Pagi yang sangat cerah, secerah senyuman manis dari si kembar Aluna dan Alena Pricillia. Kedua gadis itu tampak tengah sibuk mengemas semua barang-barangnya. Mereka berdua menata rapi pakaian-pakaian mereka dan menatanya ke dalam koper.
Terlihat begitu jelas raut bahagia terpancar dari muka Aluna dan Alena. Selesai mengemas barang-barang, mereka segera bersiap untuk berangkat menuju bandara.
"Aku tidak sabar ingin segera terbang!" ujar Aluna berseri-seri.
"Aku pun sama, tak sabar ingin segera sampai di Indonesia," sambung Alena.
"Apa kau sudah memberitahu pada Tante Nita, kalau kita terbang hari ini?" tanya Aluna.
Alena menggelengkan kepalanya, "aku belum memberitahu Tante Nita. Aku pikir, kita beri kejutan saja pada Tante!"
"Ah, benar juga!" sahut Aluna.
"Baiklah, aku sudah selesai. Tinggal kita siap-siap berangkat," Alena menutup kopernya.
'Eh, apa Bagas dan Revan akan mengantar kita?" Aluna mengangkat kopernya dari ranjang dan menariknya menuju belakang pintu.
"Kemarin mereka sendiri yang menawarkan diri untuk mengantar!" balas Alena.
Beberapa saat setelah itu, bell rumah berbunyi nyaring berkali-kali. Buru-buru Aluna membukakan pintu dan nampaklah wajah ganteng dua sosok pemuda, Revan dan Bagas.
"Aku kira kalian tak jadi mengantar kami berdua ke bandara," ujar Alena dari dalam.
"Gak mungkinlah kita biarin pacar kita pulang tanpa di kawal sampai bandara," sahut Bagas.
"Ya udah, kalau gitu tolong dong angkati koper kita!" seru Aluna.
Revan melangkah mendekati Aluna, "dimana kopermu?" tanyanya.
"Ada di kamar, kalian bisa bantuin kita kan membawa koper-koper kita keluar!"
Revan dan Bagas melangkah masuk ke dalam kamar.
"Luuunn!!" teriak Revan, "kopermu yang mana?" imbuhnya bertanya.
"Yang warna tosca!" teriak Aluna membalas.
"Berarti koper yang berwarna biru dongker ini punya Lena!" teriak Bagas.
"Iyaaa, itu punyaku! Tolong ya bawain ke depan!" balas Alena.
"Oke!"
Keempat pemuda dan pemudi itu segera meninggalkan rumah yang selama ini di tempati oleh si kembar. Aluna dan Alena memang menyewa sebuah rumah yang tak begitu besar setelah sebelumnya mereka tinggal di asrama kampus mereka, tapi ketika masuk semester 5, mereka berdua memutuskan untuk menyewa sebuah rumah kecil yang tak jauh dari kampus mereka.
Setelah si kembar berpamitan dan menyerahkan kunci rumah pada si pemilik rumah, si kembar beserta Revan dan Bagas segera meluncur ke Airport.
Sesampainya mereka berempat di Airport, tak lupa mereka berempat saling berpamitan. Revan dan Bagas harus segera kembali ke kampus, sedangkan si kembar harus menunggu sekitar 1 jam lagi.
"Kita berdua tak bisa berlama-lama di bandara," ujar Bagas.
"Benar sekali, hari ini aku ada jadwal kelas!" sambung Revan.
"Tidak apa-apa, kalian pergilah!" Aluna tersenyum.
"Toh, sebentar lagi kita akan terbang," imbuh Alena.
"Oke sampai ketemu nanti di Indonesia!" Bagas dan Revan melangkah mundur sambil melambaikan tangannya.
"Kita akan kabari kalian nanti setelah mendarat sampai di Indonesia!" teriak Aluna.
"Jaga hati, ya!" sambung Alena berteriak dan melambaikan tangannya pada Bagas.
