Beranda / Thriller / Mafia Insyaf / Bab 3: Peringatan dari Si Tangan Besi

Share

Bab 3: Peringatan dari Si Tangan Besi

Penulis: Bang Thor
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-13 17:20:28

Malam di kota itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Anton duduk di meja kecil di sudut warung kopinya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Di luar, lampu jalan yang redup menerangi trotoar yang basah setelah hujan sore tadi. Aroma kopi masih tercium samar di udara, bercampur dengan hawa dingin malam. Tapi pikiran Anton tidak berada di sana. Dia memikirkan Reza—dan pesan tersirat di balik aksinya menculik Rina.

Luki duduk di seberang meja, mengaduk kopinya dengan santai. "Jadi, lu beneran bakal ngasih peringatan?" tanyanya, menatap Anton dengan mata menyipit.

Anton menghela napas dalam. "Bukan soal peringatan. Ini soal memastikan mereka nggak nyoba ngulangin hal yang sama."

Luki tersenyum kecil. "Itu artinya lu bakal turun tangan langsung?"

Anton mengangkat alis, matanya bersinar dingin. "Kalau gua nggak turun tangan, mereka bakal pikir gua udah lemah."

Luki tertawa pelan. "Jadi siapa target pertama?"

Anton memandang Luki sejenak. "Kita mulai dari yang paling gampang ditemuin. Donny."

Donny adalah tangan kanan Reza—seorang eksekutor yang dikenal kejam dan tidak kenal ampun. Kalau Reza berani menyentuh Rina, pasti Donny ikut terlibat. Anton tahu kalau ingin mengirim pesan jelas, Donny adalah titik awal yang sempurna.

Anton berdiri, menyambar jaket kulitnya dari sandaran kursi. "Kita selesaikan ini malam ini."

Luki ikut berdiri, menyeringai lebar. "Gua udah kangen lihat lu beraksi."

Anton menatap Luki sebentar. "Jangan senang dulu. Ini bukan buat main-main."

Luki mengangkat bahu. "Terserah. Tapi gua nggak bakal ketinggalan momen ini."

Mereka berdua melangkah keluar dari warung kopi. Anton menutup pintu dan mengunci rapat. Dia menoleh ke arah Luki. "Donny biasa nongkrong di mana sekarang?"

Luki menyalakan rokok dan mengisapnya dalam-dalam. "Klub malam di distrik timur. Dia ngurus bisnis di sana buat Reza. Kalau kita muncul di sana, mereka pasti langsung tahu kita nyari gara-gara."

Anton tersenyum dingin. "Itu yang gua harapkan."

Mereka masuk ke dalam mobil dan melaju ke distrik timur. Jalanan mulai ramai oleh orang-orang yang keluar menikmati malam. Lampu-lampu klub dan bar berkelap-kelip di sepanjang jalan, menciptakan suasana semu yang kontras dengan ketegangan yang Anton rasakan di dadanya.

Mobil berhenti di depan sebuah klub malam besar dengan papan neon merah menyala bertuliskan "Inferno." Musik bass berdentum keras dari dalam, membuat kaca mobil bergetar pelan. Dua penjaga berdiri di depan pintu masuk, tubuh mereka kekar dengan tatapan penuh waspada.

Anton dan Luki keluar dari mobil. Begitu penjaga melihat Anton, mereka langsung menegang. Salah satu dari mereka mencoba menghalangi jalan Anton, tapi Anton hanya menatapnya dingin. "Gua mau ketemu Donny."

Penjaga itu ragu sejenak. "Donny nggak nerima tamu malam ini."

Anton tersenyum tipis. "Kasih tahu Donny kalau Anton yang nyari dia."

Penjaga itu menelan ludah, lalu memberi isyarat pada temannya untuk masuk ke dalam. Anton dan Luki menunggu di depan pintu, tapi Anton tahu mereka tidak akan menunggu lama. Donny tahu siapa yang datang mencarinya, dan dia pasti cukup cerdas untuk tidak mengabaikannya.

Beberapa menit kemudian, penjaga itu kembali dan mengangguk pelan. "Masuk."

Anton dan Luki berjalan masuk ke dalam klub. Musik dan lampu berwarna-warni menyerang indra mereka. Lantai dansa penuh sesak oleh orang-orang yang menari, sementara asap rokok dan aroma alkohol memenuhi udara. Tapi Anton hanya fokus pada satu titik—ruang VIP di lantai dua.

