Aluna dan Alena akhirnya sampai di rumah Tantenya, yaitu Tante Nita. Benar-benar sebuah kejutan, Pak Suhar yang notabene adalah satpam di rumah tante Nita kaget dengan kemunculan mereka berdua malam itu.
"Loh ... Neng Aluna dan Neng Alena, kenapa tidak memberi kabar dulu?" pak Amir terlihat tercengang kaget.
"Ssssttt! Kita sengaja Pak, mau memberi surprise!" sahut Aluna.
"Apa Tante sudah tidur, Pak?" tanya Alena.
"Sepertinya belum, Neng."
"Kalau begitu kita-kita masuk ya, Pak!" Alena menarik kopernya, disusul Aluna. Kedua gadis itu berjalan menuju pintu utama.
Saat keduanya menginjakkan kaki mereka, tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah Mang Dadang.
Mang Dadang terlihat terkejut. Dia hampir saja berteriak, namun si kembar langsung memberi kode.
"Sssssttt!!!"
Kedua gadis kembar itu menempelkan jari telunjuknya di bibirnya masing-masing. Mang Dadang pun manggut-manggut.
"Si Eneng, kenapa pulang tidak memberi kabar? Kan bisa Mamang jemput!"
"Namanya juga mau kasih surprise, Mang!" masih dengan suara pelan dan lirih.
"Tante Nita di mana, Mang?" tanya Alena berbisik pelan.
"Ada di dalam, Neng!" jawab Mang Dadang.
Si kembar masuk, berjalan mengendap-endap melewati ruang tamu menuju ruang tengah. Namun, nampaknya kejutan yang akan diberikan oleh si kembar untuk Tantenya gagal.
"Loh! Non Aluna dan Non Alena kenapa berjalan mengendap-endap!" teriak Bi Inah yang otomatis membuat Tante Nita yang sedang menonton Televisi menoleh.
"Ah, Bi Inah kenapa teriak!" rajuk Alena.
"Gagal deh surprisenya!" kesal Aluna.
Padahal Mang Dadang sudah memberi kode pada Bi Inah, namun Bi Inah memang suka lemot jadi dia tidak paham akan kode-kode seperti itu.
"Ya maaf, Non!" celoteh Bi Inah.
"Kalian kapan sampai? Kenapa tidak memberi kabar pada Tante?"
"Namanya juga kejutan, Tante!" jawab Alena.
"Bi Inaaaah!" panggil Tante Nita.
"Iya, Nyah!" jawab seorang wanita yang keluar dari dapur dengan berlari-lari. "Ada apa, Nyah."
"Bibi kenapa berlari-lari? Nanti kalau jatuh gimana?"
Bi Inah hanya nyengir mendengarnya.
"Tolong siapkan kamar untuk si kembar!" pintahnya.
"Siap, Nyah!" ucap Bi Inah sambil mengangkat tangannya seperti orang sedang ikut upacara bendera.
"Ih, apaan sih Bi!"
Aluna dan Alena tertawa bersamaan, lalu mereka berdua berjalan mengekori Bi Inah masuk ke sebuah kamar.
"Ini kamarnya, Non. Bibi rapiin dulu, ya!"
"Kita bantuin ya, Bi!"
Kembali dua gadis kembar itu menurut bersamaan. Keduanya menarik koper dan menaruhnya di pojokan dekat lemari kayu, lalu kedua gadis kembar itu menghampiri Bi Inah.
Aluna dan Alena membantu Bi Inah membereskan dan merapikan kamar yang akan mereka tempati untuk sementara waktu.
"Non Aluna dan Non Alena, kenapa tidak tinggal di Belanda saja?" celoteh Bi Inah.
"Maunya Bi, tapi kan rumah kita di Indonesia jadi kita pun harus balik kandang kesini!" sahut Aluna.
"Hmm ... pacar Non berdua ikut pulang tidak?" tanyanya lagi sambil merapikan spray.