Kedua gadis itu lalu menarik koper mereka untuk segera check-in. Untung sekali bawaan mereka berdua tak banyak. Mereka berdua sudah mengirimkan beberapa barang-barang mereka melalui paket dan sekarang mereka berdua hanya membawa koper. Mereka berdua pun menunggu tak jauh dari gate.
***
Penerbangan kurang lebih 17 jam, keduanya sudah duduk manis di dalam pesawat. Pesawat pun sudah take-off mengangkasa terbang ke udara menembus birunya langit yang menghampar luas seluas samudera.
Si kembar nampak duduk bersebelahan. Aluna yang duduk dekat jendela pun menatap hamparan awan. Terbesit dalam pikirannya sebuah pertanyaan, lalu dia menoleh ke arah saudara kembarnya. Alena nampak sedang asyik membaca buku. Aluna mengulurkan tangannya menepuk lengan Alena, gadis itu menoleh.
"Apa?" respon Alena.
"Aku sedang memikirkan sesuatu. Apa nanti kita akan tinggal di rumah Tante Nita?" Aluna merasa tak enak.
"Mungkin!" sahut Alena singkat, lalu kembali lagi membaca bukunya.
Aluna kembali menyandarkan kepalanya pada sofa, matanya menatap gumpalan-gumpalan putih di luar jendela pesawat. Dia kembali menarik napas panjang.
"Aku berharap, aku bisa segera mendapatkan pekerjaan. Jadi, kita bisa menyewa rumah dengan ukuran kecil dan tak perlu lagi tinggal di rumah Tante Nita!" Aluna kembali menoleh ke arah Alena.
"Aku pun juga berpikir seperti itu. Semoga setelah kita sampai nanti, kita tak perlu berlama-lama tinggal di rumah Tante Nita!" ujar Alena. Aluna pun mengangguk.
"Untuk sementara waktu kita akan tinggal di rumah Tante Nita sampai kita mendapatkan pekerjaan," sahut Aluna memposisikan tubuhnya dengan benar di sofa. "Aku ingin tidur sebentar!" Aluna memejamkan mata.
"Tidurlah. Perjalanan kita masih jauh!" balas Alena mengangkat bukunya dan kembali membaca.
***
Setibanya di Indonesia, keduanya langsung duduk untuk beristirahat. Perjalanan yang cukup panjang, pasti membuat tubuh mereka lelah.
"Pantatku pegal!" gerutuk Alena. Aluna tertawa pelan.
"Sama dong. Nikmati saja, Len!" sahut Aluna.
"Ini yakin, kita tidak memberi kabar Tante Nita?" tanya Alena menatap layar ponselnya.
"Tak perlu! Kita akan memberi Tante Nita kejutan," balas Aluna.
"Terus kita?"
"Tunggu dulu lah disini. Kita sudah kebanyakan duduk, apalagi aku pun sudah merasa lapar!" Aluna memegangi perutnya.
"Kita cari makan dulu, yuk!" ajak Alena. "Perutku juga sudah keroncongan."
Si kembar melangkah beriringan sambil menarik koper mereka masing-masing keluar dari areal bandara. Mereka segera mencari restoran terdekat.
"Itu ada rumah makan padang!" seru Alena menunjuk sebuah rumah makan di seberang jalan.
"Ayo kita kesana!" sahut Aluna menarik tangan Alena.
Masuklah mereka ke rumah makan padang. Keduanya memilih bangku yang berada dekat wastafel. Mereka menaruh koper berjajar, segeralah mereka mengambil piring yang sudah disediakan. Seperti biasa Aluna mengambil rendang Ayam, sedangkan Alena lebih memilih rendang daging sapi.
"Lama sudah aku tak menyantap masakan padang," Alena begitu sangat menikmatinya.
"Benar sekali, walaupun di Belanda ada yang menjual nasi padang pun rasanya sangat beda!" ucap Aluna.
"Tetap Indonesia no.1!" sahut Alena. "Eh Lun, apa kau sudah memberi kabar pada Revan?" tanyanya.
