Kematian seorang wanita muda yang belum terungkap dan masih menjadi sebuah misteri ini membuat kedua gadis yang baru pindah ke sebuah rumah di hantui sosok hantu wanita dan sering terdengar jeritan ataupun suara minta tolong.Berbagai kejadian aneh terus dialami oleh mereka. Kedua kakak beradik ini pun kemudian mencari tahu dan menyelidikinya semua hal yang mereka alami setelah tinggal beberapa hari di rumah tersebut.Berawal dari ruang tengah yang berada di rumah tersebut, terungkaplah sedikit demi sedikit misteri yang terjadi. Namun hampir saja misteri itu terungkap, nyawa mereka dalam bahaya. Bahkan Revan dan Bagas ikut terseret.
View MoreHari itu cuaca sedikit mendung, gumpalan awan hitam menari-nari di langit, sesekali gumpalan awan hitam itu menutupi sang matahari. Gulungan-gulungan mendung yang sanggup menutupi keindahannya, redup sesaat kemudian menyengat lagi. Seperti itulah keadaan cuaca hari itu, cuaca yang di bilang masih bisa di ajak bersahabat. Cakrawala kala itu yang cukup exotis.
Sebuah mobil Ayla berwarna kuning melaju di jalanan kota, menembus ramainya jalanan kota siang itu. Mobil melaju ke sebuah komplek perumahan dan berhenti di salah satu rumah dengan gaya minimalis modern. Rumah yang berdiri sendiri dengan cat dinding berwarna biru langit dan sedikit kusam warnanya.
Mobil berhenti tepat di depan rumah itu, nampak seorang pria mendekati mobil tersebut dan membukakan pintu mobil. Seorang wanita berumur sekitar 40 tahun keluar dari mobil, melepaskan kacamatanya dan menebarkan pandangan matanya ke sebuah rumah yang berdiri di depannya.
Wanita berusia 40 tahun nampak berjalan mengelilingi rumah. Dia berjalan dari halaman depan ke sudut belakang rumah. Matanya menelitik dan mencermati tiap detail sudut rumah tersebut. Rumah bergaya minimalis modern ini terlihat sangat unik dan elegan.
"Rumah yang bagus. Aluna dan Alena pasti sangat menyukainya." beonya pelan.
Wanita yang biasa di panggil tante Nita oleh Aluna dan Alena ini memang sengaja membeli sebuah rumah untuk hadiah ulang tahun kedua keponakannya yang ke-25.
Rumah yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil untuk ditinggalin. Rumah minimalis modern dengan halaman yang luas dan nampak sebuah taman yang sudah di tanami bermacam-macam bunga, mengingat Aluna dan Alena sangat menyukai tanaman.
Tante Nita masih berjalan menelitik rumah tersebut dengan ditemani mang Dadang supir pribadinya beserta pak Hadi, orang yang diberi amanah untuk mengurus dan merawat rumah tersebut sambil membantu menawarkan rumah itu untuk di kontrakan atau di jual. Sampai pada akhirnya rumah tersebut di beli oleh tante Nita.
"Pak Hadi, boleh saya melihat-lihat bagian dalamnya?" tanya tante Nita.
"Oh, tentu saja boleh." ucap pak Hadi tersenyium sumrinah, lalu dia merogoh kunci di saku celananya dan membuka pintu rumah tersebut. Mempersilakan sang tamu atau calon pembeli rumah untuk masuk ke dalam dan melihat-lihat keadaan di dalam rumah tersebut.
"Apa rumah ini akan di jual beserta dengan isinya?" tanya wanita berumur 40 tahun itu.
"Iya Nyonya." jawab pak Hadi.
Tante Nita tersenyum mendengar jawaban dari pak Hadi, "bagus dong kalau di jual beserta isinya, jadi tidak perlu susah payah untuk memindahkan barang-barang."
"Apa Anda yang akan menempati rumah ini, Nyonya?" tanya pak Hadi pada tante Nita.