"Revan dan Bagas nanti menyusul, Bi!" balas Alena.
Pintu kamar terbuka, membuat seisi kamar langsung menoleh kearah pintu. Aluna, Alena, dan Bi Inah memperhatikan gerakan pintu. Sesaat setelah itu, tante Nita muncul.
"Kalian berdua, apa sudah makan?" tanya tante Nita.
Belum sempat dijawab oleh si kembar, bi Inah sudah menimpali pertanyaan majikannya.
"Belum, Nyah!" serunya.
"Yee, Bi. Yang ditanya siapa, kenapa bi Inah yang jawab," Aluna dan Alena tertawa.
Bi Inah memang sosok yang sangat lucu, namun kadang baik si kembar atau mang Dadang suka mengerjai bi Inah, karena bi Inah memang doyan latah. Nah, dari kelatahannya wanita itulah yang membuat mang Dadang kadang suka mengagetinya.
"Kenapa Enon ketawa?" ujar bi Inah yang merasa bingung.
"Ha ha ha, tidak ada kok Bi!" sahut Alena.
"Kalau kalian ingin makan, nanti bisa minta bi Inah untuk menghangatkan ayam goreng," tante Nita pun kembali menutup pintu.
Alena menyenggol lengan Aluna, gadis itu memberi kode pada kembarannya tersebut.
"Kenapa? Kau lapar?" tanya Aluna memperhatikan tangan kembarannya itu yang memegang perutnya.
"Mubazir kalau ayamnya tidak dimakan!" cicit Alena.
"Ya sudah, kita makan lagi!
"Kenapa, Bi?" tanya Aluna.
Bi Inah nyengir kuda, "tidak apa-apa Non, Bibi hanya kangen."
"Yee ... si Bibi ada-ada saja!" tukas Alena.
"Oiya, Non Aluna dan Non Alena tidak kembali lagi ke Belanda, kan?" tanya Bi Inah.
"Tidak, Bi. Kita berdua akan stay disini kok!" balas Aluna.
"Oohh ...." Bi Inah mengerucutkan bibirnya.
"Kenapa, Bi? Takut ditinggal lagi, ya?" goda Alena pada bi Inah.
"Ah, Non Alena tahu saja. Rumah sepi Non, yang ada mang Dadang selalu ngerjain bibi, karna tahu kalau bibi suka latah," kata bi Inah panjang lebar.
"Bi Inah curhat nih ceritanya?" timpal Aluna tertawa.
"Nah, jarang-jarang loh Bibi curhat," ujar bi Inah.
"Selesai sudah!"
"Kelar deh!"
Si kembar kompak berseruan membuat bi Inah sontak kaget.
"Eh, copot ... copot!" bi Inah memegangi dadanya.
Aluna dan Alena saling pandang, kemudian mereka tertawa bersamaan.
"Sudah ah ketawanya, aku lapar nih!" sahut Alena memegangi perutnya yang terasa keroncongan.
"Non berdua mau makan?" tanya bi Inah.
"Mau Bi, lapar nih!" jawab Alena.
"Ah, dasar perut gentong!" ledek Aluna.
"Biar saja!" sahut Alena.
"Bibi hangatkan ayamnya dulu ya, Non." Bi Inah berlalu dari hadapan si kembar.
"Aku mau ganti baju dulu," kata Alena. Gadis itu lalu berjalan melangkah mendekati kopernya, lalu membuka koper dan mencari piyama tidurnya. Setelah mendapatkan piyama tidurnya, Alena langsung melangkah masuk ke kamar mandi. Begitupun sebaliknya, Aluna nampak mengeluarkan piyama tidur yang sama dengan milik Alena hanya berbeda warna saja dengan Alena, kembarannya.
Setelah selesai berganti baju dengan piyama tidurnya, si kembar lalu keluar dari kamarnya menuju ruang makan.
Mereka berdua berjalan melewati ruang tengah yang sudah sepi dengan penyalaan lampu yang remang-remang.