Aluna menggelengkan kepala, "belum. Kau sendiri?" tanya Aluna.
"Aku pun belum memberi kabar pada Bagas. Nanti saja setelah kita makan!"
Setelah selesai menyantapnya, mereka sedikit mengobrol untuk menunggu semua makanan yang baru mereka makan turun ke bawah.
Aluna mengambil ponsel dari dalam tasnya, lalu memainkan jemari tangannya. Dia sibuk memencet keyboard, lalu mengklik sent. Begitu pun dengan Alena, dia begitu sibuk dengan benda pipih yang dia pegang, sesekali dia menyedot es teh yang ada didepannya.
"Done!" Alena meletakkan benda pipihnya di atas nakas, lalu kembali menyedot es teh.
"Kenyang! Berasa ingin sekali meletakkan tubuh ini di atas ranjang yang empuk!" Aluna memegang pinggangnya. "Ayo ah! Kita pulang. Aku sudah ingin sekali mandi." imbuhnya.
"Sebentar aku akan membayar dulu!" Alena meraih tasnya dan segera membayar di kasir. Sedangkan kedua tangan Aluna menarik koper keluar dari rumah makan padang.
Beberapa saat setelah Alena menyusul, sebuah taksi berhenti tepat di depan Aluna. Aluna memasukkan dua koper ke dalam bagasi taksi di bantu dengan sopir taksi, kemudian dia segera masuk ke dalam taksi menyusul Alena yang sudah duduk di dalam. Taksi melaju menuju rumah Tante Nita.
***
Aluna dan Alena akhirnya sampai di rumah Tantenya, yaitu Tante Nita. Benar-benar sebuah kejutan, Pak Suhar yang notabene adalah satpam di rumah tante Nita kaget dengan kemunculan mereka berdua malam itu. "Loh ... Neng Aluna dan Neng Alena, kenapa tidak memberi kabar dulu?" pak Amir terlihat tercengang kaget. "Ssssttt! Kita sengaja Pak, mau memberi surprise!" sahut Aluna. "Apa Tante sudah tidur, Pak?" tanya Alena. "Sepertinya belum, Neng." "Kalau begitu kita-kita masuk ya, Pak!" Alena menarik kopernya, disusul Aluna. Kedua gadis itu berjalan menuju pintu utama. Saat keduanya menginjakkan kaki mereka, tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah Mang Dadang. Mang Dadang terlihat terkejut. Dia hampir saja berteriak, namun si kembar langsung memberi kode. "Sssssttt!!!" Kedua gadis kembar itu menempelkan jari telunjuknya di bibirnya masing-masing. Mang Dadang pun manggut-manggut. "Si Eneng, k
Malam terus menjalar dan bergerak mendekati tengah malam. Si kembar, Aluna dan Alena menarik kursi masing-masing, lalu disusul mang Dadang dan bi Inah yang duduk di kursinya masing-masing. Keempatnya menyantap makanan yang telah dihangatkan oleh bi Inah. Tanpa menimbulkan keberisikan keempat orang tersebut menikmatinya. "Neng Aluna dan Neng Alena apa tidak takut gemuk makan malam jam segini?" tanya mang Dadang. Aluna menatap mang Dadang penuh dengan tanda tanya, "Memangnya kenapa, Mang? Ada yang salah ya, kalau makan malam selarut ini?" imbuhnya. "Katanya, perempuan itu takut kalau makan malam sudah melewati jam 7 malam. Lah ini kan hampir jam 10, Neng." "Ah, mitos itu Mang. Buktinya berat badanku segini terus dari dulu," jelas Alena, disetujui oleh Aluna. "Setuju aku, dari dulu berat badanku gak baik-baik, Mang. Ada yang punya resepnya tidak?" imbuh Aluna.