"Panggil saja saya bu Nita," wanita itu tersenyum, "hmm ... tidak, aku akan membeli rumah ini untuk kedua ponakanku sebagai hadiah ulangtahun mereka berdua."
"Oh, Saya kira untuk di tempati orang yang sudah berkeluarga. Kalau untuk orang yang masih single, rumah ini Saya rasa cukup." pak Hadi menatap tante Nita dan mang Dadang.
Wanita tersebut menelusuri tiap ruang yang ada di dalam rumah tersebut. Dia pun mengangguk-anggukan kepalanya sambil sesekali meneliti tiap sudut ruangan dan menyentuh dinding rumah tersebut. Warna cat memang sudah agak kusam dan ada beberapa yang mengelupas.
"Sepertinya sebelum di tempati harus di perbaiki dulu, aku lihat ada beberapa yang keropos dan warna cat sudah kusam. Ada yang sedikit mengelupas. Jangan lupa atapnya juga di cek ya, kalau ada yang bocor," cicit tante Nita.
"Itu nanti sebelum di tempati, akan kami perbaiki dulu dan mengecat ulang tembok-temboknya serta mengecek keseluruhan rumah ini," balas pak Hadi.
"Ah, jangan lupa keran air juga, tadi aku cek airnya tidak keluar dan kamar mandinya juga berkerak," tante Nita menatap pak Hadi.
"Bu Nita tak perlu khawatir, sebelum di tempati kedua ponakan bu Nita, Saya pastikan semua sudah beres," sahut pak Hadi.
"Apa waktu seminggu cukup?" tanya tante Nita.
Pak Hadi terdiam sejenak, seolah berpikir. "Saya rasa lebih dari cukup." jawab pak Hadi. Tante Nita menganggukkan kepalanya. "Saya tinggal tak jauh dari perumahan ini kok. Jika ada apa-apa bu Nita atau kedua ponakan bu Nita nanti bisa mencari rumah Saya. Rumah Saya ada di ujung jalan sana, cuma selisih tujuh rumah dari sini." pak Hadi menunjuk ke arah selatan dan tante Nita mengikuti jari telunjuk pak Hadi.
"Apa pak Hadi tinggal sendiri?" tanya mang Dadang.
"Saya tinggal bersama istri dan anak Saya, Mang," jawab pak Hadi.
Sesaat tante Nita menatap sekeliling rumah tersebut. Rumah itu memang berdiri sendiri tak jauh dari beberapa rumah yang ada di komplek tersebut.
"Pak Hadi!" panggil tante Nita yang berdiri di ambang pintu menatap suasana di luar rumah.
"Iya, Bu!" jawab pak Hadi yang sedikit berlari dari dalam rumah menuju tempat tante Nita berdiri.
"Apa di sini ramai jika menjelang malam?" tanya tante Nita.
"Ya, lumayan Bu. Biasanya ada beberapa penjual nasi goreng atau bakso lewat. Kalau pagi pun ada abang tukang sayur keliling di komplek," jelas pak Hadi.
"Syukurlah kalau begitu, Pak!" sahut wanita tersebut.
"Maksud bu Nita?" tanya pak Hadi.
"Maksud Saya itu syukurlah kalau ada abang-abang yang jualan kalau malam hari. Jadi tak perlu susah-susah kalau merasa lapar ketika hari sudah malam." cicit wanita berumur 40 tahun itu.
"Jadi?" pak Hadi menegaskan.
"Saya ambil rumah ini, Pak!" jawab tante Nita. "Tapi harus sudah beres ya, ketika kedua keponakan Saya mau menempatinya."
"Beres bu Nita. Serahkan pada Saya, pasti semua beres." ucap pak Hadi di barengi dengan gelak tawanya. "Saya pun mau kok kalau di suruh mencangkulkan tanah di taman depan," tawar pak Hadi.
"Itu bisa di pikir nanti, Pak. Mungkin besok atau lusa, kedua ponakanku akan kesini untuk melihat-lihat keadaan rumah ini." kata tante Nita yang duduk di sebuah kursi kayu dan membuka tas yang dia tenteng.
