Malam sudah larut ketika Anton tiba di warung kopinya. Lampu di dalam masih menyala, meski suasananya sepi. Rina tertidur di kursi dekat jendela, kepalanya bersandar di atas lengannya. Anton berdiri di ambang pintu sebentar, memperhatikan keponakannya yang terlihat begitu damai di tengah kekacauan yang sedang ia hadapi.
Luki dan Yuda masuk tak lama setelah Anton. Luki langsung duduk di meja dekat pintu, sementara Yuda berdiri dengan tangan di saku jaketnya, tatapannya serius. "Jadi?" tanya Luki sambil melirik Anton. "Apa kesimpulan lu tentang Adrian?" Anton berjalan ke belakang meja kasir dan mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin. Dia membuka tutupnya dan meneguk pelan sebelum menjawab, "Adrian bukan pemain biasa. Dia punya pengaruh, koneksi, dan jelas bukan tipe yang gampang nyerah." "Dan sekarang dia tahu lu bukan orang yang gampang dipermainkan," tambah Yuda. Anton menyipitkan mata. "Itu masalahnya. Orang kayak Adrian nggak akan mundur hanya karena kalah sekali. Dia bakal nyusun rencana baru." Luki menyeringai. "Kalau gitu, kita serang duluan sebelum dia siap." Anton menggeleng pelan. "Nggak. Kita biarin dia bergerak dulu. Gua mau tahu seberapa dalam koneksi dia di kota ini. Kalau kita serang tanpa tahu siapa orang-orang di belakangnya, kita bisa kebobolan." Yuda mengangkat alis. "Jadi lu mau main defensif?" Anton menatap Yuda dengan dingin. "Defensif? Nggak. Gua cuma ngasih dia waktu buat jalan ke lubang jebakannya sendiri." Luki tertawa kecil. "Pola pikir lama, ya? Bikin musuh ngerasa nyaman sebelum lu tarik karpetnya." Anton tersenyum tipis, meski matanya tetap dingin. "Selalu berhasil, kan?" Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuat mereka semua menoleh. Anton melirik sekilas ke arah Rina, memastikan keponakannya masih tertidur sebelum berjalan ke pintu dan membukanya. Seorang pria muda berdiri di luar, mengenakan jaket denim dan topi hitam yang tertarik rendah ke wajahnya. Dia tampak gugup, matanya gelisah saat bertemu pandang dengan Anton. "Anton?" suara pria itu terdengar gemetar. Anton menatap pria itu tanpa ekspresi. "Siapa lu?" Pria itu menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang mengawasinya. "Gua punya informasi soal Adrian." Anton memperhatikan pria itu dengan tajam. "Masuk." Pria itu melangkah masuk dengan ragu. Luki dan Yuda langsung berdiri dan menutup pintu di belakangnya. Anton menyuruh pria itu duduk di kursi di depan meja kasir. "Nama lu siapa?" tanya Anton. "Reno," jawab pria itu pelan. "Gua dulu kerja buat Reza, tapi sekarang…" "Lu pindah ke Adrian?" potong Anton. Reno menggeleng cepat. "Nggak! Gua cuma jadi pengantar barang. Tapi gua denger banyak hal." Anton menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Kayak apa?" Reno menelan ludah, jelas terlihat ketakutan. "Adrian nggak kerja sendiri. Dia punya orang di dalam kepolisian, dan bukan cuma satu atau dua orang." Luki bersiul pelan. "Pantas dia berani main besar." "Siapa orangnya?" tanya Anton, suaranya datar. Reno menggeleng. "Gua nggak tahu nama pastinya. Tapi gua pernah lihat mereka ketemu di sebuah klub di distrik barat. Orang itu tinggi, rambutnya dicukur rapi, selalu pakai jas hitam." Anton mengingat-ingat ciri-ciri itu, tapi tidak ada nama yang langsung muncul di kepalanya. "Apa lagi?" "Adrian juga ngatur pergerakan barang di pelabuhan. Dia pakai jalur yang nggak bisa disentuh sama pihak berwenang. Ada orang dalam yang ngebantu dia." Anton menatap Reno dengan tajam. "Siapa?" Reno terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Kapten Budi." Luki langsung duduk tegak. "Serius? Kapten Budi? Dia udah lama kerja buat pihak kepolisian." Anton menyipitkan mata. "Berarti Adrian udah punya kaki di dalam sistem." Yuda menggeleng pelan. "Ini lebih dalam dari yang kita kira." Reno tampak semakin gelisah. "Dengar, gua ngasih tahu ini karena gua tahu Adrian bakal ngehabisin gua kalau dia tahu gua bocorin ini ke lu." Anton berdiri, menatap Reno dari atas. "Kalau lu nyari perlindungan, lu udah di tempat yang tepat." Reno menatap Anton penuh harap. "Lu bakal jaga gua?" Anton menatap Reno dingin. "Selama lu berguna buat gua." Reno mengangguk cepat. "Gua bakal kasih tahu semua yang gua tahu. Tapi lu harus tahu satu hal lagi…" Anton menyipitkan mata. "Apa?" Reno menelan ludah. "Adrian nggak cuma mau ambil alih kota ini. Dia mau hancurin semua yang udah lu bangun. Termasuk orang-orang di sekitar lu." Anton merasakan ketegangan menjalar ke seluruh tubuhnya. "Termasuk Rina?" Reno mengangguk pelan. "Gua dengar Adrian nyuruh seseorang buat nyari informasi soal Rina. Dia tahu kalau Rina itu titik lemah lu." Anton langsung berbalik, matanya menyala penuh kemarahan. Dia menatap Luki dan Yuda. "Siapkan orang-orang kita. Kita nggak bisa nunggu lagi." Luki berdiri. "Jadi kita serang duluan?" Anton menggenggam erat gagang pistol di balik jaketnya. "Adrian nyenggol gua udah cukup buruk. Tapi kalau dia berani nyenggol keluarga gua…" Anton berjalan ke pintu dan membukanya lebar. Udara malam yang dingin langsung menyapu masuk ke dalam ruangan. Anton menatap ke jalanan yang gelap di luar, matanya dingin dan penuh ketegasan. "Kalau dia berani nyentuh Rina, gua bakal pastiin Adrian lihat sendiri gimana rasanya kehilangan segalanya." Luki menyeringai. "Itu Anton yang gua kenal." Anton melangkah keluar, diikuti Luki dan Yuda. Reno masih duduk di kursi, terengah-engah, menyadari bahwa dia baru saja menyalakan api yang tidak akan mudah dipadamkan. Malam itu, Anton tahu bahwa Adrian sudah melangkah terlalu jauh. Dan kali ini, Anton tidak akan sekadar membalas. Dia akan menghancurkan Adrian—dan siapa pun yang berani berdiri di sisinya. Dan kalau Adrian pikir dia bisa memainkan Anton, maka dia baru saja membuka pintu ke neraka. Anton berdiri di ambang pintu, udara malam yang dingin menusuk kulitnya. Tatapannya lurus ke jalanan gelap di depan warung kopi. Di dalam pikirannya, bayangan Adrian dan ancaman terhadap Rina terus berputar tanpa henti. Dunia ini memang keras, tapi ada satu aturan yang tidak pernah berubah—kalau seseorang berani menyentuh keluarga Anton, maka tidak ada tempat di dunia ini yang bisa membuat mereka merasa aman. Luki dan Yuda berdiri di belakang Anton, menunggu instruksi selanjutnya. Suasana malam terasa sunyi, tapi Anton tahu badai sudah mulai terbentuk di bawah permukaan. Jika Adrian cukup berani untuk mencoba menyentuh Rina, maka itu artinya dia sudah siap menerima konsekuensinya. Anton menyalakan rokok, mengisapnya dalam-dalam sebelum mengembuskan asap pelan ke udara. "Besok pagi, kita mulai gerak. Kita cari tahu siapa saja orang-orang Adrian di dalam sistem. Polisi, pelabuhan, siapa pun yang ada di belakang dia—gua mau nama mereka di tangan gua sebelum matahari terbenam." Luki menyeringai. "Jadi, kita bikin Adrian kehabisan nafas sebelum dia sempat menyerang?" Anton menatap Luki dengan sorot mata dingin. "Nggak. Kita bikin dia ngerasain gimana rasanya kehilangan semuanya sebelum dia tahu apa yang terjadi." Yuda menatap Anton dengan serius. "Kalau Adrian nyenggol Rina?" Anton mencengkeram rokok di antara jarinya, matanya menyipit. "Kalau dia berani nyentuh Rina…" Anton membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya. "…gua bakal pastiin Adrian nyesel pernah dilahirkan." Anton berbalik dan melangkah ke dalam warung kopi, meninggalkan Luki dan Yuda yang saling berpandangan. Luki tertawa kecil, lalu menatap Yuda. "Kayaknya Adrian nggak tahu siapa yang dia tantang." Yuda tersenyum samar. "Dia bakal tahu sebentar lagi." Malam itu, Anton tahu tidak ada lagi jalan mundur. Adrian sudah membuat langkah pertama, dan sekarang giliran Anton untuk bergerak. Dan jika Adrian berpikir dia bisa bertahan dari kemarahan Anton, maka dia jelas belum pernah merasakan bagaimana rasanya berhadapan langsung dengan Si Tangan Besi. Karena kali ini, Anton tidak akan berhenti sampai Adrian hancur sepenuhnya.Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu di sudut warung kopi, menatap secangkir kopi hitam yang mengepulkan asap tipis di depannya. Di luar, sinar matahari samar-samar menyinari jalanan kota yang mulai sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa mampir ke warung kopi untuk membeli sarapan. Tapi Anton tidak memperhatikan semua itu. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Adrian. Luki dan Yuda duduk di meja yang sama. Luki menggulung lengan bajunya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi, sementara Yuda terlihat sibuk memeriksa ponselnya. "Orang-orang Adrian mulai bergerak," kata Yuda, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Dia ngerahin beberapa orang ke distrik selatan dan barat. Kelihatannya dia mulai bikin jaringan baru." Anton menyipitkan mata. "Itu artinya dia udah mulai nyiapin pergerakan besar." Luki menyeringai. "Dan kita bakal kasih kejutan sebelum dia sempat jalan." An
Malam terasa lebih kelam dari biasanya. Warung kopi Anton sudah tutup lebih awal, dan lampu-lampu di dalamnya dipadamkan. Anton duduk di meja paling belakang bersama Luki dan Yuda, peta besar kota terbentang di atas meja. Di peta itu, Anton telah memberi tanda pada beberapa titik penting—lokasi persembunyian anak buah Adrian, jalur distribusi ilegal di pelabuhan, dan titik-titik strategis yang bisa digunakan untuk memutus jaringan Adrian."Adrian udah mulai bergerak," kata Yuda, menusuk jarinya ke tanda merah di peta. "Orang-orangnya kelihatan di sekitar gudang di distrik barat tadi sore. Gua yakin mereka mulai mindahin barang ke tempat lain.""Dia tahu kita bakal nargetin jalurnya," tambah Luki. "Kalau kita mau hajar dia, kita harus gerak sebelum dia nutup semua celahnya."Anton menatap peta dengan mata menyipit. "Nggak. Kalau Adrian mulai mindahin barangnya, itu artinya dia panik. Kita biarin dia sibuk ngatur ulang posisi, sementara kita cari Inspektur R
Suara tembakan pertama menggema keras di dalam warung kopi, memecah keheningan malam. Pria bersenjata yang berdiri di dekat pintu terhuyung ke belakang, darah merembes dari bahunya. Anton tidak menunggu lama. Dia melangkah masuk dengan cepat, menodongkan pistol ke arah pria kedua yang berdiri di samping Rina.Pria itu langsung mengangkat senjatanya, tapi Anton lebih cepat. Sebelum pria itu sempat menarik pelatuk, Anton sudah menembak lututnya. Pria itu berteriak kesakitan dan jatuh berlutut di lantai.Rina terkejut, matanya membelalak ketakutan. Tangan dan kakinya terikat dengan tali plastik, napasnya tersengal-sengal. Anton segera berlari ke arahnya, berjongkok, dan memotong tali di tangannya dengan pisau kecil dari saku jaketnya."Om…," suara Rina bergetar, matanya berkaca-kaca. "Gua takut…"Anton menggenggam wajah Rina dengan lembut, meski matanya penuh dengan ketegangan. "Gua di sini. Nggak ada yang bakal nyentuh lu lagi."Tiba-tiba,
Malam itu, langit kota diselimuti awan tebal, menyembunyikan cahaya bintang dan bulan. Jalanan di distrik utara terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah kota ini tahu bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi.Anton duduk di dalam mobil, mesin masih menyala pelan. Luki duduk di kursi penumpang, sementara Yuda dan tiga anak buah mereka berada di mobil lain yang berhenti beberapa meter di belakang. Anton menatap lurus ke depan, ke sebuah gedung tua yang berdiri megah di ujung jalan. Gedung itu dulunya adalah pabrik tekstil yang terbengkalai, tetapi sekarang menjadi markas utama Adrian. Lampu-lampu redup menyala di beberapa jendela lantai atas, dan dua pria bersenjata berjaga di pintu masuk.Anton mengambil sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya, dan mengisap dalam-dalam. Asap putih melayang pelan di dalam mobil, menciptakan bayangan samar di kaca depan.Luki melirik Anton. "Jadi, rencananya gimana?"Anton mengembuskan asap rokok. "Masuk, hancurkan segalanya, dan bawa Adrian kelua
Anton menyeret Adrian menyusuri lorong yang dipenuhi asap dan bau mesiu. Suara tembakan masih menggema di kejauhan, bercampur dengan suara langkah kaki berat yang bergerak mendekat. Luki berjalan di samping Anton, pistol terangkat, matanya waspada menatap ke setiap sudut lorong. "Anton, kita harus keluar dari sini sekarang," desis Luki. Anton menekan pistol ke punggung Adrian, membuat pria itu terhuyung ke depan. "Lu pikir gua bakal tinggal di sini selamanya?" Adrian tertawa kecil, meski napasnya berat. "Lu nggak bakal keluar hidup-hidup, Anton. Orang-orang gua udah siap di semua pintu keluar." Anton mencengkeram kerah Adrian lebih keras. "Kalau gua mati di sini, lu bakal ikut gua ke dalam kubur." Tiba-tiba, dari ujung lorong, dua pria muncul dengan senjata otomatis terangkat. Luki bergerak lebih dulu, menembak ke arah mereka. Satu peluru menghantam dada
Langit malam di atas kota dipenuhi awan gelap, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kegelapan. Anton duduk di kursi kayu di dalam warung kopi, rokok di tangannya mengepulkan asap tipis yang melayang ke udara. Di hadapannya, Luki dan Yuda duduk di meja yang sama, wajah mereka penuh ketegangan.Warung kopi itu sudah tutup. Rina tidur di kamar di lantai atas, aman di bawah pengawasan Reno yang kini resmi bekerja untuk Anton. Tapi Anton tahu—ini hanya ketenangan sementara sebelum badai yang lebih besar datang.Luki mengambil sebatang rokok dari sakunya dan menyulutnya. "Jadi… Adrian udah mati. Tapi kenapa gua ngerasa ini malah bikin semuanya makin rumit?"Anton menghembuskan asap rokok, tatapannya kosong. "Karena ini belum selesai."Yuda menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Pesan di ponsel Adrian…"Anton menyipitkan mata. "Kita harus cari tahu siapa yang kirim pesan itu."Luki tertawa kecil. "Kalau Adrian cuma bidak, berarti orang yang narik tali dari balik layar jauh l
Mobil Anton melaju kencang di jalanan kota yang gelap. Lampu-lampu jalan berpendar samar, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang kosong. Suara mesin mobil meraung, memecah keheningan malam. Anton duduk di belakang kemudi, matanya lurus ke depan. Rahangnya mengeras, pikirannya fokus pada satu tujuan—pelabuhan lama.Luki dan Yuda mengikuti di mobil belakang, menjaga jarak yang cukup untuk tidak mencolok, tapi cukup dekat jika sesuatu terjadi. Anton tahu ini bisa jadi jebakan. Tapi itu tidak penting. Jika orang di balik lambang ular hitam cukup berani untuk memanggilnya, maka Anton akan datang dan menyelesaikan ini—dengan darah, jika perlu.Ponsel di saku jaket Anton bergetar. Dia mengambilnya dan melihat pesan baru di layar. Tidak ada nama pengirim, hanya satu kalimat:"Datang sendiri. Jika tidak, Rina yang akan membayar harganya."Anton menahan napas. Wajahnya mengeras. Dia tahu musuh ini berbeda. Adrian adalah bidak yang mudah dibaca, tapi orang ini bermain di level yang lebih t
Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Anton berdiri di depan jendela kamar di lantai atas warung kopi, menatap jalanan kota yang gelap dan sepi. Asap rokok di tangannya melayang pelan di udara, menciptakan bayangan tipis di kaca jendela yang berembun. Di belakangnya, Luki duduk di kursi sambil membersihkan pistolnya, sementara Yuda berdiri di dekat pintu, matanya tajam dan penuh kewaspadaan."Victor main bersih," kata Yuda. "Nggak ada jejak yang bisa kita ikuti."Anton mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap pelan. "Semua orang ninggalin jejak. Kita cuma belum nemuin titik lemahnya."Luki menyeringai kecil. "Kalau gua jadi Victor, gua bakal nyembunyiin Rina di tempat yang nggak terhubung langsung sama jaringan gua."Anton menatap Luki. "Masalahnya, Victor nggak main sendirian. Dia punya orang di setiap sudut kota ini. Kalau kita mau cari Rina, kita harus mulai dari orang-orang yang kerja buat dia."Yuda mengeluarkan pons
Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga
Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera
Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera
---Pagi itu, langit mendung menutupi seluruh kota. Rumah aman Anton yang selama ini tak pernah terendus musuh kini terasa berbeda. Terlalu sepi. Terlalu tenang.Rina duduk di dapur, menyesap teh hangat sambil membuka file dari hasil serangan malam tadi. Di layar laptopnya, angka-angka rekening tersembunyi masih terus bermunculan, seolah Kota Gelap menyimpan uang di setiap lubang yang ada.Anton masuk ke dapur, rambutnya masih acak-acakan, tanpa jaket kulit legendarisnya. “Udah minum?”Rina mengangguk. “Tapi gak bikin lupa kalau kita sekarang punya 200 miliar musuh.”Anton duduk di seberangnya, mengambil cangkir kosong. “200 miliar yang gak bisa bantu mereka kalau fondasinya ambruk.”“Om…” Rina menatapnya. “Kita gak bisa terus kayak gini. Kita serang mereka, mereka balas. Sampai kapan?”Anton tak langsung menjawab. Dia hanya menatap cangkirnya yang kosong, seolah jawaban bisa ditemukan di dasar keramik.Sebelum pembicaraan berlanjut, pintu masuk dibuka cepat. Luki masuk sambil membawa
Tiga jam setelah insiden peresmian, markas darurat sunyi seperti kuburan. Suara AC tua berderit, suara kipas laptop Rina berdengung pelan, dan tak ada satu pun yang membuka mulut.Anton berdiri membelakangi semua orang, menatap papan strategi yang kini penuh coretan, peta, dan foto-foto tokoh penting. Ia menyandarkan kedua tangannya ke meja, kepalanya sedikit tertunduk.Yuda duduk dengan perban di bahunya, menahan nyeri sambil menyeruput kopi dingin. Luki duduk di pojokan, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Rina, yang biasanya sibuk mengetik atau bercanda, kini hanya memeluk lutut di kursinya.Akhirnya Anton bicara. Suaranya pelan, tapi padat. “Gua minta maaf.”Semua langsung menoleh.“Gua pikir kita bisa pakai metode lama—menyusup, ambil informasi, pukul keras, lalu keluar. Tapi ‘R’ bukan sekadar target. Dia sistem itu sendiri.”Yuda bergumam. “Gua gak nyangka dia bisa melacak gua dari jarak segitu.”
Pagi hari satu minggu kemudian, kota berubah wajah. Spanduk-spanduk besar berlogo “Revitalisasi Menuju Masa Depan” bergelantungan di sepanjang jalan utama. Jalanan ditutup sebagian, aparat berjaga di sudut-sudut kota, dan kamera media disiapkan di setiap titik penting.Tapi di balik panggung peresmian proyek pemerintah, rencana lain juga sedang berjalan—lebih sunyi, lebih brutal.Di markas darurat, Anton menatap layar monitor yang menampilkan siaran langsung lokasi acara. Wajah Wali Kota tampak sumringah, berdiri di antara para pejabat sambil tersenyum ke kamera. Tapi bukan dia yang jadi incaran.Target utama mereka hari itu: “R” —sosok misterius yang sejauh ini hanya muncul lewat inisial, file terenkripsi, dan ancaman bayangan.“Kita yakin dia beneran dateng?” tanya Yuda sambil menyiapkan perangkat jammer komunikasi.Rina, yang kini mengenakan rompi relawan dan ID palsu, sudah berada di lokasi sejak pagi. Dari balik earpiece, suaranya terdengar jelas. “Barusan mobil hitam masuk lewat
Pagi harinya, Markas Darurat di lokasi baru—sebuah gudang bengkel tua di pinggiran kota—penuh dengan bunyi dentingan senjata, suara kipas rusak, dan sumpah serapah Luki yang entah untuk siapa. “Gua bener-bener gak ngerti,” katanya sambil menunjuk laptop yang mati total. “Ini laptop udah gua colok, gua reset, gua doain juga—tetep aja kagak nyala.” Rina berjalan melewati Luki sambil mengangkat alis. “Itu bukan laptop, Om. Itu toaster cap Toshiba.” Yuda tertawa. “Lu tuh nyiksa teknologi, bukan makenya.” Luki hanya melotot. “Gua nyiksa karena dia bandel.” Anton masuk ke ruangan sambil membawa berkas print-out data dari Damar. Wajahnya serius. Dia meletakkan map di meja dan langsung membuka halaman yang disorot. “Gua temuin sesuatu,” katanya. “Dari semua nama penyokong Kota Gelap, ada satu yang gak asing.” Yuda mencondongkan badan. “Siapa?” “Pak Walikota.” Semua langsung diam. “Serius?” tanya Luki. “Yang tiap Minggu suka foto pake kaos oblong depan pasar itu?” “Yang sama sekali
Lantai pabrik itu berderak tiap kali Anton melangkah. Gudang tua yang mereka susupi tidak hanya penuh debu dan peralatan berkarat, tapi juga penuh sensor tersembunyi dan perangkap kecil yang bikin stres. “Siapa sih yang nyusun tempat ini? Kevin McCallister dari Home Alone versi mafia?” gerutu Luki sambil menghindari kabel laser yang nyaris tak terlihat. Yuda di belakangnya nyaris kepeleset karena genangan oli. Anton tetap diam. Matanya menyisir setiap sudut. Mereka sudah melewati dua penjaga yang berhasil dijatuhkan diam-diam. Tapi yang mereka cari belum juga terlihat. Rina berbicara melalui earpiece dari jarak jauh. “Dua ruangan lagi ke kiri. Di balik dinding baja. Ada aktivitas data kuat dari titik itu.” “Lu yakin?” tanya Anton. “Yakin. Dan satu hal lagi,” kata Rina cepat, “ada dua sinyal ponsel aktif, tapi yang satu… ada di database kita.” Anton berhenti. “Maksud kamu?” “Itu nomor milik Damar.” Mereka semua menoleh. Damar adalah rekan lama Anton. Mantan informan yang dulu
Pagi masih belum benar-benar datang saat Anton duduk sendiri di balkon rumah aman. Angin dini hari membawa hawa dingin menusuk, tapi pikirannya terlalu panas untuk merasakannya. Kopi hitam dingin di tangannya tak disentuh. Di bawah sana, Luki dan Yuda masih sibuk memeriksa senjata dan mengatur logistik untuk penyusupan malam nanti. Rina keluar pelan dari kamarnya, mengenakan jaket oversized dan sandal hotel yang kedodoran. Rambutnya acak-acakan, tapi sorot matanya tajam. “Kopi kamu gak diminum. Sayang,” katanya sambil duduk di kursi sebelah. Anton menoleh dan tersenyum kecil. “Gak sempat mikirin rasa.” Rina menarik napas dalam. “Malam tadi… Om hampir bunuh diri, kan?” Anton diam. “Aku denger semuanya dari Luki. Kamu masuk ke tempat itu, dikelilingi senjata, dan tetep maksa negosiasi. Om pikir kamu siapa? John Wick?” Anton mengangkat alis. “Kamu tau siapa John Wick?” Rina menyandarkan kepala ke sandaran kursi. “Filmnya rating 17+, tapi kamu lupa aku punya VPN.” Anton menghela