Aluna dan Alena nampak sangat senang, ketika mengetahui jika sang Tante memberikan sebuah hadiah berupa rumah untuk mereka tinggali. Kedua gadis kembar itu tak meminta banyak, sebelum pulang mereka memang ingin tinggal sendiri, walaupun hanya mengontrak rumah kecil-kecilan.Kedua gadis kembar itu memang sudah membicarakan ketika mereka masih berada di Belanda. Bahkan sudah curhat dengan Bagas dan Revan tentang keinginan mereka untuk mempunyai rumah sendiri. Akhirnya impian mereka menjadi nyata.Suatu saat ketika mereka berdua akan kembali ke Indonesia, mereka berdua sepakat untuk menyewa rumah kecil-kecilan untuk ditinggali. Rencananya mereka akan menggunakan tabungan mereka berdua untuk menyewa rumah, bahkan Bagas dan Revan pun setuju untuk membantu jika memang biayanya kurang. Namun ternyata, Tante Nita justru sudah membelikan sebuah rumah untuk mereka berdua. Padahal ulangtahun mereka masih beberapa hari lagi.Ketika Aluna dan Alena merasa cocok dengan
Pesawat mendarat tepat jam 9 malam. Semua penumpang keluar, termasuk Revan dan Bagas. Malam yang semakin larut saat pesawat mendarat di Bandara Seokarno-Hatta dengan selamat. Revan dan Bagas masih terduduk disebuah bangku sekedar untuk meluruskan otot-ototnya. "Perjalanan yang sangat lama membuat semua badanku pegal-pegal!" keluh Bagas. "Jangan banyak mengeluh!" Revan bangkit, lalu menatap Bagas. "Apa?" ujar Bagas balas menatap Revan dengan penuh tanya. "Kita pulang!" sahut Revan. "Pulang?" Bagas nampak terkejut. "Iya pulang. Memangnya kau mau menginap disini?" tanya Revan. "Apa kita tidak cari penginapan di sekitar Bandara dulu. Aku benar-benar butuh istirahat. Kita pulang besok pagi saja, lagian jarak dari bandara ke rumah juga lumayan jauh," rengek Bagas. Revan pun menimbang-nimbang apa yang dikatakan Bagas. Memang benar jarak d
"Pindah rumah?" seru Bagas dan Revan kompak dan saling pandang ketika dua gadis kembar itu mengutarakan maksudnya. "Tante Nita membelikan rumah untuk kalian berdua?" tanya Revan. Aluna dan Alena mengangguk, "Beliau membelikan rumah itu sebagai hadiah ulang tahun." "Lalu kapan kalian berdua akan menempati rumah tersebut?" tanya Bagas. "Rencananya lusa, kita akan menempatinya," sahut Alena. "Kalian mau ikut membantu kita untuk pindah rumah?" tanya Aluna "Pasti, kita akan membantu kalian!" respon dari Revan. "Memang sih rumahnya tidak terlalu besar, tapi lumayanlah untuk di singgahi," sahut Alena. "Yang penting kalian bisa betah tinggal dirumah tersebut," timpal Revan. "Kalian akan tinggal berdua?" tanya Bagas. "Iya, hanya kita berdua!" sahut Alena. ***
Beberapa hari si kembar tinggal di rumah barunya, mereka berdua harus membiasakan diri beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Tak hanya itu saja, perumahan yang terbilang elit itu jika malam tiba terasa sangat sepi, berbeda dengan perumahan yang ditinggali oleh Tante Nita, jika malam tiba perumahan itu sangat ramai. Ini yang membuat heran Aluna dan Alena. Mungkin mereka terbiasa dengan keramaian, apalagi selama tinggal di Belanda, dua gadis kembar ini tinggal di lingkungan yang benar-benar ramai 24 jam. Jadi, ketika mereka pindah dan menempati rumah tersebut, mereka berdua sangat kaget dan harus berusaha beradaptasi di lingkungan baru. Hari itu, hari yang sangat cerah untuk berberes-beres rumah. Aluna dan Alena memang belum ada planing sama sekali. Sebelumnya mereka berdua memang membuat planing, setelah menempati rumah barunya, mereka akan segera mencari pekerjaan. Kedua gadis kembar itu masih sangat san
