Anton berdiri di balkon kecil di lantai dua warung kopinya. Dari sana, dia bisa melihat jalanan kota yang mulai sibuk di pagi hari. Orang-orang berlalu lalang, pedagang kaki lima mulai membuka lapak, dan suara kendaraan membentuk latar belakang yang samar. Tapi di balik hiruk-pikuk itu, Anton bisa merasakan ketegangan yang mulai merayap di bawah permukaan. Dunia bawah mulai bergolak. Semua orang tahu apa yang terjadi di gudang pelabuhan semalam—dan semua orang tahu bahwa Anton sudah kembali.
Luki muncul di balik pintu balkon, membawa dua cangkir kopi. Dia menyerahkan salah satunya pada Anton. "Orang-orang udah mulai ngomong," kata Luki sambil menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon. Anton menyeruput kopi hitamnya. "Mereka ngomong apa?" Luki menyeringai. "Ada yang bilang lu bakal ambil alih lagi. Ada yang bilang lu bakal ngehabisin Reza sama semua orangnya. Ada juga yang bilang lu cuma kasih peringatan buat nutupin kelemahan lu." Anton menyipitkan mata. "Mereka pikir gua lemah?" Luki tertawa kecil. "Lu tahu sendiri gimana orang-orang di dunia ini. Kalau mereka lihat celah sekecil apa pun, mereka bakal nyerang." Anton menatap ke jalanan di bawah. Di seberang jalan, sebuah mobil hitam berhenti cukup lama. Anton bisa melihat dua pria di dalam mobil itu, menatap langsung ke arahnya. Mata Anton menyipit. "Kelihatannya mereka udah mulai nyari celah itu." Luki melirik ke arah mobil itu. "Mau gua samperin?" Anton menggeleng pelan. "Belum. Biar mereka lihat gua nggak ngumpet." Mobil hitam itu akhirnya pergi setelah beberapa menit. Anton memperhatikan mobil itu sampai benar-benar hilang di tikungan jalan. Dia tahu persis apa artinya itu—Reza sedang mengawasi, mencoba mencari tahu langkah Anton berikutnya. Tapi Anton tidak peduli. Kali ini, dia yang memegang kendali. Yuda muncul dari dalam, wajahnya terlihat tegang. "Bos, ada kabar." Anton menatap Yuda dengan dingin. "Apa?" "Reza nggak pergi dari kota ini. Dia malah mulai ngumpulin orang-orang dari luar kota. Beberapa orang lama yang dulu kerja buat lu juga mulai mendekat ke dia." Anton menyipitkan mata. "Siapa aja?" "Anton Si Kribo, Faruk, sama Malik." Anton tertawa kecil, tapi tawanya dingin. "Orang-orang yang dulu gua kasih makan sekarang malah ikut orang yang nyoba ngebunuh gua?" Yuda mengangguk. "Kelihatannya Reza janjiin mereka posisi tinggi kalau dia berhasil ngambil alih kota ini." Anton menatap ke kejauhan, rahangnya mengeras. "Kalau mereka pikir bisa naik di atas gua, mereka bakal tahu siapa yang sebenarnya masih pegang kuasa." Luki menatap Anton, matanya menyipit. "Jadi, kita hajar mereka duluan?" Anton menatap Luki dalam-dalam. "Kita kasih peringatan yang lebih keras. Gua mau mereka tahu kalau gua nggak main-main." Anton berjalan masuk ke dalam warung kopi dan mengambil jaket kulitnya dari gantungan. Dia menyelipkan pistol ke balik jaketnya, lalu berbalik menatap Yuda dan Luki. "Kita mulai dari Faruk. Dia biasa nongkrong di bar lama di distrik selatan, kan?" Yuda mengangguk. "Iya. Dia suka main kartu di sana sama orang-orangnya." Anton menyeringai kecil. "Kalau gitu, ayo kita bikin permainan mereka berakhir malam ini." Mereka bertiga masuk ke dalam mobil. Luki menyetir, sementara Anton duduk di kursi penumpang, dan Yuda duduk di belakang. Mobil melaju cepat menuju distrik