"Siap, Bu. Jangan sungkan mah kalau sama Saya. Ada apa-apa bisa cari Saya di rumah. Saya siap membantu." pak Hadi pun duduk di depan bu Nita, sedang mang Dadang berdiri di sebelah tante Nita.
Tante Nita membuka tasnya dan merogoh sesuatu di dalamnya. Setelah itu dia menarik tangannya yang sudah memegang sebuah amplop coklat.
"Maaf, bu Nita. Apa tidak sebaiknya bu Nita menunggu pak Handoko saja. Jadi bu Nita bisa langsung membayar uang rumah pada pak Handoko. Saya hanya pelantara saja dan hanya di beri amanah untuk mengurus rumah ini," saran pak Hadi.
"Lalu kapan pak Handoko sampai?" tanya tante Nita melirik jam tangannya dan memasukan lagi amplop coklat ke dalam tas.
"Mungkin sebentar lagi pak Handoko sampai," balas pak Hadi.
Tak lama setelah itu, sebuah mobil Nissan X-trail berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah. Seorang pria berkacamata hitam turun dari mobil.
"Nah itu, pak Handoko sudah datang." ucap pak Hadi yang melihat seorang pria turun dari mobil.
Pria tersebut melangkah masuk ke dalam rumah. Dia melepaskan kacamatanya dan memasukkan ke dalam saku bajunya.
"Maaf, Saya datang telat!" ucapnya sedikit meninggikan suaranya. "Bu Nita? Saya Handoko pemilik rumah ini." mengulurkan tangannya.
Tante Nita tersenyum dan menyambut uluran tangan pria tersebut, "iya saya Nita, calon pembeli rumah ini."
"Bagaimana, apa Anda sudah melihat-lihat sekeliling rumah ini?" tanya pak Handoko.
"Sudah Pak, Saya sudah melihat-lihat sekeliling rumah bersama pak Hadi. Bahkan sampai belakang pun, rumah ini berbeda dengan yang lainnya. Halaman dan taman cukup luas." ucap tante Nita.
"Ya, begitulah!" pak Handoko tertawa nyaring. "Jadi bagaimana, Bu?" tanyanya pada tante Nita.
"Saya sudah cocok tapi Saya minta sebelum di tempati, semua kerusakan pada bagian yang telah keropos, cat yang kusam bahkan ada yang mengelupas dan keran air juga kamar mandi bisa di perbaiki." jelas tante Nita pada pak Handoko.
"Soal itu bisa di bicarakan dengan pak Hadi!" jawabnya.
Tante Nita mengangguk, kemudian dia merogoh tasnya lagi dan mengeluarkan sebuah amplop coklat. Lalu, tante Nita memberikan amplop itu kepada pak Handoko.
"Ini uangnya, pak Handoko bisa menghitungnya terlebih dahulu." saran tante Nita.
Pak Handoko menerima amplop coklat dari tante Nita. "Tidak perlu, Bu. Saya percaya pada Anda," ucap pak Handoko berdiri dari duduknya tanpa menghitung uang yang ada di dalam amplop coklat tersebut. "Baiklah bu Nita, Saya permisi dulu. Hari ini Saya sangat sibuk. Untuk urusan yang lain, Anda bisa membicarakannya dengan pak Hadi." pak Handoko menatap pak Hadi dan pria berumur 45 tahun itu menganggukkan kepala. Pak Handoko segera pergi berlalu dari rumah itu.
"Benar-benar orang yang super sibuk." lirih tante Nita. "Pak Hadi, lalu bagaimana ongkos biaya perbaikan rumahnya? Apa Saya serahkan semua pada pak Hadi?" tanya tante Nita menatap pak Hadi.
"Saya mah nurut saja sama bu Nita." ucapnya sedikit medok.
"Pak Hadi asli orang mana?" tanya tante Nita basa-basi.
"Saya orang Jawa Tengah, Bu." jawab pria tersebut.