Sudah berjalan hampir sebulan si kembar menjadi penghuni rumah tersebut, dan mereka sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Selama sebulan itu juga mereka berdua belum mendapatkan panggilan kerja, padahal si kembar sudah melamar di beberapa perusahaan, namun belum ada panggilan kerja sama sekali.Sama halnya dengan Revan dan Bagas yang masih menunggu panggilan kerja, namun mereka berdua menyibukkan diri mereka sendiri. Revan membantu toko buket bunga milik Pamannya, sedangkan Bagas sibuk di kedai orang tuanya.Setelah selesai kerja, mereka berdua menyempatkan diri untuk singgah di rumah si kembar. Bahkan kadang mereka datang membawa makanan beserta cemilan untuk kekasih mereka masing-masing."Wah, Mas Revan dan Mas Bagas itu tidak pernah absen ya nengokin si Eneng," ujar pak Dakir ketika mobil yang dikendarai dua pemuda itu melintasi pos satpam."Pak Dakir mau kacang rebus dan gorengan?" ta
"Kau yakin mereka tidak akan curiga?" tanya seseorang dari seberang."Saya yakin, Pak. Mereka tidak akan curiga atau bahkan mencari tahu!" jawab seorang pria."Baiklah. Semua aku percayakan padamu. Namun, jika sampai tercium. Kau juga akan terima akibatnya!" bunyi sebuah ancaman terdengar dari speaker ponsel. Kemudian, pria tersebut langsung menutup sambungan ponselnya.Pria paruh baya tersebut menatap layar ponselnya. Tersisa panggilan berakhir di layar ponsel, lalu dia menarik napas panjang."Aku pastikan, mereka tidak akan mengetahuinya ataupun mencari info!"Pria tersebut meletakkan ponselnya kembali di atas nakas, lalu dia menoleh ke belakang menatap seseorang yang sedang terbaring di atas ranjang. Kembali manik matanya menatap keluar jendela, mendongak ke atas memperhatikan langit malam kala itu. Langit yang gelap, tidak ada rembulan juga tidak ada bintang. Ya, langit malam yang mend
"Aneh?" Revan dan Mang Dadang menatap Bagas. "Iya, aneh." Bagas membalas menatap ke duanya dan setelah itu kembali menatap langit-langit ruang depan. Bagas merasa selama dirinya tidur, dia merasa seperti menjadi tahanan di alam lain. Ya, Bagas dan Alena menjadi tahanan sosok misterius ber-dress merah. Bagas berdecak dan kembali menoleh ke arah Revan. "Ah, sudahlah tidak perlu dipikirkan. Aku mau istirahat dulu." Bagas memejamkan matanya. Revan kembali menatap Mang Dadang dan mengangkat bahunya. Di dalam kamar, tampak Alena duduk di atas kasur lipat. Dia memperhatikan Tante Nita yang membereskan pakaiannya dan memasukkannya ke dalam lemari. Lalu wanita itu membalikkan badannya dan berjalan mendekati Alena. "Kau bisa istirahat dulu. Aluna sedang membuatkan-mu teh hangat." Tante Nita membelai surai hitam Alena. Tidak lama setelah itu Aluna masuk ke dalam kamar dan menaruh gelas berisi te