selatan. Jalanan di distrik itu lebih sempit dan gelap, dipenuhi gedung-gedung tua dan gang-gang sempit yang dipenuhi bayangan. Luki memarkir mobil di depan sebuah bar tua dengan lampu redup di atas pintunya. Musik jazz samar terdengar dari dalam. Anton turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu, diikuti Luki dan Yuda. Dua penjaga di depan pintu menatap mereka dengan waspada. "Bos Faruk lagi nggak nerima tamu," kata salah satu penjaga. Anton menatap mereka dingin. "Kalau gitu, kasih tahu dia kalau Anton datang buat main kartu." Penjaga itu ragu sejenak, tapi akhirnya membuka pintu. Anton masuk ke dalam bar, matanya langsung menyapu ruangan. Di pojok ruangan, Faruk duduk di meja bundar, tertawa bersama tiga orang lainnya sambil memegang segelas wiski. Anton berjalan ke arah meja itu. Begitu Faruk melihat Anton, tawanya langsung terhenti. Wajahnya menegang. "Anton…" Anton duduk di kursi di seberang Faruk, menyandarkan punggung ke kursi dengan santai. "Faruk. Udah lama nggak ketemu." Faruk menelan ludah. "Gua nggak nyangka lu bakal dateng ke sini." Anton menyeringai. "Kenapa? Lu pikir gua bakal diem aja waktu lu ikut sama Reza?" Faruk mencoba tersenyum, tapi jelas terlihat ketakutan di matanya. "Ini… cuma urusan bisnis, Ton. Reza kasih tawaran bagus, dan gua—" Sret! Anton menarik pisau lipat dari sakunya dan menancapkannya ke meja, hanya beberapa inci dari tangan Faruk. Suara pisau yang menusuk kayu membuat ruangan langsung sunyi. Semua mata tertuju pada Anton dan Faruk. "Lu pikir gua bakal ngelihat ini sebagai urusan bisnis?" suara Anton rendah, dingin, dan penuh ancaman. Faruk terdiam, napasnya memburu. "T-tunggu… Anton, kita bisa bicara baik-baik…" Anton berdiri, mencondongkan tubuh ke arah Faruk. "Dengar baik-baik, Faruk. Kalau gua lihat lu berdiri di sisi Reza satu kali lagi… lu bakal kehilangan lebih dari sekadar jari tangan." Faruk menelan ludah. "Oke… o-oke… gua ngerti…" Anton mencabut pisaunya dari meja, lalu melangkah pergi. Tapi sebelum keluar, dia berbalik dan menatap semua orang di dalam bar. "Beri tahu Reza… Anton nggak pernah kalah. Kalau dia nyoba ngambil alih kota ini, dia bakal tahu seberapa dalam gua bisa main." Anton berjalan keluar diikuti Luki dan Yuda. Begitu mereka sampai di mobil, Luki tertawa pelan. "Lu lihat muka Faruk tadi? Kayaknya dia hampir ngompol." Anton tersenyum tipis, tapi matanya tetap dingin. "Dia bakal ngompol beneran kalau Reza nyoba cari masalah lagi." Yuda bersandar ke jok belakang. "Masalahnya, gua nggak yakin Reza bakal nyerah begitu aja." Anton menatap lurus ke depan. "Itu artinya kita harus siap buat perang besar." Luki menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan ke jalanan kota yang mulai gelap. Anton menatap keluar jendela, pikirannya mulai merancang langkah berikutnya. Reza dan orang-orangnya mungkin merasa punya kesempatan untuk naik ke atas, tapi Anton tahu cara kerja dunia ini. Di dunia bawah, kekuasaan tidak pernah diberikan—itu diambil dengan darah dan ketakutan. Dan jika mereka pikir Anton sudah kehilangan kendali, maka mereka baru saja membuat kesalahan terbesar dalam hidup mereka. Anton tersenyum kecil, tapi senyuman itu penuh dengan bahaya. "Kalau mereka mau perang, kita kasih mereka perang." Mobil melaju pelan di jalanan kota yang mulai gelap. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya samar di kaca mobil, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak mengikuti irama jalanan. Anton duduk diam di kursi penumpang, matanya menatap kosong ke luar jendela. Luki menyetir dengan tenang, sementara Yuda duduk di belakang, sesekali melirik ke arah Anton melalui kaca spion. "Gua nggak ngerti satu hal," kata Yuda akhirnya, memecah keheningan di dalam mobil. Anton tidak menoleh. "Apa?" "Kalau lu udah bikin Faruk ketakutan setengah mati, kenapa lu nggak langsung beresin dia sekalian?" Anton menyipitkan mata, memandang ke jalanan yang mulai sepi. "Karena gua nggak nyari masalah kecil. Gua nyari sumbernya." Yuda tertawa kecil. "Dan sumbernya jelas Reza." Anton mengangguk pelan. "Reza bukan masalahnya. Masalahnya adalah orang di belakang Reza." Luki melirik ke arah Anton. "Maksud lu?" Anton menghela napas panjang. "Reza nggak cukup pintar buat ngatur semua ini sendiri. Dia bukan tipe yang bikin rencana besar atau punya strategi yang terarah. Seseorang ngedorong dia ke posisi ini." Yuda menatap Anton dari kaca spion, matanya menyipit. "Lu pikir ada orang yang ngatur Reza dari belakang?" Anton menatap ke depan, wajahnya dingin. "Nggak cuma ngatur. Orang itu pakai Reza buat mancing gua keluar." Luki terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Kalau itu benar… berarti orang ini tahu siapa lu sebenarnya." Anton tersenyum tipis. "Dan itu artinya dia tahu gua bakal datang mencarinya." Tiba-tiba, ponsel Anton bergetar di sakunya. Anton mengambilnya dan melihat nomor tak dikenal di layar. Dia menatap ponsel itu sebentar sebelum akhirnya mengangkatnya. "Anton," kata suara di seberang telepon. Suara itu rendah dan terkontrol, penuh ketenangan yang mencurigakan. "Siapa ini?" tanya Anton dengan nada dingin. Orang di seberang telepon tertawa pelan. "Akhirnya kita bisa bicara. Gua udah nunggu momen ini sejak lama." Anton menyipitkan mata. "Kalau lu nyari masalah, gua bakal datang langsung ke tempat lu." "Tenang, Anton. Ini belum waktunya buat perang besar. Tapi kalau lu penasaran siapa yang nyusun semua ini…" Anton menegang. "Siapa?" "Kenapa gua kasih tahu sekarang? Lebih baik kita main dulu sebentar. Gua bakal kasih lu petunjuk kecil. Temui gua di gudang tua di distrik utara besok malam, jam sebelas. Datang sendiri… atau jangan datang sama sekali." Telepon terputus. Anton menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Luki melirik Anton. "Siapa?" Anton menyimpan ponselnya kembali ke saku jaket. "Gua nggak tahu… tapi gua bakal cari tahu." Yuda duduk tegak di kursinya. "Kalau ini jebakan?" Anton menatap ke depan, matanya dingin dan tajam. "Kalau ini jebakan, gua bakal pastiin yang masang jebakan itu nggak bakal hidup buat nyoba lagi." Luki tersenyum samar. "Kayaknya bakal jadi malam yang panjang." Anton tersenyum kecil, tapi sorot matanya dingin. "Kalau mereka pikir gua bakal main aman… mereka nggak tahu siapa Anton sebenarnya." Mobil melaju semakin cepat, menembus gelapnya malam yang semakin sunyi. Di kejauhan, lampu-lampu kota berkedip samar, seolah menjadi saksi bisu dari badai yang sebentar lagi akan meledak. Anton tahu, ini belum selesai. Ini baru permulaan. Dan kali ini, dia tidak akan sekadar bertahan—dia akan memburu orang di balik semua ini sampai ke akar-akarnya. Dan jika orang itu cukup berani untuk memancing Anton keluar dari bayang-bayang… maka dia juga harus siap menerima konsekuensinya.Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus kencang di distrik utara, membawa aroma besi tua dan asap kendaraan dari pelabuhan. Gudang tua yang dimaksud dalam telepon itu berdiri di ujung jalan sempit yang gelap. Dindingnya terbuat dari baja yang sudah berkarat, dengan beberapa bagian atap yang hampir runtuh. Cahaya lampu jalan yang redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di lantai beton yang retak.Anton berdiri di depan pintu besi besar gudang itu, mengenakan jaket kulit hitam dan sepatu bot. Tangan kanannya menggenggam gagang pistol yang terselip di balik jaket. Luki bersandar di kap mobil di seberang jalan, memperhatikan Anton dengan tatapan waspada."Lu yakin ini ide bagus?" tanya Luki.Anton tidak menjawab. Dia menatap lurus ke pintu besi itu, rahangnya mengeras. "Gua harus tahu siapa yang ada di balik semua ini."Yuda berdiri di samping mobil, menyilangkan tangan di dada. "Kalau ini jebakan, kita bakal kesulitan keluar."Anton menoleh ke arah Yuda. "Itu kenapa
Malam sudah larut ketika Anton tiba di warung kopinya. Lampu di dalam masih menyala, meski suasananya sepi. Rina tertidur di kursi dekat jendela, kepalanya bersandar di atas lengannya. Anton berdiri di ambang pintu sebentar, memperhatikan keponakannya yang terlihat begitu damai di tengah kekacauan yang sedang ia hadapi.Luki dan Yuda masuk tak lama setelah Anton. Luki langsung duduk di meja dekat pintu, sementara Yuda berdiri dengan tangan di saku jaketnya, tatapannya serius."Jadi?" tanya Luki sambil melirik Anton. "Apa kesimpulan lu tentang Adrian?"Anton berjalan ke belakang meja kasir dan mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin. Dia membuka tutupnya dan meneguk pelan sebelum menjawab, "Adrian bukan pemain biasa. Dia punya pengaruh, koneksi, dan jelas bukan tipe yang gampang nyerah.""Dan sekarang dia tahu lu bukan orang yang gampang dipermainkan," tambah Yuda.Anton menyipitkan mata. "Itu masalahnya. Orang kayak Adrian ngg
Pagi itu, Anton duduk di kursi kayu di sudut warung kopi, menatap secangkir kopi hitam yang mengepulkan asap tipis di depannya. Di luar, sinar matahari samar-samar menyinari jalanan kota yang mulai sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa mampir ke warung kopi untuk membeli sarapan. Tapi Anton tidak memperhatikan semua itu. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Adrian. Luki dan Yuda duduk di meja yang sama. Luki menggulung lengan bajunya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi, sementara Yuda terlihat sibuk memeriksa ponselnya. "Orang-orang Adrian mulai bergerak," kata Yuda, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Dia ngerahin beberapa orang ke distrik selatan dan barat. Kelihatannya dia mulai bikin jaringan baru." Anton menyipitkan mata. "Itu artinya dia udah mulai nyiapin pergerakan besar." Luki menyeringai. "Dan kita bakal kasih kejutan sebelum dia sempat jalan." An
Malam terasa lebih kelam dari biasanya. Warung kopi Anton sudah tutup lebih awal, dan lampu-lampu di dalamnya dipadamkan. Anton duduk di meja paling belakang bersama Luki dan Yuda, peta besar kota terbentang di atas meja. Di peta itu, Anton telah memberi tanda pada beberapa titik penting—lokasi persembunyian anak buah Adrian, jalur distribusi ilegal di pelabuhan, dan titik-titik strategis yang bisa digunakan untuk memutus jaringan Adrian."Adrian udah mulai bergerak," kata Yuda, menusuk jarinya ke tanda merah di peta. "Orang-orangnya kelihatan di sekitar gudang di distrik barat tadi sore. Gua yakin mereka mulai mindahin barang ke tempat lain.""Dia tahu kita bakal nargetin jalurnya," tambah Luki. "Kalau kita mau hajar dia, kita harus gerak sebelum dia nutup semua celahnya."Anton menatap peta dengan mata menyipit. "Nggak. Kalau Adrian mulai mindahin barangnya, itu artinya dia panik. Kita biarin dia sibuk ngatur ulang posisi, sementara kita cari Inspektur R
Suara tembakan pertama menggema keras di dalam warung kopi, memecah keheningan malam. Pria bersenjata yang berdiri di dekat pintu terhuyung ke belakang, darah merembes dari bahunya. Anton tidak menunggu lama. Dia melangkah masuk dengan cepat, menodongkan pistol ke arah pria kedua yang berdiri di samping Rina.Pria itu langsung mengangkat senjatanya, tapi Anton lebih cepat. Sebelum pria itu sempat menarik pelatuk, Anton sudah menembak lututnya. Pria itu berteriak kesakitan dan jatuh berlutut di lantai.Rina terkejut, matanya membelalak ketakutan. Tangan dan kakinya terikat dengan tali plastik, napasnya tersengal-sengal. Anton segera berlari ke arahnya, berjongkok, dan memotong tali di tangannya dengan pisau kecil dari saku jaketnya."Om…," suara Rina bergetar, matanya berkaca-kaca. "Gua takut…"Anton menggenggam wajah Rina dengan lembut, meski matanya penuh dengan ketegangan. "Gua di sini. Nggak ada yang bakal nyentuh lu lagi."Tiba-tiba,
Malam itu, langit kota diselimuti awan tebal, menyembunyikan cahaya bintang dan bulan. Jalanan di distrik utara terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah kota ini tahu bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi.Anton duduk di dalam mobil, mesin masih menyala pelan. Luki duduk di kursi penumpang, sementara Yuda dan tiga anak buah mereka berada di mobil lain yang berhenti beberapa meter di belakang. Anton menatap lurus ke depan, ke sebuah gedung tua yang berdiri megah di ujung jalan. Gedung itu dulunya adalah pabrik tekstil yang terbengkalai, tetapi sekarang menjadi markas utama Adrian. Lampu-lampu redup menyala di beberapa jendela lantai atas, dan dua pria bersenjata berjaga di pintu masuk.Anton mengambil sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya, dan mengisap dalam-dalam. Asap putih melayang pelan di dalam mobil, menciptakan bayangan samar di kaca depan.Luki melirik Anton. "Jadi, rencananya gimana?"Anton mengembuskan asap rokok. "Masuk, hancurkan segalanya, dan bawa Adrian kelua
Anton menyeret Adrian menyusuri lorong yang dipenuhi asap dan bau mesiu. Suara tembakan masih menggema di kejauhan, bercampur dengan suara langkah kaki berat yang bergerak mendekat. Luki berjalan di samping Anton, pistol terangkat, matanya waspada menatap ke setiap sudut lorong. "Anton, kita harus keluar dari sini sekarang," desis Luki. Anton menekan pistol ke punggung Adrian, membuat pria itu terhuyung ke depan. "Lu pikir gua bakal tinggal di sini selamanya?" Adrian tertawa kecil, meski napasnya berat. "Lu nggak bakal keluar hidup-hidup, Anton. Orang-orang gua udah siap di semua pintu keluar." Anton mencengkeram kerah Adrian lebih keras. "Kalau gua mati di sini, lu bakal ikut gua ke dalam kubur." Tiba-tiba, dari ujung lorong, dua pria muncul dengan senjata otomatis terangkat. Luki bergerak lebih dulu, menembak ke arah mereka. Satu peluru menghantam dada
Langit malam di atas kota dipenuhi awan gelap, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kegelapan. Anton duduk di kursi kayu di dalam warung kopi, rokok di tangannya mengepulkan asap tipis yang melayang ke udara. Di hadapannya, Luki dan Yuda duduk di meja yang sama, wajah mereka penuh ketegangan.Warung kopi itu sudah tutup. Rina tidur di kamar di lantai atas, aman di bawah pengawasan Reno yang kini resmi bekerja untuk Anton. Tapi Anton tahu—ini hanya ketenangan sementara sebelum badai yang lebih besar datang.Luki mengambil sebatang rokok dari sakunya dan menyulutnya. "Jadi… Adrian udah mati. Tapi kenapa gua ngerasa ini malah bikin semuanya makin rumit?"Anton menghembuskan asap rokok, tatapannya kosong. "Karena ini belum selesai."Yuda menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Pesan di ponsel Adrian…"Anton menyipitkan mata. "Kita harus cari tahu siapa yang kirim pesan itu."Luki tertawa kecil. "Kalau Adrian cuma bidak, berarti orang yang narik tali dari balik layar jauh l
Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga
Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera
Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera
---Pagi itu, langit mendung menutupi seluruh kota. Rumah aman Anton yang selama ini tak pernah terendus musuh kini terasa berbeda. Terlalu sepi. Terlalu tenang.Rina duduk di dapur, menyesap teh hangat sambil membuka file dari hasil serangan malam tadi. Di layar laptopnya, angka-angka rekening tersembunyi masih terus bermunculan, seolah Kota Gelap menyimpan uang di setiap lubang yang ada.Anton masuk ke dapur, rambutnya masih acak-acakan, tanpa jaket kulit legendarisnya. “Udah minum?”Rina mengangguk. “Tapi gak bikin lupa kalau kita sekarang punya 200 miliar musuh.”Anton duduk di seberangnya, mengambil cangkir kosong. “200 miliar yang gak bisa bantu mereka kalau fondasinya ambruk.”“Om…” Rina menatapnya. “Kita gak bisa terus kayak gini. Kita serang mereka, mereka balas. Sampai kapan?”Anton tak langsung menjawab. Dia hanya menatap cangkirnya yang kosong, seolah jawaban bisa ditemukan di dasar keramik.Sebelum pembicaraan berlanjut, pintu masuk dibuka cepat. Luki masuk sambil membawa
Tiga jam setelah insiden peresmian, markas darurat sunyi seperti kuburan. Suara AC tua berderit, suara kipas laptop Rina berdengung pelan, dan tak ada satu pun yang membuka mulut.Anton berdiri membelakangi semua orang, menatap papan strategi yang kini penuh coretan, peta, dan foto-foto tokoh penting. Ia menyandarkan kedua tangannya ke meja, kepalanya sedikit tertunduk.Yuda duduk dengan perban di bahunya, menahan nyeri sambil menyeruput kopi dingin. Luki duduk di pojokan, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Rina, yang biasanya sibuk mengetik atau bercanda, kini hanya memeluk lutut di kursinya.Akhirnya Anton bicara. Suaranya pelan, tapi padat. “Gua minta maaf.”Semua langsung menoleh.“Gua pikir kita bisa pakai metode lama—menyusup, ambil informasi, pukul keras, lalu keluar. Tapi ‘R’ bukan sekadar target. Dia sistem itu sendiri.”Yuda bergumam. “Gua gak nyangka dia bisa melacak gua dari jarak segitu.”
Pagi hari satu minggu kemudian, kota berubah wajah. Spanduk-spanduk besar berlogo “Revitalisasi Menuju Masa Depan” bergelantungan di sepanjang jalan utama. Jalanan ditutup sebagian, aparat berjaga di sudut-sudut kota, dan kamera media disiapkan di setiap titik penting.Tapi di balik panggung peresmian proyek pemerintah, rencana lain juga sedang berjalan—lebih sunyi, lebih brutal.Di markas darurat, Anton menatap layar monitor yang menampilkan siaran langsung lokasi acara. Wajah Wali Kota tampak sumringah, berdiri di antara para pejabat sambil tersenyum ke kamera. Tapi bukan dia yang jadi incaran.Target utama mereka hari itu: “R” —sosok misterius yang sejauh ini hanya muncul lewat inisial, file terenkripsi, dan ancaman bayangan.“Kita yakin dia beneran dateng?” tanya Yuda sambil menyiapkan perangkat jammer komunikasi.Rina, yang kini mengenakan rompi relawan dan ID palsu, sudah berada di lokasi sejak pagi. Dari balik earpiece, suaranya terdengar jelas. “Barusan mobil hitam masuk lewat
Pagi harinya, Markas Darurat di lokasi baru—sebuah gudang bengkel tua di pinggiran kota—penuh dengan bunyi dentingan senjata, suara kipas rusak, dan sumpah serapah Luki yang entah untuk siapa. “Gua bener-bener gak ngerti,” katanya sambil menunjuk laptop yang mati total. “Ini laptop udah gua colok, gua reset, gua doain juga—tetep aja kagak nyala.” Rina berjalan melewati Luki sambil mengangkat alis. “Itu bukan laptop, Om. Itu toaster cap Toshiba.” Yuda tertawa. “Lu tuh nyiksa teknologi, bukan makenya.” Luki hanya melotot. “Gua nyiksa karena dia bandel.” Anton masuk ke ruangan sambil membawa berkas print-out data dari Damar. Wajahnya serius. Dia meletakkan map di meja dan langsung membuka halaman yang disorot. “Gua temuin sesuatu,” katanya. “Dari semua nama penyokong Kota Gelap, ada satu yang gak asing.” Yuda mencondongkan badan. “Siapa?” “Pak Walikota.” Semua langsung diam. “Serius?” tanya Luki. “Yang tiap Minggu suka foto pake kaos oblong depan pasar itu?” “Yang sama sekali
Lantai pabrik itu berderak tiap kali Anton melangkah. Gudang tua yang mereka susupi tidak hanya penuh debu dan peralatan berkarat, tapi juga penuh sensor tersembunyi dan perangkap kecil yang bikin stres. “Siapa sih yang nyusun tempat ini? Kevin McCallister dari Home Alone versi mafia?” gerutu Luki sambil menghindari kabel laser yang nyaris tak terlihat. Yuda di belakangnya nyaris kepeleset karena genangan oli. Anton tetap diam. Matanya menyisir setiap sudut. Mereka sudah melewati dua penjaga yang berhasil dijatuhkan diam-diam. Tapi yang mereka cari belum juga terlihat. Rina berbicara melalui earpiece dari jarak jauh. “Dua ruangan lagi ke kiri. Di balik dinding baja. Ada aktivitas data kuat dari titik itu.” “Lu yakin?” tanya Anton. “Yakin. Dan satu hal lagi,” kata Rina cepat, “ada dua sinyal ponsel aktif, tapi yang satu… ada di database kita.” Anton berhenti. “Maksud kamu?” “Itu nomor milik Damar.” Mereka semua menoleh. Damar adalah rekan lama Anton. Mantan informan yang dulu
Pagi masih belum benar-benar datang saat Anton duduk sendiri di balkon rumah aman. Angin dini hari membawa hawa dingin menusuk, tapi pikirannya terlalu panas untuk merasakannya. Kopi hitam dingin di tangannya tak disentuh. Di bawah sana, Luki dan Yuda masih sibuk memeriksa senjata dan mengatur logistik untuk penyusupan malam nanti. Rina keluar pelan dari kamarnya, mengenakan jaket oversized dan sandal hotel yang kedodoran. Rambutnya acak-acakan, tapi sorot matanya tajam. “Kopi kamu gak diminum. Sayang,” katanya sambil duduk di kursi sebelah. Anton menoleh dan tersenyum kecil. “Gak sempat mikirin rasa.” Rina menarik napas dalam. “Malam tadi… Om hampir bunuh diri, kan?” Anton diam. “Aku denger semuanya dari Luki. Kamu masuk ke tempat itu, dikelilingi senjata, dan tetep maksa negosiasi. Om pikir kamu siapa? John Wick?” Anton mengangkat alis. “Kamu tau siapa John Wick?” Rina menyandarkan kepala ke sandaran kursi. “Filmnya rating 17+, tapi kamu lupa aku punya VPN.” Anton menghela