"Oalah, aku kira pak Hadi teh orang Sunda." canda tante Nita. Pak Hadi pun ikut tertawa. "Baiklah, Pak. Uang perbaikan rumah ini, aku titipkan sama pak Hadi saja ya. Tolong pak Hadi urus perbaikan rumah ini sampai layak untuk di huni." pinta tante Nita.
"Siap, Bu!" ucap pak Hadi di selingi canda tawa.
Tante Nita mengeluarkan sebuah amplop coklat kecil dan memberikannya pada pak Hadi.
"Jika nanti kurang, pak Hadi bisa menghubungi Saya." tante Nita mengulurkan amplop itu pada pak Hadi, lalu wanita itu juga memberikan sebuah kartu nama. "Pak Hadi nanti bisa menghubungi Saya di nomor ini."
"Terima kasih, bu Nita." sahut pak Hadi.
"Sayalah yang seharusnya berterimakasih pada pak Hadi," tante Nita berdiri dan meraih tasnya. "Baiklah Pak, Saya permisi dulu. Hari sudah mulai sore."
Tante Nita melangkah keluar dari rumah, di ikuti pak Hadi yang langsung mengunci pintu rumah itu. Sesaat sebelum tante Nita masuk ke dalam mobil.
"Pak, diusahakan secepatnya ya!"
"Baik, Bu!"
Tante Nita masuk ke dalam mobil dan menaruh tas di sampingnya.
"Mang Dadang, ayo jalan!" ucapnya.
"Baik, Nyonya!" jawab supir pribadi tante Nita. Mang Dadang melirik kaca di atasnya dan melihat tante Nita tersenyum. "Nyonya kelihatan bahagia sekali." tanyanya.
"Tentu saja, Mang. Gimana tidak bahagia, bisa membeli rumah dengan harga murah untuk ponakan tercinta." jawab tante Nita.
"Maaf nih Nyonya, bukan Mamang mau seuzon tapi tadi Mamang merasakan hawa yang berbeda di rumah itu!" ucap mang Dadang.
"Ah, itu hanya perasaan Mamang saja. Makanya jangan terlalu sering nonton film horor, Mang. Jadi parno, kan!" ledek tante Nita.
Mendengar hal itu mang Dadang hanya nyengir.
Betul juga, mungkin hanya perasaanku saja!
***
::: TBC :::
January 29, 2020.
💜
HenZie
"Aneh?" Revan dan Mang Dadang menatap Bagas. "Iya, aneh." Bagas membalas menatap ke duanya dan setelah itu kembali menatap langit-langit ruang depan. Bagas merasa selama dirinya tidur, dia merasa seperti menjadi tahanan di alam lain. Ya, Bagas dan Alena menjadi tahanan sosok misterius ber-dress merah. Bagas berdecak dan kembali menoleh ke arah Revan. "Ah, sudahlah tidak perlu dipikirkan. Aku mau istirahat dulu." Bagas memejamkan matanya. Revan kembali menatap Mang Dadang dan mengangkat bahunya. Di dalam kamar, tampak Alena duduk di atas kasur lipat. Dia memperhatikan Tante Nita yang membereskan pakaiannya dan memasukkannya ke dalam lemari. Lalu wanita itu membalikkan badannya dan berjalan mendekati Alena. "Kau bisa istirahat dulu. Aluna sedang membuatkan-mu teh hangat." Tante Nita membelai surai hitam Alena. Tidak lama setelah itu Aluna masuk ke dalam kamar dan menaruh gelas berisi te
