Tiga jam setelah insiden peresmian, markas darurat sunyi seperti kuburan. Suara AC tua berderit, suara kipas laptop Rina berdengung pelan, dan tak ada satu pun yang membuka mulut.Anton berdiri membelakangi semua orang, menatap papan strategi yang kini penuh coretan, peta, dan foto-foto tokoh penting. Ia menyandarkan kedua tangannya ke meja, kepalanya sedikit tertunduk.Yuda duduk dengan perban di bahunya, menahan nyeri sambil menyeruput kopi dingin. Luki duduk di pojokan, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Rina, yang biasanya sibuk mengetik atau bercanda, kini hanya memeluk lutut di kursinya.Akhirnya Anton bicara. Suaranya pelan, tapi padat. “Gua minta maaf.”Semua langsung menoleh.“Gua pikir kita bisa pakai metode lama—menyusup, ambil informasi, pukul keras, lalu keluar. Tapi ‘R’ bukan sekadar target. Dia sistem itu sendiri.”Yuda bergumam. “Gua gak nyangka dia bisa melacak gua dari jarak segitu.”
---Pagi itu, langit mendung menutupi seluruh kota. Rumah aman Anton yang selama ini tak pernah terendus musuh kini terasa berbeda. Terlalu sepi. Terlalu tenang.Rina duduk di dapur, menyesap teh hangat sambil membuka file dari hasil serangan malam tadi. Di layar laptopnya, angka-angka rekening tersembunyi masih terus bermunculan, seolah Kota Gelap menyimpan uang di setiap lubang yang ada.Anton masuk ke dapur, rambutnya masih acak-acakan, tanpa jaket kulit legendarisnya. “Udah minum?”Rina mengangguk. “Tapi gak bikin lupa kalau kita sekarang punya 200 miliar musuh.”Anton duduk di seberangnya, mengambil cangkir kosong. “200 miliar yang gak bisa bantu mereka kalau fondasinya ambruk.”“Om…” Rina menatapnya. “Kita gak bisa terus kayak gini. Kita serang mereka, mereka balas. Sampai kapan?”Anton tak langsung menjawab. Dia hanya menatap cangkirnya yang kosong, seolah jawaban bisa ditemukan di dasar keramik.Sebelum pembicaraan berlanjut, pintu masuk dibuka cepat. Luki masuk sambil membawa
Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera
Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas. Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam. Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?” Anton mengangguk. “Pagi.” “Pagi yang Om rancang buat perang?” tanyanya datar. Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang Om rancang untuk penutup.” Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?” “Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.” Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?” Anton menatapnya sejenak. “Enggak.” --- Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik. “Untuk ‘R’,
Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga
Lapangan Bawah bukan tempat istimewa. Dulu bekas stadion kecil yang dibongkar setengah jadi untuk proyek reklamasi yang tak pernah selesai. Kini hanya tanah lempung lebar, dikelilingi tiang-tiang beton yang runcing, ditumbuhi rumput liar dan sepi dari kehidupan. Dan malam ini, tanah mati itu akan jadi saksi dua nama besar yang akhirnya muncul dari bayangan. Anton berdiri di pinggir lapangan. Pakaian serba hitam, jaket tempur lamanya kembali dipakai, pistol diselipkan, tapi tak terlihat. Ia datang sendirian, tanpa Luki, Yuda, atau Rina. Sesuai aturan yang ia buat sendiri. Satu lawan satu. Tanpa bala bantuan. Tanpa trik. Hanya satu amplop data di tangan kirinya. Dan selembar gambar crayon dari Gendis di kantong dalam jaketnya. Langit malam mendung. Udara diam. Bahkan jangkrik pun seolah takut berbunyi. Tepat pukul 00.00, mobil hitam tua meluncur pelan ke pinggir lapangan. Satu orang keluar. Jas abu gelap. Sarung tangan hitam. Langkahnya tenang, seolah ini pertemuan bisnis bia
Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau.Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi.Dan Anton… berubah.---Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan.Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama.Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap.Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada luka te
Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam.Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis.Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya.Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral.Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, atau... ta
Gedung Reformasi Kota kembali sepi keesokan harinya, tapi Anton tahu ketenangan seperti itu beracun. Tak ada yang benar-benar tenang setelah rapat kemarin. Dan tak ada yang benar-benar bersih setelah bersalaman. Dia duduk di ruang markas baru, ruang bawah tanah toko elektronik milik kenalan lama Yuda. Tempat itu sempit, tapi aman. Tak ada kamera, tak ada sinyal bocor, dan yang lebih penting: tak ada rapat. Rina duduk di seberangnya, memutar ulang rekaman suara Direktur Audit kemarin. “...Sama seperti sekarang,” ulangnya pelan. “Kalimat terakhirnya sebelum keluar. Om yakin dia bukan cuma provokator?” Anton menggeleng. “Dia terlalu tenang buat sekadar provokator. Dia bukan cuma tahu sistem… dia bagian dari sistem paling dalam.” Yuda membuka peta jaringan lembaga. “Gua telusuri nama dia—Bayu Arwin. Dulunya komisaris di tiga proyek kota, tapi datanya bersih. Terlalu bersih. Semua fotonya identik. Semua wawancaranya k