"Apa tante Nita sudah tidur?" tanya Aluna pada Alena.
"Mungkin saja. Coba tanya pada bi Inah nanti," balas Alena.
Keduanya menghentikan langkahnya ketika melihat bi Inah yang sedang berdiri di depan pemanas nasi dengan menggerak-gerakan pantatnya, terdengar sedikit irama suara dari mulut bi Inah. Aluna menyenggol tangan Alena dan sepertinya keduanya punya pemikiran yang sama. Lantas keduanya melangkah kaki mereka pelan-pelan mendekati bi Inah, namun acara merek berdua yang ingin mengerjai bi Inah gagal karna mang Dadang.
"Non Aluna dan Non Alena sedang apa?" mang Dadang yang tiba-tiba masuk ke dapur membuat Alena kaget dan menyenggol sebuah gelas plastik.
"Ah, mang Dadang mengagetkan saja!" protes Alena.
Aluna hanya tertawa dengan menutup mulutnya.
"Hayooo ... Non berdua mau mengageti Bibi, ya?"
"Tidak Biii ... tidaaak!" seru si kembar bersamaan sambil mengibas-ngibaskan tangan mereka.
"Aah, ketahuaaan ...."
"Sudah belum, Bi. Aku lapar nih!" Alena mengalihkan pembicaraan.
"Sudah, Non!" ucap bi Inah.
"Mang Dadang, ayo makan bersama!" ajak Aluna.
"Bi Inah juga, yuk!" Alena menarik tangan bi Inah.
Malam terus menjalar dan bergerak mendekati tengah malam. Si kembar, Aluna dan Alena menarik kursi masing-masing, lalu disusul mang Dadang dan bi Inah yang duduk di kursinya masing-masing. Keempatnya menyantap makanan yang telah dihangatkan oleh bi Inah. Tanpa menimbulkan keberisikan keempat orang tersebut menikmatinya. "Neng Aluna dan Neng Alena apa tidak takut gemuk makan malam jam segini?" tanya mang Dadang. Aluna menatap mang Dadang penuh dengan tanda tanya, "Memangnya kenapa, Mang? Ada yang salah ya, kalau makan malam selarut ini?" imbuhnya. "Katanya, perempuan itu takut kalau makan malam sudah melewati jam 7 malam. Lah ini kan hampir jam 10, Neng." "Ah, mitos itu Mang. Buktinya berat badanku segini terus dari dulu," jelas Alena, disetujui oleh Aluna. "Setuju aku, dari dulu berat badanku gak baik-baik, Mang. Ada yang punya resepnya tidak?" imbuh Aluna.
Aluna dan Alena nampak sangat senang, ketika mengetahui jika sang Tante memberikan sebuah hadiah berupa rumah untuk mereka tinggali. Kedua gadis kembar itu tak meminta banyak, sebelum pulang mereka memang ingin tinggal sendiri, walaupun hanya mengontrak rumah kecil-kecilan.Kedua gadis kembar itu memang sudah membicarakan ketika mereka masih berada di Belanda. Bahkan sudah curhat dengan Bagas dan Revan tentang keinginan mereka untuk mempunyai rumah sendiri. Akhirnya impian mereka menjadi nyata.Suatu saat ketika mereka berdua akan kembali ke Indonesia, mereka berdua sepakat untuk menyewa rumah kecil-kecilan untuk ditinggali. Rencananya mereka akan menggunakan tabungan mereka berdua untuk menyewa rumah, bahkan Bagas dan Revan pun setuju untuk membantu jika memang biayanya kurang. Namun ternyata, Tante Nita justru sudah membelikan sebuah rumah untuk mereka berdua. Padahal ulangtahun mereka masih beberapa hari lagi.Ketika Aluna dan Alena merasa cocok dengan
Pesawat mendarat tepat jam 9 malam. Semua penumpang keluar, termasuk Revan dan Bagas. Malam yang semakin larut saat pesawat mendarat di Bandara Seokarno-Hatta dengan selamat. Revan dan Bagas masih terduduk disebuah bangku sekedar untuk meluruskan otot-ototnya. "Perjalanan yang sangat lama membuat semua badanku pegal-pegal!" keluh Bagas. "Jangan banyak mengeluh!" Revan bangkit, lalu menatap Bagas. "Apa?" ujar Bagas balas menatap Revan dengan penuh tanya. "Kita pulang!" sahut Revan. "Pulang?" Bagas nampak terkejut. "Iya pulang. Memangnya kau mau menginap disini?" tanya Revan. "Apa kita tidak cari penginapan di sekitar Bandara dulu. Aku benar-benar butuh istirahat. Kita pulang besok pagi saja, lagian jarak dari bandara ke rumah juga lumayan jauh," rengek Bagas. Revan pun menimbang-nimbang apa yang dikatakan Bagas. Memang benar jarak d
"Pindah rumah?" seru Bagas dan Revan kompak dan saling pandang ketika dua gadis kembar itu mengutarakan maksudnya. "Tante Nita membelikan rumah untuk kalian berdua?" tanya Revan. Aluna dan Alena mengangguk, "Beliau membelikan rumah itu sebagai hadiah ulang tahun." "Lalu kapan kalian berdua akan menempati rumah tersebut?" tanya Bagas. "Rencananya lusa, kita akan menempatinya," sahut Alena. "Kalian mau ikut membantu kita untuk pindah rumah?" tanya Aluna "Pasti, kita akan membantu kalian!" respon dari Revan. "Memang sih rumahnya tidak terlalu besar, tapi lumayanlah untuk di singgahi," sahut Alena. "Yang penting kalian bisa betah tinggal dirumah tersebut," timpal Revan. "Kalian akan tinggal berdua?" tanya Bagas. "Iya, hanya kita berdua!" sahut Alena. ***
Beberapa hari si kembar tinggal di rumah barunya, mereka berdua harus membiasakan diri beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Tak hanya itu saja, perumahan yang terbilang elit itu jika malam tiba terasa sangat sepi, berbeda dengan perumahan yang ditinggali oleh Tante Nita, jika malam tiba perumahan itu sangat ramai. Ini yang membuat heran Aluna dan Alena. Mungkin mereka terbiasa dengan keramaian, apalagi selama tinggal di Belanda, dua gadis kembar ini tinggal di lingkungan yang benar-benar ramai 24 jam. Jadi, ketika mereka pindah dan menempati rumah tersebut, mereka berdua sangat kaget dan harus berusaha beradaptasi di lingkungan baru. Hari itu, hari yang sangat cerah untuk berberes-beres rumah. Aluna dan Alena memang belum ada planing sama sekali. Sebelumnya mereka berdua memang membuat planing, setelah menempati rumah barunya, mereka akan segera mencari pekerjaan. Kedua gadis kembar itu masih sangat san
Sudah berjalan hampir sebulan si kembar menjadi penghuni rumah tersebut, dan mereka sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Selama sebulan itu juga mereka berdua belum mendapatkan panggilan kerja, padahal si kembar sudah melamar di beberapa perusahaan, namun belum ada panggilan kerja sama sekali.Sama halnya dengan Revan dan Bagas yang masih menunggu panggilan kerja, namun mereka berdua menyibukkan diri mereka sendiri. Revan membantu toko buket bunga milik Pamannya, sedangkan Bagas sibuk di kedai orang tuanya.Setelah selesai kerja, mereka berdua menyempatkan diri untuk singgah di rumah si kembar. Bahkan kadang mereka datang membawa makanan beserta cemilan untuk kekasih mereka masing-masing."Wah, Mas Revan dan Mas Bagas itu tidak pernah absen ya nengokin si Eneng," ujar pak Dakir ketika mobil yang dikendarai dua pemuda itu melintasi pos satpam."Pak Dakir mau kacang rebus dan gorengan?" ta