Setelah semua berlalu hal itu lantas tidak membuat Aluna bahagia. Pasalnya Aluna belum tenang sama sekali, karena saudara kembarnya masih tertidur pulas di rumah sakit. Gadis itu mulai merindukan masa-masa bersama dengan Alena dan dia juga tidak sanggup kalau harus kehilangan Alena. Bagi Aluna, Alena adalah semangatnya. Dia adalah satu-satunya keluarga yang Aluna punya.Hari itu, Aluna masih menunggu tukang bangunan yang harus memperbaiki lantai di ruang tengah. Sebetulnya para tukang bangunan agak ketakutan mengerjakan pekerjaan tersebut. Namun pada saat itu Tante Nita, Mang Dadang, Bi Inah, dan juga Pak Kyai Khusni datang ke rumah Aluna. Pak Kyai pun mengirimkan doa untuk mereka semua agar tidak lagi bergentayangan di dunia ini.Rumah Aluna saat itu menjadi ramai karena Tante Nita dan yang lainnya memang berniat untuk menginap di rumah Aluna. Hari itu setelah mereka mengunjungi Alena dan Bagas di rumah sakit, mereka bercakap-cakap sampai
Sekian lama kasus pembunuhan wanita muda yang dikenal memiliki banyak kekayaan peninggalan dari keluarga besarnya ini ditutup karena tidak menemukan titik terang. Namun sekarang titik terang tersebut sudah mulai muncul.Dentingan suara musik yang dihasilkan dari kotak musik membuat Handoko gelisah dan panik. Dua bola matanya berjelalatan melihat ke seluruh ruang tengah tersebut. Dia merasakan ada dua pasang mata sedang mengawasi dirinya. Lalu sekelebat bayangan melintas di sisi kanannya. Handoko membalikkan badannya, namun dia tidak mendapatkan apapun. Bayangan itu pergi entah ke mana. Lalu Handoko dibuat kaget lagi, karena sebuah sentuhan lembut di tangannya. Dia pun dengan cepat mengibaskan-nya dan lagi dia tidak menemukan siapapun di ruang itu. Gadis yang duduk terikat di depannya tidak sadarkan diri, sedangkan pemuda yang Handoko pukul dengan sekop pasir masih pingsan.Lalu siapa dia?Berkali-kali Handoko dibu
Hanya butuh satu petunjuk lagi untuk membuka gembok terakhir misteri-misteri yang mereka alami. Semakin hari semakin terbuka titik terangnya. Aluna pun berharap dia akan datang lagi menemui dirinya di dalam mimpi ataupun mungkin dengan petunjuk lainnya.Kejadian di Soul Cafe kemarin juga diceritakannya pada Aiptu Anang. Pelan-pelan mereka semua bergerak untuk memancing sang target. Siapa lagi kalau pelaku pembunuhan yang pernah terjadi di rumah tersebut."Bagaimana kita akan memancing dia?" tanya Aluna. "Sedangkan aku belum menemukan petunjuk lagi," imbuhnya."Kalau menurut feeling-ku, petunjuk itu akan segera dia tunjukan," sambung Revan."Lalu bagaimana dengan halaman belakang?""Urusan halaman belakang, kita akan mengerjakannya pelan-pelan. Anggap saja kita sedang berenang sambil minum air, betul tidak, Van?" ujar Aiptu Anang."Yups, betul sekali. Kita
Tante Nita duduk termenung di taman rumahnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Sesekali dia menyeruput teh hangat buatan Bi Inah.Menghela napas panjang saat dia teringat kejadian itu. Di mana dia bertemu dengan Saras sahabatnya dan di tidak menyangka jika hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Saras.Flashback on,Soul Cafe, Jakarta, 29 Maret 2018."Selamat siang Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pramusaji."Saya sudah booking tempat atas nama Saras," jawab Nita ramah."Oh, Nona Nita, ya. Anda sudah ditunggu Nona Saras." Pramusaji itu menunjuk tempat duduk paling ujung dan di sana telah duduk seorang wanita dengan dress warna merah."Terima kasih ya Mbak." Nita melangkah dengan senyuman yang merekah di bibirnya. Dia langsung duduk di depan Saras.