Malam itu, udara di markas semakin berat. Tidak ada suara tawa dari Luki, tidak ada celetukan sinis dari Yuda, dan Rina tak seperti biasanya yang sibuk mengetik atau mengatur sistem pemantauan. Semuanya berjalan seperti biasa, tapi ada yang berubah. Anton merasakannya sejak kembali dari gedung pertemuan itu.Ia duduk sendiri di ruangan kecil tempat ia biasa merancang strategi. Di meja ada tiga gelas kopi, satu tidak tersentuh. Ia menatap gelas itu lama, sebelum akhirnya memanggil mereka bertiga ke dalam ruangan.Mereka datang dalam diam. Luki duduk paling duluan, menyender di kursi dengan gaya santainya, tapi sorot matanya tak seperti biasanya. Yuda menyusul, membawa map data yang entah disengaja atau tidak, kosong. Rina masuk terakhir, membawa tablet di tangan dan raut wajah datar.Anton membuka pembicaraan tanpa basa-basi. "Ada yang bocorin lokasi rumah aman kita minggu lalu. Dan itu bukan organisasi yang nebak secara acak. Mereka tahu detail."Tidak ada yang langsung menjawab."Gua
Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam.Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis.Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya.Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral.Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, atau... ta
Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau.Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi.Dan Anton… berubah.---Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan.Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama.Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap.Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada luka te
Lapangan Bawah bukan tempat istimewa. Dulu bekas stadion kecil yang dibongkar setengah jadi untuk proyek reklamasi yang tak pernah selesai. Kini hanya tanah lempung lebar, dikelilingi tiang-tiang beton yang runcing, ditumbuhi rumput liar dan sepi dari kehidupan. Dan malam ini, tanah mati itu akan jadi saksi dua nama besar yang akhirnya muncul dari bayangan. Anton berdiri di pinggir lapangan. Pakaian serba hitam, jaket tempur lamanya kembali dipakai, pistol diselipkan, tapi tak terlihat. Ia datang sendirian, tanpa Luki, Yuda, atau Rina. Sesuai aturan yang ia buat sendiri. Satu lawan satu. Tanpa bala bantuan. Tanpa trik. Hanya satu amplop data di tangan kirinya. Dan selembar gambar crayon dari Gendis di kantong dalam jaketnya. Langit malam mendung. Udara diam. Bahkan jangkrik pun seolah takut berbunyi. Tepat pukul 00.00, mobil hitam tua meluncur pelan ke pinggir lapangan. Satu orang keluar. Jas abu gelap. Sarung tangan hitam. Langkahnya tenang, seolah ini pertemuan bisnis bia
Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga
Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas. Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam. Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?” Anton mengangguk. “Pagi.” “Pagi yang Om rancang buat perang?” tanyanya datar. Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang Om rancang untuk penutup.” Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?” “Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.” Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?” Anton menatapnya sejenak. “Enggak.” --- Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik. “Untuk ‘R’,
Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera
---Pagi itu, langit mendung menutupi seluruh kota. Rumah aman Anton yang selama ini tak pernah terendus musuh kini terasa berbeda. Terlalu sepi. Terlalu tenang.Rina duduk di dapur, menyesap teh hangat sambil membuka file dari hasil serangan malam tadi. Di layar laptopnya, angka-angka rekening tersembunyi masih terus bermunculan, seolah Kota Gelap menyimpan uang di setiap lubang yang ada.Anton masuk ke dapur, rambutnya masih acak-acakan, tanpa jaket kulit legendarisnya. “Udah minum?”Rina mengangguk. “Tapi gak bikin lupa kalau kita sekarang punya 200 miliar musuh.”Anton duduk di seberangnya, mengambil cangkir kosong. “200 miliar yang gak bisa bantu mereka kalau fondasinya ambruk.”“Om…” Rina menatapnya. “Kita gak bisa terus kayak gini. Kita serang mereka, mereka balas. Sampai kapan?”Anton tak langsung menjawab. Dia hanya menatap cangkirnya yang kosong, seolah jawaban bisa ditemukan di dasar keramik.Sebelum pembicaraan berlanjut, pintu masuk dibuka cepat. Luki masuk sambil membawa