"Kau yakin mereka tidak akan curiga?" tanya seseorang dari seberang."Saya yakin, Pak. Mereka tidak akan curiga atau bahkan mencari tahu!" jawab seorang pria."Baiklah. Semua aku percayakan padamu. Namun, jika sampai tercium. Kau juga akan terima akibatnya!" bunyi sebuah ancaman terdengar dari speaker ponsel. Kemudian, pria tersebut langsung menutup sambungan ponselnya.Pria paruh baya tersebut menatap layar ponselnya. Tersisa panggilan berakhir di layar ponsel, lalu dia menarik napas panjang."Aku pastikan, mereka tidak akan mengetahuinya ataupun mencari info!"Pria tersebut meletakkan ponselnya kembali di atas nakas, lalu dia menoleh ke belakang menatap seseorang yang sedang terbaring di atas ranjang. Kembali manik matanya menatap keluar jendela, mendongak ke atas memperhatikan langit malam kala itu. Langit yang gelap, tidak ada rembulan juga tidak ada bintang. Ya, langit malam yang mend
Malam semakin larut, Aluna masih terjaga di kamarnya. Namun, saat dia menoleh ke belakang. Aluna sangat kaget dan langsung menjerit.Jeritan suara Aluna langsung membuat Alena kaget dan terbangun. Gadis itu terheran-heran tak kala melihat saudara kembarnya menutupi mukanya sendiri dengan kedua tangannya. Dia melihat Aluna tampak histeris."Pergiii ... pergiiii!!!" teriaknya masih dengan posisi menutup wajahnya."Lun ... kau ini kenapa?" Alena berusaha menenangkan saudara kembarnya. Namun, usahanya selalu ditepis oleh Aluna."Pergiii ... pergiii, jangan sentuh aku!" teriaknya lagi."Aluna!! Ini aku Alena!" Akhirnya Alena membalas dengan teriakan. "Bukalah matamu!" Alena menangkup wajah Aluna, hingga gadis itu memberanikan diri membuka matanya.Gadis itu perlahan membuka matanya dan menatap Alena, kedua tangannya terulur memegang wajah Alena."Ini benar-benar kau 'kan, Len?!" Aluna terlihat was-was."Iyalah, memangnya aku i
"Aneh?" Revan dan Mang Dadang menatap Bagas. "Iya, aneh." Bagas membalas menatap ke duanya dan setelah itu kembali menatap langit-langit ruang depan. Bagas merasa selama dirinya tidur, dia merasa seperti menjadi tahanan di alam lain. Ya, Bagas dan Alena menjadi tahanan sosok misterius ber-dress merah. Bagas berdecak dan kembali menoleh ke arah Revan. "Ah, sudahlah tidak perlu dipikirkan. Aku mau istirahat dulu." Bagas memejamkan matanya. Revan kembali menatap Mang Dadang dan mengangkat bahunya. Di dalam kamar, tampak Alena duduk di atas kasur lipat. Dia memperhatikan Tante Nita yang membereskan pakaiannya dan memasukkannya ke dalam lemari. Lalu wanita itu membalikkan badannya dan berjalan mendekati Alena. "Kau bisa istirahat dulu. Aluna sedang membuatkan-mu teh hangat." Tante Nita membelai surai hitam Alena. Tidak lama setelah itu Aluna masuk ke dalam kamar dan menaruh gelas berisi te