Teror masih terus terjadi di rumah Handoko. Pria berkumis tersebut selalu dibuat spot jantung. Berbeda dengan teror yang di alami oleh Revan atau Aluna. Mereka datang hanya bermaksud untuk meminta tolong, akan tetapi tetap saja cara mereka yang muncul tiba-tiba dengar wujud yang menakutkan membuat orang-orang kaget dan spot jantung. Hal itu juga dirasakan oleh Haris. Pria tampan dan juga masih ada ikatan saudara dengan Handoko, serta beberapa kasus yang belum terungkap. Membuat namanya ikut terseret, karena beberapa hari yang lalu ada seorang Polisi yang datang ke rumahnya. Namun demikian tidak ada bukti yang mengarah pada Haris. Haris yang malam itu duduk termenung diam menatap sebuah foto yang ada di dalam dompetnya. Foto sosok seorang wanita yang pastinya adalah wanita pujaan hatinya. Yang akan dipersuntingnya menjadi istri, akan tetapi semua pupus. Di rabanya foto tersebut, terlihat dia sangat sedih akan kepergianny
"Apakah aku juga harus membunuh orang-orang itu?" ucapnya memainkan pisau yang sedang dia pegang. "Jika tidak aku bunuh, mereka pasti akan mengetahui di mana aku menguburnya hidup-hidup," imbuhnya.Pria tersebut terlihat sangat kebingungan dan berjalan mondar-mandir di ruangannya. Memegang kepalanya dan mengurut pelipisnya. Lalu dia berteriak kencang dan mengobrak-abrik barang-barang yang ada di atas meja.Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Setiap perbuatan pasti akan ada balasannya, begitulah kata pepatah. Pria berkumis itu mendadak menjadi cemas dan gelisah."Bagaimana kalau setiap malam dia selalu datang menghantuiku?" Sembari menggigit kukunya."Belum lagi hantu kepala buntung dan—dia—dia dengan suara tangisan yang menggelegar setiap malam." Pria itu mengacak-acak rambutnya. Dia terlihat sangat stres.Malam kembali datang, desiran angin malam berhembus
"Orang pinter, Non?" Pernyataan Aluna membuat Mang Dadang mengerutkan alisnya. "Hmm ... kalau orang pinter sih Mamang tidak tahu, tapi kalau Nyonyah tahu.""Tante Nita?" ulang Aluna. Mang Dadang mengangguk."Tapi sepertinya beliau sedang istirahat, karena dari tadi siang ada di rumah sakit," papar Mang Dadang."Ya sudah, biar besok saja. Lagi pula aku juga capek, Mang." Aluna duduk di sofa."Mang, aku mau ngomong nih," tutur Revan."Mau ngomong apaan, Den? Kok sepertinya serius banget," lanjut Mang Dadang."Begini Mang, kita kan dari kemarin selalu dihantui oleh hantu anak-anak dan hantu wanita berbaju merah. Nah, kemarin itu kita berdua eh ... bukan ding, bukan aku tapi Aluna di datangi oleh hantu tanpa kepala," ucap Revan panjang lebar."Terus-terus." Mang Dadang terlihat kepo."Ih, apaan sih Mang." Revan kaget saat melihat Mang Dadang b
"Kamar mandi ... kamar mandi, Lun. Ada banyak darah di kamar mandi." Revan terlihat heboh sendiri."Kamar mandinya kenapa, Van? Gelap?" ledek Aluna."Bu-bukan itu, Lun. Ada darah di mana-mana." Revan menarik Aluna dan memposisikan dirinya di belakang tubuh Aluna ketika sampai di depan pintu kamar mandi. Revan mendorong tubuh Aluna pelan. "Coba kau tengok ke dalam," tunjuk Revan."Iya-iya, aku tengok. Tapi tidak perlu mendorong-dorong seperti ini kan, Van," protes Aluna. Revan pun melepas pegangan tangannya.Sementara itu, Aluna menelan saliva-nya ketika tangannya terulur untuk mendorong pintu kamar mandi tersebut. Aluna menutup matanya dan mendorong pelan pintu itu hingga terbuka lebar. Setelah terbuka lebar, Aluna membuka matanya sendiri. Lalu kepalanya melongok masuk ke dalam dan memeriksa seluruh isi kamar mandi. Aluna mengerutkan dahinya setelah dia masuk ke dalam kamar mandi untuk memastikannya.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments