Perempuan itu masih berdiri di tempatnya, matanya menatap Aldric penuh kewaspadaan. Tangannya tetap menggenggam erat besi panjang yang bisa saja ia gunakan untuk menyerang. Aldric paham. Di dunia yang sudah hancur seperti ini, tidak ada yang bisa langsung percaya pada orang asing. "Aku Aldric," ucapnya, berusaha membuat nada suaranya tetap tenang. Perempuan itu tidak segera merespons. Napasnya masih berat, seakan menahan diri untuk tidak langsung melarikan diri atau menyerangnya. "Kalau kamu mau membunuhku, kamu pasti sudah melakukannya," katanya akhirnya. Aldric mengangguk. "Aku cuma cari tempat berlindung. Bukan musuhmu." Perempuan itu mengendurkan sedikit genggamannya pada besi di tangannya, tapi masih tetap berjaga-jaga. "Namaku Lyra," katanya lirih. Aldric mengamati Lyra lebih jelas sekarang. Bajunya kotor dan robek di beberapa bagian. Ada bekas luka di lengannya, tapi tampaknya bukan gigitan zombie. Rambutnya berantakan, dan matanya penuh kelelahan—seperti
Langit semakin gelap ketika Aldric dan Lyra menyusuri jalan-jalan yang sepi. Kota yang dulu ramai kini hanya berisi bangunan hancur, kendaraan terbengkalai, dan mayat-mayat yang membusuk di pinggir jalan. Mereka berjalan dengan hati-hati, menghindari zombie yang berkeliaran di kejauhan. "Tempatmu jauh?" tanya Lyra, suaranya pelan. Aldric menggeleng. "Tidak terlalu. Hanya perlu melewati dua blok lagi." Lyra mengangguk. Dia terus berjalan di samping Aldric, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Tiba-tiba, mereka mendengar suara aneh dari sebuah gang kecil di sebelah kanan. *"Grrhh..."* Lyra langsung meraih besi yang tadi ia gunakan sebagai senjata. Aldric juga bersiap dengan pisaunya. Dari dalam gang, muncul seorang pria. Bajunya compang-camping, wajahnya penuh luka. Bukan zombie. Pria itu masih hidup. "Tolong..." suaranya serak. "Jangan... bunuh aku..." Aldric menatapnya tajam. "Kau sendirian?" Pria itu m
Fajar baru saja menyingsing ketika Aldric membuka matanya. Udara di dalam tempat persembunyian terasa dingin, tapi itu lebih baik daripada di luar yang penuh bahaya. Di sudut ruangan, Lyra masih tertidur, sesekali menggerakkan tubuhnya dalam tidurnya yang gelisah. Finn juga masih terlelap di atas karpet usang. Aldric bangkit perlahan, meraih pisaunya, lalu berjalan ke jendela kecil yang tertutup papan kayu. Dia mengintip sedikit. Jalanan masih kosong, hanya ada mayat-mayat membusuk dan beberapa zombie yang berjalan tanpa arah. Dunia ini benar-benar sudah mati. Dia menghela napas. Persediaan makanan mereka cukup untuk beberapa hari ke depan, tapi air semakin menipis. Mereka harus keluar dan mencari suplai. Beberapa menit kemudian, Finn terbangun, diikuti oleh Lyra yang menguap panjang. "Apa rencananya hari ini?" tanya Lyra sambil merenggangkan tubuhnya. Aldric menoleh. "Kita butuh air. Aku tahu tempat yang mungkin masih punya persediaan." "Di mana?" tanya Finn, masih te
Aldric, Lyra, dan Finn berjalan cepat melewati gang-gang sempit dengan napas memburu. Mereka berhasil keluar dari toko sebelum keadaan semakin buruk, tapi itu tidak berarti mereka sudah aman. Jalanan di sekitar mereka sunyi, hanya ada bangunan kosong dan kendaraan yang ditinggalkan. Namun, keheningan itu justru lebih menakutkan daripada suara zombie. "Ayo percepat langkah," kata Aldric. Finn menyesuaikan tas di punggungnya. "Menurutmu, berapa lama tempat persembunyian kita bisa tetap aman?" Aldric tidak langsung menjawab. Dia tahu bahwa tempat mereka sekarang bukan benteng yang tak bisa ditembus. Jika jumlah zombie terus bertambah, atau jika ada orang lain menemukannya, mereka harus pergi lagi. "Kita bertahan selama mungkin," jawabnya singkat. Saat mereka berbelok di sebuah tikungan, Lyra tiba-tiba mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. "Ada apa?" tanya Finn. Lyra menunjuk ke depan. "Lihat itu." Mereka bertiga menoleh. Di ujung jalan, ada beberapa so
Langit mulai gelap saat Aldric, Lyra, dan Finn kembali ke tempat persembunyian mereka. Gudang tua yang selama ini mereka gunakan masih sunyi, tapi ada perasaan tidak nyaman yang merayapi pikiran Aldric. Dia tidak percaya dunia ini memberi mereka keberuntungan dua kali. “Kita harus cepat mengemas barang-barang,” kata Aldric sambil menutup pintu gudang dengan hati-hati. Finn langsung menuju ke tumpukan persediaan mereka di sudut ruangan. “Apa kita benar-benar harus pergi? Tempat ini sudah cukup aman.” “Untuk saat ini, iya,” kata Lyra sambil mengemasi barang-barangnya. “Tapi setelah pertemuan tadi, kita tak bisa ambil risiko.” Aldric berjalan ke arah jendela dan mengintip keluar. Jalanan kosong, tapi kegelapan mulai menyelimuti kota. “Kalau kita pergi sekarang, kita harus mencari tempat lain sebelum fajar,” katanya. Finn menghela napas dan mengangkat ranselnya. “Baiklah, aku ikut saja. Tapi aku harap tempat selanjutnya punya kasur yang lebih empuk.” Aldric tersenyum tip
Udara malam terasa dingin saat Aldric, Lyra, dan Finn berjalan melewati jalanan kota yang hancur. Lampu-lampu jalanan sudah lama mati, gedung-gedung berdiri seperti kuburan raksasa yang ditinggalkan manusia. Finn menggigil dan memeluk dirinya sendiri. “Aku benci malam. Terasa seperti ada sesuatu yang mengintai di setiap sudut.” Lyra tetap waspada, matanya meneliti setiap bayangan. “Karena memang ada sesuatu yang mengintai.” Aldric berjalan di depan, menggenggam pisaunya erat. Instingnya mengatakan mereka belum sepenuhnya aman. Mereka harus menemukan tempat berlindung sebelum fajar. Tiba-tiba, suara geraman rendah terdengar dari kejauhan. Mereka bertiga berhenti. Finn menelan ludah. “Itu…” Aldric mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam. Dari kegelapan, sosok-sosok bergerak lambat. Zombie. Banyak. Mereka berjalan terseok-seok, mata kosong mereka bersinar samar di bawah cahaya bulan. Finn berbisik, “Sial… kita harus putar balik?” Aldric melihat seke
Aldric berdiri di tepi atap, matanya mengamati kota yang sepi di bawah. Jalanan dipenuhi mobil-mobil terbengkalai, beberapa di antaranya masih menyisakan jejak darah yang sudah mengering. Di kejauhan, terdengar geraman samar. Zombie masih berkeliaran, mencari mangsa. Finn duduk bersandar di tembok, napasnya masih tersengal. “Kita nggak bisa terus kayak gini, Aldric. Kita harus cari tempat yang lebih aman.” Lyra mengangguk. “Aku setuju. Kita butuh makanan, air, dan tempat berlindung yang lebih layak.” Aldric menarik napas dalam. Mereka tidak bisa tinggal di sini selamanya. Dia menoleh ke kiri, dan matanya menangkap sesuatu yang menarik. Di kejauhan, ada sebuah gedung dengan lampu yang menyala. Jantungnya berdegup lebih cepat. “Lihat itu,” katanya, menunjuk ke arah gedung bercahaya itu. Finn menyipitkan mata. “Apa itu? Ada orang di sana?” Lyra juga ikut melihat. “Mungkin… atau mungkin itu jebakan.” Aldric mengerti kekhawatiran Lyra. Di dunia seperti ini, manusia
Aldric berdiri diam, tangannya perlahan terangkat. Finn dan Lyra melakukan hal yang sama. Pria bersenjata di atas gedung masih menodongkan senapannya ke arah mereka. Wajahnya tertutup syal hitam, hanya matanya yang terlihat tajam, penuh kewaspadaan. “Kalian siapa?” suara pria itu terdengar dalam dan tegas. Aldric menelan ludah. “Kami hanya lewat.” “Jangan bohong,” pria itu mempererat genggaman pada senjatanya. “Kalian jalan ke sini dengan sengaja. Kalian mau apa?” Lyra melirik Aldric, berharap ada solusi. Aldric tetap tenang. “Kami butuh tempat berlindung. Kami lihat ada cahaya di gedung ini. Kami pikir ada orang di sini.” Pria itu menatap mereka lama, lalu melirik ke belakang, seperti sedang memastikan sesuatu. “Kalian bawa senjata?” tanyanya. Aldric ragu. Mengatakan tidak mungkin akan membuat mereka terlihat lemah, tapi jika mengakuinya, pria ini mungkin akan men
Langkah-langkah berat menggema di jalanan yang hancur. Dari ujung gang yang gelap, puluhan sosok mulai muncul satu per satu. Mata mereka kosong. Gerakan mereka lamban, tetapi jumlah mereka… terlalu banyak. Marco menggertakkan giginya. “Mereka datang.” Aldric menarik napas dalam-dalam. “Kita harus pergi sekarang.” Mereka bertiga segera berlari ke arah berlawanan, melewati jalanan yang dipenuhi mobil-mobil terbengkalai. Di belakang mereka, gerombolan zombie mulai bergerak lebih cepat. Beberapa dari mereka **berlari.** Rhea melirik ke belakang. “Kenapa mereka bisa berlari?! Sejak kapan?!” Aldric tidak menjawab. Dia tahu jawabannya, tapi dia tidak ingin mengatakannya sekarang. Wabah ini… berevolusi. Zombie tidak lagi sekadar mayat hidup yang berjalan lambat. Beberapa dari mereka menjadi lebih kuat, lebih cepat, dan lebih pintar. Mereka sampai di s
Angin malam bertiup dingin, membawa aroma busuk yang semakin menusuk hidung. Aldric, Marco, dan Rhea berdiri di tengah jalanan yang gelap. Cahaya bulan samar-samar menerangi bangunan runtuh di sekitar mereka. Dari kejauhan, puluhan sosok berjalan terseok-seok. “Banyak sekali…” gumam Rhea dengan suara gemetar. Aldric menggenggam senjatanya erat-erat. “Kita harus segera pergi dari sini.” Mereka mulai berjalan perlahan, berusaha menghindari perhatian para zombie. Tapi saat mereka berbelok di sebuah gang sempit, mereka melihat sesuatu yang lebih buruk. Sebuah papan besar dengan tulisan pudar: **"SELAMAT DATANG DI RAVENWOOD."** Marco menelan ludah. “Kita di Ravenwood?” Aldric mengangguk pelan. “Ya. Dan itu kabar buruk.” Ravenwood dulunya adalah sebuah kota besar yang dipenuhi gedung pencakar langit. Tapi setelah wabah menyebar, kota ini berubah menjadi neraka
Langkah kaki di luar semakin mendekat. Aldric langsung menarik pisau dari sarungnya, sementara Marco menggenggam senjatanya erat-erat. Rhea melirik Wallace dengan tatapan tajam. “Apa mereka tahu kita ada di sini?” Wallace mengangguk pelan. “Mereka tahu.” Aldric merasakan amarah membuncah di dadanya. “Jadi kau benar-benar menjebak kami?” Wallace menghela napas. “Aku tidak punya pilihan.” Sebelum ada yang sempat bereaksi, suara ketukan terdengar dari pintu besi. *Tok... tok... tok.* Diikuti suara berat seseorang dari luar. “Aku tahu kalian di dalam.” Suara itu terdengar serak dan dalam, seperti seseorang yang sudah lama hidup di tengah kekacauan. “Buka pintunya… atau kami akan masuk dengan cara kami sendiri.” Rhea mencengkeram lengan Aldric. “Kita harus pergi sekarang!” bisiknya panik. Tapi sebelum mereka bisa bergerak, suara benturan
Aldric membeku di tempat. Di hadapan mereka, puluhan mayat yang berserakan mulai bergerak. Tangan-tangan kurus dengan kulit mengelupas berusaha bangkit, mulut-mulut membusuk terbuka, mengeluarkan geraman mengerikan. “Kita harus keluar dari sini,” bisik Marco, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Rhea menyalakan senter kecilnya dan menyapu ruangan. Tidak ada pintu lain. Satu-satunya jalan adalah kembali ke atas, tapi itu berarti kembali ke tempat para pemburu berada. “Aldric, keputusanmu!” Rhea menarik pisau dari sarungnya, bersiap bertarung jika diperlukan. Aldric berpikir cepat. Jika mereka bertahan di sini, mereka akan dikepung. Jika kembali ke atas, mereka bisa langsung ditembak. Tiba-tiba, dia melihat sesuatu di sudut ruangan. “Ke sana!” Dia menunjuk ke sebuah lubang ventilasi di sisi kanan ruangan. Besarnya cukup untuk mereka bertiga masuk satu per satu. Tapi sebelum
Aldric menatap sekeliling dengan cepat. Mereka terjebak di tangga darurat. Di atas, para pemburu sudah mengokang senjata. Di bawah, zombie terus bergerak naik, siap merobek daging mereka kapan saja. Tidak ada jalan keluar. “Kalau harus mati, aku ingin membawa satu orang bersama,” gumam Marco sambil mengencangkan genggaman pada parangnya. Rhea menarik napas dalam, masih berusaha berdiri setelah kakinya tertindih zombie tadi. “Kita tidak akan mati di sini.” Aldric mengangguk. “Kita lawan.” Tanpa peringatan, dia meraih sebuah kursi kayu yang terbengkalai di sudut tangga dan melemparkannya ke arah para pemburu. *BRAK!* Salah satu dari mereka kehilangan keseimbangan dan terjatuh menimpa zombie di bawah. Yang lain terkejut. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Marco dan Rhea yang langsung berlari maju. *Tembak!* Dor! Dor! Dor! Peluru menghantam di
*GRAAAAAKKKK!* Suara geraman dari bawah semakin nyaring. Aldric, Rhea, dan Marco menatap jalanan di bawah dengan napas tertahan. Ratusan zombie bergerak lambat, tetapi jumlah mereka terlalu banyak. Tubuh-tubuh membusuk itu berjalan terseok-seok, beberapa menyeret kakinya yang hampir putus. Marco menelan ludah. “Aku lebih baik ditembak daripada jatuh ke bawah sana.” “Kita tidak boleh membuat suara,” bisik Rhea. Mereka bertiga merangkak di atas atap, berusaha tidak menimbulkan bunyi sekecil apa pun. Namun… *Brak!* Sebuah batu lepas dari tepi atap dan jatuh ke jalanan. Suara itu menggema di antara bangunan-bangunan kosong. Seluruh zombie di bawah serentak menoleh. Kemudian— *GRAAAAAHHHH!* Mereka mulai berlari. Aldric membeku. “Sejak kapan mereka bisa berlari?!” “LARI!” Rhea menarik tangan mereka. Mereka
Gagang pintu berputar perlahan. Aldric, Marco, dan Rhea menahan napas. Di luar, langkah kaki berat terdengar jelas. Aldric meraih belati di ikat pinggangnya. Jika seseorang masuk, ia harus bertindak cepat. Pintu sedikit terbuka. Sebuah mata mengintip dari celah. Aldric bersiap melompat. Tapi kemudian… “Tidak ada di sini,” suara serak itu berkata. Pintu kembali tertutup. Mereka bertiga tetap diam, tidak bergerak sedikit pun. Langkah kaki di luar semakin menjauh. Butuh beberapa menit sebelum Rhea berani berbicara dengan suara pelan, “Kita harus keluar dari sini.” Marco mengangguk cepat. “Aku setuju. Aku tidak mau mati di tempat ini.” Aldric mendekati jendela dan mengintip ke luar. Kota mati terbentang di depan mata mereka, sepi dan mencekam. “Bagaimana kalau kita keluar lewat belakang?” usulnya. Rhea menggeleng.
Aldric, Marco, dan Rhea berlari keluar dari pintu belakang gudang. Udara dingin menerpa wajah mereka, tetapi mereka tidak bisa berhenti. Di belakang, suara langkah kaki bergema di dalam supermarket. Orang-orang itu sudah masuk. Rhea berbisik tajam, “Ikut aku!” Tanpa pikir panjang, Aldric dan Marco mengikutinya menelusuri gang sempit di belakang gedung. Aroma busuk dari mayat yang membusuk di dekat tempat sampah menyengat hidung mereka, tapi mereka tetap melangkah cepat. “Siapa mereka?” Aldric bertanya sambil berlari. “Kelompok pemburu. Mereka bukan penyintas biasa. Mereka memburu orang lain untuk bertahan hidup.” Marco menoleh dengan wajah ngeri. “Mereka… kanibal?” Rhea tidak menjawab, tetapi ekspresinya sudah cukup untuk memberi jawaban. Sial. Langkah kaki di belakang mereka semakin dekat. Suara-suara kasar terdengar jelas. “Di sana! Mereka lari ke gang belakang!”
Pagi datang dengan langit kelabu. Matahari hanya samar-samar menembus kabut tipis yang menyelimuti kota yang hancur. Aldric membuka matanya dan langsung siaga. Malam ini mereka selamat, tapi itu tidak berarti bahaya sudah berlalu. Di sudut ruangan, Lyra masih terjaga, menggenggam pistolnya erat. Marco tidur meringkuk di pojok dengan napas berat, sementara Finn menguap panjang saat bangun dari tidurnya yang tidak nyaman. “Sudah pagi?” Finn bergumam, mengusap matanya yang masih mengantuk. Aldric mengangguk. “Kita harus bergerak. Stok makanan kita habis. Kota ini luas, pasti ada sesuatu yang bisa kita temukan.” Lyra menghela napas, mengamati Marco yang masih terlelap. “Apa kita benar-benar bisa percaya dia?” Aldric menatap Marco sejenak. “Dia lemah, kelaparan, dan sendirian. Aku tidak melihat alasan dia berbohong.” Finn berdiri, meregangkan tubuhnya. “Kalau begitu, ayo kita mulai berburu. Aku tidak m