Setelah semua berlalu hal itu lantas tidak membuat Aluna bahagia. Pasalnya Aluna belum tenang sama sekali, karena saudara kembarnya masih tertidur pulas di rumah sakit. Gadis itu mulai merindukan masa-masa bersama dengan Alena dan dia juga tidak sanggup kalau harus kehilangan Alena. Bagi Aluna, Alena adalah semangatnya. Dia adalah satu-satunya keluarga yang Aluna punya.Hari itu, Aluna masih menunggu tukang bangunan yang harus memperbaiki lantai di ruang tengah. Sebetulnya para tukang bangunan agak ketakutan mengerjakan pekerjaan tersebut. Namun pada saat itu Tante Nita, Mang Dadang, Bi Inah, dan juga Pak Kyai Khusni datang ke rumah Aluna. Pak Kyai pun mengirimkan doa untuk mereka semua agar tidak lagi bergentayangan di dunia ini.Rumah Aluna saat itu menjadi ramai karena Tante Nita dan yang lainnya memang berniat untuk menginap di rumah Aluna. Hari itu setelah mereka mengunjungi Alena dan Bagas di rumah sakit, mereka bercakap-cakap sampai
Sekian lama kasus pembunuhan wanita muda yang dikenal memiliki banyak kekayaan peninggalan dari keluarga besarnya ini ditutup karena tidak menemukan titik terang. Namun sekarang titik terang tersebut sudah mulai muncul.Dentingan suara musik yang dihasilkan dari kotak musik membuat Handoko gelisah dan panik. Dua bola matanya berjelalatan melihat ke seluruh ruang tengah tersebut. Dia merasakan ada dua pasang mata sedang mengawasi dirinya. Lalu sekelebat bayangan melintas di sisi kanannya. Handoko membalikkan badannya, namun dia tidak mendapatkan apapun. Bayangan itu pergi entah ke mana. Lalu Handoko dibuat kaget lagi, karena sebuah sentuhan lembut di tangannya. Dia pun dengan cepat mengibaskan-nya dan lagi dia tidak menemukan siapapun di ruang itu. Gadis yang duduk terikat di depannya tidak sadarkan diri, sedangkan pemuda yang Handoko pukul dengan sekop pasir masih pingsan.Lalu siapa dia?Berkali-kali Handoko dibu
Hanya butuh satu petunjuk lagi untuk membuka gembok terakhir misteri-misteri yang mereka alami. Semakin hari semakin terbuka titik terangnya. Aluna pun berharap dia akan datang lagi menemui dirinya di dalam mimpi ataupun mungkin dengan petunjuk lainnya.Kejadian di Soul Cafe kemarin juga diceritakannya pada Aiptu Anang. Pelan-pelan mereka semua bergerak untuk memancing sang target. Siapa lagi kalau pelaku pembunuhan yang pernah terjadi di rumah tersebut."Bagaimana kita akan memancing dia?" tanya Aluna. "Sedangkan aku belum menemukan petunjuk lagi," imbuhnya."Kalau menurut feeling-ku, petunjuk itu akan segera dia tunjukan," sambung Revan."Lalu bagaimana dengan halaman belakang?""Urusan halaman belakang, kita akan mengerjakannya pelan-pelan. Anggap saja kita sedang berenang sambil minum air, betul tidak, Van?" ujar Aiptu Anang."Yups, betul sekali. Kita
Tante Nita duduk termenung di taman rumahnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Sesekali dia menyeruput teh hangat buatan Bi Inah.Menghela napas panjang saat dia teringat kejadian itu. Di mana dia bertemu dengan Saras sahabatnya dan di tidak menyangka jika hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Saras.Flashback on,Soul Cafe, Jakarta, 29 Maret 2018."Selamat siang Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pramusaji."Saya sudah booking tempat atas nama Saras," jawab Nita ramah."Oh, Nona Nita, ya. Anda sudah ditunggu Nona Saras." Pramusaji itu menunjuk tempat duduk paling ujung dan di sana telah duduk seorang wanita dengan dress warna merah."Terima kasih ya Mbak." Nita melangkah dengan senyuman yang merekah di bibirnya. Dia langsung duduk di depan Saras.
