tak bergerak. Anton menatapnya sejenak, matanya melembut. Lalu dia melirik ke arah Luki dan Yuda, memberi sinyal kecil—nyaris tak terlihat. Tiba-tiba, Yuda pura-pura terbatuk keras. Sangat keras. Seolah paru-parunya mau copot. Victor mengerutkan alis. "Serius batuk sekarang?" Yuda mengangkat satu tangan. "Maaf, bro. Efek samping stres—dan kebanyakan gorengan." Satu dari anak buah Victor mendelik. "Diam, jangan alihkan perhatian!" Luki malah menyeringai. "Wah, berarti sistem keamanan kalian gampang dialihin s
Pagi masih belum benar-benar datang saat Anton duduk sendiri di balkon rumah aman. Angin dini hari membawa hawa dingin menusuk, tapi pikirannya terlalu panas untuk merasakannya. Kopi hitam dingin di tangannya tak disentuh. Di bawah sana, Luki dan Yuda masih sibuk memeriksa senjata dan mengatur logistik untuk penyusupan malam nanti. Rina keluar pelan dari kamarnya, mengenakan jaket oversized dan sandal hotel yang kedodoran. Rambutnya acak-acakan, tapi sorot matanya tajam. “Kopi kamu gak diminum. Sayang,” katanya sambil duduk di kursi sebelah. Anton menoleh dan tersenyum kecil. “Gak sempat mikirin rasa.” Rina menarik napas dalam. “Malam tadi… Om hampir bunuh diri, kan?” Anton diam. “Aku denger semuanya dari Luki. Kamu masuk ke tempat itu, dikelilingi senjata, dan tetep maksa negosiasi. Om pikir kamu siapa? John Wick?” Anton mengangkat alis. “Kamu tau siapa John Wick?” Rina menyandarkan kepala ke sandaran kursi. “Filmnya rating 17+, tapi kamu lupa aku punya VPN.” Anton menghela
Lantai pabrik itu berderak tiap kali Anton melangkah. Gudang tua yang mereka susupi tidak hanya penuh debu dan peralatan berkarat, tapi juga penuh sensor tersembunyi dan perangkap kecil yang bikin stres. “Siapa sih yang nyusun tempat ini? Kevin McCallister dari Home Alone versi mafia?” gerutu Luki sambil menghindari kabel laser yang nyaris tak terlihat. Yuda di belakangnya nyaris kepeleset karena genangan oli. Anton tetap diam. Matanya menyisir setiap sudut. Mereka sudah melewati dua penjaga yang berhasil dijatuhkan diam-diam. Tapi yang mereka cari belum juga terlihat. Rina berbicara melalui earpiece dari jarak jauh. “Dua ruangan lagi ke kiri. Di balik dinding baja. Ada aktivitas data kuat dari titik itu.” “Lu yakin?” tanya Anton. “Yakin. Dan satu hal lagi,” kata Rina cepat, “ada dua sinyal ponsel aktif, tapi yang satu… ada di database kita.” Anton berhenti. “Maksud kamu?” “Itu nomor milik Damar.” Mereka semua menoleh. Damar adalah rekan lama Anton. Mantan informan yang dulu
Gedung Reformasi Kota kembali sepi keesokan harinya, tapi Anton tahu ketenangan seperti itu beracun. Tak ada yang benar-benar tenang setelah rapat kemarin. Dan tak ada yang benar-benar bersih setelah bersalaman. Dia duduk di ruang markas baru, ruang bawah tanah toko elektronik milik kenalan lama Yuda. Tempat itu sempit, tapi aman. Tak ada kamera, tak ada sinyal bocor, dan yang lebih penting: tak ada rapat. Rina duduk di seberangnya, memutar ulang rekaman suara Direktur Audit kemarin. “...Sama seperti sekarang,” ulangnya pelan. “Kalimat terakhirnya sebelum keluar. Om yakin dia bukan cuma provokator?” Anton menggeleng. “Dia terlalu tenang buat sekadar provokator. Dia bukan cuma tahu sistem… dia bagian dari sistem paling dalam.” Yuda membuka peta jaringan lembaga. “Gua telusuri nama dia—Bayu Arwin. Dulunya komisaris di tiga proyek kota, tapi datanya bersih. Terlalu bersih. Semua fotonya identik. Semua wawancaranya k
Malam itu, udara di markas semakin berat. Tidak ada suara tawa dari Luki, tidak ada celetukan sinis dari Yuda, dan Rina tak seperti biasanya yang sibuk mengetik atau mengatur sistem pemantauan. Semuanya berjalan seperti biasa, tapi ada yang berubah. Anton merasakannya sejak kembali dari gedung pertemuan itu.Ia duduk sendiri di ruangan kecil tempat ia biasa merancang strategi. Di meja ada tiga gelas kopi, satu tidak tersentuh. Ia menatap gelas itu lama, sebelum akhirnya memanggil mereka bertiga ke dalam ruangan.Mereka datang dalam diam. Luki duduk paling duluan, menyender di kursi dengan gaya santainya, tapi sorot matanya tak seperti biasanya. Yuda menyusul, membawa map data yang entah disengaja atau tidak, kosong. Rina masuk terakhir, membawa tablet di tangan dan raut wajah datar.Anton membuka pembicaraan tanpa basa-basi. "Ada yang bocorin lokasi rumah aman kita minggu lalu. Dan itu bukan organisasi yang nebak secara acak. Mereka tahu detail."Tidak ada yang langsung menjawab."Gua
Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam.Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis.Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya.Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral.Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, atau... ta
Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau.Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi.Dan Anton… berubah.---Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan.Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama.Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap.Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada luka te
Lapangan Bawah bukan tempat istimewa. Dulu bekas stadion kecil yang dibongkar setengah jadi untuk proyek reklamasi yang tak pernah selesai. Kini hanya tanah lempung lebar, dikelilingi tiang-tiang beton yang runcing, ditumbuhi rumput liar dan sepi dari kehidupan. Dan malam ini, tanah mati itu akan jadi saksi dua nama besar yang akhirnya muncul dari bayangan. Anton berdiri di pinggir lapangan. Pakaian serba hitam, jaket tempur lamanya kembali dipakai, pistol diselipkan, tapi tak terlihat. Ia datang sendirian, tanpa Luki, Yuda, atau Rina. Sesuai aturan yang ia buat sendiri. Satu lawan satu. Tanpa bala bantuan. Tanpa trik. Hanya satu amplop data di tangan kirinya. Dan selembar gambar crayon dari Gendis di kantong dalam jaketnya. Langit malam mendung. Udara diam. Bahkan jangkrik pun seolah takut berbunyi. Tepat pukul 00.00, mobil hitam tua meluncur pelan ke pinggir lapangan. Satu orang keluar. Jas abu gelap. Sarung tangan hitam. Langkahnya tenang, seolah ini pertemuan bisnis bia
Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga
Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas. Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam. Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?” Anton mengangguk. “Pagi.” “Pagi yang Om rancang buat perang?” tanyanya datar. Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang Om rancang untuk penutup.” Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?” “Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.” Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?” Anton menatapnya sejenak. “Enggak.” --- Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik. “Untuk ‘R’,
Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera
---Pagi itu, langit mendung menutupi seluruh kota. Rumah aman Anton yang selama ini tak pernah terendus musuh kini terasa berbeda. Terlalu sepi. Terlalu tenang.Rina duduk di dapur, menyesap teh hangat sambil membuka file dari hasil serangan malam tadi. Di layar laptopnya, angka-angka rekening tersembunyi masih terus bermunculan, seolah Kota Gelap menyimpan uang di setiap lubang yang ada.Anton masuk ke dapur, rambutnya masih acak-acakan, tanpa jaket kulit legendarisnya. “Udah minum?”Rina mengangguk. “Tapi gak bikin lupa kalau kita sekarang punya 200 miliar musuh.”Anton duduk di seberangnya, mengambil cangkir kosong. “200 miliar yang gak bisa bantu mereka kalau fondasinya ambruk.”“Om…” Rina menatapnya. “Kita gak bisa terus kayak gini. Kita serang mereka, mereka balas. Sampai kapan?”Anton tak langsung menjawab. Dia hanya menatap cangkirnya yang kosong, seolah jawaban bisa ditemukan di dasar keramik.Sebelum pembicaraan berlanjut, pintu masuk dibuka cepat. Luki masuk sambil membawa