Setelah semua berlalu hal itu lantas tidak membuat Aluna bahagia. Pasalnya Aluna belum tenang sama sekali, karena saudara kembarnya masih tertidur pulas di rumah sakit. Gadis itu mulai merindukan masa-masa bersama dengan Alena dan dia juga tidak sanggup kalau harus kehilangan Alena. Bagi Aluna, Alena adalah semangatnya. Dia adalah satu-satunya keluarga yang Aluna punya.Hari itu, Aluna masih menunggu tukang bangunan yang harus memperbaiki lantai di ruang tengah. Sebetulnya para tukang bangunan agak ketakutan mengerjakan pekerjaan tersebut. Namun pada saat itu Tante Nita, Mang Dadang, Bi Inah, dan juga Pak Kyai Khusni datang ke rumah Aluna. Pak Kyai pun mengirimkan doa untuk mereka semua agar tidak lagi bergentayangan di dunia ini.Rumah Aluna saat itu menjadi ramai karena Tante Nita dan yang lainnya memang berniat untuk menginap di rumah Aluna. Hari itu setelah mereka mengunjungi Alena dan Bagas di rumah sakit, mereka bercakap-cakap sampai
Sekian lama kasus pembunuhan wanita muda yang dikenal memiliki banyak kekayaan peninggalan dari keluarga besarnya ini ditutup karena tidak menemukan titik terang. Namun sekarang titik terang tersebut sudah mulai muncul.Dentingan suara musik yang dihasilkan dari kotak musik membuat Handoko gelisah dan panik. Dua bola matanya berjelalatan melihat ke seluruh ruang tengah tersebut. Dia merasakan ada dua pasang mata sedang mengawasi dirinya. Lalu sekelebat bayangan melintas di sisi kanannya. Handoko membalikkan badannya, namun dia tidak mendapatkan apapun. Bayangan itu pergi entah ke mana. Lalu Handoko dibuat kaget lagi, karena sebuah sentuhan lembut di tangannya. Dia pun dengan cepat mengibaskan-nya dan lagi dia tidak menemukan siapapun di ruang itu. Gadis yang duduk terikat di depannya tidak sadarkan diri, sedangkan pemuda yang Handoko pukul dengan sekop pasir masih pingsan.Lalu siapa dia?Berkali-kali Handoko dibu
Hanya butuh satu petunjuk lagi untuk membuka gembok terakhir misteri-misteri yang mereka alami. Semakin hari semakin terbuka titik terangnya. Aluna pun berharap dia akan datang lagi menemui dirinya di dalam mimpi ataupun mungkin dengan petunjuk lainnya.Kejadian di Soul Cafe kemarin juga diceritakannya pada Aiptu Anang. Pelan-pelan mereka semua bergerak untuk memancing sang target. Siapa lagi kalau pelaku pembunuhan yang pernah terjadi di rumah tersebut."Bagaimana kita akan memancing dia?" tanya Aluna. "Sedangkan aku belum menemukan petunjuk lagi," imbuhnya."Kalau menurut feeling-ku, petunjuk itu akan segera dia tunjukan," sambung Revan."Lalu bagaimana dengan halaman belakang?""Urusan halaman belakang, kita akan mengerjakannya pelan-pelan. Anggap saja kita sedang berenang sambil minum air, betul tidak, Van?" ujar Aiptu Anang."Yups, betul sekali. Kita
Tante Nita duduk termenung di taman rumahnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Sesekali dia menyeruput teh hangat buatan Bi Inah.Menghela napas panjang saat dia teringat kejadian itu. Di mana dia bertemu dengan Saras sahabatnya dan di tidak menyangka jika hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Saras.Flashback on,Soul Cafe, Jakarta, 29 Maret 2018."Selamat siang Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pramusaji."Saya sudah booking tempat atas nama Saras," jawab Nita ramah."Oh, Nona Nita, ya. Anda sudah ditunggu Nona Saras." Pramusaji itu menunjuk tempat duduk paling ujung dan di sana telah duduk seorang wanita dengan dress warna merah."Terima kasih ya Mbak." Nita melangkah dengan senyuman yang merekah di bibirnya. Dia langsung duduk di depan Saras.
Teror masih terus terjadi di rumah Handoko. Pria berkumis tersebut selalu dibuat spot jantung. Berbeda dengan teror yang di alami oleh Revan atau Aluna. Mereka datang hanya bermaksud untuk meminta tolong, akan tetapi tetap saja cara mereka yang muncul tiba-tiba dengar wujud yang menakutkan membuat orang-orang kaget dan spot jantung. Hal itu juga dirasakan oleh Haris. Pria tampan dan juga masih ada ikatan saudara dengan Handoko, serta beberapa kasus yang belum terungkap. Membuat namanya ikut terseret, karena beberapa hari yang lalu ada seorang Polisi yang datang ke rumahnya. Namun demikian tidak ada bukti yang mengarah pada Haris. Haris yang malam itu duduk termenung diam menatap sebuah foto yang ada di dalam dompetnya. Foto sosok seorang wanita yang pastinya adalah wanita pujaan hatinya. Yang akan dipersuntingnya menjadi istri, akan tetapi semua pupus. Di rabanya foto tersebut, terlihat dia sangat sedih akan kepergianny
"Apakah aku juga harus membunuh orang-orang itu?" ucapnya memainkan pisau yang sedang dia pegang. "Jika tidak aku bunuh, mereka pasti akan mengetahui di mana aku menguburnya hidup-hidup," imbuhnya.Pria tersebut terlihat sangat kebingungan dan berjalan mondar-mandir di ruangannya. Memegang kepalanya dan mengurut pelipisnya. Lalu dia berteriak kencang dan mengobrak-abrik barang-barang yang ada di atas meja.Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Setiap perbuatan pasti akan ada balasannya, begitulah kata pepatah. Pria berkumis itu mendadak menjadi cemas dan gelisah."Bagaimana kalau setiap malam dia selalu datang menghantuiku?" Sembari menggigit kukunya."Belum lagi hantu kepala buntung dan—dia—dia dengan suara tangisan yang menggelegar setiap malam." Pria itu mengacak-acak rambutnya. Dia terlihat sangat stres.Malam kembali datang, desiran angin malam berhembus
"Orang pinter, Non?" Pernyataan Aluna membuat Mang Dadang mengerutkan alisnya. "Hmm ... kalau orang pinter sih Mamang tidak tahu, tapi kalau Nyonyah tahu.""Tante Nita?" ulang Aluna. Mang Dadang mengangguk."Tapi sepertinya beliau sedang istirahat, karena dari tadi siang ada di rumah sakit," papar Mang Dadang."Ya sudah, biar besok saja. Lagi pula aku juga capek, Mang." Aluna duduk di sofa."Mang, aku mau ngomong nih," tutur Revan."Mau ngomong apaan, Den? Kok sepertinya serius banget," lanjut Mang Dadang."Begini Mang, kita kan dari kemarin selalu dihantui oleh hantu anak-anak dan hantu wanita berbaju merah. Nah, kemarin itu kita berdua eh ... bukan ding, bukan aku tapi Aluna di datangi oleh hantu tanpa kepala," ucap Revan panjang lebar."Terus-terus." Mang Dadang terlihat kepo."Ih, apaan sih Mang." Revan kaget saat melihat Mang Dadang b
"Kamar mandi ... kamar mandi, Lun. Ada banyak darah di kamar mandi." Revan terlihat heboh sendiri."Kamar mandinya kenapa, Van? Gelap?" ledek Aluna."Bu-bukan itu, Lun. Ada darah di mana-mana." Revan menarik Aluna dan memposisikan dirinya di belakang tubuh Aluna ketika sampai di depan pintu kamar mandi. Revan mendorong tubuh Aluna pelan. "Coba kau tengok ke dalam," tunjuk Revan."Iya-iya, aku tengok. Tapi tidak perlu mendorong-dorong seperti ini kan, Van," protes Aluna. Revan pun melepas pegangan tangannya.Sementara itu, Aluna menelan saliva-nya ketika tangannya terulur untuk mendorong pintu kamar mandi tersebut. Aluna menutup matanya dan mendorong pelan pintu itu hingga terbuka lebar. Setelah terbuka lebar, Aluna membuka matanya sendiri. Lalu kepalanya melongok masuk ke dalam dan memeriksa seluruh isi kamar mandi. Aluna mengerutkan dahinya setelah dia masuk ke dalam kamar mandi untuk memastikannya.