Teror masih terus terjadi di rumah Handoko. Pria berkumis tersebut selalu dibuat spot jantung. Berbeda dengan teror yang di alami oleh Revan atau Aluna. Mereka datang hanya bermaksud untuk meminta tolong, akan tetapi tetap saja cara mereka yang muncul tiba-tiba dengar wujud yang menakutkan membuat orang-orang kaget dan spot jantung. Hal itu juga dirasakan oleh Haris. Pria tampan dan juga masih ada ikatan saudara dengan Handoko, serta beberapa kasus yang belum terungkap. Membuat namanya ikut terseret, karena beberapa hari yang lalu ada seorang Polisi yang datang ke rumahnya. Namun demikian tidak ada bukti yang mengarah pada Haris. Haris yang malam itu duduk termenung diam menatap sebuah foto yang ada di dalam dompetnya. Foto sosok seorang wanita yang pastinya adalah wanita pujaan hatinya. Yang akan dipersuntingnya menjadi istri, akan tetapi semua pupus. Di rabanya foto tersebut, terlihat dia sangat sedih akan kepergianny
"Apakah aku juga harus membunuh orang-orang itu?" ucapnya memainkan pisau yang sedang dia pegang. "Jika tidak aku bunuh, mereka pasti akan mengetahui di mana aku menguburnya hidup-hidup," imbuhnya.Pria tersebut terlihat sangat kebingungan dan berjalan mondar-mandir di ruangannya. Memegang kepalanya dan mengurut pelipisnya. Lalu dia berteriak kencang dan mengobrak-abrik barang-barang yang ada di atas meja.Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Setiap perbuatan pasti akan ada balasannya, begitulah kata pepatah. Pria berkumis itu mendadak menjadi cemas dan gelisah."Bagaimana kalau setiap malam dia selalu datang menghantuiku?" Sembari menggigit kukunya."Belum lagi hantu kepala buntung dan—dia—dia dengan suara tangisan yang menggelegar setiap malam." Pria itu mengacak-acak rambutnya. Dia terlihat sangat stres.Malam kembali datang, desiran angin malam berhembus
"Orang pinter, Non?" Pernyataan Aluna membuat Mang Dadang mengerutkan alisnya. "Hmm ... kalau orang pinter sih Mamang tidak tahu, tapi kalau Nyonyah tahu.""Tante Nita?" ulang Aluna. Mang Dadang mengangguk."Tapi sepertinya beliau sedang istirahat, karena dari tadi siang ada di rumah sakit," papar Mang Dadang."Ya sudah, biar besok saja. Lagi pula aku juga capek, Mang." Aluna duduk di sofa."Mang, aku mau ngomong nih," tutur Revan."Mau ngomong apaan, Den? Kok sepertinya serius banget," lanjut Mang Dadang."Begini Mang, kita kan dari kemarin selalu dihantui oleh hantu anak-anak dan hantu wanita berbaju merah. Nah, kemarin itu kita berdua eh ... bukan ding, bukan aku tapi Aluna di datangi oleh hantu tanpa kepala," ucap Revan panjang lebar."Terus-terus." Mang Dadang terlihat kepo."Ih, apaan sih Mang." Revan kaget saat melihat Mang Dadang b
"Kamar mandi ... kamar mandi, Lun. Ada banyak darah di kamar mandi." Revan terlihat heboh sendiri."Kamar mandinya kenapa, Van? Gelap?" ledek Aluna."Bu-bukan itu, Lun. Ada darah di mana-mana." Revan menarik Aluna dan memposisikan dirinya di belakang tubuh Aluna ketika sampai di depan pintu kamar mandi. Revan mendorong tubuh Aluna pelan. "Coba kau tengok ke dalam," tunjuk Revan."Iya-iya, aku tengok. Tapi tidak perlu mendorong-dorong seperti ini kan, Van," protes Aluna. Revan pun melepas pegangan tangannya.Sementara itu, Aluna menelan saliva-nya ketika tangannya terulur untuk mendorong pintu kamar mandi tersebut. Aluna menutup matanya dan mendorong pelan pintu itu hingga terbuka lebar. Setelah terbuka lebar, Aluna membuka matanya sendiri. Lalu kepalanya melongok masuk ke dalam dan memeriksa seluruh isi kamar mandi. Aluna mengerutkan dahinya setelah dia masuk ke dalam kamar mandi untuk memastikannya.