Mereka menaiki tangga dan tiba di depan pintu kaca besar yang dijaga oleh dua orang bersenjata. Tanpa bicara, Anton membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan.

Donny duduk di sofa kulit hitam, kaki terangkat ke atas meja, sebatang cerutu di tangannya. Di sampingnya, dua perempuan muda duduk sambil tertawa kecil. Donny melirik Anton dan Luki dengan ekspresi santai.

"Anton…" Donny menyeringai. "Gua nggak nyangka lu bakal muncul secepat ini."

Anton berjalan ke depan Donny, matanya menatap tajam. "Lepasin mereka."

Donny mengangkat alis. "Siapa?"

Anton menatap tajam ke arah dua perempuan di samping Donny. Keduanya langsung berdiri dan pergi tanpa banyak bicara. Begitu pintu tertutup, Anton mencondongkan tubuh ke arah Donny.

"Lu tahu kenapa gua di sini."

Donny tertawa kecil. "Kalau soal Rina, itu bukan urusan gua. Itu perintah dari Reza."

Anton menyipitkan mata. "Lu ikut ambil bagian?"

Donny mengangkat bahu. "Gua cuma jalankan perintah, Ton. Lu tahu gimana sistemnya di dunia ini."

Anton berdiri tegak. Dalam hitungan detik, dia menarik Donny dari sofa dan menghantamkan kepalanya ke meja kaca. Meja itu pecah seketika, membuat Donny berteriak kesakitan.

Luki berdiri di dekat pintu, mengamati dengan tenang.

Anton mencengkeram kerah Donny dan menarik wajahnya yang penuh pecahan kaca ke arahnya. "Dengar baik-baik, Don. Kalau lu atau Reza sentuh keluarga gua lagi, gua bakal bikin kalian berdua nyesel pernah lahir ke dunia ini."

Donny terbatuk, darah menetes dari dahinya. "Lu… nggak bakal bisa kabur dari dunia ini, Ton. Lu udah bagian dari ini semua."

Anton menatap Donny dalam-dalam. "Gua nggak butuh kabur. Tapi gua bisa pastiin kalau lu nggak bakal hidup cukup lama buat lihat gua jatuh."

Anton melepaskan Donny, membiarkan tubuhnya terhuyung dan jatuh ke lantai. Donny mengerang kesakitan, memegangi kepalanya yang berdarah. Anton berbalik dan berjalan menuju pintu. Luki membuka pintu, menyeringai kecil. "Udah selesai?"

Anton menatap Donny sekali lagi. "Ini baru permulaan."

Saat mereka berjalan keluar dari klub, Anton bisa merasakan mata-mata orang di dalam klub tertuju padanya. Semua orang tahu siapa Anton. Semua orang tahu kalau Anton sudah pensiun. Tapi malam ini, mereka juga tahu satu hal baru—Anton masih sama seperti dulu.

Saat mereka kembali ke mobil, Luki menyalakan mesin. "Jadi, apa selanjutnya?"

Anton menatap keluar jendela, matanya dingin. "Selanjutnya, gua buat Reza nyesel karena nyentuh keluarga gua."

Luki tersenyum kecil. "Itu yang gua tunggu."

Mobil melaju pelan meninggalkan distrik timur. Anton tahu, ini baru awal dari perang yang akan datang. Tapi kali ini, dia tidak berjuang demi kekuasaan atau uang. Kali ini, dia berjuang demi keluarganya—dan untuk itu, dia siap menghabisi siapa saja yang berani menghalangi jalannya.

Malam itu, Anton sadar bahwa dia sudah kembali ke jalan lama. Tapi kali ini, dia yang pegang kendali penuh. Dan bagi siapa saja yang berani melawannya, hanya ada satu pilihan: tunduk atau hancur.

Mobil melaju pelan di jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya di aspal yang masih basah, menciptakan kilauan samar yang menyelimuti suasana malam. Anton duduk di kursi penumpang, matanya menatap kosong ke jalan di depan. Luki di belakang kemudi, sesekali melirik Anton dari sudut mata.

"Ton, gua tahu lu nggak pernah takut sama siapa pun. Tapi gua juga tahu ini nggak bakal selesai cuma dengan bikin Donny babak belur."

Anton tidak langsung menjawab. Dia menarik napas panjang, lalu memejamkan mata sejenak. "Gua tahu. Tapi ini bukan soal Reza atau Donny. Ini soal mereka yang pikir gua udah lemah."

Luki tertawa pelan. "Orang-orang mulai lupa siapa lu, Ton. Mereka pikir lu udah jadi warga sipil biasa."

Anton membuka matanya, sorot dingin di matanya kembali muncul. "Mungkin gua udah pensiun, tapi bukan berarti gua jadi orang lain. Kalau mereka pikir gua nggak punya nyali buat ngadepin mereka, mereka bakal tahu betapa salahnya pikiran itu."

Luki menyalakan rokok dan menyeringai. "Masalahnya, lu tahu dunia ini nggak bakal pernah benar-benar ngelepas lu, kan? Sekali lu masuk, lu nggak bisa keluar."

Anton menoleh ke arah Luki. "Kalau gua nggak bisa keluar, berarti gua harus bikin aturan baru."

Luki tertawa, embusan asap rokok keluar dari hidungnya. "Itu baru Anton yang gua kenal."

Saat mereka sampai di depan warung kopi, Anton turun dari mobil dan memandang bangunan kecil itu. Lampu di dalam masih menyala. Dari jendela, Anton bisa melihat Rina duduk di meja, tertidur dengan kepala tertunduk di atas lengannya. Wajahnya terlihat lelah, tapi tenang.

Anton berjalan masuk dan duduk di samping Rina. Dia menyentuh pelan rambut keponakannya, membuat Rina terbangun dengan tatapan mengantuk. "Om… udah pulang?"

Anton tersenyum kecil. "Udah. Om udah beresin urusan tadi."

Rina mengusap matanya. "Om nggak kenapa-kenapa, kan?"

Anton menggeleng. "Om baik-baik aja. Sekarang kamu tidur lagi."

Rina tersenyum kecil, lalu kembali menundukkan kepala dan tertidur. Anton memperhatikan wajah Rina yang damai, lalu menghela napas panjang. Dunia lamanya mungkin mencoba menariknya kembali, tapi Anton tahu sekarang dia memiliki alasan yang lebih besar untuk bertarung—Rina.

Luki masuk dan bersandar di ambang pintu. "Jadi, apa langkah selanjutnya?"

Anton menatap Luki sebentar, lalu berdiri. "Gua bakal kasih Reza waktu buat berpikir. Kalau dia cukup pintar, dia bakal ngerti pesan yang gua kasih lewat Donny."

Luki menyeringai. "Dan kalau dia nggak ngerti?"

Anton mengambil cangkir kopi di meja, menghirup pelan isinya, lalu menaruhnya kembali dengan suara pelan. "Kalau dia nggak ngerti, gua bakal datang lagi. Tapi kali ini, gua nggak bakal sekadar ngasih peringatan."

Anton berjalan menuju pintu dan memandang ke arah jalan yang gelap di luar. Dalam pikirannya, dia tahu ini belum selesai. Dunia bawah kota ini sedang bergolak, dan cepat atau lambat, semuanya akan meledak. Tapi Anton tidak takut. Dia sudah pernah melewati neraka sebelumnya—dan kalau dunia ini ingin membawanya kembali ke dalam kegelapan, Anton siap menyalakan api.

Di luar, angin malam berhembus pelan. Anton berdiri diam, matanya menyipit menatap ke kegelapan di ujung jalan. Luki berjalan ke sampingnya.

"Jadi, lu bakal perang lagi?"

Anton tersenyum tipis. "Kalau itu artinya gua bisa jaga orang-orang yang gua sayang… gua bakal perang sampai titik darah penghabisan."

Malam itu, Anton tahu satu hal pasti—dunia lama memang tidak akan pernah melepaskannya. Tapi kali ini, dia tidak akan jadi pion di permainan orang lain. Dia akan jadi pemain utama. Dan jika Reza atau siapa pun berpikir mereka bisa mengendalikan Anton, mereka akan belajar dengan cara yang paling brutal bahwa Si Tangan Besi masih memegang kendali penuh.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Mafia Insyaf    Bab 4: Api yang Mulai Menyala

    Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu tua di sudut warung kopi. Tangannya memegang cangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Di luar, matahari mulai muncul di balik gedung-gedung tua kota, memancarkan cahaya oranye pucat ke jalanan yang masih basah setelah hujan semalam. Warung kopinya sepi, hanya suara burung gereja yang terdengar dari luar jendela. Tapi Anton tahu, ketenangan ini hanya sementara.Luki masuk ke warung, membawa koran terlipat di tangannya. Dia melemparkan koran itu ke meja di depan Anton. "Lu udah lihat ini?"Anton mengangkat alis, lalu mengambil koran itu. Di halaman depan, terpampang foto Donny yang keluar dari klub dengan kepala dibalut perban. Wajahnya tampak lebam, dan tatapannya penuh kemarahan. Judul besar di bawah foto itu berbunyi: "Perang antar geng mulai memanas—Si Tangan Besi kembali?"Anton membaca artikel itu sekilas. Isinya penuh spekulasi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Anton memukuli Donny karena urusan bisnis yang belum selesai, sementar

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-13
  • Mafia Insyaf    Bab 5: Tak Ada Jalan Mundur

    Anton berdiri di balkon kecil di lantai dua warung kopinya. Dari sana, dia bisa melihat jalanan kota yang mulai sibuk di pagi hari. Orang-orang berlalu lalang, pedagang kaki lima mulai membuka lapak, dan suara kendaraan membentuk latar belakang yang samar. Tapi di balik hiruk-pikuk itu, Anton bisa merasakan ketegangan yang mulai merayap di bawah permukaan. Dunia bawah mulai bergolak. Semua orang tahu apa yang terjadi di gudang pelabuhan semalam—dan semua orang tahu bahwa Anton sudah kembali.Luki muncul di balik pintu balkon, membawa dua cangkir kopi. Dia menyerahkan salah satunya pada Anton. "Orang-orang udah mulai ngomong," kata Luki sambil menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon.Anton menyeruput kopi hitamnya. "Mereka ngomong apa?"Luki menyeringai. "Ada yang bilang lu bakal ambil alih lagi. Ada yang bilang lu bakal ngehabisin Reza sama semua orangnya. Ada juga yang bilang lu cuma kasih peringatan buat nutupin kelemahan lu."Anton menyipitkan mata. "Mereka pikir gua lemah?"Luki ter

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-15
  • Mafia Insyaf    Bab 6: Pertemuan di Gudang Tua

    Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus kencang di distrik utara, membawa aroma besi tua dan asap kendaraan dari pelabuhan. Gudang tua yang dimaksud dalam telepon itu berdiri di ujung jalan sempit yang gelap. Dindingnya terbuat dari baja yang sudah berkarat, dengan beberapa bagian atap yang hampir runtuh. Cahaya lampu jalan yang redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di lantai beton yang retak.Anton berdiri di depan pintu besi besar gudang itu, mengenakan jaket kulit hitam dan sepatu bot. Tangan kanannya menggenggam gagang pistol yang terselip di balik jaket. Luki bersandar di kap mobil di seberang jalan, memperhatikan Anton dengan tatapan waspada."Lu yakin ini ide bagus?" tanya Luki.Anton tidak menjawab. Dia menatap lurus ke pintu besi itu, rahangnya mengeras. "Gua harus tahu siapa yang ada di balik semua ini."Yuda berdiri di samping mobil, menyilangkan tangan di dada. "Kalau ini jebakan, kita bakal kesulitan keluar."Anton menoleh ke arah Yuda. "Itu kenapa

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-15
  • Mafia Insyaf    Bab 7: Musuh dalam Bayangan

    Malam sudah larut ketika Anton tiba di warung kopinya. Lampu di dalam masih menyala, meski suasananya sepi. Rina tertidur di kursi dekat jendela, kepalanya bersandar di atas lengannya. Anton berdiri di ambang pintu sebentar, memperhatikan keponakannya yang terlihat begitu damai di tengah kekacauan yang sedang ia hadapi.Luki dan Yuda masuk tak lama setelah Anton. Luki langsung duduk di meja dekat pintu, sementara Yuda berdiri dengan tangan di saku jaketnya, tatapannya serius."Jadi?" tanya Luki sambil melirik Anton. "Apa kesimpulan lu tentang Adrian?"Anton berjalan ke belakang meja kasir dan mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin. Dia membuka tutupnya dan meneguk pelan sebelum menjawab, "Adrian bukan pemain biasa. Dia punya pengaruh, koneksi, dan jelas bukan tipe yang gampang nyerah.""Dan sekarang dia tahu lu bukan orang yang gampang dipermainkan," tambah Yuda.Anton menyipitkan mata. "Itu masalahnya. Orang kayak Adrian ngg

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-16
  • Mafia Insyaf    Bab 8: Menyingkap Pengkhianat

    Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu di sudut warung kopi, menatap secangkir kopi hitam yang mengepulkan asap tipis di depannya. Di luar, sinar matahari samar-samar menyinari jalanan kota yang mulai sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa mampir ke warung kopi untuk membeli sarapan. Tapi Anton tidak memperhatikan semua itu. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Adrian. Luki dan Yuda duduk di meja yang sama. Luki menggulung lengan bajunya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi, sementara Yuda terlihat sibuk memeriksa ponselnya. "Orang-orang Adrian mulai bergerak," kata Yuda, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Dia ngerahin beberapa orang ke distrik selatan dan barat. Kelihatannya dia mulai bikin jaringan baru." Anton menyipitkan mata. "Itu artinya dia udah mulai nyiapin pergerakan besar." Luki menyeringai. "Dan kita bakal kasih kejutan sebelum dia sempat jalan." An

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-16
  • Mafia Insyaf    Bab 9: Perang Dimulai

    Malam terasa lebih kelam dari biasanya. Warung kopi Anton sudah tutup lebih awal, dan lampu-lampu di dalamnya dipadamkan. Anton duduk di meja paling belakang bersama Luki dan Yuda, peta besar kota terbentang di atas meja. Di peta itu, Anton telah memberi tanda pada beberapa titik penting—lokasi persembunyian anak buah Adrian, jalur distribusi ilegal di pelabuhan, dan titik-titik strategis yang bisa digunakan untuk memutus jaringan Adrian."Adrian udah mulai bergerak," kata Yuda, menusuk jarinya ke tanda merah di peta. "Orang-orangnya kelihatan di sekitar gudang di distrik barat tadi sore. Gua yakin mereka mulai mindahin barang ke tempat lain.""Dia tahu kita bakal nargetin jalurnya," tambah Luki. "Kalau kita mau hajar dia, kita harus gerak sebelum dia nutup semua celahnya."Anton menatap peta dengan mata menyipit. "Nggak. Kalau Adrian mulai mindahin barangnya, itu artinya dia panik. Kita biarin dia sibuk ngatur ulang posisi, sementara kita cari Inspektur R

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-17
  • Mafia Insyaf    Bab 10: Darah di Lantai Warung Kopi

    Suara tembakan pertama menggema keras di dalam warung kopi, memecah keheningan malam. Pria bersenjata yang berdiri di dekat pintu terhuyung ke belakang, darah merembes dari bahunya. Anton tidak menunggu lama. Dia melangkah masuk dengan cepat, menodongkan pistol ke arah pria kedua yang berdiri di samping Rina.Pria itu langsung mengangkat senjatanya, tapi Anton lebih cepat. Sebelum pria itu sempat menarik pelatuk, Anton sudah menembak lututnya. Pria itu berteriak kesakitan dan jatuh berlutut di lantai.Rina terkejut, matanya membelalak ketakutan. Tangan dan kakinya terikat dengan tali plastik, napasnya tersengal-sengal. Anton segera berlari ke arahnya, berjongkok, dan memotong tali di tangannya dengan pisau kecil dari saku jaketnya."Om…," suara Rina bergetar, matanya berkaca-kaca. "Gua takut…"Anton menggenggam wajah Rina dengan lembut, meski matanya penuh dengan ketegangan. "Gua di sini. Nggak ada yang bakal nyentuh lu lagi."Tiba-tiba,

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-17
  • Mafia Insyaf    Bab 11: Masuk ke Sarang Musuh

    Malam itu, langit kota diselimuti awan tebal, menyembunyikan cahaya bintang dan bulan. Jalanan di distrik utara terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah kota ini tahu bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi.Anton duduk di dalam mobil, mesin masih menyala pelan. Luki duduk di kursi penumpang, sementara Yuda dan tiga anak buah mereka berada di mobil lain yang berhenti beberapa meter di belakang. Anton menatap lurus ke depan, ke sebuah gedung tua yang berdiri megah di ujung jalan. Gedung itu dulunya adalah pabrik tekstil yang terbengkalai, tetapi sekarang menjadi markas utama Adrian. Lampu-lampu redup menyala di beberapa jendela lantai atas, dan dua pria bersenjata berjaga di pintu masuk.Anton mengambil sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya, dan mengisap dalam-dalam. Asap putih melayang pelan di dalam mobil, menciptakan bayangan samar di kaca depan.Luki melirik Anton. "Jadi, rencananya gimana?"Anton mengembuskan asap rokok. "Masuk, hancurkan segalanya, dan bawa Adrian kelua

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-17

Bab terbaru

  • Mafia Insyaf    Bab 25: Gadis Kecil dan Sebuah Pertanyaan Besar

    Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

  • Mafia Insyaf    Bab 23: Saat Semua Tak Lagi Aman

    ---Pagi itu, langit mendung menutupi seluruh kota. Rumah aman Anton yang selama ini tak pernah terendus musuh kini terasa berbeda. Terlalu sepi. Terlalu tenang.Rina duduk di dapur, menyesap teh hangat sambil membuka file dari hasil serangan malam tadi. Di layar laptopnya, angka-angka rekening tersembunyi masih terus bermunculan, seolah Kota Gelap menyimpan uang di setiap lubang yang ada.Anton masuk ke dapur, rambutnya masih acak-acakan, tanpa jaket kulit legendarisnya. “Udah minum?”Rina mengangguk. “Tapi gak bikin lupa kalau kita sekarang punya 200 miliar musuh.”Anton duduk di seberangnya, mengambil cangkir kosong. “200 miliar yang gak bisa bantu mereka kalau fondasinya ambruk.”“Om…” Rina menatapnya. “Kita gak bisa terus kayak gini. Kita serang mereka, mereka balas. Sampai kapan?”Anton tak langsung menjawab. Dia hanya menatap cangkirnya yang kosong, seolah jawaban bisa ditemukan di dasar keramik.Sebelum pembicaraan berlanjut, pintu masuk dibuka cepat. Luki masuk sambil membawa

  • Mafia Insyaf    Bab 21: Taktik Baru untuk Musuh Lama

    Tiga jam setelah insiden peresmian, markas darurat sunyi seperti kuburan. Suara AC tua berderit, suara kipas laptop Rina berdengung pelan, dan tak ada satu pun yang membuka mulut.Anton berdiri membelakangi semua orang, menatap papan strategi yang kini penuh coretan, peta, dan foto-foto tokoh penting. Ia menyandarkan kedua tangannya ke meja, kepalanya sedikit tertunduk.Yuda duduk dengan perban di bahunya, menahan nyeri sambil menyeruput kopi dingin. Luki duduk di pojokan, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Rina, yang biasanya sibuk mengetik atau bercanda, kini hanya memeluk lutut di kursinya.Akhirnya Anton bicara. Suaranya pelan, tapi padat. “Gua minta maaf.”Semua langsung menoleh.“Gua pikir kita bisa pakai metode lama—menyusup, ambil informasi, pukul keras, lalu keluar. Tapi ‘R’ bukan sekadar target. Dia sistem itu sendiri.”Yuda bergumam. “Gua gak nyangka dia bisa melacak gua dari jarak segitu.”

  • Mafia Insyaf    Bab 20: Sambutan Berdarah untuk Tamu Kehormatan

    Pagi hari satu minggu kemudian, kota berubah wajah. Spanduk-spanduk besar berlogo “Revitalisasi Menuju Masa Depan” bergelantungan di sepanjang jalan utama. Jalanan ditutup sebagian, aparat berjaga di sudut-sudut kota, dan kamera media disiapkan di setiap titik penting.Tapi di balik panggung peresmian proyek pemerintah, rencana lain juga sedang berjalan—lebih sunyi, lebih brutal.Di markas darurat, Anton menatap layar monitor yang menampilkan siaran langsung lokasi acara. Wajah Wali Kota tampak sumringah, berdiri di antara para pejabat sambil tersenyum ke kamera. Tapi bukan dia yang jadi incaran.Target utama mereka hari itu: “R” —sosok misterius yang sejauh ini hanya muncul lewat inisial, file terenkripsi, dan ancaman bayangan.“Kita yakin dia beneran dateng?” tanya Yuda sambil menyiapkan perangkat jammer komunikasi.Rina, yang kini mengenakan rompi relawan dan ID palsu, sudah berada di lokasi sejak pagi. Dari balik earpiece, suaranya terdengar jelas. “Barusan mobil hitam masuk lewat

  • Mafia Insyaf    Bab 19: Satu Langkah di Depan, Dua Langkah di Jurang

    Pagi harinya, Markas Darurat di lokasi baru—sebuah gudang bengkel tua di pinggiran kota—penuh dengan bunyi dentingan senjata, suara kipas rusak, dan sumpah serapah Luki yang entah untuk siapa. “Gua bener-bener gak ngerti,” katanya sambil menunjuk laptop yang mati total. “Ini laptop udah gua colok, gua reset, gua doain juga—tetep aja kagak nyala.” Rina berjalan melewati Luki sambil mengangkat alis. “Itu bukan laptop, Om. Itu toaster cap Toshiba.” Yuda tertawa. “Lu tuh nyiksa teknologi, bukan makenya.” Luki hanya melotot. “Gua nyiksa karena dia bandel.” Anton masuk ke ruangan sambil membawa berkas print-out data dari Damar. Wajahnya serius. Dia meletakkan map di meja dan langsung membuka halaman yang disorot. “Gua temuin sesuatu,” katanya. “Dari semua nama penyokong Kota Gelap, ada satu yang gak asing.” Yuda mencondongkan badan. “Siapa?” “Pak Walikota.” Semua langsung diam. “Serius?” tanya Luki. “Yang tiap Minggu suka foto pake kaos oblong depan pasar itu?” “Yang sama sekali

  • Mafia Insyaf    Bab 18: Masuk Tanpa Diundang, Keluar Bawa Masalah

    Lantai pabrik itu berderak tiap kali Anton melangkah. Gudang tua yang mereka susupi tidak hanya penuh debu dan peralatan berkarat, tapi juga penuh sensor tersembunyi dan perangkap kecil yang bikin stres. “Siapa sih yang nyusun tempat ini? Kevin McCallister dari Home Alone versi mafia?” gerutu Luki sambil menghindari kabel laser yang nyaris tak terlihat. Yuda di belakangnya nyaris kepeleset karena genangan oli. Anton tetap diam. Matanya menyisir setiap sudut. Mereka sudah melewati dua penjaga yang berhasil dijatuhkan diam-diam. Tapi yang mereka cari belum juga terlihat. Rina berbicara melalui earpiece dari jarak jauh. “Dua ruangan lagi ke kiri. Di balik dinding baja. Ada aktivitas data kuat dari titik itu.” “Lu yakin?” tanya Anton. “Yakin. Dan satu hal lagi,” kata Rina cepat, “ada dua sinyal ponsel aktif, tapi yang satu… ada di database kita.” Anton berhenti. “Maksud kamu?” “Itu nomor milik Damar.” Mereka semua menoleh. Damar adalah rekan lama Anton. Mantan informan yang dulu

  • Mafia Insyaf    Bab 17: Tawar-Menawar dengan Neraka

    Pagi masih belum benar-benar datang saat Anton duduk sendiri di balkon rumah aman. Angin dini hari membawa hawa dingin menusuk, tapi pikirannya terlalu panas untuk merasakannya. Kopi hitam dingin di tangannya tak disentuh. Di bawah sana, Luki dan Yuda masih sibuk memeriksa senjata dan mengatur logistik untuk penyusupan malam nanti. Rina keluar pelan dari kamarnya, mengenakan jaket oversized dan sandal hotel yang kedodoran. Rambutnya acak-acakan, tapi sorot matanya tajam. “Kopi kamu gak diminum. Sayang,” katanya sambil duduk di kursi sebelah. Anton menoleh dan tersenyum kecil. “Gak sempat mikirin rasa.” Rina menarik napas dalam. “Malam tadi… Om hampir bunuh diri, kan?” Anton diam. “Aku denger semuanya dari Luki. Kamu masuk ke tempat itu, dikelilingi senjata, dan tetep maksa negosiasi. Om pikir kamu siapa? John Wick?” Anton mengangkat alis. “Kamu tau siapa John Wick?” Rina menyandarkan kepala ke sandaran kursi. “Filmnya rating 17+, tapi kamu lupa aku punya VPN.” Anton menghela

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status